Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Drama
Drama
Selalu ada kali pertama dalam hidup. Entah itu
berjalan, menangis, bahkan mencintai. Kali pertama itu biasanya tak terlupakan.
Kenapa? Karena biasanya impresif dan membekas di hati.
Aku tak bisa melupakan kali
pertama ketika aku mencintai seseorang. Dalam hal ini adalah Reno. Rasanya aku
rela mengemis cinta jika dengan hal itu dia bisa menjadi milikku. Bahkan aku
rela menyerahkan satu ginjalku padanya. Tentu saja jika keadaannya mendesak.
Misalnya Reno membutuhkan satu ginjal dan aku akan dengan senang hati
memberikannya. Hal ini membuktikan bahwa saking aku mencintai makhluk Tuhan
bernama Reno.
Ketika mencintai, aku sadar
penuh bahwa aku harus siap untuk terluka. Namun aku tak menampik bahwa ketika mencintai
pula aku harus siap untuk bahagia. Karena cinta itu adalah bentuk tak pasti
dalam hidup, maka aku tak tahu akan berakhir seperti apa kisah cintaku pada
Reno. Apakah terluka atau bahagia. Entah mengapa, firasatku kali ini aku akan
merasa bahagia. Reno masih enggan bersetubuh denganku. Tapi mata itu, mata
ketika memandangku, taku tahu terasa lain dan bukan hanya sekadar tatapan
biasa. Maka dari itu aku memutuskan menunggu, tak peduli selama apapu itu.
"Pupuknya habis,
Rey," kata Reno. Jika Ayah sedang tidak membaca koran di depan pekarangan
rumah, rasanya aku ingin mencium dia saat ini juga. Sepertinya Reno sudah tahu
gelagatku jika ingin menerkam bibirnya. Maka dari itu dia membuat jarak dan
menatap tajam diriku.
"Kalau begitu biar aku
yang beli ke pasar," kataku.
"Boleh kah?"
"Oh tentu. Sekalian aku
ingin membeli makanan kucing."
Aku malas mengambil jaket di
kamar, jadi kuputuskan untuk memakai jaket Reno yang dia simpan di atas teras.
Ah nyamannya. Aku suka aroma tubuh Reno. Terasa wangi dan manis. Jika bisa, aku
ingin mendekap aroma ini selamanya. Tetapi mungkin kah?
"Yah, aku mau pamit ke
pasar dulu beli pupuk." Ayah mengangguk kemudian menyerahkan kunci motor
yang telah dia beli satu bulan yang lalu. Ternyata Ayah tidak membual ketika
mengatakan akan membeli motor. Motor mirip Bang Zaki hanya bedanya motor ini
berwarna putih sedangkan Bang Zaki hitam.
Selama perjalanan, tak
henti-hentinya aku membaui aroma yang ada di jaket ini. Terlihat gila, tetapi
aku yakin semua orang akan melakukan ini, terlebih jika jaket ini adalah jaket
orang tercinta. Sial sekali, bukan? Maksudku terdengar menyedihkan. Tetapi
terkadang, hanya dengan membaui aroma tak langsung ini bisa membuat seseorang
bahagia. Bahagia paling sederhana selain bisa melihat senyum dan kehadirannya.
Ketika sampai di pasar, aku
melihat orang-orang berkumpul di tengah jalan. Setelah kulihat, ternyata ada
Bang Zaki di sana. Aku sedikit tertegun. Rambutnya kini memanjang, namun
terlihat rapi dan terawat. Mukanya semakin bersih dan bibirnya sedikit
kemerahan. "Bangsat!" teriak Bang Zaki. Ternyata dia sedang memukuli
pria berbadan kekar sepertinya. Aku menghela nafas panjang melihat kejadian
ini. Orang-orang sudah melerai tetapi tenaga Bang Zaki cukup kuat untuk menepis
semua tangan yang mencoba menghentikannya.
Perlahan aku masuk ke dalam
kerumunan itu. Tanganku memegang bahunya kemudian berkata, "Bang Zaki,
cukup. Dia tak akan mampu melawan." Kepala Bang Zaki memutar. Nafasnya
terengah-engah. Namun bukan itu yang kuperhatikan, tetapi matanya ketika
melihatku. Aku bisa merasakan ada kerinduan yang tersimpan dan terpendam. Bang
Zaki bangkit kemudian pergi meninggalkan kerumunan ini. Dia tak sedikit pun
melihatku ketika pergi.
"Syukurlah dia
pergi," kata Bapak-bapak bertopi ungu.
"Apa yang terjadi,
Pak?" tanyaku.
"Orang ini mencoba
mencopet dompet si Zaki. Mungkin dia orang baru jadi nggak tahu kalau si Zaki
itu preman di pasar ini. Namun yang Bapak nggak habis pikir, di dompet si Zaki
nggak ada uang sepeser pun. Hanya ada foto laki-laki mirip mas, tapi kenapa dia
bisa semarah itu? Haha, pikiran preman itu memang dangkal ya."
Foto mirip diriku? Ah mana
mungkin.
Di dalam pasar aku bertemu lagi
dengan Bang Zaki. Entah perasaanku atau Bang Zaki memang lagi sibuk, aku merasa
dia menghindariku. Biarlah. Dia punya urusan dan aku juga punya urusan. Aku
harus bergegas membeli pupuk. Jika tidak, Reno pasti marah.
***
Hari ini hari Sabtu. Jika
perkiraanku benar, Reno tidak akan bekerja dan tugas dialihkan ke Pak Aji. Hari
yang sungguh melelahkan. Seharusnya Reno bekerja setiap hari seperti dulu.
Dasar Ayah! Kenapa dia mempekerjakan Pak Warno? Padahal kami berdua sudah
cukup. Aku sudah menguasai dasar-dasar berkebun. Jadi bertambahnya Pak Warno
tentu saja menghambat ... waktuku bersama Reno.
Bosan dengan aktivitas
monotonku, aku memutuskan jalan-jalan mengelilingi kampung. Di lapang desa aku
berhenti untuk melihat bola. Sebenarnya aku melihat pemainnya, bukan bolanya.
Nahasnya permainan hampir selesai dan mau tak mau aku harus menemukan
kesenangan lain. Ah, mungkin aku akan mengajak teman-temanku main kasti.
Rasanya sudah lama kami tidak memainkan permainan bola kecil itu. Lagi,
nahasnya aku teringat bola kasti yang kami miliki hilang entah ke mana. Aku
terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya perutku berbunyi. Kuputuskan untuk
makan di rumah makan Ibunya Reno. Tanpa kuduga, Reno sedang ada di rumahnya.
Dia sedang menjaga warung sambil ngemut lolipop. Ketika melihatku, Reno
tersenyum namun kali ini terlihat dipaksakan. Huh, dia pasti takut aku akan
bertingkah aneh-aneh. Baiklah, jangan khawatir, Ren. Terakhir kali aku
menyentuhmu adalah ketika aku menginap di kamarmu tempo hari. Selebihnya aku
tak akan melakukannya kecuali kamu yang meminta.
"Grey? Sini masuk, si Reno
sedang jaga warung tuh."
"Iya, Bu. Grey mau makan
sih ke sini, kangen sama kupat tahu buatan Ibu."
"Lah makan saja di dalam,
Grey, jangan sungkan."
"Nggak, Bu. Masa setiap ke
sini Grey makan gratis terus? Kali ini Grey mau bayar."
Sudut mataku melihat Reno
sedang memperhatikanku namun kuabaikan. Seperti katanya, aku tidak akan
bersikap aneh-aneh. Aku harus menahan pikiran mesumku yang kada suka tak
terkendali.
Maka, selama satu bulan ini aku
berhasil menahannya. Tanpa kuduga, Reno jadi sering menginap di rumahku.
Entahlah. Seakan dia jadi tidak takut, bahkan sekarang berani membuka celana
dalamnya di hadapanku. Kalau Reno berpikiran aku bisa menahannya, mungkin dia
benar, mungkin juga tidak. Maksudku, entah dia bermaksud mengetesku, tetapi aku
yang melihatnya di atas kasur sontak menahan nafas. Belalaiku gajahku langsung
berdiri tegak.
Nafsuku semakin besar ketika
dia berjongkok mengambil celana di lantai. Aku bisa melihat lingkaran hitam
itu. Sialnya, pemandangan indah ini hanya berlangsung beberapa detik. Reno
langsung melihatku dan tersenyum lebar. "Apa yang kamu lihat tadi?"
tanyanya sambil menaik-turunkan alis, bermaksud menggodaku.
"Lihat gua yang tertutup
rapat." Reno tertawa renyah. Dia naik ke atas kasur, ikut bersandar sambil
menutupi bagian bawahnya dengan selimut.
"Kamu ingin masuk ke
sana?" tanyanya, menggodaku.
"I-iya."
"Hahaha. Belum saatnya,
Rey. Belum saatnya."
Reno memeluk diriku. Aku
menjatuhkan kepalaku ke bahunya yang lebar. Dia tak pernah tahu, betapa aku
ingin memilikinya. Kuhirup aroma tubuhnya sembari memejam. Reno mengelus
rambutku, mencoba menenangkanku yang sedang menahan nafsu yang kurasa. Selama
satu bulan ini, syukurlah aku semakin dekat dengan Reno. Dia tak pernah ragu
untuk menciumku, meskipun hanya di kening.
Aku bangkit kemudian naik di
atas paha Reno. Dia sedikit tersentak namun tak kubiarkan dia mendorongku lagi.
Aku memang ingin segera menerkamnya, tetapi tak kulakukan itu. Aku hanya
mencoba memeluk dirinya dari depan. Membenamkan wajahku di dadanya seperti anak
kecil. Merasakan begitu hangat tubuhnya yang penuh otot itu. Kenyamanan yang
kurasa begitu membuatku bahagia. Rasanya aku ingin selamanya ada di posisi ini.
Hangat, tenang, nyaman.
"Rey."
"Sttttt." Kubungkam
mulut Reno dengan tanganku. "Aku mencintaimu, Ren. Sangat mencintaimu.
Akan aku lakukan apapun untukmu. Akan aku lakukan. Aku mencintaimu."
Hening. Hanya suara jangkrik yang menemani malam kelam ini.
"Tapi--"
"Sttttt. Kali ini saja.
Aku tak tahu apakah ini kesempatan terakhirku untuk memelukmu seperti
ini."
"Maksudmu?"
"Bisa saja besok aku mati,
kan?"
"Kamu teh bicara apa!"
"Jadi apa salahnya?
Sebentar saja, sebentar saja." Aku semakin mengeratkan pelukanku sampai
... aku tertidur.
1 minggu kemudian aku merasa
hampa. Sejak kejadian malam itu, Reno kembali jarang menginap di rumahku.
Bahkan aku merasa dia mencoba menghindariku. Entahlah. Aku merasa frustasi dan
marah. Betapa teganya dia membiarkan perasaan rindu ini semakin berat. Betapa teganya
dia membiarkanku berharap. Lalu, betapa teganya dia membiarkanku menunggu.
Aku bertanya pada temanku,
apakah dia melihat Reno? Dia menjawab, ya dia melihatnya. Reno sedang berjalan
bersama Enok entah ke mana. Lihat? Betapa teganya dia melakukan itu. Aku masih
setia menunggu. Di tengah aktivitas berkebunku, di tengah aktivitas bermain
kastiku. Oh ya, kamu sudah membeli bola kasti yang baru. Dan betapa dia jahat
pada teman-temannya. Dia lebih memilih jalan bersama Enok daripada main kasti
bersama kami. Reno jahat! Tapi bagaimana lagi? Aku cinta. Bagaimana lagi ...
aku sayang.
"Grey awas!"
Tak!
Wajahku tiba-tiba terasa nyeri
dan perih. Ternyata bola kasti itu mendarat di pelipisku. "Rizky! Kalau
mukul itu hati-hati dong. Ya ampun! Sampai ungu begini!" ucap Ayu.
"Mau ke puskesmas?"
tanya Rizky khawatir.
"Tidak, aku baik-baik
saja. Aku masih bisa melanjutkan."
Sebenarnya tidak. Aku merasakan
perih yang sangat luar biasa. Aku merasakan nyeri. Tetapi aku sudah terbiasa
menahan sakit dan menyimpannya hanya untuk diriku. Aku terbiasa menyembunyikan
perasaanku. Karena jika aku menunjukannya, Reno akan memandangku seperti
penjahat kelamin. Aku tak mau seperti itu.
"Yakin?"
"Ya, aku masih bisa main.
Yo yo yo, kita jangan sampai kalah, Ayu!"
Mereka tertawa, aku pun begitu.
Apakah mereka tak mampu menyadari bahwa mataku tak bernyawa lagi? Kurasa
terlalu berlebihan menyebutnya dengan kata itu. Mungkin lebih tepat jika aku
menyebutnya mataku tak bercahaya lagi. Tu-tunggu? Haha apa-apaan.
"Grey awas!"
"Eh?"
Sial! Aku malah berlari dengan
mata menengadah ke atas sehingga aku tak melihat di depan sana ada Ayu. Kami
bertubrukan. Untungnya tidak terlalu keras, jadi baik Ayu maupun diriku masih
kuat melanjutkan permainan.
"Sepertinya aku harus
pulang. Aku kurang tidur."
Di saat yang bersamaan ketika
aku berjalan ke rumah, aku mendengar suara motor Reno. Dia memanggilku tetapi
aku abaikan. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Di rumah, tepat jam 7 malam,
Reno datang ke rumah pohon, menggangguku yang sedang bermain-main dengan ikan
cupang. "Ikan cupangnya sudah gede, Ren. Hehehehe."
"Kenapa kamu tadi pergi
pas saya datang?" tanyanya.
"Eh? Di mana?"
"Itu di lapang."
"Kapan kamu ke sana?"
"Jangan pura-pura!"
"Kamu bicara apa sih, Ren?
Oh kamu datang pas aku pulang? Mungkin tadi aku capek jadi gak mendengar
panggilanmu. Kalau gak percaya tanya saja sama Ayu."
Reno memandangku lekat kemudian
tersenyum. Lihat? Betapa pintarnya aku memainkan drama. Dia memelukku dari
belakang kemudian mengecup keningku pelan. "Maaf, mulai sekarang Enok
sedang membuka usaha bisnis batik. Jadi tadi aku mengantar dia beli bahan di Bandung."
"Ya, tak masalah."
Seketika hatiku terasa remuk
dari dalam. Tetapi, percuma. Aku tak berani menunjukannya. Aku takut Reno balik
marah dan kesal. "Kira-kira umur cupang berapa tahun ya?"
"Ingin kubuatkan
kopi?"
"Boleh kah?"
"Tentu saja. Kalau begitu
tunggu sebentar." Emosi sesaat hanya akan memperburuk suasana. Jadi,
kuputuskan untuk membuat kopi, berharap hatiku menjadi tenang dan pikiranku
bisa berpikir jernih. Terima kasih, Tuhan. Ternyata berhasil.
"Oh iya Rey ada yang mau
saya bicarakan. Eh? Tubuhmu panas, Rey. Sudah beli obat?" Aku menggeleng.
"Kalau begitu tunggu, saya mau beli obat."
***
Akhir-akhir ini aku jarang
lari. Itu sebabnya sekarang aku lari sore ke rumah pohon tempat persembunyian
Bang Zaki. Sialnya, Bang Zaki ada di sana, sedang merokok sambil duduk
bersandar di lantai dua. Ketika melihatku, dia tersenyum tipis kemudian
menyesap rokoknya kembali. Perasaanku sedang buruk, jadi aku tidak menyapa Bang
Zaki.
Aku memutuskan untuk terus
berlari menuju daerah Sindang Waas. Tiba-tiba Bang Zaki berkata,
"Tangkap."
Bang Zaki melempar satu botol
air mineral. "Terima kasih, Bang."
Ini aneh. Kenapa suasana hatiku
semakin tidak membaik? Dua minggu Reno menghilang. Kami bertemu hanya ketika
dia bekerja di rumahku. Setelah itu dia pergi ke rumahnya untuk membantu Ibunya
jaga warung. Benarkah? Sontak kakiku berbalik arah. Aku ingin melihat aktivitas
Reno. Aku ingin melihat wajahnya.
30 menit kemudian aku sampai di
rumah Reno. Dia tak ada di sana. Dasar pembual! "Bu, Renonya ke
mana?" tanyaku sedikit emosi.
"Dia pergi. Tunggu saja di
kamarnya, sebentar lagi dia bakal balik."
Aku pun menunggu. Kata sebentar
yang diucapkan Ibunya ternyata 3 jam. Dia pulang, memanggil-manggil Ibunya,
sayangnya Ibunya sedang pergi ke pasar. "Pak,
Reno rek ameng heula. Konci di candaknya, Reno paling mulih jam
sapuluhan."
(Pak,
Reno mau main. Kunci diambil ya, Reno pulang sekitar jam 10-an.)
Dia bahkan tidak mengecek
kamarnya. Lihat? Betapa teganya dia membuatku menunggu lagi dan lagi. Haruskah
aku menunggu di kamar Reno sampai jam 10 malam? Tidak, aku akan mengikutinya.
Dia pergi naik motor belok ke
kanan. Di lapang desa, seorang perempuan yang kuyakini adalah Enok naik
tergesa-gesa kemudian memeluk pinggang Reno. Hanya ada dua kemungkinan jika dia
belok ke kanan. Pertama, mereka akan pergi ke kavling. Dan kedua, mereka akan
pergi ke Maribaya. Aku bertaruh Reno akan pergi ke kavling, jadi aku
mengikutinya dengan berlari. Dan ternyata benar.
Lama mereka diam memandang
kota. Aku bersembunyi di balik semak-semak hingga akhirnya mereka berbicara.
"Dia mirip sekali dengan Adikmu, Nok."
"Ya, setelah aku
perhatikan, mirip sekali."
Dia? Dia siapa?
"Saya tak ingin kehilangan
dia lagi. Tapi saya bingung bagaimana mengatasinya. Yang bisa saya lakukan
sekarang adalah mencegah. Syukurlah, dia terlihat bahagia. Dia sering tersenyum
ketika melihat saya." Dia siapa!? Apakah Reno diam-diam menyukai orang lain?
"Tak hanya mukanya,
ternyata sifatnya pun sama seperti dia. Mungkin dia pengganti sahabatmu, Ren.
Dia pengganti sahabatmu, sekaligus pengganti Adikku."
Hening. Aku tak mengerti arah
pembicaraan mereka. Tetapi mendapati fakta Reno sering keluar malam bersama
Enok membuat hatiku terluka. Rupanya Reno belum bisa melupakan Enok.
"Saya khawatir. Bisakah
kita pulang sekarang? Saya ingin mengecek bagaimana keadaannya."
"Sebelum itu ada yang
ingin aku bicarakan." Meskipun aku hanya bisa melihat siluet tubuh mereka,
aku bisa melihat Enok menggenggam tangan Reno kuat. "Sebentar lagi kamu
akan menjadi Ayah."
DEG.
Bahuku menegang seketika.
"Ma-maksud kamu?"
tanya Reno. Lalu tangan Reno pun dia tuntun ke perutnya. "Tidak mungkin!
Bukankah kita sudah pakai pengaman!?"
"Apakah menjadi 100 %
aman? Tidak, Ren. Dengan begini, Ayahku pasti akan menyetujui rencana
pernilahan ... ta ... ja ... senang ... kan?"
Aku tak bisa mendengar kalimat
Enok dengan jelas karena aku berjalan menjauhi mereka dengan tatapan kosong.
Hatiku remuk seremuk-remuknya
Aku belum belum pernah mengalami bagaimana rasanya mencintai tetapi dikhianati. Sekali pun belum pernah. Lalu kali ini aku merasakannya. Merasakan bagaimana aku mencintai seseorang tanpa tapi, kemudian dibalas dengan kalimat manis yang sebenarnya adalah tahi. Kini aku merasakan lelahnya berjuang tetapi tak bermakna apa-apa. Kini aku merasakan lelahnya kepura-puraan sehingga aku ingin berteriak dan melolong seperti anjing kelaparan. Aku yang belum pernah merasakan itu kini merasakannya. Jadi aku harus bagaimana? Apakah aku harus melupakan semua fakta itu dan berpura-pura lagi tidak terjadi apa-apa?
Sepertinya aku tidak sekuat
itu.
Sejujurnya aku tak tahu harus
ke mana. Mata, hati dan pikiranku kosong.
Angin pun mengembus pelan,
menyadarkanku bahwa mimpi yang selama ini aku bangun telah hancur dalam satu
hembusan nafas dan kedipan mata. Mimpi yang selama ini aku indam-idamkan kini
telah pergi tertawa angin malam. Malam berselimut dingin. Seketika aku benci
malam, karena dingin yang dia berikan tidak serta-merta membuat hatiku kembali
utuh, malah membuat hatiku runtuh.
Kulihat tangan dan bahuku yang
gemetar. Heeee? Ada apa ini? Yang bisa kulakukan sekarang adalah tertawa.
Betapa lucunya takdir membawaku pada harapan di ujung jalan. Betapa baiknya dia
memberiku pengalaman sakitnya terabaikan. Betapa murah hatinya dia memberiku
pengalaman dibodohi dan ditelanjangi.
Kakiku pelan berjalan menembus
malam. Aku lelah bertanya kenapa dan bagaimana. Aku hanya ingin segera terlelap
dalam gelap mimpi yang tak akan pernah mengkhianatiku sekeji ini. Aku ingin
tidur, berharap ketika bangun nanti aku tak lagi melihat matahari, tetapi
melihat pohon besar tempat peristirahatan. Mendadak anganku ingin mencapai
nirwana. Paling tidak, aku ingin mencapai moksa. Ah, pikiranku semakin
melantur. Aku tak siap mati, tidak sebelum melihat Reno menjadi Ayah.
Dari arah belakang aku
mendengar suara motor dan suara Reno. Dia melewatiku begitu saja, mungkin
berpikir bahwa aku adalah orang asing yang dengan bodohnya berlari di malam
hari. Jika itu yang dia pikirkan, dia benar. Aku adalah orang asing dihidupnya.
Aku adalah orang asing yang mengganggu kenyamanan hidupnya. Seharusnya aku
sadar ketika Reno memandangku dengan penuh rasa takut. Dia hanya berusaha
menjauhkanku dengan Bang Zaki, orang yang sangat dia benci.
Lagi, aku tertawa. Aku tak tahu
kenapa aku tidak menangis padahal normalnya seseorang akan menangis jika
mengetahui orang yang dia cintai akan segera menikah. Berhenti
berpikir dan cepat kembali ke rumah! Kamu hanya harus pergi ke kamar, tidur,
lalu ... lalu setelahnya apa?
Aku mulai berlari. Sekuat
tenaga aku berlari. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku langsung pergi ke rumah
pohon, mematikan lampu dan beranjak tidur. Sial. Aku merasa ada yang meremas
hatiku, mengeluarkan semua sari pati rasa sakit hingga tersebar ke seluruh
tubuhku. Percuma, mataku tak bisa terpejam. Kesal dengan usaha yang kulakukan
sia-sia, aku menggeragap bangun kemudian pergi memandang bintang. Saat aku
membuka jendela, tak sengaja tanganku menumpahkan ikan cupang di dalam botol.
Botol itu menggelinding ke bawah kemudian terjun ke tanah hingga botol itu
tercerai berai. Dari atas aku melihat ikan itu menggelepar-gelepar. Dan aku
hanya memandangnya datar tanpa ekspreasi hingga ikan itu berhenti berkelejatan.
"Maaf ikan, aku bukan tuan yang baik."
DEG.
Entah yang ke berapa kalinya,
aku merasakan hatiku kembali diremas. Aku baru menyadari, kalau ternyata hatiku
hancur sehancur-hancurnya. "Kenapa kamu tega, Ren?" lirihku pelan.
Emosiku memuncak. Kali ini aku benar-benar marah. Aku harus pergi dari rumah
ini, setidaknya sampai suasana hatiku membaik.
Aku pun berlari ke dalam rumah,
mengambil secarik kertas kemudian menulis surat untuk Ayah. "Yah, Grey mau
kemping sama temen-temen Grey ke Bukit Tunggul selama 3-5 hari. Maaf tiba-tiba,
maaf juga tidak membangunkan Ayah. Grey nggak tega."
Baiklah sekarang aku harus ke
mana? Aku tak tahu. Kurasa aku harus pergi ke tempat Bang Zaki walaupun
sebenarnya aku malu. Tetapi apa boleh buat? Tidak mungkin aku pergi ke tempat
Richard. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi terpaksa aku pergi ke tempat
Bang Zaki. Aku hanya harus bersikap tenang seakan tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di sana, Bombom
menyambutku. Tidak hanya dia, Feri dan juga anak buah Bang Zaki yang lain
menyambutku antusias. "Si Zaki tidak ada di sini. Dia sedang ada ... ada
di mana dia, Fer?"
"Aku nggak tahu."
"Maaf kami nggak
tahu."
Aku tahu Bang Zaki ada di mana.
Ya, dia sedang ada di rumah pohon. Seharusnya tujuanku adalah mencari tempat
tinggal sementara. Tetapi kenapa ketika mendengar Bang Zaki tidak ada di sini,
aku pergi? Aku kembali menaiki motorku kemudian pergi ke rumah pohon untuk
menemuinya? Kenapa? Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu.
Laju motorku mencapai 100
km/jam. Biasanya aku tak berani ada di kecepatan seperti ini. Tapi kali ini aku
tidak merasa takut sama sekali. "Bang," ketukku pelan setelah sampai
di sana. "Bang," ucapku nyaris tak terdengar. "Bang Zaki,"
ucapku parau. Rasanya tenggorokanku tersumbat. "Bang Za-" Kalimatku
terhenti ketika dia membukakan pintu. Dia memandangku dari atas sampai bawah.
Sejujurnya aku malu, tetapi pikiranku sedang tidak sehat dan aku tak memikirkan
hal lain selain ingin menumpahkan semuanya.
Perlahan kakiku mendekati Bang
Zaki. Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku celana. Lalu setelah jarak di
antara kami terpaut beberapa senti meter saja, aku menjatuhkan kepalaku di
dadanya. "Bang Zaki," ucapku parau, nyaris terisak. Tangan Bang Zaki
langsung mendekap kepalaku. Di saat itulah pertahananku pun runtuh. Selama ini
aku menahan untuk tidak menangis, kini tertumpah ruah.
"Jangan menangis,"
katanya pelan. "Pria gagah, tampan seperti kamu tidak boleh
menangis." Aku masih menangis. Rasanya sulit untuk menahan rasa sakit di
dadaku saat ini. "Sudah saya katakan jangan." Sial sial sial! Air
mataku tak mau berhenti untuk keluar. "Tetapi, untuk kali ini saja saya
izinkan kamu menangis. Selanjutnya, akan saya buat hari-harimu penuh
tawa."