Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Roti Sobek Milik Zaki
Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan
mengadu ke Bang Zaki ya wkwk.
Dan itu si Theo ketika nangis di hadapan Bang Zaki. Kok sosweet ya 😢 lihat wajah si Theo :( ikut sedih. Terus lihat si Zaki :( tatapannya dan jambangnya itu lho.
Dan ini ... ah udahlah. Gak tahan lihat Zaki haha.
Tekan
bintang kalau suka, kalau nggak ... btw add akun line aku ya. solitude_
Sorry
ya yang nggak kebalas komennya. Bingung soalnya komennya ada yang kelelep. Gitu
aja. Sekarang ... sok gera baca terus komen komen komen! Haha.
Kesel! 4 kali publish babnya ilang mulu! Sial
sial sial! Ini kok makin error ya? Malah jadinya males update! Huh, apalagi
tadi sore! Nulis panjang eh pas dipiblish ilang semua! Jadinya percuma kan!
Sabar ... sabar ... sabar ...
Noh itu artinya udah update kan?
Dan sekarang
ginj lagi!? Sabar ... sabar ...
" ... mulai sekarang saya
tidak akan membiarkanmu menderita."
Kalimat itu terus
terngiang-ngiang di dalam pikiranku, semakin membuatku bersalah. Lama kami
berdua ada di posisi ini. Aku menangis di dadanya yang bidang sementara dia
mengusap kepalaku lembut. Entah kenapa, mendadak aku merasakan sebuah
kenyamanan yang tak bisa kuutarakan. Aku merasa utuh dan lengkap. Sebagai
seorang pria, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan sosok Bang Zaki yang begitu
sempurna. Fisiknya, hatinya, sikapnya.
"Sampai kapan kita akan
berdiri di sini? Kaki saya mulai pegel, Theo."
Kitinju dada bidangnya pelan.
Dasar tidak peka! Aku kan masih berkabung atas meninggalnya harapanku hidup
bersama Reno. Detik berikutnya kudorong Bang Zaki dengan sekali hentakan
kemudian kubalikan badan untuk melihat langit. "Abang masuk saja. Aku di
luar."
Bang Zaki memelukku dari
belakang, memberiku kehangatan, memberiku kekuatan. Jika dulu aku yang selalu
melakukan itu, akhirnya kini ada seseorang yang melakukannya padaku.
"Jadilah istri yang baik, Theo. Bukankah sudah menjadi kewajiban sang
istri untuk mematuhi perintah suaminya?"
DUG.
Aku merasa hatiku tersentil.
Mukaku memerah saking malunya tetapi entah kenapa kalimat receh Bang Zaki
membuat genderang perang di alam hatiku. Jangan bawa perasaan, jangan bawa perasaan,
jangan bawa perasaan. Sayangnya
aku merasa tersentuh. "Sialan kau! Istri katamu? Abang kelewatan
bercandanya."
"Lho? Kamu nggak mau jadi
istri Abang?"
Demi apapun. Aku yang tadinya
sedih dan masih mengharap Reno, kini dibuat blushing oleh
kalimat gombal Bang Zaki. "Nggak."
"Ya sudah kalau
begitu." Bang Zaki pun pergi masuk ke dalam. Heeeeeeh? Hanya segitu? Aku
kesal! Tetapi aku masih ingin diam di luar memandang langit. Rasanya tak etis
dan tak sopan kalau aku tidak masuk, padahal aku sudah mengganggunya
malam-malam begini. Entahlah. Aku hanya merasa belum siap memulai lembaran baru
secepat ini. Lagi pula Bang Zaki sudah mempunyai pacar perempuan bernama Keke
kalau aku tak salah dengar. Aku tak ingin merasakan sakit untuk yang kedua
kalinya.
Tak terasa satu jam berlalu.
Haruskah aku pulang? Lagi pula Bang Zaki tidak keluar lagi menemuiku. Mungkin
ucapannya tadi hanya lelucon semata. Sial. Seharusnya aku tak ke sini.
Seharusnya aku bergabung bersama Bombom, Feri dan teman-temanku yang lain di
markas. Tak sepatutnya aku ada di sini setelah apa yang aku lakukan padanya.
Aku pun menyalakan kembali motorku. Bunyinya membuat Bang Zaki keluar sambil
memandangku dengan mulu terkatup rapat dan rahang mengeras.
"Kembali lagi ke sini atau
saya hancurkan motor sialan itu!" Untuk pertama kalinya aku melihat Bang
Zaki marah. I
mean, marah yang terlihat
seksi, bukan marah menakutkan seperti ketika dia memperkosaku di bulan Januari?
Atau Februari? Entahlah aku sudah lupa.
"Galak amat," kataku.
Bang Zaki menggeram. Dia
merebut kunci motorku kemudian dia masukan ke dalam celananya. "Sikap kamu
ya, untung sayang, coba kalau nggak? Sudah saya pukuli kamu."
"Apa!? Pukuli!? Dasar
preman!"
"Cepat masuk! Atau saya
kunci sekarang juga."
"Iya iya bawel amat jadi
cowok." Kami berdua akhirnya masuk ke dalam. Rumah ini masih terlihat
menyeramkan dan kosong. Kadang aku merasa aneh kenapa Bang Zaki bisa betah
tinggal di tempat seperti ini. "Bang kamu nggak akan membunuhku,
kan?" celetukku takut.
"Ya saya akan
melakukannya."
"Hahahahaha nggak
lucu."
"Hanya orang bodoh yang
menganggap ucapan itu adalah lelucon."
"Ish kok jadi galak."
"Arghh sudah deh Theo kamu
jangan banyak omong."
"Tapi kan—hmmmp!"
Bang Zaki membekap mulutku kemudian menggiringku pergi ke atas menuju
satu-satunya kasur yang ada di rumah ini. "Cara terbaik meringankan
masalah adalah dengan tidur." Perlahan Bang Zaki melepaskan jaket, baju
dan celanaku hingga menyisakan boxer saja. Dia juga melakukan hal yang sama,
melepas baju dan celananya.
Kini kami berdua berbaring di
atas kasur dengan posisi telentang. "Andai bisa, Bang. Aku sudah
melakukannya dari tadi. Tapi sialnya aku nggak bisa. Mataku terpejam tapi
kesadaranku masih terjaga. Apa yang harus aku lakukan, Bang?"
"Yang perlu kamu lakukan
hanya pejamkan mata kemudian lupakan semuanya. Pikiran kamu masih terjaga
karena kamu enggan melupakan hal yang menjadi keinginan kamu. Lupakan Reno,
lupakan semua mimpimu sekarang juga. Sekarang kamu nggak marah kan kalau aku
sebut dia dengan panggilan jalang?" Hatiku kembali terhimpit. Mimpi? Ah,
ya. Aku pernah ingin membangun mimpi bersama Reno di kemudian hari. Kuhirup
nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan pelan. Ternyata mimpi itu gampang hancur
hanya dengan satu waktu dan kedipan mata saja.
"Ya, panggil dia jalang
sesuka hatimu, Bang. Kini aku tak akan marah."
"Jalang jalang jalang
jalang jalang lonte. Reno lonte Reno lonte. Hahahahaha."
"Ish hahaha." Lalu di
sinilah aku, tak mempercayai tawaku bisa keluar setelah apa yang terjadi padaku
barusan. "Jangan deh Bang. Mulut kamu terlalu bersih untuk berucap kotor
seperti itu. Gak enak didengarnya. Hmmm aku coba tidur ya Bang." Aku pun
menggerakan tubuhku untuk memunggunginya. Bang Zaki langsung memelukku, lagi,
membuatku nyaman dan damai. Menit pun berlalu. Menggulirkan malam kelabu
menjadi biru. Nafas yang berembus ini entah akan seirama dengan nafas siapa,
aku tak tahu. Yang aku tahu sekarang ... aku membencinya ... sekaligus
mencintainya. Jika mencintai adalah suatu kejahatan, kurasa aku telah menjadi
penjahat terkejam karena telah mencintai Reno sebegitu dasyatnya. "Pacarmu
nggak akan marah, Bang? Sebaiknya kita jangan terlalu dekat. Jadilah Abangku
saja. Bagiku sudah cukup. Terima kasih ya, Bang. Sudah mau menerimaku
kembali." Pelukannya semakin mengeras, bahkan sesaat membuat nafasku
sesak. Aku tak tahu apa artinya tetapi akhirnya aku bisa tertidur juga.
***
Warning! Beberapa paragraf berikutnya ada adegan
sedikit dewasa. Kalian bisa lompat paragraf dan cari tanda ***. Bijaklah ketika
membaca tulisan. Yang masih di bawah umur hush hush pergi.
Aku melihat Reno menghampiriku.
Tatapannya terlihat sendu, begitu pun dengan raut wajahnya. Apa yang harus aku
lakukan? Apalagi, sudah jelas aku harus pergi. Ketika aku berlari, aku
merasakan tangannya yang besar itu menahan bahuku. Kami berdua pun terlibat
percakapan yang entah membicarakan apa, yang jelas aku marah dan ingin meninju
mukanya. Lalu sesaat aku dibuat bungkam ketika mulutnya berkata, "Ayo kita
lakukan sekarang. Saya sudah siap."
Reno menggiringku menuju rumah
pohon. Ketika kami berdua sudah ada di atas, Reno perlahan menurunkan
celananya, bajunya, hingga tak menyisakan sehelai benang pun di tubuhnya.
"Ren, aku mau pergi."
"Jangan begitu. Saya sudah
siap," jawabnya.
Melihat diriku hanya diam saja
melihat Reno, dia pun perlahan menanggalkan semua pakaian yang melekat pada
tubuhku. Dia tersenyum dan terus membisikan kata : saya sudah siap. Tanpa
kuduga, Reno membaringkan tubuhku lalu dia mengulum batang panjangku
pelan-pelan. Aku mengerang. Hisapannya membuat tubuhku melayang.
Sudut bibirku tertarik ke atas.
Langsung hempaskan tubuh Reno menjadi di bawahku. Penis kecilnya yang sebesar
cabe itu terlihat imut dan lucu. Langsung kukulum pelan hingga dia mengerang
kenikmatan. Semua batangnya masuk ke dalam mulutku, precumnya mulai membasahi
lidahku dan rasanya nikmat sekali. Aku tak pernah merasakan kenikmatan seluar
biasanya sebelumnya. Seakan semua partikel dalam diriku terpacu untuk ikut
merasakan sensasi luar biasa ini.
"Argh!" erangnya. Dia
kembali membalikan tubuhku menjadi di bawah. Dia angkat kakiku dengan tangannya
kemudian dia masukan penisnya ke dalam anusku. Hal itu tentu saja membuatku
berontak. Aku tak mau menjadi gawang, aku inginnya jadi penyerang. Tetapi Reno
tak melepaskannya begitu saja. Bahkan dia menamparku beberapa kali, membuatku sedikit
takut, namun masih bisa menikmati sensasi luar biasa ini.
"Ren, jangan."
"Diam!" sentaknya.
"Tapi—"
"Saya biang diam!"
Kini Reno memaksaku
memposisikan diri seperti anjing. Dia kembali menusukku sambil mencium leherku
kasar. Saat kuputar kepalaku, aku bisa melihat keringatnya bercucuran. Namun,
betapa terkejutnya diriku ketika melihat di ambang pintu ada Enok sedang
memperhatikan kami berdua dengan tatapan bengis. Aku gelagapan. "Ren, itu
ada si Enok! Kamu lupa mengunci pintunya!? Ren ayo kita berhenti!"
racauku.
"Biarkan saja."
"Ren!"
"Kamu berisik amat,
Rey."
"Tapi—"
"Argh!" serunya.
"Nok ke sini!" panggil Reno.
"Iya, Ren?" jawabnya.
"Ayo kamu gabung saja.
Bungkam tuh mulut si Rey dengan pussy-mu." Mataku membelalak. Enok
membuka celana dan bajunya kemudian dia paksa mulutku untuk menjilati alat
kelaminnya.
"Fuck!
Fuck fuck fuck! Apa yang kamu
lakukan—hmmmp!" di saat kepalaku di arahkan oleh Reno dan Enok untuk
menjilati alat kelaminnya, aku melihat Reno dan Enok ciuman. Melihatnya membuat
air mataku keluar. Aku sudah tak ingin melanjutkan.
"Ren hentikan. Ren ... Ren
... Ren ..."
***
"Theo? Theo bangun. Theo?"
Pandanganku gelap. Aku bisa
melihat siluet hitam sedang mengguncangkan tubuhku. "Reno?"
"Saya Zaki. Kamu mimpi
buruk, Theo. Saya ambilkan minum dulu, kamu tunggu sebentar."
Beberapa detik kemudian lampu
menyala. Aku melihat tubuh besar Bang Zaki berjalan pelan menuju dapur. Di area
pantatnya banyak sekali bulu, aku bisa melihat di antara sela celana dalamnya.
Sesaat setelah Bang Zaki kembali, kupejamkan mata sebentar, mencoba
menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku. "Sial. Barusan aku
mimpi buruk, Bang. Sangat buruk."
"Yakin mimpi, buruk?"
tanyanya sambil mengerlingkan mata. "Yang saya dengar kamu mendesah, 'ah
Ren, ah ... Ren ... hentikan ahhhh—"
"Bang!" seruku marah.
Meskipun marah aku terkejut. Suara desahan Bang Zaki barusan membuatku
merinding. Begitu berat dan renyahnya suara yang dia hasilkan. Hasilnya?
Jantungku berdegub dengan kencang. Aku ingin mendengar suara desahan itu lagi.
Sayangnya tak mungkin aku memintanya langsung, bisa-bisa Bang Zaki memandangku
aneh kemudian tertawa mengejekku. Mana ada seseorang terangsang hanya karena
mendengar suara?
"Ini minum," ucapnya.
Aku mengambil air putih di
tangannya kemudian kuminum dengan sekali tegukan. "Terima kasih,"
kataku.
"Ayo kita tidur
lagi."
Kali ini Bang Zaki tidur
memunggungiku. "Tadi aku mimpi bersenggama dengan Reno. Syukurlah kamu
membangunkanku, Bang." Tak ada balasan. "Karena di mimpi itu, Reno
memaksaku untuk bersenggama juga dengan pacarnya."
"Theo tidur, sekarang
masih jam 1 dini hari."
"Gak ngantuk, Bang. Kita
ngobrol saja."
"Nggak, kamu harus
tidur."
"Ya sudah Bang Zaki tidur
saja." Hening. "Kapan ulang tahun kamu, Bang?"
"Hari ini," jawabnya.
"Serius!?"
"Ya."
"Haha kamu pasti
bohong."
"Ya sudah kalau kamu nggak
percaya."
"Serius!?"
"Ya."
Hening lagi.
"Ulang tahun yang ke
berapa Bang kalau boleh tahu?"
"Ke-29 tahun. Saya sudah
tua hahaha." Bang Zaki mengganti posisinya menjadi menghadapku.
"Sudah jadi Om-om
hahahaha." Bang Zaki memukul kepalaku pelan. "Sakit dodol! Hmmm jadi
beneran ulang tahun hari ini?" Samar aku melihat Bang Zaki mengangguk.
"Kalau begitu aku akan menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat
ulang tahun. Selamat ulang tahun Bang!"
"Terima kasih."
"Jadi apa harapan di hari
spesial kamu, Bang?"
"Saya berharap dia
peka."
"Maksudnya pacar
Abang?" Dia tak menjawab.
"Menurutmu?"
"Ya pasti pacar Abang yang
cewek itu lah."
"Haha saya benar-benar
memohon pada Tuhan berharap dia menjadi orang yang peka."
"Aamiin."
Hening lagi. Satu-satunya suara
yang terdengar adalah suara angin di luar sana.
"Maaf aku gak bisa kasih
hadiah, Bang. Aku nggak mungkin pulang ke rumah untuk ngambil uang. Aku sudah
bilang pada Ayah kalau aku akan pergi selama 3-5 hari. Jadi, sebagai gantinya
besok aku akan melakukan semua permintaanmu, Bang." Bang Zaki mengacak-ngajak
rambutku sambil tetawa.
"Apa alasanmu pergi ke
ayah kamu?"
"Pergi naik gunung."
"Kalau begitu besok kita
akan naik gunung."
"Lho kenapa?"
"Kenapa? Jelas bukan,
supaya kamu nggak jadi anak nakal hahaha."
BUGH!
Aku memukul dada bidangnya. Ya
Tuhan, sepertinya pukulanku cukup keras sehingga membuat Bang Zaki merintih.
Sialnya, aku menyukai suara Bang Zaki ketika kesakitan seperti itu.
"Maaf hehehe."
"Tak apa," balasnya.
"Hmmm maksud saya, kalau ada orang yang lihat kamu bersama saya, nanti
kamu akan dapat masalah."
"Jadi maksud kamu tidak
akan ada masalah kalau aku pergi ke gunung sesuai alasan yang telah aku buat?
Meskipun aku perginya sama kamu, Bang?"
"Yap! Anak pintar."
BUGH!
"Argh!" erangnya.
Sial. Aku menyukainya aku menyukainya. "Sakit kampret!"
"Hehehe. Kalau begitu ayo
kita ke gunung."
"Nggak masalah kan kalau
saya ajak teman-teman saya?"
"Teman-teman siapa?"
"Bombom, Feri,
semuanya." Aku tercenung. Bang Zaki menyebut mereka dengan panggilan
teman-teman, bukan anak buah. Betapa baiknya Bang Zaki ini.
"Tentu saja. Banyak orang
lebih baik. Pasti seru, Bang. Aku nggak sabar pengen cepat-cepat ke sana. Kalau
begitu ... gunung mana yang akan kita daki?"
"Gunung Burangrang."
Gunung Burangrang? Gunung yang
curam itu? Gunung yang ... jauh itu? Sepertinya akan seru. Cara terbaik untuk
melupakan masalah adalah bersatu dengan alam. Ayah pernah mengatakannya padaku.
Kalau begitu, aku akan sangat berterima kasih pada Bang Zaki. Aku tak akan
membiarkan siapapun menyakitinya. Tak akan pernah.
***
Jam enam pagi kami berdua pergi
menuju rumah Bang Zaki. Ketika sampai di sana, Bang Zaki langsung berteriak
lantang soal rencana pergi ke gunung Burangrang. Hampir semua orang di ruangan
ini antusias, meskipun ada beberapa orang apatis dan tak tertarik. Alasannya
simpel yaitu mereka harus bekerja. Ngomong-ngomong bukankah Bang Zaki harus
bekerja juga ya?
Persiapan pergi ke gunung
diluar dugaanku, kukira akan selesai selama satu atau dua jam, ternyata
membutuhkan waktu satu hari. Sial. Hal itu membuatku kesal. Bagaimana tidak?
Aku ingin segera naik ke puncak sementara mereka masih asik membicarakan makanan
apa yang akan mereka bawa, pakaian apa yang akan mereka kenakan dan hal-hal
memuakkan lainnya. Bang menyadari kekesalanku. "Hari ini kamu tidur saja
di sini. Beberapa orang akan menginap, jadi tidak masalah kan?"
"Iya tidak masalah, Bang.
Aku cuma ingin cepat-cepat pergi ke sana. Ngomong-ngomong pacar kamu ikut,
Bang?"
"Pacar?"
"Itu lho si Keke."
"Oh. Ya, dia akan
ikut." Aku terdiam. Bukannya aku ingin dia untuk nggak ikut, tapi aku
takut Bang Zaki jadi lebih sering berduaan dengannya karena aku ada niatan untuk
bercerita soal unek-unekku tentang dunia hombreng.
Jam 8 malam aku memutuskan
untuk tidur. "Theo kamu mau ke mana? Sini gabung sama kita main
kartu."
"Sorry, Fer. Aku takut menang."
"Halah mana mungkin kamu
menang. Coba sini, kalau kamu menang aku buatkan masakan ala-ala bule."
Aku tertawa. "Masakan apa,
tuh?"
"Caesal salad? Atau kamu
suka Gamberi Aglio e Olio nggak?"
"Sip. Aku suka yang
kedua."
Oh ya, Feri itu chef. Dia bekerja di rumah makan ala-ala western gitu. Hmmm bukannya cowok yang
bisa memasak itu hawt ya?
Haruskah aku dekati dia? Mungkin iya, supaya aku bisa melupakan Reno. Tapi ...
kok aku kapok ya. Takut dia straight dan aku takut dia ngebuntingin lagi
perempuan secara diam-diam. Harusnya aku pilih Bang Zaki saja yang udah
jelas-jelas homo atau paling nggak bisex. Masalahnya dia sudah punya pacar
sekarang. Aku gamang. Sedih juga sih. Seharusnya aku pilih Bang Zaki saja sejak
dulu. Dia itu tampannya membelah lautan. Bodohnya aku. Apalagi sih yang kurang
dari dia? Salah satu poin utama ketika mencintai adalah fisiknya yang aduhai.
Aku tidak akan munafik, kalau aku ingin mempunyai pacar yang ganteng. Kalau
dipersentasekan, aku menaruh fisik di 49 % dan hati 51%. Dan fisik Bang Zaki
jauh-jauh lebih ganteng dari siapapun di kampung ini. Hanya saja, karena aku
lebih mementingkan hati--jumlahnya ada 51 %--maka aku pun memilih Reno.
"Main cacangkulan (cangkulan) bisa kan?"
"Serius kita akan main
itu? Gak poker atau--"
"Theo!" potong Bang
Zaki.
"Dipanggil tuh."
"Ya, Bang?" sahutku
sedikit kesal. Aku kan lagi main.
"Ke sini sebentar!"
"Iya!" aku
menghampiri Bang Zaki yang sedang terkurap di atas kasur.
"Kata si Bombom kamu
pintar mijit?"
"Gak terlalu pintar sih
tapi bisalah. Aku sering mijitin Ayah kalau dia sedang capek."
"Kalau begitu pijitin saya
sekarang juga."
"Heeee? Aku mau main,
Bang."
"Ya sudah nggak
jadi," balasnya.
Aku mengembuskan nafas dalam.
Kukira dia akan memaksa tetapi tidak. "Iya-iya aku pijitin. Minyaknya ada
di mana? Kalau nggak ada kayu putih saja."
"Di atas nakas."
Setelah mengambil minyak di
atas nakas, aku membuka baju Bang Zaki pelan. Mataku langsung terpana. Betapa
maskulinnya dia. Penuh otot di sana-sini, dan banyak bulunya. Banyak parut juga
di daerah pinggang. Pasti bekas perkelahian. "Bang kok banyak parut
sih," ucapku.
"Hmmm parut itu adalah
bentuk kejantanan seorang pria, Theo. Kalau terlalu mulus kan patut
dipertanyakan apakah dia punya kont--"
"Stop! Jangan bicara jorang aku nggak suka."
"Haha. Kamu juga bukannya
punya parut ya tuh di pelipis?"
"Ini?" Aku memegang
pelipisku. Luka yang disebabkan oleh musuhnya Bang Zaki bernama Sanga. "Ah
ya, aku juga punya bekas luka."
"Kamu semakin tampan
dengan bekas luka itu. Terlihat lebih jantan dan sangar. Malahan saya ingin
punya bekas luka di arena wajah, biar lebih keren gitu."
"Haha tanpa luka pun kamu
sudah sangar, Bang. Jadi jangan deh nanti orang-orang pada takut
lihatnya."
Kubaluri area punggung secara
rata lalu aku mulai memijit area yang menurut Ayah terasa enak untuk
dibenyek-benyek. Ternyata berfungsi juga kepada Bang Zaki. Dia sedikit
mengerang dan menikmati. Selama 15 menit aku berjibaku di daerah punggung.
Awalnya aku ingin menurunkan celana Bang Zaki dan mulai memijit betisnya.
Tetapi aku lupa, aku ini gay. Sekuat apapun aku menahan, kalau dihidangkan
cowok sepertinya aku nggak akan kuat.
"Kok nggak
diteruskan?"
"Hmmm sudah kok,
Bang."
"Lho? Kakinya nggak?"
"Errrrrrrr."
Akhirnya kulakukan juga. Aku
menurunkan celana levisnya hingga menyisakan celana dalam saja. Lagi, aku
dibuat terkejut. Ternyata pantatnya lebih besar dari pada pantat ... Reno. What!? Aku selalu memimpikan bisa nge-rimming benda
kenyal di depanku ini. Sayangnya mustahil kulakukan. Arghhh sial! Andai Bang
Zaki masih single, rasanya aku ingin jadi pacarnya
saja. Tapi aku sudah muak berharap pada orang yang sudah mempunyai pacar
perempuan. Takut ditinggal hamil lagi.
Keadaan ini jujur saja sangat
menyiksa. Belalai gajahku sudah ngamuk ingin dikeluarkan. Dari tadi mataku
fokus melihat dua bukit di depanku. Pasti rasanya empuk dan--mesum lagi, kan?
Kenapa sih otakku bisa semesum ini. Aku jadi malu sendiri. Tapi bukankah cowok
mesum itu wajar ya? Bisa saja kan sebenarnya Bang Zaki selalu mesum ketika
berduaan dengan pacarnya. 15 menit kemudian akhirnya selesai. Aku siap-siap
kembali pergi ke ruang tengah namun dicegah oleh Bang Zaki.
"Arena perutnya
belum," katanya.
Dengan kesal kubalikkan tubuh
Bang Zaki, membuat nafasku sesak seketika. Demi apapun, aku tidak pernah
melihat tubuh semenawan ini. Perut sixpack terlihat
jelas dengan bulu yang tidak terlalu banyak. Otot di dadanya tidak diragukan
lagi. Terlihat membukit dan mengkilat. Jantungku langsung berdegup dengan
kencang. Jujur saja baru kali ini aku melihat hampir keseluruhan lekuk tubuh
Bang Zaki. Jika aku melihatnya dari dulu, sudah pasti aku akan langsung memilih
Bang Zaki daripada Reno. Sial. Bagaimana ini? Nafsuku padanya sudah diluar
kendaliku. Ditambah ketika aku menyentuh roti sobek di perutnya, aku merasakan
aliran listrik langsung menyerangku.
Fix. Roti sobek miliknya adalah sebuah
bencana.
Lucu
bukan? Bagian itu lho. Bagian ketika si Theo berkata tidak akan menyakiti Bang
Zaki padahal dia sendiri yang menyakitinya. Kadang saya sendiri sebagai penulis
suka kesel sendiri kalau lihat orang yang nggak peka kayak si Theo. Tapi saya
nggak menampik bahwa orang kayak dia itu berlesiweran di mana-mana.
Saya
punya teman. Dia disukai oleh teman dekatnya sendiri. Nahasnya, dia gak
peka-peka :D