POV'S : GIO
Di akta kelahiran, nama gue adalah Gio Efendi. Baguslah. Nama itu cukup simpel untuk gue gunakan dan tidak cukup pasaran.
Ada telepon masuk. Gue menghela napas panjang. Ini kan sudah melebihi jam malam. Mana orang dengan tidak tahu malunya menelpon orang di jam 12.30 dini hari? Tu-tunggu apakah yang menelpon gue adalah hantu?
Mendadak tangan gue gemetar. Masa iya hantu? Mata gue mengerjap beberapa kali seperti anak kecil. Syukurlah setelah mata gue memicing berusaha melihat siapa yang memanggil, ternyata orang tak tahu diri itu adalah atasan yang mempromosikanku untuk naik jabatan.
'Gio jadwal keberangkatan saya ganti jadi jam 8. Sebelum waktu yang telah ditentukan, kamu harus sudah siap ya.'
"Siap, Pak. Bapak tenang saja jam 9 saya sudah siap."
'Jam 8 Gio!'
"I-iya jam 8.10 menit."
'Jam 8! JAM 8!'
"Iya siap, Pak."
'Saya sudah tahu ya kebiasaan kamu itu. Awas kalau ngibul, saya urungkan kenaikan jabatan kamu.'
Telepon dia tutup. Gue gak menyangka, di tengah kehidupan membosankan yang gue jalani, akhirnya gue punya prestasi yang mestinya patut untuk dibanggakan.
Gue bekerja sebagai kepala cabang bank swasta nasional. Dipromosikan entah apa penyebabkan karena menurut gue masih banyak orang yang layak daripada gue. Gue senang-senang aja sih. Bagaimana membicarakannya ya? Gue kerap di-bully sama anak buah gue sendiri. Bukan karena fisik gue aneh, tapi mungkin karena penampilan dan sikap gue yang loyo. Sebagai pimpinan gue enggan melawan, apalagi bersikap tegas. Bukan karena gak mau, hanya saja gue bingung saja bagaimana caranya.
Gue mengerti bagaimana perasaan mereka yang berpikir mereka lebih pantas menyandang gelar pimpinan. Sayangnya gue enggan mundur, maka dari itulah mereka pun menghujat. Satu-satunya, mungkin, kebaikan yang ada pada diri gue sendiri adalah gue tekun dalam mengerjakan pekerjaan. Gue termasuk orang perfeksionis meskipun pada akhirnya membuat pekerjaan lambat. Tapi yang gue incar adalah kesempurnaan. Jadi, bangsat deh sama mereka yang iri.
Besoknya gue bangun jam 5 subuh. Ibu gue sudah sibuk mengarau nasi di dapur. Dia sangat khawatir sekali melepas gue pergi. Bahkan kemarin dia uring-uringan membeli minyak telon yang esensinya susah dicari di warung-warung terdekat.
"Kamu harus makan yang banyak, Bandung kan dingin, jadi kamu harus siap-siap yang matang!" Nah! Korelasinya tidak nyambung sekali. Tapi itulah Ibu. Dia selalu memanjakan gue karena mungkin gue anak pertama dan anak satu-satunya. Sementara Ayah gue lihat dia tersenyum bangga.
"Jangan jadi orang sok hebat ya kalau sudah sukses. Tetap rendah diri, harus ingat sama saudara dan keluargamu. Ayah bangga sekali, Gio."
Gue membalasnya dengan senyuman hangat. "Makasih juga, Yah."
"Anak Ayah sudah besar ternyata. Hahaha jaga diri baik-baik ya. Ingat, sejauh apa pun kakimu melangkah, rumah yang menjadi tempat lahir dan kamu dibesarkan tetaplah tempatmu untuk pulang yang sesungguhnya," katanya.
"Iya akan Gio ingat."
Sarapan pagi ini terasa lain. Tentu saja karena Ibu sama Ayah gue enggan melepas kepergian gue. Ada rasa haru namun di sisi lain ada rasa kesal. Gue kan bukan anak kecil yang harus selalu diperhatikan! Lagian gue kan cowok. Di umur yang ke 27 ini seharusnya gue sudah dilepas sama ortu gue sendiri.
"Saat kamu liburan ke sini, jangan lupa untuk membawa calon istrimu. Siapa tahu jodohmu ada di sana."
Gue tersenyum tipis. Ah jodoh ya? Mungkin akan gue pertimbangkan.
"Iya, Gio bawa deh dua," ucapku sambil terkekeh.
"Hush kamu ini. Jangan mendua! Ibu pernah digitin noh sama Ayah kamu, untungnya gak jadi karena sama Ibu dilabrak tuh perempuan gatel." Ayah meringis.
"Jangan dibahas juga kan, Ma. Sudah Ayah bilang itu cuma teman Ayah."
"Teman dari mananya! Masa teman kok SMS-nya mesra. Papa sudah makan belum? Papa Mama kangen. Papa main yuk. Bocah!" kata Ibu berapi-api. Gue memandang Ayah iba. Haha rasanya lucu sekali melihat mereka bertengkar karena sejauh ini hubungan rumah tangga mereka adem-adem saja.
Setelah makan gue mengambil koper di kamar. Dua sekaligus karena Ibu terlalu over memasukkan baju, jaket, celana dan barang-barang lainnya yang harus gue bawa. Sebelum pergi gue memeluk kedua orang tua gue dan mengecup keningnya pelan. Mereka tidak memberiku petuah lagi karena sepertinya sudah mereka berikan semalaman suntuk.
"Gio akan baik-baik saja. Telepon Gio kalau terjadi apa-apa!"
Mereka berdua mengangguk lalu gue pun masuk ke dalam mobil. "Siap berangkat, Pak?" tanya supir.
"Siap."
"Santai saja ya, Pak. Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet."
"Haha saya sudah terbiasa kok, Pak," kataku formal.
"Baguslah kalau begitu."
Kami melaju dalam diam. Supir itu menyetel radio untuk memecah keheningan. Salurannya berpindah-pindah. Sialnya, berhenti di saluran yang sedang membahas tentang hantu yang ada di perumahan kota Bandung. Gue tidak takut kok. Hantu itu cuma ilusi dan delusi. Mereka tidak nyata!
'Nah ini dia Pak Warto, tetangga yang sering mengalami kejadian aneh di malam hari. Jadi, gimana pendapat Bapak soal kejadian itu? Apakah ada hubungannya dengan rumah kosong yang sudah tidak ada pengungsinya itu?'
'Ekhemm ... jika ditanya ada hubungannya saya tidak bisa menjawab secara pasti karena tidak ada bukti kongkret. Tapi, dari yang saya lihat, selama dua bulan kemarin sudah 4 orang tidak tahan tinggal di sana. Katanya sih keran airnya sering tidak berjalan sehingga membuat mereka kesal karena ketersediaan air untuk cebok jadi sedikit.' Bagian ceboknya gak usah disebutkan kali, Pak! 'Yang menjadi pertanyaan saya, benarkah karena alasan itu? Saya pernah beberapa kali ke sana. Sungguh, energi yang ada dalam rumah itu kuat sekali. Manusia biasa pun pasti bisa merasakannya.'
'Manusia biasa? Maksudnya manusia selain indigo?'
'Ya. Hawa dingin tiba-tiba menusuk kulit padahal hawa sedang panas. Begitu pun sebaliknya. Itu membuktikan bahwa ada aktivitas metafisik di rumah itu.'
'Ya ampun! Lalu yang saya dengar Bapak pernah melihat kunti sedang bernyanyi nina bobo? Apakah itu benar?'
'Bisa dikatakan iya meskipun saya ragu itu hanya residual energi.'
'Jadi maksudnya bagaimana tuh, Pak?'
'Itu bukan kunti beneran. Karena dari yang saya lihat, kunti itu wajahnya terlihat berwarna. Itu berarti dia manusia. Mungkin, wanita itu adalah residual energi yang esensinya terekam ribuan hari yang telah berlalu. Di saat tertentu, entah karena saat itu bulan bersinar terang, kejadian yang pernah terjadi itu terputar kembali oleh energi kuat yang ada di sana.'
"Serem juga ya, Pak," kata gue berusaha mengajak ngobrol supir.
"Panggil saya Mas Jono saja. Nah seandainya, jika Bapak tinggal di rumah seperti itu, gimana perasaannya?"
"Gue berani kok!" Mas Jono memandang gue dengan alis terangkat. Gue bisa melihat dengan jelas di kaca spionnya. "Ma-maksud saya, saya berani kok. Lagian kan bisa saja Bapak itu mengada-ngada. Biar saluran radionya naik rating man bisa saja."
"Haha syukurlah kalau Bapak bukan penakut."
"Hehe hehehe."
"Mau dengar cerita saya soal hal yang berbau mistis?" katanya.
Sial! Gara-gara saluran sialan itu. Oke, siapa takut. "Tentu saja gak bo—maksud saya boleh banget."
Mas Jono tertawa kencang. "Yakin? Ini pengalaman pribadi saya soalnya."
"Ya sudah jangan."
"Lho katanya tadi mau."
"Ya sudah ceritakan!"
Mas Jono berdehan beberapa kali kemudian mulai bercerita. "Energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan. Energi hanya bisa dirubah dalam satu bentuk ke bentuk lagi. Itu bunyi hukum kekekalan energi."
Gue kaget. "Dari mana Mas tahu soalnya bunyi hukum kekekalan energi? Dan, apa maksudnya?"
"Saya tahu karena saya suka sama hal yang berbau mistis jadi—"
"Pak radionya matiin saja. Gak fokus saya," potong gue. "Terus menepi sebentar," lanjut gue. Mas Jono bingung namun tetap mengikuti perintah gue. Setelah mobil menepi gue pindah ke kursi depan. Bukan karena takut kok! Biar obrolannya lebih jelas saja! "Bapak sudah makan? Kalau belum makan saja. Saya siap menunggu kok."
"Sudah kok. Nah hubungan hukum itu sama cerita sa—"
"Serius? Makan dulu saja! Atau ngopi biar gak ngantuk?"
"Ah tidak saya bawa perpen kopiko, kok," jawabnya menyebalkan.
"Yakin? Permen mana kuat menghilangkan kantuk!"
"Tapi saya tidur jam 8 malam. Jadi, saya segar bugar sekarang."
"Oh oke. Kalau begitu mas mau merokok? Saya tenang kok. Nyantai."
"Bapak mau dengar gak sih? Atau jangan-jangan—"
"SAYA MAU KOK!" ucapku cepat. "Nah sekarang ceritakan!"
"Oke karena energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan dan hanya bisa dirubah dalam satu bentuk ke bentuk lain, itu bukan berarti energi tidak bisa dipindah tempatkan dan berkumpul di satu tempat."
Oke gue paham. "Lalu?"
"Energi itu ada yang negatif dan ada yant positif. Kata saya tadi, andai energi bisa berpindah dan berkumpul di satu tempat, bagaimana jadinya jika energi itu berkumpul di satu rumah yang jarang ditinggali?"
Gue menelan ludah beberapa kali. "Rumah itu berbahaya?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi tergantung kita menanggapi situasinya. Nah, jika energi negatif berkumpul di satu tempat—misalnya rumah—makhluk halus yang pada dasarnya punya kekuatan negatif, mereka bisa menampakkan diri. Kamu mengerti kan?"
Arghhh jadi begitu? "Oke saya paham, Mas. Jadi misalkan mobil ini penuh dengan energi dan aura negatif. Terus ada kunti mengikuti saya. Ada kemungkinan saya bisa melihat itu kunti?"
"Tepat!" Gue gak takut kok! "Yang ingin saya ceritakan adalah, ternyata ke mana pun saya pergi, kadang-kadang saya diikuti makhluk halus. Kalau tidak salah satu bulan yang lalu saya mengantar calon pekerja baru ke perumahan elit perusahaan. Nah saya belum menyadari saya diikuti karena energi di sekeliling saya kecil, baru ketika saya memasuki rumah itu, si kunti sialan yang mengikuti saya menampakkan diri. Padahal saya sedang beol. Serem gak tuh? Setan malah suka gak tahu diri ya. Dia gak jijik gitu melihat ... emmm ... ee saya?"
Cerita Mas Jono membuat gue berpikir keras. "Di mana rumah yang Mas kunjungi?"
"Di Bali."
"Oh oke." Gue gak takut kok. "Mungkin tuh kunti senang liat Mas lagi ee kali."
Peluh gue mulai keluar. Suasana di mobil ini mendadak mencekam. Gue merasa tengkuk gue selalu merinding. Ditambah Mas Jono tak henti-hentinya berbicara soal kunti, genderuwo, pocong dan lain sebagainya. Ceritanya membuat gue mual. Gue gak takut kok! Cuma ya, gue gak suka saja.
2 jam berlalu. Bayangkan, cerita masih tetap berlanjut! Sebegitu fanatikkah dia sama setan? Ada juga ya orang seperti Mas Jono. Padahal kan lebih bagus jika dia mempunyai hobi hiking. Jam 1 siang kami sampai di rumah baru gue. Mata gue berbinar. Rumah ini luas sekali dan bersih. Tidak menyeramkan, bahkan terkesan terang dan banyak cahaya. Namun, hal yang membuat gue bingung kenapa ada dua lantai ya? Bagian atasnya entah perasaan gue atau gimana, gue merasa lantai dua tidak seterang lantai bawah.
Hal yang membuat gue senang adalah gerbang rumah ini cukup tinggi. Dengan begini gue akan aman dari pencuri. Di bagian sisi rumah ini pun terdapat pecahan kaca dengan ujung yang sangat runcing. Itu artinya, selama gue mengunci gerbang, gue akan aman dari perampokan atau penculikan.
"Bagaimana menurumu, Pak? Bagus kan rumah ini?"
"Iya, Mas. Ini terlalu bagus! Sampaikan terima kasih saya pada Pak Daniel kalau Mas ketemu."
"Tentu. Pak Daniel berharap kamu betah tinggal di rumah ini. Bagaimanapun, sebagus apa pun rumah akan sayang kalau tidak ditinggali."
Gue lihat kembali rumah ini dengan saksama. Ternyata tidak luas, tapi karena punya lantai dua, maka terlihat luas dan besar. Baguslah. Percuma juga jika gue tinggal sendirian di rumah sebesar ini. "Kalau misalkan saya sewa housekeeper atau sejeniskan boleh kan?"
"Kalau masalah itu terserah Bapak. Ini sudah menjadi hak Bapak selama kontrak masih ada. Mau Bapak cat ulang bahkan menjual properti tidaklah masalah. Tertarik melihat-lihat ke dalam?" Gue mengangguk.
Ternyata benar dugaan gue. Rumah ini penuh cahaya. Setiap dinding di rumah ini berwarna putih susu dengan tirai tipis berwarna putih. Hal yang membuat gue tertegun adalah pekarangan belakang rumah ini. Meskipun tertutup, di mana setiap batasnya dibatasi dengan dinding tinggi menjulang sehingga gue tidak bisa melihat ke luar rumah, tapi halaman luasnya yang membuat gue sumringah. Di pekarangan belakang ini akan gue buat menjadi studio musik biola. Sayangnya, banyak sekali pohon besar yang cukup menakutkan.
Ditambah ruangan apa itu? Gue melihat ruangan sebesar kamar mandi di sebelah pohon mahoni. Mungkin nanti akan gue cek. Keseluruhan, rumah ini terlalu bagus untuk gue tinggali padahal ini hanya aset perusahaan.
"Terakhir," katanya pelan nyaris berbisik. Sial! Dia masih ingin membahas soal hantu, hantu dan hantu. "Hati-hati sama genderuwo. Dari semua setan yang pernah saya lihat atau baca, genderuwolah yang paling jahat dan mempunyai obsesi berkontak fisik dengan manusia."
Suara lirih nyaris tak terdengarnya membuat bulu kuduk gue merinding. Oke, angin bertiup kencang dan entah kenapa gue merasa dingin.
Ps.
Bab ganjil (1,3,5,7) dst ada di saya. Sedangkan bab genap (2,4,6,8) dan seterusnya ada di akun ahdaanca . Selamat membaca!
Aaarrrggghhh!!! Bab 1 : Rumah Baru
Preman Pasar : The Outside of Madness
Di Atas Awan
Semesta tahu, betapa egoisnya aku.
Malam ini kami semua berkumpul
di ruang tengah—kecuali Bang Zaki dan pacarnya. Apa sebenarnya yang terjadi
padaku? Kenapa aku merasa marah dan kesal ketika mereka berdua bermesraan di
kamar? Ah ... semesta tahu, bahwa perasaan marah dan kesal itu muncul karena
hati menolak untuk terluka, menolak untuk mengingat kembali sosok Reno, dengan
begitu harapan untuk tidak larut dalam kesedihan perlahan terobati karena ada
sosok yang menggantikan.
Kehilangan harus digantikan
dengan yang baru. Jika memang begitu, harus kepada siapa aku berharap? Bang
Zaki? Tidak tidak tidak! Aku tidak ingin dibodohi lagi. Feri? Haruskah? Kurasa
juga bukan. Pada akhirnya kini aku benar-benar sendiri. Satu-satu cara untuk
melupakan kesedihan ini adalah dengan menjadi diriku yang dulu. Aku yang apatis
terhadap perasaan. Aku yang hanya memikirkan pertemanan dan pekerjaan. Cinta
itu adalah pengekang. Padahal tanpanya, manusia bisa hidup sampai akhir hayat
yang dia punya.
"Theo, sekarang giliran
kamu."
Bersama mereka, teman-teman
baruku, sedikitnya aku bisa melupakan kesedihan soal hamilnya Enok. Tidak buruk
juga. Rasanya terlalu berlebihan jika aku menanggapi masalah percintaanku
dengan drama yang berlarut-larut. Sialnya aku masih saja merasa sedih. Untuk
itulah aku ingin segera pergi ke gunung. Lagian, aku penasaran kenapa Bang Zaki
selalu mengajakku ke gunung? Mungkin baginya naik ke puncak adalah hobi yang
sangat jantan. Entahlah.
Ngomong-ngomong sekarang kami
sedang main catur. "Skak," kataku. Dan aku sudah memenangkan
pertandingan sebanyak 10 kali.
Jam 1 dini hari kami semua
tertidur. Aku tidur di sofa dengan Feri. Hmmm sebenarnya sengaja haha. Aku
melihat kursi itu cukup untuk tiga orang jadi aku memintanya untuk bergeser.
Sambil menyelam minum air. Sambil tidur, bisa peluk-peluk Feri. Ternyata niat
mesumku itu membuat mata Bang Zaki melotot. Dia mempergokiku mencoba memeluk
Feri. "Hmmm ternyata kamu Theo jalang sebenarnya," desisnya pelan di
telingaku.
Bang Zaki benar. Aku jalang
sebenarnya. Mungkin otakku memang sudah nggak waras. Sudahlah. Aku menyerah.
Aku akan mencoba mengenyahkan cinta dan nafsu di kehidupanku.
***
Ternyata mereka berdua memang
pacaran. Buktinya, perjalanan menuju gunung Burangrang Bang Zaki satu motor
dengan Keke sedangkan aku dengan Bombom. Padahal kan aku sudah mengajak Bang
Zaki untuk satu motor denganku. Argh! Sudah Theo, fokus saja menikmati alam sekitar.
"Si Bos meni kayak anak kecil."
"Anak kecil? Siapa?"
"Hahaha nggak."
Perjalanan dari Lembang menuju
gunung Burangrang cukup jauh. Dari sini kami harus naik motor selama 1 jam
menuju daerah Parongpong kemudian terus ke bawah. Suhu kurasa tidak berubah.
Masih dingin dan sejuk. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku adalah ... awan
di atas sana sedikit mendung. Semoga saja tidak hujan. Aku—tidak tetapi
kami—sudah menantikan hari ini sejak kemarin. Aku tidak mau gagal hanya karena
hujan turun.
"Bom," kataku.
"Ya?" jawabnya.
"Sejak kapan mereka
pacaran?"
"Maksudmu si Bos?"
Aku mengangguk. Kulihat Bombom
di kaca spion. Sial, kenapa dia malah tersenyum? "Duh saya teh nggak ngerti ah sama kalian."
"Maksudnya?"
"Tidak. Ya mereka pacaran
sejak kamu memutuskan untuk selingkuh sama si Reno." Aku menyikut tubuh
gempalnya sedikit keras. "Sakit kampret!"
"Hmmm." Bang Zaki
melewati motorku. Dia tak melihatku sedikit pun meskipun aku sudah
memanggilnya. "Dia lagi marah?" tanyaku.
"Positif saja. Mungkin
tidak kedengeran. Kamu kan tahu kalau di motor itu suara orang-orang terdengar
kecil."
"Oh iya ya."
Lagi pula kenapa aku harus
sedih? Bukankah sudah kuputuskan akan kujadikan Bang Zaki sebagai sosok Abang?
Abang yang sesungguhnya. Dia pun sepertinya sudah menganggapku sebagai Adik.
Entah kenapa memikirkannya membuatku bahagia. Kata Ayah sih aku punya seorang
Kakak. Nahasnya, Kakakku telah meninggal bersamaan dengan Ibu dan Ayah saat
kecelakaan mobil beruntun puluhan tahun silam. Aku tidak pernah diberi tahu
lebih lanjut soal kecelakaan itu. Ayah hanya menjelaskan sebatas kecelakaan
mobil. Sudah itu saja. Ayah tidak menjelaskan bagaimana aku bisa selamat dan
bisa ada di tangannya.
Kami pun sudah sampai.
Sebenarnya aku merasa ragu, apakah tempat ini parkiran atau bukan, ternyata
jawaban Bombom sedikit membuatku tercengang. "Tempat ini sudah jadi milik
kopasus. Jadi hati-hati terhadap peluru nyasar, bisa-bisa si Bos nangis kalau
kamu mati la ..." Kalimatnya terhenti. Aku tidak bertanya lebih jauh
karena aku kaget ternyata lahan luas ini adalah tempat latihan kopasus.
"Serius!?"
"Ya," sahut Bombom.
"Jadi kenapa harus parkir
di sini?"
"Oh kita akan parkir di
mesjid. Semacam pesantren gitu, tapi nggak terlalu besar. Sekarang si Bos
sedang ngecek apakah ada orang di sana atau tidak."
Kami semua menunggu sementara
Bang Zaki pergi. 5 menit kemudian Bang Zaki mengacungkan jempolnya. "Tapi
gerbangnya ditutup. Hmm kita angkat saja motornya," sahutnya.
"Gila! Gimana kalau kena
marah?" sahutku. "Kita masuknya ilegal?"
Bang Zaki berbisik di
telingaku. "Sudah deh nurut aja, jalang."
Aku memandang Bang Zaki dengan
tatapan nista. "Heh, Bang. Aku bukan jalang ya," kataku.
"Terus apa namanya kalau
bukan jalang? Pake acara ngedeketin si
Feri segala."
"Lho hak dong. Kan biar
aku cepat move
on-nya."
Bang Zaki mengibaskan tangan
tidak peduli. "Jalang tetap jalang. Kalau kamu nggak tahu artinya ...
jalang itu lonte!"
Bang Zaki menyebalkan hari ini!
Dia kenapa sih? Oh aku tahu, mungkin karena Bang Zaki sedang datang bulan.
Sial! Harusnya dia jadi mood booster, bukan mood
broker! Atau ... ah benar.
Akunya yang terlalu sensi. Kalimat seperti itu seharusnya wajar diucapkan.
Bang Zaki menghampiri Keke
kemudian tertawa bersamanya. Sial! Aku merasa gak rela. Aku ingin Bang Zaki
yang dulu, Bang Zaki yang selalu memprioritaskan diriku. Huhuhuhu. Sungguh aku
nyesel deh. Kenapa aku gak milih laki kayak dia sih? Udah ganteng, baik, tapi
nggak deh! Sifatnya udah menyebalkan.
"Woi ayo kumpul!"
seru Bang Zaki. Kami semua berkumpul membentuk deret melingkar. "Nah
sebentar lagi kita akan pergi. Sebelum itu, ayo kita berdoa semoga kita semua
diberi keselamatan baik perjalanan menuju puncak atau setelah kembali nanti.
Berdoa dimulai." Ketika mengucapkan kalimat itu, mata Bang Zaki menatapku
cukup lama. Tatapan itu sulit kuartikan, yang jelas, kok aku merasa takut?
"Ini pertama kalian naik
ke gunung?" tanyaku ke Feri. Si jangkung ini menoleh kemudian menggeleng.
"Sudah beberapa kali ke
gunung Putri, tapi baru kali ini kita mau ke gunung yang lebih tinggi dengan
medan yang cukup ekstrem." Aku manggut-manggut. "Malahan si Bos ada
niatan buat naik gunung Semeru dan Bromo. Sayangnya, kami semua gak berani.
Terlalu jauh, ditambah karena kebanyakan pekerjaan kami dagang dan burung tani,
jadi gak nentu liburnya."
Hmmm aku baru tahu kalau
ternyata Bang Zaki maniak gunung.
"Nah ayo kita pergi.
Perempuan di tengah, saya di depan dan kamu Feri, kamu jaga di belakang."
Dug
dug dug ...
Aku tidak pernah sesemangat
ini. Rasanya aku mulai bisa menikmati. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku, mendung
menggelayut manja di atas sana. Seakan jika angin bertiup, hujan itu akan
langsung turun di celah-celah langit yang terbuka.
Aku memutuskan untuk menemani
Feri. Bukan karena aku ingin berduaan dengannya, tetapi dia orangnya cukup
asik.
Awal-awal, aku masih bisa
menikmati perjalanan ini. Aku masih bisa bercanda dan tertawa. Baru ketika 30
menit berlalu, nafasku sudah mulai ngos-ngosan. Tentu saja! Aku disuruh bawa
tas besar dan kayu dua jinjing sama Bang Zaki! Hmm mereka juga bawa
barang-barang sih. Tapi kan tidak terlalu berat.
"Jadi, Fer. Boleh minta
minum gak? Air punyaku ada di dalam tas, susah lagi kalau musti aku buka
sekarang."
Feri mengambil air mineral di
tas luarnya kemudian membukakan tutup botolnya. "Kamu lihat ke atas
saja," kata Feri. Aku tak mengerti. "Tangan kamu penuh, biar saya
saja." Oh sekarang aku mengerti. Aku menengadah ke atas kemudian membuka
mulut. Detik berikutnya Feri menumpahkan air mineral ke mulutku sedikit demi
sedikit. Romantis sekali, bukan? Haha.
"FER CEPAT! KAMU KETINGGALAN
JAUH!" teriak Bang Zaki membahana.
Aku melihat Bang Zaki menatapku
kemudian dia berpaling lagi sambil menggeleng. "Dia kenapa sih?
Akhir-akhir ini kok sering marah?"
"Masih kuat?" Sial.
Dia malah menanyakan keadaanku.
"Masih, Fer. Kalau nggak
kuat gendong sama kamu aja haha."
"Gila saya juga penuh
kali. Sudah yuk, kalau si Bos malah hutan ini bisa jadi lautan darah
haha."
"Haha mana bisa."
10 menit berlalu. Kami semua
istirahat di tanah luas dekat dengan pohon kayu putih. Bang Zaki menghampiriku.
"Gimana? Ada masalah nggak?" Huh, sok baik!
"Aku baik-baik aja, Bang.
Cuma ini jariku gak tahu kenapa tiba-tiba berdarah. Tapi udah men—"
"Mana?"
Bang Zaki langsung memeriksa
jariku. Dia membersihkan darah di jariku dengan kain yang ada di sakunya
kemudian tanpa kuduga Bang Zaki langsung mengulum jariku. Rasanya kasar, lembab
dan hangat. Aku bisa merasakan permukaan lidah Bang Zaki. "Gila kamu,
Bang!"
Bang Zaki memandangku.
"Kenapa?"
"Gimana kalau ada yang
lihat!?"
"Saya hanya mengobati. Air
liur bisa membunuh bakteri dan menyembuhkan luka dengan cepat." Bang Zaki
pun pergi ke depan. Aku mengejarnya.
"Maaf, Bang. Aku nggak
bermaksud ...," ucapku.
"Tidak masalah. Yuk
berangkat lagi!"
Kami semua berdiri, lalu mulai
berjalan penuh semangat. Aku kembali ke belakang, menemani Feri yang kini
sedang kesusahan menyalakan rokok. Dasar. Disaat seperti ini bisa-bisa dia
merokok. Padahal kalau mau, aku akan dengan senang hati memberikan 'rokokku'
padanya.
"Shit! Tanjakannya cukup curam,"
desis Feri.
"Gila! Mana jalannya licin
lagi," kataku.
"Hati-hati barudak!"
seru Bang Zaki yang artinya hati-hati kawan-kawan!
Baru saja Bang Zaki mengucapkan
itu, ketika aku naik, aku sudah terjatuh ke bawah karena licin. Untungnya
mereka tidak melihat karena sebisa mungkin aku tidak teriak. Hanya saja Feri
melihatnya dan dia langsung turun untuk membantuku.
"Tangan kamu berdasar,
Theo. Duh pasti kena ranting. Masih kuat jalan?"
"Iya masih kuat kok.
Tolong jangan kasih tahu mereka ya. Aku gak mau jadi penghambat."
"Tapi—"
"Aku mohon, Fer. Aku masih
kuat." Padahal nyatanya, anjrit anjrit anjrit! Kakiku perih, mungkin keseleo, dan
pundakku sedikit ngilu. Jari jemariku mencengkram tali yang mengikat kayu,
bahkan rasanya aku ingin meninju awan saking sakitnya. Anehnya, di saat seperti
ini aku malah bisa naik ke atas dan tidak terjatuh. Argh!
"Mereka sudah nggak
kekihatan," lirihku.
"Iya karena jalan di
gunung kan biasanya kayak labirin. Dibatasi pohon dan tumbuhan yang menghalangi
pemandangan. Jarak 10 meter saja mereka bisa langsung menghilang."
"Kalau gitu kamu duluan
saja deh."
"Haha ucapan macam apa
itu? Yang ada saya dibunuh sama si Zaki."
"FERI KAMU JANGAN
LAMBAT!"
"Tuh kan? Dia udah
teriak-teriak," ucap Feri sambil tertawa.
"Baiklah." Kami
berdua pun berjalan sedikit cepat, mencoba menyusul Bang Zaki dan
teman-temannya. Sayangnya kami tidak menemukan mereka. Mungkin karena jalannya
berkelok-kelok, ditambah dengan keadaanku saat ini.
"Argh!" Aku meringgis
ketika kakiku tak sengaja terbentur kayu tumbang. Sial sial sial! Aku menaruh
kayu dan tenda di bawah kemudian meninju angin sampai aku merasa puas.
"Apa yang kamu lakukan?
Hahahaha."
"Eh? Haha jangan lihat.
Aku sedang kesal."
"Dengan meninju
angin?"
"Iya."
"Hahahaha kamu mengingatkan
saya pada seseorang Theo. Oh iya, muka kalian juga mirip," ucapnya.
"Tidak hanya mukanya, nama kalian juga mirip.
"Oh ya? Nama dia Theo
juga?"
"Ya, dia mantan geng kita,
hanya saja dia suday nggak a—"
"FERI! DALAM 5 MENIT KAMU
NGGAK KE SINI, AKU BANTING KAMU!" teriak Bang Zaki kencang. Gaung? Sial!
Itu berarti jarak kami dan Bang Zaki lumayan jauh!
"Sepertinya kita harus
cepat."
"Kamu benar."
Kami berjalan—nyaris
berlari—mengikuti jalan setapak. Kakiku melangkah takik demi takik, belokan
demi belokan, hingga di belokan itu akhirnya jalan lurus. Ternyata mereka
sedang duduk di tanah sedikit terbuka sambil melihat ke arah kami. Sebisa
mungkin aku berjalan normal, dan menyembunyikan langkah pincangku. Kukira
aktingku berhasil. Nahasnya, ketika aku akan berteriak menyapa mereka, Bang
Zaki langsung berdiri kemudian melesat pergi ke arahku. Aku kebingungan.
Akhirnya aku berhenti sambil memandangnya yang tengah berlari.
"Bang kamu ke—"
"SUDAH SAYA BILANG! KALAU KAMU
KENAPA-KENAPA BILANG!" Aku tak pernah melihat Bang Zaki semarah ini. Aku
takut. Bahuku gemetar. Tanpa sadar, teman-temanku yang lain sudag
mengerubungiku. "SIMPAN!" serunya sambil menunjuk tas, kayu bakar dan
tenda.
Bang Zaki menaikan celana training-ku,
membuat mereka—termasuk aku—terkejut ketika melihat lebam biru dengan darah
yang sudah mengering. Hal itu membiat tatapan Bang Zaki semakin ganas. Dia
menggeram lalu menatap Feri yang sedang garuk-garuk kepala. "FER APA
MAKSUDNYA INI!?"
"Jangan salah dia, Bang.
Aku yang memerintahkan Feri buat—"
"Kamu diam saja,
Theo!"
Bang Zaki marah! Ya Tuhan ya
Tuhan ya Tuhan. Aku takut aku takut aku takut. Gimana ini? Rasanya aku ingin
menangis.
"Errrrrr ... maaf, Bos.
Saya—"
"Saya apa!? Kamu sengaja
hah!? Apa karena dia baru di sini!? Bedebah!" Aku bisa melihat semua orang
di sini ketakutan. Argh! Rasanya aku ingin menangis, tapi aku malu. Harga
diriku mau ditaruh di mana?
"Maaf, Bang," ucapku
dengan nada gemetar. "Maaf sudah jadi penghambat—"
"APA!? KAMU BILANG APA!?"
Bombom langsung menghampiriku.
"Hush jangan bilang gitu. Bisa-bisa dia semakin marah," bisik Bombom.
"Penghambat."
"Theo! Jangan bilang
gitu!" Bombom mengguncang-guncangkan bahuku.
"UCAPKAN SEKALI LAGI, KAMU
BILANG APA!?"
Aku ketakutan. Serius. Mata Bang
Zaki tajam menatapku. Lebay nggak sih kalau aku ingin pingsan saja?
"Sudah Ki, daripada
mempermasalahkan itu, lebih baik kita obati saja dia," ucap Keke. Dia
tersenyum padaku kemudian memapahku ke arena luas tadi.
Arrrghhhhh
Keke, aku akan mentraktir kamu!!!
Aku gak mau bertemu Bang Zaki!
Apa-apaan dia itu? Marahnya lebih menakutkan daripada setan!
Di sana, aku disuruh duduk
kemudian minum air mineral. Mereka semua masih mengerubungiku, termasuk Bang
Zaki. Kucoba untuk menatap matanya. Sial. Aku tak kuasa. "Arrghh!"
erangku ketika Keke membersihkan luka di tanganku dengan air.
"ARGHHH!" teriakku ketika Keke meneteskan betadine cukup banyak.
"Lukanya cukup
dalam," ucapnya.
"Anjrit," balasku.
"Bakal ninggalin bekas gak?"
"Lho? Kok kamu malah
mengkhawatirkan hal itu? Kamu nggak takut kamu akan mati?"
"Lho!? Jadi luka ini bisa
membuatku mati!?"
Sontak mereka semua tertawa,
tetapi tidak dengan Bang Zaki.
"Hahahahaha kamu ini lucu,
Theo. Sudah ah sekarang tinggal kaki."
"Hmmm bisa diskip?"
"Kenapa?"
Aku malu menjawab perih jadi
aku tidak menjawab. Lagi, tanpa kuduga Bang Zaki menumpahkan air mineral di
kakiku kemudian dia pegang kakiku kuat. Sontak aku berontak. "Bang, Bang,
kamu mau apa?"
"Diam!"
"Bom tolong! Bom!"
Tangan Bang Zaki semakin kuat mencengkram kakiku. "BANG ZAKI JANGAN! FER!
TOLONG AKU, SIAPAPUN, BANG HENTIKAN," racauku takut. Mereka semua semakin
tertawa terbahak-bahak. "BANG ZAKI HENTI—AAAARRGGGGHHHHH!" teriakku
membelah angkasa. Bahkan Bang Zaki sempat menutup telinganya.
"Sakit?"
"Gila sakit! Mending aku
dihantam balok lagi daripada ..." Aku tak melanjutkan kalimatku ketika
tatapan tajam itu muncul lagi. Hasilnya, syukurlah tidak terlalu perih. Tinggal
rasa nyeri yang diakibatkan lebam biru di kakiku, selebihnya aku baik-baik saja.
"Yuk kita berangkat, aku
sudah tidak kenapa-kenapa."
"Ayo kita lanjut, takut
keburu hujan," ucap Bang Zaki. Dia memindahkan tasnya jadi depan kemudian
memasukkan 10 botol air mineral ke dalam tas. "Sekarang ... kamu
naik."
"He? Maksudnya?"
"Cepat naik!"
"Serius? Nggak ah aku
masih kuat."
Bombom lagi-lagi berlari ke
arahku. "Cepat naik Theo, atau dia akan marah lagi."
"Tapi kan ..."
"Ayo buruan. Tuh matanya
udah mulai mau keluar."
"NAIK!"
"I-iya." Aku pun
digendong Bang Zaki. Sebenarnya aku merasa malu, tapi karena tidak ada yang
mentertawakan kami, akhirnya aku bisa merasa lega.
"Ayo kita pergi,"
kata Bang Zaki.
Bombom, Feri dan Toni
menghampiri kami. "Tasnya biar kami saja yang bawa."
"Iya bener, Bos. Saya
yakin Bos kuat, tapi buat berjaga-jaga saja. Jalanan kan licin, kalau bos
terluka, nggak ada yang sanggup buat gendong Bos."
"HAHAHAHAHAHA." Kali
ini aku yang tertawa. Hmmm ... hanya aku.
"Bener Bos."
Jadinya tas Bang Zaki diambil
Bombom, tenda diambil Feri, dan kayu bakar yang dipegang olehku diambil Toni.
"Yo yo yo kita
lanjut."
Bang Zaki memilih ada di urutan
paling belakang. Meskipun tadi ketakutan, entah kenapa sekarang aku tersenyum.
Betapa baiknya Bang Zaki ini. Ditambah rasanya aku betah ada di gendongannya.
Bagaimana tidak? Bang Zaki memakai kaos sangsang, semacam
kaus tipis tak berlengan, topi hitam, celana tentara pendek selutut, dan jaket
yang dia sampirkan di pinggang. Pakaian yang dia kenakan membuatnya lebih
tampan 1000 kali lipat! Serius lho. Wajahnya menurutku terlalu sempurna. Lalu
sekarang aku ada di gendongannya? Dengan tangan dan mata leluasa menjajahi
punggung lebar penuh ototnya?
"Bang," ucapku.
"Hmmm."
"Maaf."
"Iya, jangan diulangi
lagi. Kalau ada masalah bilang saja."
"Iya, Bang."
Kami mulai berjalan. Lagi ...
lagi ... dan selalu lagi ... semesta sepertinya tahu bahwa aku sangat bahagia
detik ini.
"Theo."
"Ya?"
"Lupakan."
"Tubuh kamu bau,
Bang," kataku. "Tapi aku menyukainya. Bau laki-laki hehe."
"Benarkah?"
"Kok bau tubuh kamu kayak
parfum, Bang?"
"Cium saja kalau kamu
menyukainya."
DUG.
Preman Pasar : TOOM #12
Preman Pasar : The Outside of Madness
Roti Sobek Milik Zaki
Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan
mengadu ke Bang Zaki ya wkwk.
Dan itu si Theo ketika nangis di hadapan Bang Zaki. Kok sosweet ya 😢 lihat wajah si Theo :( ikut sedih. Terus lihat si Zaki :( tatapannya dan jambangnya itu lho.
Dan ini ... ah udahlah. Gak tahan lihat Zaki haha.
Tekan
bintang kalau suka, kalau nggak ... btw add akun line aku ya. solitude_
Sorry
ya yang nggak kebalas komennya. Bingung soalnya komennya ada yang kelelep. Gitu
aja. Sekarang ... sok gera baca terus komen komen komen! Haha.
Kesel! 4 kali publish babnya ilang mulu! Sial
sial sial! Ini kok makin error ya? Malah jadinya males update! Huh, apalagi
tadi sore! Nulis panjang eh pas dipiblish ilang semua! Jadinya percuma kan!
Sabar ... sabar ... sabar ...
Noh itu artinya udah update kan?
Dan sekarang
ginj lagi!? Sabar ... sabar ...
" ... mulai sekarang saya
tidak akan membiarkanmu menderita."
Kalimat itu terus
terngiang-ngiang di dalam pikiranku, semakin membuatku bersalah. Lama kami
berdua ada di posisi ini. Aku menangis di dadanya yang bidang sementara dia
mengusap kepalaku lembut. Entah kenapa, mendadak aku merasakan sebuah
kenyamanan yang tak bisa kuutarakan. Aku merasa utuh dan lengkap. Sebagai
seorang pria, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan sosok Bang Zaki yang begitu
sempurna. Fisiknya, hatinya, sikapnya.
"Sampai kapan kita akan
berdiri di sini? Kaki saya mulai pegel, Theo."
Kitinju dada bidangnya pelan.
Dasar tidak peka! Aku kan masih berkabung atas meninggalnya harapanku hidup
bersama Reno. Detik berikutnya kudorong Bang Zaki dengan sekali hentakan
kemudian kubalikan badan untuk melihat langit. "Abang masuk saja. Aku di
luar."
Bang Zaki memelukku dari
belakang, memberiku kehangatan, memberiku kekuatan. Jika dulu aku yang selalu
melakukan itu, akhirnya kini ada seseorang yang melakukannya padaku.
"Jadilah istri yang baik, Theo. Bukankah sudah menjadi kewajiban sang
istri untuk mematuhi perintah suaminya?"
DUG.
Aku merasa hatiku tersentil.
Mukaku memerah saking malunya tetapi entah kenapa kalimat receh Bang Zaki
membuat genderang perang di alam hatiku. Jangan bawa perasaan, jangan bawa perasaan,
jangan bawa perasaan. Sayangnya
aku merasa tersentuh. "Sialan kau! Istri katamu? Abang kelewatan
bercandanya."
"Lho? Kamu nggak mau jadi
istri Abang?"
Demi apapun. Aku yang tadinya
sedih dan masih mengharap Reno, kini dibuat blushing oleh
kalimat gombal Bang Zaki. "Nggak."
"Ya sudah kalau
begitu." Bang Zaki pun pergi masuk ke dalam. Heeeeeeh? Hanya segitu? Aku
kesal! Tetapi aku masih ingin diam di luar memandang langit. Rasanya tak etis
dan tak sopan kalau aku tidak masuk, padahal aku sudah mengganggunya
malam-malam begini. Entahlah. Aku hanya merasa belum siap memulai lembaran baru
secepat ini. Lagi pula Bang Zaki sudah mempunyai pacar perempuan bernama Keke
kalau aku tak salah dengar. Aku tak ingin merasakan sakit untuk yang kedua
kalinya.
Tak terasa satu jam berlalu.
Haruskah aku pulang? Lagi pula Bang Zaki tidak keluar lagi menemuiku. Mungkin
ucapannya tadi hanya lelucon semata. Sial. Seharusnya aku tak ke sini.
Seharusnya aku bergabung bersama Bombom, Feri dan teman-temanku yang lain di
markas. Tak sepatutnya aku ada di sini setelah apa yang aku lakukan padanya.
Aku pun menyalakan kembali motorku. Bunyinya membuat Bang Zaki keluar sambil
memandangku dengan mulu terkatup rapat dan rahang mengeras.
"Kembali lagi ke sini atau
saya hancurkan motor sialan itu!" Untuk pertama kalinya aku melihat Bang
Zaki marah. I
mean, marah yang terlihat
seksi, bukan marah menakutkan seperti ketika dia memperkosaku di bulan Januari?
Atau Februari? Entahlah aku sudah lupa.
"Galak amat," kataku.
Bang Zaki menggeram. Dia
merebut kunci motorku kemudian dia masukan ke dalam celananya. "Sikap kamu
ya, untung sayang, coba kalau nggak? Sudah saya pukuli kamu."
"Apa!? Pukuli!? Dasar
preman!"
"Cepat masuk! Atau saya
kunci sekarang juga."
"Iya iya bawel amat jadi
cowok." Kami berdua akhirnya masuk ke dalam. Rumah ini masih terlihat
menyeramkan dan kosong. Kadang aku merasa aneh kenapa Bang Zaki bisa betah
tinggal di tempat seperti ini. "Bang kamu nggak akan membunuhku,
kan?" celetukku takut.
"Ya saya akan
melakukannya."
"Hahahahaha nggak
lucu."
"Hanya orang bodoh yang
menganggap ucapan itu adalah lelucon."
"Ish kok jadi galak."
"Arghh sudah deh Theo kamu
jangan banyak omong."
"Tapi kan—hmmmp!"
Bang Zaki membekap mulutku kemudian menggiringku pergi ke atas menuju
satu-satunya kasur yang ada di rumah ini. "Cara terbaik meringankan
masalah adalah dengan tidur." Perlahan Bang Zaki melepaskan jaket, baju
dan celanaku hingga menyisakan boxer saja. Dia juga melakukan hal yang sama,
melepas baju dan celananya.
Kini kami berdua berbaring di
atas kasur dengan posisi telentang. "Andai bisa, Bang. Aku sudah
melakukannya dari tadi. Tapi sialnya aku nggak bisa. Mataku terpejam tapi
kesadaranku masih terjaga. Apa yang harus aku lakukan, Bang?"
"Yang perlu kamu lakukan
hanya pejamkan mata kemudian lupakan semuanya. Pikiran kamu masih terjaga
karena kamu enggan melupakan hal yang menjadi keinginan kamu. Lupakan Reno,
lupakan semua mimpimu sekarang juga. Sekarang kamu nggak marah kan kalau aku
sebut dia dengan panggilan jalang?" Hatiku kembali terhimpit. Mimpi? Ah,
ya. Aku pernah ingin membangun mimpi bersama Reno di kemudian hari. Kuhirup
nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan pelan. Ternyata mimpi itu gampang hancur
hanya dengan satu waktu dan kedipan mata saja.
"Ya, panggil dia jalang
sesuka hatimu, Bang. Kini aku tak akan marah."
"Jalang jalang jalang
jalang jalang lonte. Reno lonte Reno lonte. Hahahahaha."
"Ish hahaha." Lalu di
sinilah aku, tak mempercayai tawaku bisa keluar setelah apa yang terjadi padaku
barusan. "Jangan deh Bang. Mulut kamu terlalu bersih untuk berucap kotor
seperti itu. Gak enak didengarnya. Hmmm aku coba tidur ya Bang." Aku pun
menggerakan tubuhku untuk memunggunginya. Bang Zaki langsung memelukku, lagi,
membuatku nyaman dan damai. Menit pun berlalu. Menggulirkan malam kelabu
menjadi biru. Nafas yang berembus ini entah akan seirama dengan nafas siapa,
aku tak tahu. Yang aku tahu sekarang ... aku membencinya ... sekaligus
mencintainya. Jika mencintai adalah suatu kejahatan, kurasa aku telah menjadi
penjahat terkejam karena telah mencintai Reno sebegitu dasyatnya. "Pacarmu
nggak akan marah, Bang? Sebaiknya kita jangan terlalu dekat. Jadilah Abangku
saja. Bagiku sudah cukup. Terima kasih ya, Bang. Sudah mau menerimaku
kembali." Pelukannya semakin mengeras, bahkan sesaat membuat nafasku
sesak. Aku tak tahu apa artinya tetapi akhirnya aku bisa tertidur juga.
***
Warning! Beberapa paragraf berikutnya ada adegan
sedikit dewasa. Kalian bisa lompat paragraf dan cari tanda ***. Bijaklah ketika
membaca tulisan. Yang masih di bawah umur hush hush pergi.
Aku melihat Reno menghampiriku.
Tatapannya terlihat sendu, begitu pun dengan raut wajahnya. Apa yang harus aku
lakukan? Apalagi, sudah jelas aku harus pergi. Ketika aku berlari, aku
merasakan tangannya yang besar itu menahan bahuku. Kami berdua pun terlibat
percakapan yang entah membicarakan apa, yang jelas aku marah dan ingin meninju
mukanya. Lalu sesaat aku dibuat bungkam ketika mulutnya berkata, "Ayo kita
lakukan sekarang. Saya sudah siap."
Reno menggiringku menuju rumah
pohon. Ketika kami berdua sudah ada di atas, Reno perlahan menurunkan
celananya, bajunya, hingga tak menyisakan sehelai benang pun di tubuhnya.
"Ren, aku mau pergi."
"Jangan begitu. Saya sudah
siap," jawabnya.
Melihat diriku hanya diam saja
melihat Reno, dia pun perlahan menanggalkan semua pakaian yang melekat pada
tubuhku. Dia tersenyum dan terus membisikan kata : saya sudah siap. Tanpa
kuduga, Reno membaringkan tubuhku lalu dia mengulum batang panjangku
pelan-pelan. Aku mengerang. Hisapannya membuat tubuhku melayang.
Sudut bibirku tertarik ke atas.
Langsung hempaskan tubuh Reno menjadi di bawahku. Penis kecilnya yang sebesar
cabe itu terlihat imut dan lucu. Langsung kukulum pelan hingga dia mengerang
kenikmatan. Semua batangnya masuk ke dalam mulutku, precumnya mulai membasahi
lidahku dan rasanya nikmat sekali. Aku tak pernah merasakan kenikmatan seluar
biasanya sebelumnya. Seakan semua partikel dalam diriku terpacu untuk ikut
merasakan sensasi luar biasa ini.
"Argh!" erangnya. Dia
kembali membalikan tubuhku menjadi di bawah. Dia angkat kakiku dengan tangannya
kemudian dia masukan penisnya ke dalam anusku. Hal itu tentu saja membuatku
berontak. Aku tak mau menjadi gawang, aku inginnya jadi penyerang. Tetapi Reno
tak melepaskannya begitu saja. Bahkan dia menamparku beberapa kali, membuatku sedikit
takut, namun masih bisa menikmati sensasi luar biasa ini.
"Ren, jangan."
"Diam!" sentaknya.
"Tapi—"
"Saya biang diam!"
Kini Reno memaksaku
memposisikan diri seperti anjing. Dia kembali menusukku sambil mencium leherku
kasar. Saat kuputar kepalaku, aku bisa melihat keringatnya bercucuran. Namun,
betapa terkejutnya diriku ketika melihat di ambang pintu ada Enok sedang
memperhatikan kami berdua dengan tatapan bengis. Aku gelagapan. "Ren, itu
ada si Enok! Kamu lupa mengunci pintunya!? Ren ayo kita berhenti!"
racauku.
"Biarkan saja."
"Ren!"
"Kamu berisik amat,
Rey."
"Tapi—"
"Argh!" serunya.
"Nok ke sini!" panggil Reno.
"Iya, Ren?" jawabnya.
"Ayo kamu gabung saja.
Bungkam tuh mulut si Rey dengan pussy-mu." Mataku membelalak. Enok
membuka celana dan bajunya kemudian dia paksa mulutku untuk menjilati alat
kelaminnya.
"Fuck!
Fuck fuck fuck! Apa yang kamu
lakukan—hmmmp!" di saat kepalaku di arahkan oleh Reno dan Enok untuk
menjilati alat kelaminnya, aku melihat Reno dan Enok ciuman. Melihatnya membuat
air mataku keluar. Aku sudah tak ingin melanjutkan.
"Ren hentikan. Ren ... Ren
... Ren ..."
***
"Theo? Theo bangun. Theo?"
Pandanganku gelap. Aku bisa
melihat siluet hitam sedang mengguncangkan tubuhku. "Reno?"
"Saya Zaki. Kamu mimpi
buruk, Theo. Saya ambilkan minum dulu, kamu tunggu sebentar."
Beberapa detik kemudian lampu
menyala. Aku melihat tubuh besar Bang Zaki berjalan pelan menuju dapur. Di area
pantatnya banyak sekali bulu, aku bisa melihat di antara sela celana dalamnya.
Sesaat setelah Bang Zaki kembali, kupejamkan mata sebentar, mencoba
menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku. "Sial. Barusan aku
mimpi buruk, Bang. Sangat buruk."
"Yakin mimpi, buruk?"
tanyanya sambil mengerlingkan mata. "Yang saya dengar kamu mendesah, 'ah
Ren, ah ... Ren ... hentikan ahhhh—"
"Bang!" seruku marah.
Meskipun marah aku terkejut. Suara desahan Bang Zaki barusan membuatku
merinding. Begitu berat dan renyahnya suara yang dia hasilkan. Hasilnya?
Jantungku berdegub dengan kencang. Aku ingin mendengar suara desahan itu lagi.
Sayangnya tak mungkin aku memintanya langsung, bisa-bisa Bang Zaki memandangku
aneh kemudian tertawa mengejekku. Mana ada seseorang terangsang hanya karena
mendengar suara?
"Ini minum," ucapnya.
Aku mengambil air putih di
tangannya kemudian kuminum dengan sekali tegukan. "Terima kasih,"
kataku.
"Ayo kita tidur
lagi."
Kali ini Bang Zaki tidur
memunggungiku. "Tadi aku mimpi bersenggama dengan Reno. Syukurlah kamu
membangunkanku, Bang." Tak ada balasan. "Karena di mimpi itu, Reno
memaksaku untuk bersenggama juga dengan pacarnya."
"Theo tidur, sekarang
masih jam 1 dini hari."
"Gak ngantuk, Bang. Kita
ngobrol saja."
"Nggak, kamu harus
tidur."
"Ya sudah Bang Zaki tidur
saja." Hening. "Kapan ulang tahun kamu, Bang?"
"Hari ini," jawabnya.
"Serius!?"
"Ya."
"Haha kamu pasti
bohong."
"Ya sudah kalau kamu nggak
percaya."
"Serius!?"
"Ya."
Hening lagi.
"Ulang tahun yang ke
berapa Bang kalau boleh tahu?"
"Ke-29 tahun. Saya sudah
tua hahaha." Bang Zaki mengganti posisinya menjadi menghadapku.
"Sudah jadi Om-om
hahahaha." Bang Zaki memukul kepalaku pelan. "Sakit dodol! Hmmm jadi
beneran ulang tahun hari ini?" Samar aku melihat Bang Zaki mengangguk.
"Kalau begitu aku akan menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat
ulang tahun. Selamat ulang tahun Bang!"
"Terima kasih."
"Jadi apa harapan di hari
spesial kamu, Bang?"
"Saya berharap dia
peka."
"Maksudnya pacar
Abang?" Dia tak menjawab.
"Menurutmu?"
"Ya pasti pacar Abang yang
cewek itu lah."
"Haha saya benar-benar
memohon pada Tuhan berharap dia menjadi orang yang peka."
"Aamiin."
Hening lagi. Satu-satunya suara
yang terdengar adalah suara angin di luar sana.
"Maaf aku gak bisa kasih
hadiah, Bang. Aku nggak mungkin pulang ke rumah untuk ngambil uang. Aku sudah
bilang pada Ayah kalau aku akan pergi selama 3-5 hari. Jadi, sebagai gantinya
besok aku akan melakukan semua permintaanmu, Bang." Bang Zaki mengacak-ngajak
rambutku sambil tetawa.
"Apa alasanmu pergi ke
ayah kamu?"
"Pergi naik gunung."
"Kalau begitu besok kita
akan naik gunung."
"Lho kenapa?"
"Kenapa? Jelas bukan,
supaya kamu nggak jadi anak nakal hahaha."
BUGH!
Aku memukul dada bidangnya. Ya
Tuhan, sepertinya pukulanku cukup keras sehingga membuat Bang Zaki merintih.
Sialnya, aku menyukai suara Bang Zaki ketika kesakitan seperti itu.
"Maaf hehehe."
"Tak apa," balasnya.
"Hmmm maksud saya, kalau ada orang yang lihat kamu bersama saya, nanti
kamu akan dapat masalah."
"Jadi maksud kamu tidak
akan ada masalah kalau aku pergi ke gunung sesuai alasan yang telah aku buat?
Meskipun aku perginya sama kamu, Bang?"
"Yap! Anak pintar."
BUGH!
"Argh!" erangnya.
Sial. Aku menyukainya aku menyukainya. "Sakit kampret!"
"Hehehe. Kalau begitu ayo
kita ke gunung."
"Nggak masalah kan kalau
saya ajak teman-teman saya?"
"Teman-teman siapa?"
"Bombom, Feri,
semuanya." Aku tercenung. Bang Zaki menyebut mereka dengan panggilan
teman-teman, bukan anak buah. Betapa baiknya Bang Zaki ini.
"Tentu saja. Banyak orang
lebih baik. Pasti seru, Bang. Aku nggak sabar pengen cepat-cepat ke sana. Kalau
begitu ... gunung mana yang akan kita daki?"
"Gunung Burangrang."
Gunung Burangrang? Gunung yang
curam itu? Gunung yang ... jauh itu? Sepertinya akan seru. Cara terbaik untuk
melupakan masalah adalah bersatu dengan alam. Ayah pernah mengatakannya padaku.
Kalau begitu, aku akan sangat berterima kasih pada Bang Zaki. Aku tak akan
membiarkan siapapun menyakitinya. Tak akan pernah.
***
Jam enam pagi kami berdua pergi
menuju rumah Bang Zaki. Ketika sampai di sana, Bang Zaki langsung berteriak
lantang soal rencana pergi ke gunung Burangrang. Hampir semua orang di ruangan
ini antusias, meskipun ada beberapa orang apatis dan tak tertarik. Alasannya
simpel yaitu mereka harus bekerja. Ngomong-ngomong bukankah Bang Zaki harus
bekerja juga ya?
Persiapan pergi ke gunung
diluar dugaanku, kukira akan selesai selama satu atau dua jam, ternyata
membutuhkan waktu satu hari. Sial. Hal itu membuatku kesal. Bagaimana tidak?
Aku ingin segera naik ke puncak sementara mereka masih asik membicarakan makanan
apa yang akan mereka bawa, pakaian apa yang akan mereka kenakan dan hal-hal
memuakkan lainnya. Bang menyadari kekesalanku. "Hari ini kamu tidur saja
di sini. Beberapa orang akan menginap, jadi tidak masalah kan?"
"Iya tidak masalah, Bang.
Aku cuma ingin cepat-cepat pergi ke sana. Ngomong-ngomong pacar kamu ikut,
Bang?"
"Pacar?"
"Itu lho si Keke."
"Oh. Ya, dia akan
ikut." Aku terdiam. Bukannya aku ingin dia untuk nggak ikut, tapi aku
takut Bang Zaki jadi lebih sering berduaan dengannya karena aku ada niatan untuk
bercerita soal unek-unekku tentang dunia hombreng.
Jam 8 malam aku memutuskan
untuk tidur. "Theo kamu mau ke mana? Sini gabung sama kita main
kartu."
"Sorry, Fer. Aku takut menang."
"Halah mana mungkin kamu
menang. Coba sini, kalau kamu menang aku buatkan masakan ala-ala bule."
Aku tertawa. "Masakan apa,
tuh?"
"Caesal salad? Atau kamu
suka Gamberi Aglio e Olio nggak?"
"Sip. Aku suka yang
kedua."
Oh ya, Feri itu chef. Dia bekerja di rumah makan ala-ala western gitu. Hmmm bukannya cowok yang
bisa memasak itu hawt ya?
Haruskah aku dekati dia? Mungkin iya, supaya aku bisa melupakan Reno. Tapi ...
kok aku kapok ya. Takut dia straight dan aku takut dia ngebuntingin lagi
perempuan secara diam-diam. Harusnya aku pilih Bang Zaki saja yang udah
jelas-jelas homo atau paling nggak bisex. Masalahnya dia sudah punya pacar
sekarang. Aku gamang. Sedih juga sih. Seharusnya aku pilih Bang Zaki saja sejak
dulu. Dia itu tampannya membelah lautan. Bodohnya aku. Apalagi sih yang kurang
dari dia? Salah satu poin utama ketika mencintai adalah fisiknya yang aduhai.
Aku tidak akan munafik, kalau aku ingin mempunyai pacar yang ganteng. Kalau
dipersentasekan, aku menaruh fisik di 49 % dan hati 51%. Dan fisik Bang Zaki
jauh-jauh lebih ganteng dari siapapun di kampung ini. Hanya saja, karena aku
lebih mementingkan hati--jumlahnya ada 51 %--maka aku pun memilih Reno.
"Main cacangkulan (cangkulan) bisa kan?"
"Serius kita akan main
itu? Gak poker atau--"
"Theo!" potong Bang
Zaki.
"Dipanggil tuh."
"Ya, Bang?" sahutku
sedikit kesal. Aku kan lagi main.
"Ke sini sebentar!"
"Iya!" aku
menghampiri Bang Zaki yang sedang terkurap di atas kasur.
"Kata si Bombom kamu
pintar mijit?"
"Gak terlalu pintar sih
tapi bisalah. Aku sering mijitin Ayah kalau dia sedang capek."
"Kalau begitu pijitin saya
sekarang juga."
"Heeee? Aku mau main,
Bang."
"Ya sudah nggak
jadi," balasnya.
Aku mengembuskan nafas dalam.
Kukira dia akan memaksa tetapi tidak. "Iya-iya aku pijitin. Minyaknya ada
di mana? Kalau nggak ada kayu putih saja."
"Di atas nakas."
Setelah mengambil minyak di
atas nakas, aku membuka baju Bang Zaki pelan. Mataku langsung terpana. Betapa
maskulinnya dia. Penuh otot di sana-sini, dan banyak bulunya. Banyak parut juga
di daerah pinggang. Pasti bekas perkelahian. "Bang kok banyak parut
sih," ucapku.
"Hmmm parut itu adalah
bentuk kejantanan seorang pria, Theo. Kalau terlalu mulus kan patut
dipertanyakan apakah dia punya kont--"
"Stop! Jangan bicara jorang aku nggak suka."
"Haha. Kamu juga bukannya
punya parut ya tuh di pelipis?"
"Ini?" Aku memegang
pelipisku. Luka yang disebabkan oleh musuhnya Bang Zaki bernama Sanga. "Ah
ya, aku juga punya bekas luka."
"Kamu semakin tampan
dengan bekas luka itu. Terlihat lebih jantan dan sangar. Malahan saya ingin
punya bekas luka di arena wajah, biar lebih keren gitu."
"Haha tanpa luka pun kamu
sudah sangar, Bang. Jadi jangan deh nanti orang-orang pada takut
lihatnya."
Kubaluri area punggung secara
rata lalu aku mulai memijit area yang menurut Ayah terasa enak untuk
dibenyek-benyek. Ternyata berfungsi juga kepada Bang Zaki. Dia sedikit
mengerang dan menikmati. Selama 15 menit aku berjibaku di daerah punggung.
Awalnya aku ingin menurunkan celana Bang Zaki dan mulai memijit betisnya.
Tetapi aku lupa, aku ini gay. Sekuat apapun aku menahan, kalau dihidangkan
cowok sepertinya aku nggak akan kuat.
"Kok nggak
diteruskan?"
"Hmmm sudah kok,
Bang."
"Lho? Kakinya nggak?"
"Errrrrrrr."
Akhirnya kulakukan juga. Aku
menurunkan celana levisnya hingga menyisakan celana dalam saja. Lagi, aku
dibuat terkejut. Ternyata pantatnya lebih besar dari pada pantat ... Reno. What!? Aku selalu memimpikan bisa nge-rimming benda
kenyal di depanku ini. Sayangnya mustahil kulakukan. Arghhh sial! Andai Bang
Zaki masih single, rasanya aku ingin jadi pacarnya
saja. Tapi aku sudah muak berharap pada orang yang sudah mempunyai pacar
perempuan. Takut ditinggal hamil lagi.
Keadaan ini jujur saja sangat
menyiksa. Belalai gajahku sudah ngamuk ingin dikeluarkan. Dari tadi mataku
fokus melihat dua bukit di depanku. Pasti rasanya empuk dan--mesum lagi, kan?
Kenapa sih otakku bisa semesum ini. Aku jadi malu sendiri. Tapi bukankah cowok
mesum itu wajar ya? Bisa saja kan sebenarnya Bang Zaki selalu mesum ketika
berduaan dengan pacarnya. 15 menit kemudian akhirnya selesai. Aku siap-siap
kembali pergi ke ruang tengah namun dicegah oleh Bang Zaki.
"Arena perutnya
belum," katanya.
Dengan kesal kubalikkan tubuh
Bang Zaki, membuat nafasku sesak seketika. Demi apapun, aku tidak pernah
melihat tubuh semenawan ini. Perut sixpack terlihat
jelas dengan bulu yang tidak terlalu banyak. Otot di dadanya tidak diragukan
lagi. Terlihat membukit dan mengkilat. Jantungku langsung berdegup dengan
kencang. Jujur saja baru kali ini aku melihat hampir keseluruhan lekuk tubuh
Bang Zaki. Jika aku melihatnya dari dulu, sudah pasti aku akan langsung memilih
Bang Zaki daripada Reno. Sial. Bagaimana ini? Nafsuku padanya sudah diluar
kendaliku. Ditambah ketika aku menyentuh roti sobek di perutnya, aku merasakan
aliran listrik langsung menyerangku.
Fix. Roti sobek miliknya adalah sebuah
bencana.
Lucu
bukan? Bagian itu lho. Bagian ketika si Theo berkata tidak akan menyakiti Bang
Zaki padahal dia sendiri yang menyakitinya. Kadang saya sendiri sebagai penulis
suka kesel sendiri kalau lihat orang yang nggak peka kayak si Theo. Tapi saya
nggak menampik bahwa orang kayak dia itu berlesiweran di mana-mana.
Saya
punya teman. Dia disukai oleh teman dekatnya sendiri. Nahasnya, dia gak
peka-peka :D