Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Kota Berkabut #2


Aku memilih kamar paling belakang dengan jendela menghadap ke pekarangan belakang rumah. Kurasa aku akan membereskan barang-barangku besok pagi. Sekarang aku ingin tidur, atau setidaknya istirahat rebahan di atas kasur terbuat dari dipan berwarna coklat tua ini.
Tanpa kusadari jam menunjukan waktu tengah malam. Aku masih terjaga. Apa yang sedang dilakukan teman-temanku ya? Lalu kulihat kalender yang menempel di samping lemari. Sabtu, 03 Januari 1998. Sungguh awal tahun yang penuh kejutan.
Aku menggeragap bangun dari tempat tidurku kemudian mematikan lampu temaram yang sejujurnya tak mampu menerangi seisi kamar ini barang setengah bagian pun. Tak masalah. Aku suka. Atau lebih tepatnya, aku berusaha menyukai tempat ini.
Ketika lampu mati, aku pun bisa mengistirahatkan tubuhku. Pukul 6 pagi Ayah membangunkanku. Katanya, di hari pertama bukan waktunya diriku untuk malas-malasan di kamar. Aku harus membereskan barang-barang di koper, sarapan pagi, lalu setelahnya bertegur sapa dengan warga kampung.
Bertegur sapa? Ya Tuhan, aku paling malas melakukan hal itu. Bukan karena aku tidak suka mereka, tetapi ... aku tidak mau saja. Aku hidup dan dibesarkan di kota jadi mana bisa aku berinteraksi dengan mereka? I mean, aku takut kebiasaan tingkah lakuku dan kebiasaan mereka  berbeda sehingga aku akan dikucilkan di sini.
"Nasi goreng spesial buatan Ayah sudah jadi!" serunya dari dapur. Aku tertawa pendek. Daripada menjadi sosok seorang Ayah, aku lebih sering menjadikannya sebagai sosok seorang Kakak. Umurnya masih muda, sih. Lalu tingkah hiperaktifnya.
Aku makan nasi goreng buatan Ayah dengan lahap. Sejak dari Jakarta sampai Bandung memang aku belum makan secuwil nasi. Ditambah masakan Ayah kan nggak ada duanya. "Kepedesan, Yah," kataku.
Ayah terkekeh. "Sengaja. Coba punya Ayah nih." Ayah menyodorkan nasi gorengnya. Pas.
"Ayah curang!" Tawanya memyembur saat itu juga. Aku berusaha menukar nasi goreng di piringku dengan piringnya, sialnya tangan Ayah gesit menghindar.
Baiklah tak masalah. Lagi pula perutku sudah kebal sejak aku sering memainkan permainan ular tangga biadab itu.
Setelah makan, Ayah memang benar-benar mengajakku keliling kampung. Ketika kakiku melangkah keluar dari pintu, mulutku dibuat menganga melihat kabut tebal menyelimuti perumahan di pedesaan. Kabut berwarna putih ini terasa dingin ketika menyentuh wajahku. Lalu kulihat jaketku, di sana banyak bulir-bulir kecil yang jika kusentuh, telapak tanganku langsung basah. Ini tempat yang hebat! Jadi, sampai sisa umurku habis, aku akan tinggal di sini?
Ayah menunjuk kebun tidak terlalu besar di depan rumah. Meskipun tersamarkan oleh kabut, aku bisa melihat dengan jelas gundukan tanah yang menyembul, sepertinya baru ditanami benih memandang ke arah pohon besar yang terlihat aus dimakan usia.
"Pohon itu sudah lama ada ya?"
"Dari mana kamu tahu?" tanya Ayah. "Memang benar. Pohon itu sudah ada sejak Ayah kecil. Mungkin juga, sudah ada sejak Nenek masih bayi."
Kami segera pergi menembus kabut di depan kami. Aku semakin mengeratkan jaketku, dingin yang tadinya tidak seberapa kini semakin menghujami tubuhku. Kabut masih tebal menutupi. Namun aku tahu, seiringnya matahari bergerak, lamat-lamat kabut mulai menipis.
"Jadi kita mau ke mana?"
"Kita akan pergi ke warung makan kesukaan Ayah, sekaligus menemui sahabat Ayah dulu."
Aku mengernyit. "Bukankah kita sudah makan ya?"
Ayah menatapku dengan alis terangkat. "Memangnya siapa yang bilang kita akan makan?" Sebelum aku menjawab, Ayah melanjutkan kalimatnya, "Warung makan bukan berarti yang dijajakan nasi semua. Ada makanan ringan kayak ciu, combro, ranginang, sampeu, katimus, nagasari, gorengan dan banyak lagi." Dari semua kalimatnya, aku cuma tahu makanan gorengan. Selebihnya aku nggak tahu makanan apa itu.
Tiba-tiba ...
BRUK!
Aku terjatuh, terjerembab ke sekokan. Seseorang telah menabrakku. Lalu setelahnya aku mendengar suara anjing menggong-gong. Tetapi bukan, sesuatu yang menabrakku bukan anjing, tetapi seorang pria yang kini sedang menindihku. "WHAT THE HELL! FUCK! SAKIT, BAHLUL!" teriakku keras. Pria yang menindihku terperanjat. Serta-merta dia bangkit, lalu setelahnya menyodorkan tangan dengan muka pias.
"Punten, tadi aya anjing ngudak. Jadi we kuring lumpat kucar-kacir terus nabrak ... sareng saha ieu?"
Aku menepis tangannya. Aku memang susah akrab dengan orang asing, terutama jika orang asing itu telah mencari masalah denganku. "Kamu bilang apa hah!?" Rahang tegasnya kembali menegang. Aku bisa melihat otot di lengannya karena dia memakai kaus oblong, kurasa ototku masih lebih besar darinya, lalu jambang tipisnya. Jambang itu lebih lebat dariku, mungkin sudah beberapa bulan belum dicukur.
"Kamu teh gak bisa bahasa Sunda?"
Malah balik nanya! Sungutku dalam hati.
"Kamu teh Grey kan? Yang dari Jakarta itu?" Amarahku langsung terhenti saat ini juga. "Sini atuh ikut saya. Eh ada Pak Dean, punten Pak teu katinggal," ucap pria aneh di depanku kemudian menyalami ayah.

"Ayah saya sudah nunggu dari kemarin-kamarin. Mari saya antar." Pria sialan itu pun pergi bersama Ayah, meninggalkan diriku yang sedang kesakitan dan sulit berjalan karena lututku ... berdarah!

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -