Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Kota Berkabut #4
Kota Berkabut #4
Mendengar perintah ayahnya untuk menemaniku, Apep
langsung keluar dari warungnya sembari tersenyum lebar menghampiriku. Dia
memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya. Melihat ayahku melotot, mau tidak
mau aku harus mengikuti laki-laki sialan ini.
Kami berjalan menyusuri jalan kecil yang tadi kami
lewati. "Hehe saya teh belum kenalan ya sama kamu. Kenalin, saya Affandi
Reno Firmansyah. Biasa dipanggil Apep atau Reno." Baiklah, kurasa aku akan
memanggilnya dengan panggilan Reno biar mudah diingat.
Tangan Reno bergerak ke atas, bermaksud melakukan salam
perkenalan. "Apaan sih. Kamu sudah tahu namaku kan? Jadi kenapa harus
kenalan lagi?"
Reno merenggut. "Kamu teh teu ramah gening. Saya
kan bicara baik-baik, masa gitu jawabnya." Sejujurnya ada bagian kalimatnya
yang tidak aku mengerti. Tetapi karena sebagian besar kalimatnya bahasa
Indonesia bukan bahasa Sunda, jadi maksud kalimatnya aku mengerti.
"Ramah gimana!? Kamu sudah membuat lututku
berdarah! Nih lihat!" sentakku sembari memperlihatkan luka di lututku.
Reno membulatkan matanya. Kalau dipikir-pikir dia tipe pria yamg mempunyai
rahang tegas, muka sangar dan kelihatan anak bandel yang kerjaannya berkelahi
atau tawuran. Tetapi setelah kuperhatikan sifatnya, kurasa sangat tidak cocok
dengan muka sangarnya. I mean, terlalu aktif dan terkesan beloon.
Ya ampun, entah kenapa sekarang aku ingin meninku muka paniknya.
"Kamu tunggu di sini!" serunya.
Sejurus kemudian, Reno berlari menuju kebun kemudian
kembali dengan nafas terengah-engah. Di tangannya ada tanaman berwarna hijau
dan batu alam berwarna hitam pekat.
Kulihat keringatnya mengucur. "Kamu mau apa,
hah!?"
"Tunggu sebentar. Aduh maaf saya teh nggak
sengaja. Tadi ada anjing yang mengejar saya jadi—nah sudah selesai." Reno
menyusut celana panjangku ke atas kemudian berkata, "Ini teh namanya
babadotan. Tanaman ini bisa dipakai untuk mengobati luka luar, seperti luka
kamu ini."
Ketika Reno akan menempelkan tanaman mencurigakan di
tangannya ke lukaku, sontak aku menjauh darinya. "Dari mana aku tahu kalau
bukan racun?"
Reno tertawa terbahak-bahak. "Ya nggak atuh, Grey.
Kamu ini ada-ada saja. Percaya deh sama saya, ini tanaman aman. Kalau kamu mau,
silahkan buat kaki saya berdarah terus kamu tempelkan tanaman ini ke kaki
saya."
Baiklah, ucapan Reno terdengar meyakinkan. Akhirnya aku
luluh. Setelah mendapatkan izin, Reno membalurkan tanaman yang sudah ditumbuk
itu ke lukaku. Sensasinya terasa dingin, juga terasa perih meskipun lamat-lamat
menghilang.
"Kamu benar, lukanya tidak terasa sakit
lagi."
Senyum Reno mengembar lebar. Matanya memejam ketika dia
tersenyum. Kuperhatikan lebih lekat, ternyata wajahnya sangat tampan. Wajah
kami terpaut beberapa senti meter, membuatku bisa berjelajah semua area mukanya
tanpa sekat. Lalu tanpa kuduga, ketika matanya terbuka lebar, menampilkan warna
mata coklat dengan titik hitam setajam elang, entah kenapa jantungku berdegup
dengan kencang.
Tidak sampai disitu, ketika pandanganku turun tertuju
pada bibir kecoklatan yang sedikit terbuka itu, jantungku kembali berdetak
dengan cepat. Sial! Ini aneh. Ah aku tahu, mungkin karena wajah dia terlalu
dekat denganku hingga membuatku risih makanya jantungku bertetak tidak nyaman.
Pasti itu.
"Jadi kita mau ke mana?" tanyaku.
"Mau ke sungai atau ke gunung?" sahutnya.
"Kalau gunung pasti jauh, ke sungai saja."
Reno mengangguk-anggukan kepala.
"Mau saya gendong?" tanyanya sambil terkikik.
Dia sedang mengerjaiku rupanya.
"Aku masih sanggup berjalan kali!" semburku.
"Haha iya-iya. Harusnya kamu pilih ke
gunung." Alisku terangkat seketika. Apakah gunung di sini mempunyai
pemandangan yang sangat indah? Kalau begitu aku akan pergi ke sana suatu saat
nanti. "Soalnya muka kamu itu terlalu bersih, terlihat mencolok dan
mungkin akan membuat warga di sini tahu kamu teh bukan asli orang sini."
Mendengar lanjutan kalimatnya sontak alisku semakin
naik ke atas. "Terus apa masalahnya?"
Reno berdeham sebentar sebelum menjawab. "Di
kampung sebelah ada sekelompok orang yang yang suka mencuri. Dia preman,
badannya lebih gede dari saya, dan dia punya banyak teman. Kalau dia lihat
kamu, takutnya kamu jadi sasaran pencurian dia. Biasanya kan orang yang
mempunyai kulit bersih itu orang kaya. Jadi pasti kamu diincar."
"Jadi maksud kamu kalau aku pergi ke gunung,
kulitku akan hitam, gitu? Kotor? Terus aku jadi jelek?"
"Tepat!" Reno terkikik lagi. "Kamu harus
jadi jelek! Sebenarnya saya teh takut pacar saya malah jadi suka ke kamu. Dia
itu kalau ada lalaki ganteng saetik, saya teh suka ditinggalin sama dia."
"Kamu pikir kalau aku ke gunung kulitku akan
berubah sepecat itu?" Reno nampak berpikir kemudian menggeleng. "Nah
itu tahu. Lagian ya aku juga sudah punya pacar. Aku nggak mungkin mengambil
pacar kamu yang pastinya jelek kayak pantat kamu sapi."
Mata Reno langsung tajam melihatku. Bukannya menatap
balik, aku malah memperhatikan rambut pendek yang nampak pas di kepalanya itu.
Aku yakin, kalau Aura melihat dia, pasti dia akan jatuh hati pada pandangan
pertama. Aku yang notabennya seorang cowok saja bisa menilai fisik dia itu luar
biasa, apalagi cewek?
"Dia itu cantik tahu! Dia wanita tercantik di
kampung ini. Tapi jangan bilang-bilang saya pacaran sama dia ya soalnya ayahnya
saudagar kaya. Kalau ayah dia tahu anaknya pacaran sama saya, sudah pasti saat
itu juga hubungan saya dengan dia langsung berakhir." Ketika memohon tampang
Reno terlihat lucu. Dia tak pantas mengeluarkan ekspresi seperti itu. "Nah
itu dia pacar saya," tunjuk Reno.
Dari sini aku melihat seorang perempuan sedang berlari
kecil ke arah kami. "Ren, anter Neng beli samping ka harep. Sapedahna aya
kan? Hayu kaburu tukang dagangna indit—eh itu teh saha, Ren?"
Dari sini aku melihat seorang perempuan sedang berlari
kecil ke arah kami. "Ren, antar Neng beli samping ke depan. Sepedanya ada
kan? Yuk keburu yang jualannya pergi—eh itu siapa, Ren?"
Dari sini aku melihat seorang perempuan sedang berlari
kecil ke arah kami. "Ren, antar Neng beli samping ke depan. Sepedanya ada
kan? Yuk keburu yang jualannya pergi—eh itu siapa, Ren?"