Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Kota Berkabut #3
Akhirnya dengan susah payah aku mengikuti pria sialan
itu dari belakang. Dia sedang mengobrol dengan ayah. Kurasa mereka berdua sudah
saling mengenal. Memangnya aku peduli? Yang aku pedulikan sekarang hanya satu :
aku harus membalas perbuatan dia. Lihat saja nanti.
Kabut kini sudah sepenuhnya menghilang. Sudah kuduga,
pemandangan pedesaan di sini begitu menakjubkan. Sepanjang mata memandang aku
melihat gunung membentuk deret melingkar, bukit dan pepohonan. Oh ya, aku juga
melihat gunung batu. Lalu aktivitas masyarakat di sini mulai b erjalan. Ada
yang membuka warung, pergi membawa cangkul ke kebun, ada juga anak berseragam
putih merah berlarian riang di tepi jalan.
Kami berjalan masuk ke daerah perumahan, jalan setapak,
lalu sampai di rumah kecil yang bagian depannya dibuat warung. Ketika melihat
kami, si mpu-nya rumah langsung menjamu kami. Sepertinya laki-laki yang sedang
berbincang dengan ayah adalah sahabat lamanya.
“Lho ini anak kamu, Dean?” pria bertubuh tambun menanyaiku.
Ayah mengangguk. “Iya ini anak kesayangan saya.”
“Lho ini anak kamu, Dean?” pria bertubuh tambun menanyaiku.
Ayah mengangguk. “Iya ini anak kesayangan saya.”
“Kamu seharusnya bawa kenalkan dia sama kampung
halamanmu sejak dulu.” Aku tersenyum ketika teman ayah ini tersenyum sopan.
“Bersih sekali anakmu. Beda sekali sama kamu.”
“Apep, ambilkan minum di dapur. Ambilkan juga jagung,
ubi dan gula merah,” ucap perempuan berkerudung putih di depanku lembut. Jadi
pria sialan yang menabrakku tadi namanya Apep? Akan aku ingat. Orang bernama
Apep itu mengangguk.
Di sini aku hanya menyimak obrolan ayah dan temannya
meskipun sesekali mereka bertanya soal kehidupanku di Jakarta. “Dulu ini ayah
kamu bandel lho Grey.” Baru ketika pak Ujang—teman ayah—berbicara soal masa
lalu ayah, aku mulai menyimak super serius. “Dulu sekali saya sama ayah kamu
sering main ke kebun orang, ngambil jeruk atau tomat di sana, padahalkan saya
anaknya baik-baik. Tapi ayah kamu ini ngotot—”
“Tapi kamu senang kan?” potong ayah.
“Haha iya senang. Tak hanya sampai di situ, kami berdua
kadang jalan sepanjang dua kilo meter demi mendapatkan buah nangka. Masa kecil
kami memang ditemani oleh alam. Selain bermain, kami juga sudah mengenal kerja
keras sejak kecil. Kedua orang tua kami mengharuskan kami bekerja dari siang
sampai pagi, entah mencari rumput untuk makan sapi, atau mencari kayu bakar
untuk keperluan di dapur.” Pantas saja lengan dan kakinya penuh tonjolan otot.
Kalau aku sih disuruh jalan dua kilo meter saat umurku di bawah angka 10 pasti
sudah mati di tengah jalan.
“Kamu masih ingat nggak Jang? Saat kita disangka maling
gara-gara malam-malam berkeliaran di kampung sebelah mencari kucingmu yang
hilang?”
Aku tertawa keras ketika mendengar ucapan ayah.
“Serius?” kataku.
“Ingat-ingat. Ya maklum lah itu kucing bulunya lebat kayak kaki ayah kamu, jadi kan kalau hilang sayang sekali. Lagian besok pagi tuh kucing mau aku jual ke saudagar kayak di kota sebelah. Jadi mau tidak mau saya harus mencarinya. Lalu berangkatlah saya ke rumah ayah kamu.”
“Ingat-ingat. Ya maklum lah itu kucing bulunya lebat kayak kaki ayah kamu, jadi kan kalau hilang sayang sekali. Lagian besok pagi tuh kucing mau aku jual ke saudagar kayak di kota sebelah. Jadi mau tidak mau saya harus mencarinya. Lalu berangkatlah saya ke rumah ayah kamu.”
“Padahal saat itu aku sedang mimpi dapat ikan paus.
Dasar pengganggu.”
“Ya, saya mengganggu tidur ayah kamu.” Makanan yang dibawakan Apep datang. Sebelum melanjutkan cerita, pak Ujang menyuruh kami untuk menyantap makanan di depan kami. “Nah akhirnya kami pergi tuh nyari kucing. Kami mencarinya di sempanjang jalan kampung, melewati kampung sebelah, juga memeriksa setiap halaman depan setiap rumah. Kucing kan suka berkeliaran di malam hari. Sialnya, gara-gara ayah kamu ini, kami hampir digebukin hansip.”
“Ya, saya mengganggu tidur ayah kamu.” Makanan yang dibawakan Apep datang. Sebelum melanjutkan cerita, pak Ujang menyuruh kami untuk menyantap makanan di depan kami. “Nah akhirnya kami pergi tuh nyari kucing. Kami mencarinya di sempanjang jalan kampung, melewati kampung sebelah, juga memeriksa setiap halaman depan setiap rumah. Kucing kan suka berkeliaran di malam hari. Sialnya, gara-gara ayah kamu ini, kami hampir digebukin hansip.”
Aku mengambil jagung rebus lalu memakannya secara
perlahan-lahan. “Pep, ngapain kamu di sini? Sana jaga warung!” titah ibunya.
Dia merenggut.
“Lalu?” kataku.
Kali ini bukan pak Ujang yang melanjutkan cerita tetapi
ayah. “Ayah melihat hewan bersembunyi di belakang pot. Ayah yakin itu kucing
jadi ayah naik pagar lalu pergi ke sana. Karena ayah takut, akhirnya ayah
mengajak teman ayah buat masuk menaiki pagar. Sialnya baru saja kaki kami
menginjakan tanah, hansip datang sambil membawa senter. ‘MALING!’ tuh hansip
beloon berteriak. Disangka maling jelas ayah kalang kabut. Akhirnya ayah lari
tunggang-langgang meninggalkan teman ayah sendirian di sana. Ternyata, teman
ayah juga berhasil kabur.”
“Saya memang berhasil kabur! Tapi beberapa menit
kemudian saya berhasil ditangkap. Untung saat itu saya masih kecil jadi nggak
langsung dipukuli,” jelasnya.
“Ya tapi kenapa harus menyeret namaku, hah?” tanya
ayah. Aku tersenyum melihat mereka berdua. “Kan saya ke sananya sama kamu.
Lagian kalau saya bohong, kata hasil itu titit saya akan langsung dipotong saat
itu juga.”
Kalimat terakhir tadi sukses membuatku tertawa
terbahak-bahak. Tak hanya sampai disitu, pak Ujang juga bercerita soal
kehidupan asmara ayah. Merasa terlalu membeberkan informasi, ayah mengalihkan
topik menjadi pembicaraan bosan orang dewasa. Bahkan aku menguap beberapa kali
saking bosannya. Sepertinya pak Ujang mengerti aku tidak tertarik dengan
obrolan ini jadi dia berkata, “Apep ajak Grey keliling kampung. Dia pasti masih
bingung sama lingkungan di sini.”
For God’s sake!
Haruskah aku menolak? Ketika aku akan berbicara,
kulihat mata ayah menanap melihatku. Sial!