Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Kote Berkabut #5


Gila! Ternyata benar apa kata Reno. Pacarnya cantik banget, dua kali lenih cantik dari Aura! Kecantikan dia alami, tanpa make up. Meskipun kulitnya coklat langsat, tetapi karena dia memiliki bola mata bundar dan lesung pipi di wajahmya, membuat dia nampak indah dan berkilauan. Tubuh semampainya, rambut lurus tergerainya, dan ... buah da—sudah lupakan. Aku sudah mempunyai Aura.
"Dia teh teman saya. Kenalin, Grey ini pacar saya Enok. Dan Enok, kenalin ini teman saja Grey." Teman dari mananya!
Kami berjabat tangan sambil melemper senyum. Eh? Kok lama banget sih. Aku bukannya tidak mau berlama-lama salaman sama dia, tapi kan aku sudah mempunyai Aura.
"Eh eh eh kamu tangan kamu teh lepasin atuh, Grey!" kata Reno. Matanya memandangku tajam. Awalnya aku ingin berkata, 'Dari tadi sudah ingin aku lepaskan, oon!' Tapi tidak jadi karena bagaimanapun aku menyukainya.
"Ya sudah nanti saja, No. Aku balik saja, jalannya masih ingat kok," kataku.
Alis Enok terangkat-angkat. "Memangnya kalian mau ke mana?"
Saat aku akan menjawab, Reno lebih dulu menjelaskan. "Kita akan pergi ke sungai. Dia itu pindahan dari Jakarta, jadi dia masih belum tahu daerah sini. Jadi—"
"Alah siah. Gening kamu teh dari Jakarta. Pantes saja kulit kamu teh meni bodas, bersih, teu poek joga si Reno." Oke, kalimat dia banyak yang tidak aku mengerti. Kayaknya mulai dari sekarang aku harus menggunakan bahasa Sunda. "Kalau gitu saya ikut ah. Beli sampingnya nanti saja, besok lagi. Yuk!"
"Ya sudah kalau itu keputusan kamu. Nggak masalah kan?" tanyanya ke arahku. Aku menggeleng. "Kalau gitu baiklah ayo kita pergi."
Kami bertiga pun pergi sembari mengobrol satu sama lain. Kata Enok, dia ingin sekali pergi ke Ibu Kota tapi abahnya tidak pernah mengijinkan dia. Katanya takut diculik. Memangnya penculikan hanya terjadi di Jakarta? Oh ayolah. Aku semakin memutar bola mata ketika dia terus membrondongku dengan pertanyaan muskil.
"Itu gunung apa?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Itu bukit tunggul. Kamu pengen ke sana?" tanya Reno. Aku mengangguk. "Di sana katanya banyak kera putih. Kalau kamu mau hayu sama saya dianter. Tapi jauh pisan, saya ge kadang suka nggak kuat kalau jalannya dari sini. Medannya turun naik."
"Kera putih? Bahaya?"
Reno mengibaskan tangannya. "Nggak kok. Tapi katanya kerjaannya suka menculik orang. Tingginya hampir setinggi manusia. Terus dia suka mengalihkan jalur pendakian biar tersesat."
"Itu mah bahaya atuh, Ren." Aku mencoba menambahkan kata 'mah' dan 'atuh' seperti yang selalu dia lalukan.
"Tapi kan nggak ngebunuh." Bola mataku semakin memutar.
"Hehe nggak ah. Dia nggak ngebunuh."
"Memangnya kamu pernah lihat?"
Garis wajah Reno mengkerut, nampak berpikir. "Belum sih."
"Nah jadi ...." jadi apa? Memangnya aku ingin ke sana? Reno saja bilang kadang tidak kuat apalagi aku.
"Tapi hayulah sama saya ditemenin. Tapi berdua saja ya. Banyak yang nggak kuat soalnya. Kalau kamu nggak kuat jadi saya ngegendong kamunya nggak terlalu capek. Kan satu orang."
Mendengarnya entah kenapa hatiku melonjak senang. Maka dari itu tanpa ragu kukatakan padanya aku ingin pergi ke sana. Gunung itu nampak indah. Serius, pohon hijau bertebaran di mana-mana. Belum pemandangan di arah sebaliknya tak kalah indah. Ini akan menjadi pendakian paling berkesan dalam hidupku.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -