Minggu, 14 Januari 2018


The Outside of Madness

Kota Berkabut : #1




Kupandangi sekali lagi gurat wajah Ayah. Dia sedang tertidur pulas dengan kepala bersandar pada kaca bus. Sudah hampir empat jam berlalu, dan kami masih ada di tengah perjalanan. Sebenarnya aku juga ngantuk, tetapi rasa kantuk itu mendadak hilang ketika pikiranku teringat kembali perkataan Reyhan.
Kamu sahabatku, Grey. Kamu boleh bilang aku kolot atau semacamnya. Tapi bagiku kamu adalah sahabat sekaligus keluarga buatku. Sekarang aku harus ke mana jika Ibu dan Ayahku memukulku lagi?
Argh!
Aku mendiamkannya saat itu. Aku membiarkan dia menumpahkan semua unek-uneknya. Setelah dia tenang, aku berkata, "Masih ada mereka. Aku yakin mereka bisa meringankan masalahmu seperti yang selalu aku lalukan."
Reyhan mengangguk. Wajah cerianya langsung menghilang saat itu juga. Satu-satunya hal yang meringankanku saat ini adalah wajah Ayah. Ketika melihatnya lelah, aku tahu tak ada yang lebih penting di dunia ini selain menjamin kebahagiaannya.
Sore berubah menjadi malam. Aku memang pergi sekitar jam 2 sore. Ketika bus sampai di Ledeng kami turun kemudian melanjutkan perjalanan naik angkot.
"Ayah masih merasa nggak enak sama kamu, Nak." Ini adalah kalimat pertama yang ayah lontarkan padaku sejak keberangkatan kami.
Aku memandang mata hitammya. Oh, dan juga rambut yang mulai memutihnya. "Rambut ayah sudah mulai memutih?" tanyaku sambil terkekeh.
"Itu tidak menjawab pertanyaan Ayah."
"Tapi itu juga tidak menjawab pertanyaan Grey." Kami berdua saling pandang kemudiam tertawa.
Tepat jam 8 malam kami sampai. Macet yang membuat kami berlama-lama di dalam perjalanan. "Ini daerah Cikidang, Grey. Dulu ayah dibesarkan di sini." Aku manggut-manggut. Ayah mendorong koper miliknya dengan langkah tertatih-tatih.
"Sini biar Grey saja yang bawa." Kami memang tidak membawa banyak barang. Sisanya dibawa menggunakan kol buntung milik Bima. "Suhu di sini dingin banget ya, Yah. Padahal Grey sudah pakai jaket tebal."
"Memang dingin sekali, Grey. Apalagi kalau hujan sudah turun di malam hari. Selimbut tebal sekalipun tidak bisa membuat tubuhmu hangat." Sekarang kami memasuki jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh dua motor. "Tapi di pagi hari," katanya. "udara di sini sejuk sekali. Tidak dingin tidak juga panas. Ayah yakin kamu akan segera terbiasa."
Lagi, aku manggut-manggut. Udara sejuk memang susah ditemukan di Jakarta. Kalau begitu baguslah. Aku pasti akan betah tinggal di tempat dingin seperti ini. Terlebih meskipun gelap, aku banyak melihat bukit dan gunung berjajar membentuk deret melingkar. Pasti di siang hari pemandangan di tempat ini indah sekali.
Akhirnya sampai juga di rumah baruku. Kulihat cukup besar, tetapi karena tidak terawat, jadi terlihat kumuh dan kotor. Terasnya masih disemen, dindingnya berwarna abu-abu muda, dan ketika aku masuk ke dalam, hampir 80 % rumah ini terbuat dari kayu.
"Kamu nggak masalah kan tinggak di tempat seperti ini?" Ayah memandangku khawatir.
"Maksud Ayah apa? Tinggal di gubuk tua pun Grey nggak masalah. Ya Tuhan, kumohon Yah, jangan mengkhawatirkan Grey, nanti sakit kepalanya kambuh lagi, lho. Asalkan Ayah nggak meninggalkan Grey, Grey nggak masalah."
Ayah tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha untuk pertama kalinya kamu bilang gitu ke ayah." Mendengar Ayah berucap hal memalukan kayak barusan, kurasa wajahku memerah kayak tomat. "Kamar di rumah ini ada dua. Silahkan pilih kamar yang menurutmu bagus. Atau kamu mau tidur bareng sama Ayah?" Mata Ayah naik turun dengan pandangan mesum.
Aku misuh-misuh. "Ayah apa-apaan sih. Aku kan sudah gede masa tidur bareng sama Ayah?"
"Sudah gese tapi takut cemeti dewa?" Ayah terkikik.
"Apaan tuh?"
"Kamu ini masa cemeti dewa saja nggak tahu. Itu lho, petir."
Aku mendesah. "Itu lain lagi ceritanya. Lagian wajar lah manusia takut petir. Bunyinya kan bisa membuat manusia—"
"Alesan!"
"Ya sudah jadi nggak akan sekamar sama Ayah?"
"NGGAK!"
"Ya sudah. Tapi kamu nggak takut hantu juga kan?" Sial! Mulai keluar deh sifat jahil ayah. Seharusnya sekali-kali aku jahili balik, misalnya menyembunyikan kancut Ayah saat dia sedang tidak ada. Biar tahu rasa! Penderitaan pria tidak pakai kancut kan lumayan menyiksa. Si otongnya jadi gubal-gabel bak penari tiang.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -