Rabu, 06 Desember 2017

Pergi
#1.1


"Kamu pasti curang ya!" seru Dewi sedikit keras.

Yes! Sedikit lagi aku menang. Aku mengambil dua buah dadu itu kemudian mengocoknya pelan sampai keluar cairan kental berwarna—lupakan. Ngomong-ngomong kudaku sekarang ada di kotak yang sama dengan Reyhan.

"Haha yes! Kamu belum saatnya menang sayang," balas Reyhan. Sial! Dia menang.
Permainan telah usai. Kami yang kalah harus memakan keripik pedas itu kemudian harus mengabulkan permintaan yang menang.

"Gue sebenarnya gatal ingin bertanya, jadi sekarang saja deh. Kamu harus jawab jujur, ada apa sebenarnya? Lo ngebuntingin si Aura?" tanyanya membuat tanganku impuls meninju baju cekingnya.
Baiklah mungkin ini saat yang tepat. Padahal, harusnya aku langsung bilang saja. Tidak usah ada drama. Drama itu membuat seorang pria kehilangan kejantanannya, lho.
"Aku akan pindah rumah," kataku.

"Gitu doang? Oh aku tahu! Jadi kamu ingin kita bantu-bantu membereskan rumah kan? Pantas saja barang-barang di kamar kamu pada ilang," sahut Dewi.

Reyhan masih memandangku lekat. Aku tahu dia menunggu aku melanjutkan kalimatku. Memang seharusnya begitu, dia kan sudah mengenalku cukup lama, jadi dia pasti tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu.
"Aku akan pindah ke Bandung. Jadi—"

"Ya ampun sayang! Kamu apa-apaan sih bercandanya nggak lucu deh!" Aura bersedekap, mulutnya bergerak-gerak, sementara kulihat teman-temanku yang lain tertawa masam.
Dewi memukul-mukul punggung Aura pelan. "Paling dia pindah ke kompleks sebelah. Jangan percaya, Ra."
"Pindah ke mana? Ke Bandung? Terus kuliah kamu gimana?" tanya Reyhan.
"Aku kuliah di Bandung," bohongku. Aku terpaksa melakukannya karena jika aku jujur soal masalah keuanganku, pasti Aura bersikeras akan membantuku. Juga dengan teman-temanku yang lain.
Reyhan tertawa masam kemudian duduk di atas tempat tidurku. Seketika suasana berubah menjadi hening. Sementara Aura, kulihat pacar kekanak-kanakanku itu matanya berkaca-kaca. Aku memeluknya, meyakinkan sekaligus memberitahunya bahwa aku sedang tidak bercanda. Ketika kukatakan, "Aku sayang kamu, Ra. Kamu sudah tahu itu kan?" Tangisnya pecah.
"Jadi ini salam perpisahan dari kamu?" tanya Dewi pelan.
Aku mengangguk. "Apa alasannya?" tanya Bima.
"Ayahku dipecat. Ayah masih punya ladang dan kebun di kampung, jadi kami berdua akan tinggal di sana."
Aura semakin erat memelukku. "Tapi kamu bisa ngekos di sini—"
"Aku nggak bisa!" ucapku nyaris berteriak. "Kamu tahu kan keadaan ayahku? Untuk naik tangga saja beberapa kali terjatuh, apalagi kalau harus mengurus ladang." Hening. "Dia ... satu-satunya keluarga yang aku punya."
Reyhan bangkit, bibirnya menyunggingkan senyum penuh makna. "Kalau begitu, kita akan merindukanmu, badebah! Haha. Apalagi yang perlu dibereskan? Melihat runah ini hampir kosong, besok pastu berangkatnya ya?"

"Terimakasih. Kukira, akan berjalan penuh drama kayak di teve," balasku sambil tertawa. "Sudah dong jangan nangis. Kamu kan masih bisa kirim surat."

Bima dan Dewi tertawa renyah. "Drama kayak gimana maksud kamu? Haha sudah jelas bukan kami sedih dan ... sedikit syok. Cuma aku bingung harus bersikap gimana. Aku kesal juga sebenarnya. Tapi aku nggak mungkin ngelarang kan? Kamu memang harus ikut. Kasihan Ayah kamu. Kapan-kapan kami pasti akan mengunjungimu ke sana, jadi jangan lupa keripik singkongnya!" sahut Dewi panjang lebar.

Bima menepuk bahuku dan bahu Aura. "Lagi pula aku pernah mengalami hal seperti ini. Sialnya dia pindah rumah tanpa memberi tahuku, bahkan sekarang aku nggak tahu dia ada di mana. Jika kamu memberitahu kami, berarti kamu menganggap kita adalah teman. Benar-benar teman."

"Nah ini ini yang aku maksudkan dengan drama haha."

Aura mulai melepaskan pelukannya. "Grey," katanya pelan. "Jangan selingkuh! Awas ya kalau aku memergoki kamu sedang berduaan sama tante-tente yang kulitnya liat kayak daging tapir."

Syukurlah mereka mau melepasku. Namun kurasa tidak semuanya, ketika aku menangkap Reyhan hari ini banyak diamnya padahal mulut dia kayak Emak-emak, aku pun tahu satu hal : dia melarangku pergi.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -