Archive for April 2018

POV'S : GIO
Di akta kelahiran, nama gue adalah Gio Efendi. Baguslah. Nama itu cukup simpel untuk gue gunakan dan tidak cukup pasaran.

Ada telepon masuk. Gue menghela napas panjang. Ini kan sudah melebihi jam malam. Mana orang dengan tidak tahu malunya menelpon orang di jam 12.30 dini hari? Tu-tunggu apakah yang menelpon gue adalah hantu?

Mendadak tangan gue gemetar. Masa iya hantu? Mata gue mengerjap beberapa kali seperti anak kecil. Syukurlah setelah mata gue memicing berusaha melihat siapa yang memanggil, ternyata orang tak tahu diri itu adalah atasan yang mempromosikanku untuk naik jabatan.

'Gio jadwal keberangkatan saya ganti jadi jam 8. Sebelum waktu yang telah ditentukan, kamu harus sudah siap ya.'

"Siap, Pak. Bapak tenang saja jam 9 saya sudah siap."

'Jam 8 Gio!'

"I-iya jam 8.10 menit."

'Jam 8! JAM 8!'

"Iya siap, Pak."

'Saya sudah tahu ya kebiasaan kamu itu. Awas kalau ngibul, saya urungkan kenaikan jabatan kamu.'

Telepon dia tutup. Gue gak menyangka, di tengah kehidupan membosankan yang gue jalani, akhirnya gue punya prestasi yang mestinya patut untuk dibanggakan.

Gue bekerja sebagai kepala cabang bank swasta nasional. Dipromosikan entah apa penyebabkan karena menurut gue masih banyak orang yang layak daripada gue. Gue senang-senang aja sih. Bagaimana membicarakannya ya? Gue kerap di-bully sama anak buah gue sendiri. Bukan karena fisik gue aneh, tapi mungkin karena penampilan dan sikap gue yang loyo. Sebagai pimpinan gue enggan melawan, apalagi bersikap tegas. Bukan karena gak mau, hanya saja gue bingung saja bagaimana caranya.

Gue mengerti bagaimana perasaan mereka yang berpikir mereka lebih pantas menyandang gelar pimpinan. Sayangnya gue enggan mundur, maka dari itulah mereka pun menghujat. Satu-satunya, mungkin, kebaikan yang ada pada diri gue sendiri adalah gue tekun dalam mengerjakan pekerjaan. Gue termasuk orang perfeksionis meskipun pada akhirnya membuat pekerjaan lambat. Tapi yang gue incar adalah kesempurnaan. Jadi, bangsat deh sama mereka yang iri.

Besoknya gue bangun jam 5 subuh. Ibu gue sudah sibuk mengarau nasi di dapur. Dia sangat khawatir sekali melepas gue pergi. Bahkan kemarin dia uring-uringan membeli minyak telon yang esensinya susah dicari di warung-warung terdekat.
"Kamu harus makan yang banyak, Bandung kan dingin, jadi kamu harus siap-siap yang matang!" Nah! Korelasinya tidak nyambung sekali. Tapi itulah Ibu. Dia selalu memanjakan gue karena mungkin gue anak pertama dan anak satu-satunya. Sementara Ayah gue lihat dia tersenyum bangga.

"Jangan jadi orang sok hebat ya kalau sudah sukses. Tetap rendah diri, harus ingat sama saudara dan keluargamu. Ayah bangga sekali, Gio."

Gue membalasnya dengan senyuman hangat. "Makasih juga, Yah."

"Anak Ayah sudah besar ternyata. Hahaha jaga diri baik-baik ya. Ingat, sejauh apa pun kakimu melangkah, rumah yang menjadi tempat lahir dan kamu dibesarkan tetaplah tempatmu untuk pulang yang sesungguhnya," katanya.

"Iya akan Gio ingat."

Sarapan pagi ini terasa lain. Tentu saja karena Ibu sama Ayah gue enggan melepas kepergian gue. Ada rasa haru namun di sisi lain ada rasa kesal. Gue kan bukan anak kecil yang harus selalu diperhatikan! Lagian gue kan cowok. Di umur yang ke 27 ini seharusnya gue sudah dilepas sama ortu gue sendiri.

"Saat kamu liburan ke sini, jangan lupa untuk membawa calon istrimu. Siapa tahu jodohmu ada di sana."

Gue tersenyum tipis. Ah jodoh ya? Mungkin akan gue pertimbangkan.

"Iya, Gio bawa deh dua," ucapku sambil terkekeh.

"Hush kamu ini. Jangan mendua! Ibu pernah digitin noh sama Ayah kamu, untungnya gak jadi karena sama Ibu dilabrak tuh perempuan gatel." Ayah meringis.

"Jangan dibahas juga kan, Ma. Sudah Ayah bilang itu cuma teman Ayah."

"Teman dari mananya! Masa teman kok SMS-nya mesra. Papa sudah makan belum? Papa Mama kangen. Papa main yuk. Bocah!" kata Ibu berapi-api. Gue memandang Ayah iba. Haha rasanya lucu sekali melihat mereka bertengkar karena sejauh ini hubungan rumah tangga mereka adem-adem saja.

Setelah makan gue mengambil koper di kamar. Dua sekaligus karena Ibu terlalu over memasukkan baju, jaket, celana dan barang-barang lainnya yang harus gue bawa. Sebelum pergi gue memeluk kedua orang tua gue dan mengecup keningnya pelan. Mereka tidak memberiku petuah lagi karena sepertinya sudah mereka berikan semalaman suntuk.

"Gio akan baik-baik saja. Telepon Gio kalau terjadi apa-apa!"

Mereka berdua mengangguk lalu gue pun masuk ke dalam mobil. "Siap berangkat, Pak?" tanya supir.

"Siap."

"Santai saja ya, Pak. Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet."

"Haha saya sudah terbiasa kok, Pak," kataku formal.

"Baguslah kalau begitu."

Kami melaju dalam diam. Supir itu menyetel radio untuk memecah keheningan. Salurannya berpindah-pindah. Sialnya, berhenti di saluran yang sedang membahas tentang hantu yang ada di perumahan kota Bandung. Gue tidak takut kok. Hantu itu cuma ilusi dan delusi. Mereka tidak nyata!

'Nah ini dia Pak Warto, tetangga yang sering mengalami kejadian aneh di malam hari. Jadi, gimana pendapat Bapak soal kejadian itu? Apakah ada hubungannya dengan rumah kosong yang sudah tidak ada pengungsinya itu?'

'Ekhemm ... jika ditanya ada hubungannya saya tidak bisa menjawab secara pasti karena tidak ada bukti kongkret. Tapi, dari yang saya lihat, selama dua bulan kemarin sudah 4 orang tidak tahan tinggal di sana. Katanya sih keran airnya sering tidak berjalan sehingga membuat mereka kesal karena ketersediaan air untuk cebok jadi sedikit.' Bagian ceboknya gak usah disebutkan kali, Pak! 'Yang menjadi pertanyaan saya, benarkah karena alasan itu? Saya pernah beberapa kali ke sana. Sungguh, energi yang ada dalam rumah itu kuat sekali. Manusia biasa pun pasti bisa merasakannya.'

'Manusia biasa? Maksudnya manusia selain indigo?'

'Ya. Hawa dingin tiba-tiba menusuk kulit padahal hawa sedang panas. Begitu pun sebaliknya. Itu membuktikan bahwa ada aktivitas metafisik di rumah itu.'

'Ya ampun! Lalu yang saya dengar Bapak pernah melihat kunti sedang bernyanyi nina bobo? Apakah itu benar?'

'Bisa dikatakan iya meskipun saya ragu itu hanya residual energi.'

'Jadi maksudnya bagaimana tuh, Pak?'
'Itu bukan kunti beneran. Karena dari yang saya lihat, kunti itu wajahnya terlihat berwarna. Itu berarti dia manusia. Mungkin, wanita itu adalah residual energi yang esensinya terekam ribuan hari yang telah berlalu. Di saat tertentu, entah karena saat itu bulan bersinar terang, kejadian yang pernah terjadi itu terputar kembali oleh energi kuat yang ada di sana.'

"Serem juga ya, Pak," kata gue berusaha mengajak ngobrol supir.

"Panggil saya Mas Jono saja. Nah seandainya, jika Bapak tinggal di rumah seperti itu, gimana perasaannya?"

"Gue berani kok!" Mas Jono memandang gue dengan alis terangkat. Gue bisa melihat dengan jelas di kaca spionnya. "Ma-maksud saya, saya berani kok. Lagian kan bisa saja Bapak itu mengada-ngada. Biar saluran radionya naik rating man bisa saja."

"Haha syukurlah kalau Bapak bukan penakut."

"Hehe hehehe."

"Mau dengar cerita saya soal hal yang berbau mistis?" katanya.

Sial! Gara-gara saluran sialan itu. Oke, siapa takut. "Tentu saja gak bo—maksud saya boleh banget."

Mas Jono tertawa kencang. "Yakin? Ini pengalaman pribadi saya soalnya."
"Ya sudah jangan."

"Lho katanya tadi mau."

"Ya sudah ceritakan!"

Mas Jono berdehan beberapa kali kemudian mulai bercerita. "Energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya bisa dirubah dalam satu bentuk ke bentuk lagi. Itu bunyi hukum kekekalan energi."

Gue kaget. "Dari mana Mas tahu soalnya bunyi hukum kekekalan energi? Dan, apa maksudnya?"

"Saya tahu karena saya suka sama hal yang berbau mistis jadi—"

"Pak radionya matiin saja. Gak fokus saya," potong gue. "Terus menepi sebentar," lanjut gue. Mas Jono bingung namun tetap mengikuti perintah gue. Setelah mobil menepi gue pindah ke kursi depan. Bukan karena takut kok! Biar obrolannya lebih jelas saja! "Bapak sudah makan? Kalau belum makan saja. Saya siap menunggu kok."

"Sudah kok. Nah hubungan hukum itu sama cerita sa—"

"Serius? Makan dulu saja! Atau ngopi biar gak ngantuk?"

"Ah tidak saya bawa perpen kopiko, kok," jawabnya menyebalkan.

"Yakin? Permen mana kuat menghilangkan kantuk!"

"Tapi saya tidur jam 8 malam. Jadi, saya segar bugar sekarang."
"Oh oke. Kalau begitu mas mau merokok? Saya tenang kok. Nyantai."
"Bapak mau dengar gak sih? Atau jangan-jangan—"
"SAYA MAU KOK!" ucapku cepat. "Nah sekarang ceritakan!"
"Oke karena energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan dan hanya bisa dirubah dalam satu bentuk ke bentuk lain, itu bukan berarti energi tidak bisa dipindah tempatkan dan berkumpul di satu tempat."
Oke gue paham. "Lalu?"
"Energi itu ada yang negatif dan ada yant positif. Kata saya tadi, andai energi bisa berpindah dan berkumpul di satu tempat, bagaimana jadinya jika energi itu berkumpul di satu rumah yang jarang ditinggali?"
Gue menelan ludah beberapa kali. "Rumah itu berbahaya?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi tergantung kita menanggapi situasinya. Nah, jika energi negatif berkumpul di satu tempat—misalnya rumah—makhluk halus yang pada dasarnya punya kekuatan negatif, mereka bisa menampakkan diri. Kamu mengerti kan?"
Arghhh jadi begitu? "Oke saya paham, Mas. Jadi misalkan mobil ini penuh dengan energi dan aura negatif. Terus ada kunti mengikuti saya. Ada kemungkinan saya bisa melihat itu kunti?"
"Tepat!" Gue gak takut kok! "Yang ingin saya ceritakan adalah, ternyata ke mana pun saya pergi, kadang-kadang saya diikuti makhluk halus. Kalau tidak salah satu bulan yang lalu saya mengantar calon pekerja baru ke perumahan elit perusahaan. Nah saya belum menyadari saya diikuti karena energi di sekeliling saya kecil, baru ketika saya memasuki rumah itu, si kunti sialan yang mengikuti saya menampakkan diri. Padahal saya sedang beol. Serem gak tuh? Setan malah suka gak tahu diri ya. Dia gak jijik gitu melihat ... emmm ... ee saya?"
Cerita Mas Jono membuat gue berpikir keras. "Di mana rumah yang Mas kunjungi?"
"Di Bali."
"Oh oke." Gue gak takut kok. "Mungkin tuh kunti senang liat Mas lagi ee kali."
Peluh gue mulai keluar. Suasana di mobil ini mendadak mencekam. Gue merasa tengkuk gue selalu merinding. Ditambah Mas Jono tak henti-hentinya berbicara soal kunti, genderuwo, pocong dan lain sebagainya. Ceritanya membuat gue mual. Gue gak takut kok! Cuma ya, gue gak suka saja.
2 jam berlalu. Bayangkan, cerita masih tetap berlanjut! Sebegitu fanatikkah dia sama setan? Ada juga ya orang seperti Mas Jono. Padahal kan lebih bagus jika dia mempunyai hobi hiking. Jam 1 siang kami sampai di rumah baru gue. Mata gue berbinar. Rumah ini luas sekali dan bersih. Tidak menyeramkan, bahkan terkesan terang dan banyak cahaya. Namun, hal yang membuat gue bingung kenapa ada dua lantai ya? Bagian atasnya entah perasaan gue atau gimana, gue merasa lantai dua tidak seterang lantai bawah.
Hal yang membuat gue senang adalah  gerbang rumah ini cukup tinggi. Dengan begini gue akan aman dari pencuri. Di bagian sisi rumah ini pun terdapat pecahan kaca dengan ujung yang sangat runcing. Itu artinya, selama gue mengunci gerbang, gue akan aman dari perampokan atau penculikan.
"Bagaimana menurumu, Pak? Bagus kan rumah ini?"
"Iya, Mas. Ini terlalu bagus! Sampaikan terima kasih saya pada Pak Daniel kalau Mas ketemu."
"Tentu. Pak Daniel berharap kamu betah tinggal di rumah ini. Bagaimanapun, sebagus apa pun rumah akan sayang kalau tidak ditinggali."
Gue lihat kembali rumah ini dengan saksama. Ternyata tidak luas, tapi karena punya lantai dua, maka terlihat luas dan besar. Baguslah. Percuma juga jika gue tinggal sendirian di rumah sebesar ini. "Kalau misalkan saya sewa housekeeper atau sejeniskan boleh kan?"
"Kalau masalah itu terserah Bapak. Ini sudah menjadi hak Bapak selama kontrak masih ada. Mau Bapak cat ulang bahkan menjual properti tidaklah masalah. Tertarik melihat-lihat ke dalam?" Gue mengangguk.
Ternyata benar dugaan gue. Rumah ini penuh cahaya. Setiap dinding di rumah ini berwarna putih susu dengan tirai tipis berwarna putih. Hal yang membuat gue tertegun adalah pekarangan belakang rumah ini. Meskipun tertutup, di mana setiap batasnya dibatasi dengan dinding tinggi menjulang sehingga gue tidak bisa melihat ke luar rumah, tapi halaman luasnya yang membuat gue sumringah. Di pekarangan belakang ini akan gue buat menjadi studio musik biola. Sayangnya, banyak sekali pohon besar yang cukup menakutkan.
Ditambah ruangan apa itu? Gue melihat ruangan sebesar kamar mandi di sebelah pohon mahoni. Mungkin nanti akan gue cek. Keseluruhan, rumah ini terlalu bagus untuk gue tinggali padahal ini hanya aset perusahaan.
"Terakhir," katanya pelan nyaris berbisik. Sial! Dia masih ingin membahas soal hantu, hantu dan hantu. "Hati-hati sama genderuwo. Dari semua setan yang pernah saya lihat atau baca, genderuwolah yang paling jahat dan mempunyai obsesi berkontak fisik dengan manusia."
Suara lirih nyaris tak terdengarnya membuat bulu kuduk gue merinding. Oke, angin bertiup kencang dan entah kenapa gue merasa dingin.
Ps.

Bab ganjil (1,3,5,7) dst ada di saya. Sedangkan bab genap (2,4,6,8) dan seterusnya ada di akun ahdaanca . Selamat membaca!


Aaarrrggghhh!!! Bab 1 : Rumah Baru

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -