Archive for Desember 2017

Pergi
#1.1


"Kamu pasti curang ya!" seru Dewi sedikit keras.

Yes! Sedikit lagi aku menang. Aku mengambil dua buah dadu itu kemudian mengocoknya pelan sampai keluar cairan kental berwarna—lupakan. Ngomong-ngomong kudaku sekarang ada di kotak yang sama dengan Reyhan.

"Haha yes! Kamu belum saatnya menang sayang," balas Reyhan. Sial! Dia menang.
Permainan telah usai. Kami yang kalah harus memakan keripik pedas itu kemudian harus mengabulkan permintaan yang menang.

"Gue sebenarnya gatal ingin bertanya, jadi sekarang saja deh. Kamu harus jawab jujur, ada apa sebenarnya? Lo ngebuntingin si Aura?" tanyanya membuat tanganku impuls meninju baju cekingnya.
Baiklah mungkin ini saat yang tepat. Padahal, harusnya aku langsung bilang saja. Tidak usah ada drama. Drama itu membuat seorang pria kehilangan kejantanannya, lho.
"Aku akan pindah rumah," kataku.

"Gitu doang? Oh aku tahu! Jadi kamu ingin kita bantu-bantu membereskan rumah kan? Pantas saja barang-barang di kamar kamu pada ilang," sahut Dewi.

Reyhan masih memandangku lekat. Aku tahu dia menunggu aku melanjutkan kalimatku. Memang seharusnya begitu, dia kan sudah mengenalku cukup lama, jadi dia pasti tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu.
"Aku akan pindah ke Bandung. Jadi—"

"Ya ampun sayang! Kamu apa-apaan sih bercandanya nggak lucu deh!" Aura bersedekap, mulutnya bergerak-gerak, sementara kulihat teman-temanku yang lain tertawa masam.
Dewi memukul-mukul punggung Aura pelan. "Paling dia pindah ke kompleks sebelah. Jangan percaya, Ra."
"Pindah ke mana? Ke Bandung? Terus kuliah kamu gimana?" tanya Reyhan.
"Aku kuliah di Bandung," bohongku. Aku terpaksa melakukannya karena jika aku jujur soal masalah keuanganku, pasti Aura bersikeras akan membantuku. Juga dengan teman-temanku yang lain.
Reyhan tertawa masam kemudian duduk di atas tempat tidurku. Seketika suasana berubah menjadi hening. Sementara Aura, kulihat pacar kekanak-kanakanku itu matanya berkaca-kaca. Aku memeluknya, meyakinkan sekaligus memberitahunya bahwa aku sedang tidak bercanda. Ketika kukatakan, "Aku sayang kamu, Ra. Kamu sudah tahu itu kan?" Tangisnya pecah.
"Jadi ini salam perpisahan dari kamu?" tanya Dewi pelan.
Aku mengangguk. "Apa alasannya?" tanya Bima.
"Ayahku dipecat. Ayah masih punya ladang dan kebun di kampung, jadi kami berdua akan tinggal di sana."
Aura semakin erat memelukku. "Tapi kamu bisa ngekos di sini—"
"Aku nggak bisa!" ucapku nyaris berteriak. "Kamu tahu kan keadaan ayahku? Untuk naik tangga saja beberapa kali terjatuh, apalagi kalau harus mengurus ladang." Hening. "Dia ... satu-satunya keluarga yang aku punya."
Reyhan bangkit, bibirnya menyunggingkan senyum penuh makna. "Kalau begitu, kita akan merindukanmu, badebah! Haha. Apalagi yang perlu dibereskan? Melihat runah ini hampir kosong, besok pastu berangkatnya ya?"

"Terimakasih. Kukira, akan berjalan penuh drama kayak di teve," balasku sambil tertawa. "Sudah dong jangan nangis. Kamu kan masih bisa kirim surat."

Bima dan Dewi tertawa renyah. "Drama kayak gimana maksud kamu? Haha sudah jelas bukan kami sedih dan ... sedikit syok. Cuma aku bingung harus bersikap gimana. Aku kesal juga sebenarnya. Tapi aku nggak mungkin ngelarang kan? Kamu memang harus ikut. Kasihan Ayah kamu. Kapan-kapan kami pasti akan mengunjungimu ke sana, jadi jangan lupa keripik singkongnya!" sahut Dewi panjang lebar.

Bima menepuk bahuku dan bahu Aura. "Lagi pula aku pernah mengalami hal seperti ini. Sialnya dia pindah rumah tanpa memberi tahuku, bahkan sekarang aku nggak tahu dia ada di mana. Jika kamu memberitahu kami, berarti kamu menganggap kita adalah teman. Benar-benar teman."

"Nah ini ini yang aku maksudkan dengan drama haha."

Aura mulai melepaskan pelukannya. "Grey," katanya pelan. "Jangan selingkuh! Awas ya kalau aku memergoki kamu sedang berduaan sama tante-tente yang kulitnya liat kayak daging tapir."

Syukurlah mereka mau melepasku. Namun kurasa tidak semuanya, ketika aku menangkap Reyhan hari ini banyak diamnya padahal mulut dia kayak Emak-emak, aku pun tahu satu hal : dia melarangku pergi.

Preman Pasar : TOOM #1.1

Pergi#1



Teman-temanku sedang dalam perjalanan menuju rumah. Mereka adalah sahabat dekat yang aku punya. Biasanya kerjaan kami kalau bukan nongkrong ya membuat video gak jelas di tempat-tempat yang ada di Indonesia. Ah, aku pasti akan merindukan mereka, terutama Reyhan. Dia adalah sahabat karib sejak SMA sampai sekarang.
Kulihat Papa sedang mengemas barang-barang di kamar. Gurat wajah lelahnya terlihat jelas oleh mataku. Ya Tuhan, aku merasa berdosa tidak bisa membantu Papa meringankan masalahnya. "Teman-temanmu sudah datang, Grey?"
Bersamaan dengan ucapan tanya Papa, bel rumah berbunyi nyaring. "Sepertinya mereka sudah datang."
Aku berjalan menuju pintu depan rumah dengan perasaan gugup. Bagaimanapun juga mereka harus tahu kebenaran kepindahanku. Tetapi ... ya Tuhan! Bagaimana aku harus memulainya? Aku tidak pernah membicarakan masalah pribadiku pada mereka. Jadi tidak ada satu orang pun yang tahu, termasuk pacarku sendiri, Aura. Mereka pasti marah. Itu pun jika mereka merasa kehilangan atas kepergianku. Shit. Akan langsung kupukul muka mereka satu-satu kalau mereka berkata, 'Pergi sana, ada tidaknya kamu di geng kita, nggak akan berpengaruh apa-apa.'
"Halo sayang," kata Aura. Dia langsung nyelonong masuk tanpa permisi.
"Ada apa, Grey? Ganggu saja kamu. Aku kan lagi ada tugas menyelidiki alat kelamin putri duyung. Pokoknya karena kamu sudah ganggu aku, kami harus membantu, awas saya ya kalau nolak." Reyhan, pria yang mempunyai mulut kayak Ema-ema ini mengikuti langkah Aura. Sisanya adalah teman-temanku yang lain. Ada Rizky, Angga, Bima, Dewi, Anggun dan Dimas. "Motor kamu di mana? Kok nggak ada di depan," lanjutnya.
"Langsung ke kamar aku saja. Oh ya, Rey, bantu aku bawa makanan di dapur."
Rey memandang diriku bosan. "Awas saja kalau nggak ada keripik pedas buatan ayah kamu."
Senyumku mengembang. Justru keripik pedas itu ada lima keler, sengaja ayah siapkan buat salam perpisahan. Oh ya, aku juga menyuruh Angga untuk membantuku membawa makanan. Dia adalah ketua senat di kampus. Tubuhnya kerempeng, kulitnya coklat bersih dan matanya sipit kayak pantat bayi. Dia tidak terlihat mengkhawatirkan di bulan puasa. Tapi meskipun begitu, Angga memiliki jiwa pemimpin yang sangat hebat.
Sesampainya di kamar, mereka semua memandangku bingung. "Barang-barang kamu kok tinggal dikit? Poster cewek setengah bugil di sana ke mana? Terus akuarium kecil di sana ke mana? Ish, kolor kamu yang ijo itu masih ada. Buang ke tong sampah apa susahnya sih, Grey. Mana sudah bolong-bolong lagi," ucap Dewi.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lagi pula aku bingung harus menjawab pertanyaan pertama dia. Barang-barang itu sudah aku jual, daripada menambah rentetan pertanyaan yang lain, lebih baik aku diam saja.
"Jadi sekarang kita mau ngapain?" tanya Aura.
"Main King and Queen!"
"Ya ampun jadi kamu maksa kita ke sini cuma mau ngajak main King dan Queen sialan itu? Tapi boleh juga sih. Aku lagi pengen makan yang pedes-pedes. Jadi, kenapa kita harus memainkan permainan itu?"
Dahiku berkerut ke atas. "Errrr ... buat ... seru-seruan, lah."
Aura memicingkan matanya 5 detik kemudian mengedik tidak peduli.
Permainan King and Queen adalah permainan untuk memperebutkan posisi raja. Ketika permainan selesai, akan ada pemenang yang mempunyai gelar raja. Raja itu bebas meminta apapun yang dia minta. Itu mengapa, aku berharap aku memenangkan permainan ini, berharap mereka mau mendengarkan dan menerima keputusanku-khususnya Aura.
Cara bermainnya cukup mudah. Permainan ini diciptakan oleh kami dengan tujuan menyiksa pemain. Tahu ular tangga? Yes! King and Queen adalah permainan ular tangga, tetapi kami buat banyak ularnya. Setiap ada pemain menginjak ular, dia harus turun lalu makan keripik pedas sesuai baris yang dia lewati ketika turun. Lalu apa maksudnya kata Queen dalam permainan ini? Oh percayalah. Dia hanya numpang nama! Reyhan tidak mau menyebutnya permainan ular tangga. Dia ingin menyebut permainan ini King and Queen supaya kesannya lebih keren gitu.
Sontak kami semua duduk melingkar. Aura memandang tumpukan keripik pedas itu dengan tatapan horor. "Siap?" kataku. Mereka semua mengangguk. "Baiklah ... ayo kita mulai."
Aku kebagian melempar dadu terakhir. Reyhan sangat menyukai permainan ini karena dia suka makanan pedas. Aku? Sejujurnya aku nggak suka. Makanan iblis itu selalu membuat perutku mulas dan mencairkan benda lunak panjang yang keluar dari pantatku. Ah ... semoga saja kali ini perutku bisa dikompromi.
"Ya ampun aku turun tiga baris!" seru Dewi. Hukumannya, dia harus makan tiga kali kunyahan keripik pedas level dewa buatan Papa.
Tiga puluh menit pun berlalu. Mulutku rasanya sudah kebakar. Permainan ini memang sedikit gila. Selain banyak ularnya, Reyhan membuat 5 kota di depan raja penuh dengan ranjau ular. Mending kalau turun 2 atau tiga baris. Tapi nyatanya? Turun sampai ke baris paling bawah! Hukumannya? Dua kali lipat. Baris permainan ada lima. Itu berarti, harus makan 10 kali kunyahan. Dan hal itu terjadi padaku.

Preman Pasar : TOOM #1


Prolog

"Tapi nggak bisa gitu juga kan, Pa. Aku masih kuliah, teman-temanku ada di sini, pokoknya aku nggak mau pindah!"

Papa memandang diriku dengan tatapan horor. "Apapun keputusanmu, Papa nggak peduli. Kalau perlu kamu Papa gusur pake tali terus Papa ikat di belakang mobil."

Mataku menanap marah, sementara Papa masih tidak mengendurkan pertahanannya. "Aku bisa cari kerja di sini, aku nggak akan minta uang sepeser pun, jadi please aku nggak mau pindah!" Nada suaraku mulai meninggi rupanya.

"Tapi Papa butuh kamu, curut! Sawah dan kebun yang akan kita garap memang kecil, tapi Papa sudah nggak kuat lagi! Kamu tega hah kalau Papa mati saat membasmi tuh ulat bulu?"
Mataku melunak. Papa memang bukan Papa kandungku, tetapi aku sangat menaruh hormat padanya. Keluargaku telah meninggal beberapa puluh tahun silam dan Papa adalah orang asing yang rela memungutku dengan penuh kasih sayang.

"Kalau Papa mampu, Grey. Papa nggak akan ragu membelikanmu planet Pluto. Tapi saat ini Papa nggak punya uang. Papa di PHK, rumah akan disita karena Papa tak mampu membayar hutang dan sekarang harta paling berharga yang Papa punya ya kamu."

Pertahananku runtuh. Bukannya Papa mengada-ngada, meskipun umur Papa masih kepala 3—kalau nggak salah 1 minggu lagi umur Papa 39 tahun—kemudian Papa memiliki tubuh tegap bak binaragawan, tetapi kemampuan berjalan Papa mengendur sejak kecelakaan motor yang menimpa Papa gara-gara ulah nakalku.
"Ya sudah, Pa. Grey ikut Papa. Tapi beri waktu Grey satu minggu buat say goodbye ke temen-temen Grey."
Papa menatapku dengan tampang sumringah. Dia berjalan ke arahku untuk memelukku kemudian dia mencium keningku kuat. Papa memang gitu, dia selalu saja menganggapku masih anak kecil padahal seharusnya Papa sadar otot di tangan dan perutku tidak menginginkan hal itu. Tapi ya sudahlah toh mulut Papa terlihat segar dan wangi. Nggak kayak sahabat dekatku Reyhan.

Preman Pasar : TOOM #0

Disarankan khusus umur 20+ ke atas.

Preman Pasar : The Outside of Madness



Hari ini, di tahun 1998, hidupku telah berubah.

Perjalanan kisah cinta Grey menyelami asam manisnya cinta di pedesaan. Berawal ketika ayahnya dipecat dari perusahaan, Grey terpaksa pindah rumah dari Jakarta ke Bandung, meninggalkan kuliahnya, teman-temannya dan pacarnya.

Di sana dia bertemu dengan Reno, cowok sangar dengan jambang tipis yang bekerja di kebunnya. Cowok yang perlahan-lahan memguatkan homon gaynya tanpa bisa dia cegah. Di sisi lain, Reno pun mengalami hal yang sama. Ketika dia melihat Grey dengan segala sifat yang selalu membuat dia tertawa, Reno pun jatuh cinta tanpa tapi.

Keduanya pun mengalami fase denial dan pergolakan batin. Lalu apa yang akan terjadi ketika Grey merasa cintanya sepihak? Bertepuk sebelah tangan sehingga dia lebih memilih mencoba menjalin hubungan dengan preman pasar yang telah memperkosa dirinya 100 kali. #plak nggak ding cuma 1 kali.

Bercerita juga soal perseteruan antar geng di mana Grey nantinya akan terlibat.

Ps. Maaf, ini bukan cerita cowok cantik.

 |Part 0| |Part 1| |Part 1.1|

Preman Pasar : The Outside of Madness

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -