Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Drama

Selalu ada kali pertama dalam hidup. Entah itu berjalan, menangis, bahkan mencintai. Kali pertama itu biasanya tak terlupakan. Kenapa? Karena biasanya impresif dan membekas di hati.
Aku tak bisa melupakan kali pertama ketika aku mencintai seseorang. Dalam hal ini adalah Reno. Rasanya aku rela mengemis cinta jika dengan hal itu dia bisa menjadi milikku. Bahkan aku rela menyerahkan satu ginjalku padanya. Tentu saja jika keadaannya mendesak. Misalnya Reno membutuhkan satu ginjal dan aku akan dengan senang hati memberikannya. Hal ini membuktikan bahwa saking aku mencintai makhluk Tuhan bernama Reno.
Ketika mencintai, aku sadar penuh bahwa aku harus siap untuk terluka. Namun aku tak menampik bahwa ketika mencintai pula aku harus siap untuk bahagia. Karena cinta itu adalah bentuk tak pasti dalam hidup, maka aku tak tahu akan berakhir seperti apa kisah cintaku pada Reno. Apakah terluka atau bahagia. Entah mengapa, firasatku kali ini aku akan merasa bahagia. Reno masih enggan bersetubuh denganku. Tapi mata itu, mata ketika memandangku, taku tahu terasa lain dan bukan hanya sekadar tatapan biasa. Maka dari itu aku memutuskan menunggu, tak peduli selama apapu itu.
"Pupuknya habis, Rey," kata Reno. Jika Ayah sedang tidak membaca koran di depan pekarangan rumah, rasanya aku ingin mencium dia saat ini juga. Sepertinya Reno sudah tahu gelagatku jika ingin menerkam bibirnya. Maka dari itu dia membuat jarak dan menatap tajam diriku.
"Kalau begitu biar aku yang beli ke pasar," kataku.
"Boleh kah?"
"Oh tentu. Sekalian aku ingin membeli makanan kucing."
Aku malas mengambil jaket di kamar, jadi kuputuskan untuk memakai jaket Reno yang dia simpan di atas teras. Ah nyamannya. Aku suka aroma tubuh Reno. Terasa wangi dan manis. Jika bisa, aku ingin mendekap aroma ini selamanya. Tetapi mungkin kah?
"Yah, aku mau pamit ke pasar dulu beli pupuk." Ayah mengangguk kemudian menyerahkan kunci motor yang telah dia beli satu bulan yang lalu. Ternyata Ayah tidak membual ketika mengatakan akan membeli motor. Motor mirip Bang Zaki hanya bedanya motor ini berwarna putih sedangkan Bang Zaki hitam.
Selama perjalanan, tak henti-hentinya aku membaui aroma yang ada di jaket ini. Terlihat gila, tetapi aku yakin semua orang akan melakukan ini, terlebih jika jaket ini adalah jaket orang tercinta. Sial sekali, bukan? Maksudku terdengar menyedihkan. Tetapi terkadang, hanya dengan membaui aroma tak langsung ini bisa membuat seseorang bahagia. Bahagia paling sederhana selain bisa melihat senyum dan kehadirannya.
Ketika sampai di pasar, aku melihat orang-orang berkumpul di tengah jalan. Setelah kulihat, ternyata ada Bang Zaki di sana. Aku sedikit tertegun. Rambutnya kini memanjang, namun terlihat rapi dan terawat. Mukanya semakin bersih dan bibirnya sedikit kemerahan. "Bangsat!" teriak Bang Zaki. Ternyata dia sedang memukuli pria berbadan kekar sepertinya. Aku menghela nafas panjang melihat kejadian ini. Orang-orang sudah melerai tetapi tenaga Bang Zaki cukup kuat untuk menepis semua tangan yang mencoba menghentikannya.
Perlahan aku masuk ke dalam kerumunan itu. Tanganku memegang bahunya kemudian berkata, "Bang Zaki, cukup. Dia tak akan mampu melawan." Kepala Bang Zaki memutar. Nafasnya terengah-engah. Namun bukan itu yang kuperhatikan, tetapi matanya ketika melihatku. Aku bisa merasakan ada kerinduan yang tersimpan dan terpendam. Bang Zaki bangkit kemudian pergi meninggalkan kerumunan ini. Dia tak sedikit pun melihatku ketika pergi.
"Syukurlah dia pergi," kata Bapak-bapak bertopi ungu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanyaku.
"Orang ini mencoba mencopet dompet si Zaki. Mungkin dia orang baru jadi nggak tahu kalau si Zaki itu preman di pasar ini. Namun yang Bapak nggak habis pikir, di dompet si Zaki nggak ada uang sepeser pun. Hanya ada foto laki-laki mirip mas, tapi kenapa dia bisa semarah itu? Haha, pikiran preman itu memang dangkal ya."
Foto mirip diriku? Ah mana mungkin.
Di dalam pasar aku bertemu lagi dengan Bang Zaki. Entah perasaanku atau Bang Zaki memang lagi sibuk, aku merasa dia menghindariku. Biarlah. Dia punya urusan dan aku juga punya urusan. Aku harus bergegas membeli pupuk. Jika tidak, Reno pasti marah.
***
Hari ini hari Sabtu. Jika perkiraanku benar, Reno tidak akan bekerja dan tugas dialihkan ke Pak Aji. Hari yang sungguh melelahkan. Seharusnya Reno bekerja setiap hari seperti dulu. Dasar Ayah! Kenapa dia mempekerjakan Pak Warno? Padahal kami berdua sudah cukup. Aku sudah menguasai dasar-dasar berkebun. Jadi bertambahnya Pak Warno tentu saja menghambat ... waktuku bersama Reno.
Bosan dengan aktivitas monotonku, aku memutuskan jalan-jalan mengelilingi kampung. Di lapang desa aku berhenti untuk melihat bola. Sebenarnya aku melihat pemainnya, bukan bolanya. Nahasnya permainan hampir selesai dan mau tak mau aku harus menemukan kesenangan lain. Ah, mungkin aku akan mengajak teman-temanku main kasti. Rasanya sudah lama kami tidak memainkan permainan bola kecil itu. Lagi, nahasnya aku teringat bola kasti yang kami miliki hilang entah ke mana. Aku terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya perutku berbunyi. Kuputuskan untuk makan di rumah makan Ibunya Reno. Tanpa kuduga, Reno sedang ada di rumahnya. Dia sedang menjaga warung sambil ngemut lolipop. Ketika melihatku, Reno tersenyum namun kali ini terlihat dipaksakan. Huh, dia pasti takut aku akan bertingkah aneh-aneh. Baiklah, jangan khawatir, Ren. Terakhir kali aku menyentuhmu adalah ketika aku menginap di kamarmu tempo hari. Selebihnya aku tak akan melakukannya kecuali kamu yang meminta.
"Grey? Sini masuk, si Reno sedang jaga warung tuh."
"Iya, Bu. Grey mau makan sih ke sini, kangen sama kupat tahu buatan Ibu."
"Lah makan saja di dalam, Grey, jangan sungkan."
"Nggak, Bu. Masa setiap ke sini Grey makan gratis terus? Kali ini Grey mau bayar."
Sudut mataku melihat Reno sedang memperhatikanku namun kuabaikan. Seperti katanya, aku tidak akan bersikap aneh-aneh. Aku harus menahan pikiran mesumku yang kada suka tak terkendali.
Maka, selama satu bulan ini aku berhasil menahannya. Tanpa kuduga, Reno jadi sering menginap di rumahku. Entahlah. Seakan dia jadi tidak takut, bahkan sekarang berani membuka celana dalamnya di hadapanku. Kalau Reno berpikiran aku bisa menahannya, mungkin dia benar, mungkin juga tidak. Maksudku, entah dia bermaksud mengetesku, tetapi aku yang melihatnya di atas kasur sontak menahan nafas. Belalaiku gajahku langsung berdiri tegak.
Nafsuku semakin besar ketika dia berjongkok mengambil celana di lantai. Aku bisa melihat lingkaran hitam itu. Sialnya, pemandangan indah ini hanya berlangsung beberapa detik. Reno langsung melihatku dan tersenyum lebar. "Apa yang kamu lihat tadi?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis, bermaksud menggodaku.
"Lihat gua yang tertutup rapat." Reno tertawa renyah. Dia naik ke atas kasur, ikut bersandar sambil menutupi bagian bawahnya dengan selimut.
"Kamu ingin masuk ke sana?" tanyanya, menggodaku.
"I-iya."
"Hahaha. Belum saatnya, Rey. Belum saatnya."
Reno memeluk diriku. Aku menjatuhkan kepalaku ke bahunya yang lebar. Dia tak pernah tahu, betapa aku ingin memilikinya. Kuhirup aroma tubuhnya sembari memejam. Reno mengelus rambutku, mencoba menenangkanku yang sedang menahan nafsu yang kurasa. Selama satu bulan ini, syukurlah aku semakin dekat dengan Reno. Dia tak pernah ragu untuk menciumku, meskipun hanya di kening.
Aku bangkit kemudian naik di atas paha Reno. Dia sedikit tersentak namun tak kubiarkan dia mendorongku lagi. Aku memang ingin segera menerkamnya, tetapi tak kulakukan itu. Aku hanya mencoba memeluk dirinya dari depan. Membenamkan wajahku di dadanya seperti anak kecil. Merasakan begitu hangat tubuhnya yang penuh otot itu. Kenyamanan yang kurasa begitu membuatku bahagia. Rasanya aku ingin selamanya ada di posisi ini. Hangat, tenang, nyaman.
"Rey."
"Sttttt." Kubungkam mulut Reno dengan tanganku. "Aku mencintaimu, Ren. Sangat mencintaimu. Akan aku lakukan apapun untukmu. Akan aku lakukan. Aku mencintaimu." Hening. Hanya suara jangkrik yang menemani malam kelam ini.
"Tapi--"
"Sttttt. Kali ini saja. Aku tak tahu apakah ini kesempatan terakhirku untuk memelukmu seperti ini."
"Maksudmu?"
"Bisa saja besok aku mati, kan?"
"Kamu teh bicara apa!"
"Jadi apa salahnya? Sebentar saja, sebentar saja." Aku semakin mengeratkan pelukanku sampai ... aku tertidur.
1 minggu kemudian aku merasa hampa. Sejak kejadian malam itu, Reno kembali jarang menginap di rumahku. Bahkan aku merasa dia mencoba menghindariku. Entahlah. Aku merasa frustasi dan marah. Betapa teganya dia membiarkan perasaan rindu ini semakin berat. Betapa teganya dia membiarkanku berharap. Lalu, betapa teganya dia membiarkanku menunggu.
Aku bertanya pada temanku, apakah dia melihat Reno? Dia menjawab, ya dia melihatnya. Reno sedang berjalan bersama Enok entah ke mana. Lihat? Betapa teganya dia melakukan itu. Aku masih setia menunggu. Di tengah aktivitas berkebunku, di tengah aktivitas bermain kastiku. Oh ya, kamu sudah membeli bola kasti yang baru. Dan betapa dia jahat pada teman-temannya. Dia lebih memilih jalan bersama Enok daripada main kasti bersama kami. Reno jahat! Tapi bagaimana lagi? Aku cinta. Bagaimana lagi ... aku sayang.
"Grey awas!"
Tak!
Wajahku tiba-tiba terasa nyeri dan perih. Ternyata bola kasti itu mendarat di pelipisku. "Rizky! Kalau mukul itu hati-hati dong. Ya ampun! Sampai ungu begini!" ucap Ayu.
"Mau ke puskesmas?" tanya Rizky khawatir.
"Tidak, aku baik-baik saja. Aku masih bisa melanjutkan."
Sebenarnya tidak. Aku merasakan perih yang sangat luar biasa. Aku merasakan nyeri. Tetapi aku sudah terbiasa menahan sakit dan menyimpannya hanya untuk diriku. Aku terbiasa menyembunyikan perasaanku. Karena jika aku menunjukannya, Reno akan memandangku seperti penjahat kelamin. Aku tak mau seperti itu.
"Yakin?"
"Ya, aku masih bisa main. Yo yo yo, kita jangan sampai kalah, Ayu!"
Mereka tertawa, aku pun begitu. Apakah mereka tak mampu menyadari bahwa mataku tak bernyawa lagi? Kurasa terlalu berlebihan menyebutnya dengan kata itu. Mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya mataku tak bercahaya lagi. Tu-tunggu? Haha apa-apaan.
"Grey awas!"
"Eh?"
Sial! Aku malah berlari dengan mata menengadah ke atas sehingga aku tak melihat di depan sana ada Ayu. Kami bertubrukan. Untungnya tidak terlalu keras, jadi baik Ayu maupun diriku masih kuat melanjutkan permainan.
"Sepertinya aku harus pulang. Aku kurang tidur."
Di saat yang bersamaan ketika aku berjalan ke rumah, aku mendengar suara motor Reno. Dia memanggilku tetapi aku abaikan. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Di rumah, tepat jam 7 malam, Reno datang ke rumah pohon, menggangguku yang sedang bermain-main dengan ikan cupang. "Ikan cupangnya sudah gede, Ren. Hehehehe."
"Kenapa kamu tadi pergi pas saya datang?" tanyanya.
"Eh? Di mana?"
"Itu di lapang."
"Kapan kamu ke sana?"
"Jangan pura-pura!"
"Kamu bicara apa sih, Ren? Oh kamu datang pas aku pulang? Mungkin tadi aku capek jadi gak mendengar panggilanmu. Kalau gak percaya tanya saja sama Ayu."
Reno memandangku lekat kemudian tersenyum. Lihat? Betapa pintarnya aku memainkan drama. Dia memelukku dari belakang kemudian mengecup keningku pelan. "Maaf, mulai sekarang Enok sedang membuka usaha bisnis batik. Jadi tadi aku mengantar dia beli bahan di Bandung."
"Ya, tak masalah."
Seketika hatiku terasa remuk dari dalam. Tetapi, percuma. Aku tak berani menunjukannya. Aku takut Reno balik marah dan kesal. "Kira-kira umur cupang berapa tahun ya?"
"Ingin kubuatkan kopi?"
"Boleh kah?"
"Tentu saja. Kalau begitu tunggu sebentar." Emosi sesaat hanya akan memperburuk suasana. Jadi, kuputuskan untuk membuat kopi, berharap hatiku menjadi tenang dan pikiranku bisa berpikir jernih. Terima kasih, Tuhan. Ternyata berhasil.
"Oh iya Rey ada yang mau saya bicarakan. Eh? Tubuhmu panas, Rey. Sudah beli obat?" Aku menggeleng. "Kalau begitu tunggu, saya mau beli obat."
***
Akhir-akhir ini aku jarang lari. Itu sebabnya sekarang aku lari sore ke rumah pohon tempat persembunyian Bang Zaki. Sialnya, Bang Zaki ada di sana, sedang merokok sambil duduk bersandar di lantai dua. Ketika melihatku, dia tersenyum tipis kemudian menyesap rokoknya kembali. Perasaanku sedang buruk, jadi aku tidak menyapa Bang Zaki.
Aku memutuskan untuk terus berlari menuju daerah Sindang Waas. Tiba-tiba Bang Zaki berkata, "Tangkap."
Bang Zaki melempar satu botol air mineral. "Terima kasih, Bang."
Ini aneh. Kenapa suasana hatiku semakin tidak membaik? Dua minggu Reno menghilang. Kami bertemu hanya ketika dia bekerja di rumahku. Setelah itu dia pergi ke rumahnya untuk membantu Ibunya jaga warung. Benarkah? Sontak kakiku berbalik arah. Aku ingin melihat aktivitas Reno. Aku ingin melihat wajahnya.
30 menit kemudian aku sampai di rumah Reno. Dia tak ada di sana. Dasar pembual! "Bu, Renonya ke mana?" tanyaku sedikit emosi.
"Dia pergi. Tunggu saja di kamarnya, sebentar lagi dia bakal balik."
Aku pun menunggu. Kata sebentar yang diucapkan Ibunya ternyata 3 jam. Dia pulang, memanggil-manggil Ibunya, sayangnya Ibunya sedang pergi ke pasar. "Pak, Reno rek ameng heula. Konci di candaknya, Reno paling mulih jam sapuluhan."
(Pak, Reno mau main. Kunci diambil ya, Reno pulang sekitar jam 10-an.)
Dia bahkan tidak mengecek kamarnya. Lihat? Betapa teganya dia membuatku menunggu lagi dan lagi. Haruskah aku menunggu di kamar Reno sampai jam 10 malam? Tidak, aku akan mengikutinya.
Dia pergi naik motor belok ke kanan. Di lapang desa, seorang perempuan yang kuyakini adalah Enok naik tergesa-gesa kemudian memeluk pinggang Reno. Hanya ada dua kemungkinan jika dia belok ke kanan. Pertama, mereka akan pergi ke kavling. Dan kedua, mereka akan pergi ke Maribaya. Aku bertaruh Reno akan pergi ke kavling, jadi aku mengikutinya dengan berlari. Dan ternyata benar.
Lama mereka diam memandang kota. Aku bersembunyi di balik semak-semak hingga akhirnya mereka berbicara. "Dia mirip sekali dengan Adikmu, Nok."
"Ya, setelah aku perhatikan, mirip sekali."
Dia? Dia siapa?
"Saya tak ingin kehilangan dia lagi. Tapi saya bingung bagaimana mengatasinya. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah mencegah. Syukurlah, dia terlihat bahagia. Dia sering tersenyum ketika melihat saya." Dia siapa!? Apakah Reno diam-diam menyukai orang lain?
"Tak hanya mukanya, ternyata sifatnya pun sama seperti dia. Mungkin dia pengganti sahabatmu, Ren. Dia pengganti sahabatmu, sekaligus pengganti Adikku."
Hening. Aku tak mengerti arah pembicaraan mereka. Tetapi mendapati fakta Reno sering keluar malam bersama Enok membuat hatiku terluka. Rupanya Reno belum bisa melupakan Enok.
"Saya khawatir. Bisakah kita pulang sekarang? Saya ingin mengecek bagaimana keadaannya."
"Sebelum itu ada yang ingin aku bicarakan." Meskipun aku hanya bisa melihat siluet tubuh mereka, aku bisa melihat Enok menggenggam tangan Reno kuat. "Sebentar lagi kamu akan menjadi Ayah."
DEG.
Bahuku menegang seketika.
"Ma-maksud kamu?" tanya Reno. Lalu tangan Reno pun dia tuntun ke perutnya. "Tidak mungkin! Bukankah kita sudah pakai pengaman!?"
"Apakah menjadi 100 % aman? Tidak, Ren. Dengan begini, Ayahku pasti akan menyetujui rencana pernilahan ... ta ... ja ... senang ... kan?"
Aku tak bisa mendengar kalimat Enok dengan jelas karena aku berjalan menjauhi mereka dengan tatapan kosong. Hatiku remuk seremuk-remuknya

Aku belum belum pernah mengalami bagaimana rasanya mencintai tetapi dikhianati. Sekali pun belum pernah. Lalu kali ini aku merasakannya. Merasakan bagaimana aku mencintai seseorang tanpa tapi, kemudian dibalas dengan kalimat manis yang sebenarnya adalah tahi. Kini aku merasakan lelahnya berjuang tetapi tak bermakna apa-apa. Kini aku merasakan lelahnya kepura-puraan sehingga aku ingin berteriak dan melolong seperti anjing kelaparan. Aku yang belum pernah merasakan itu kini merasakannya. Jadi aku harus bagaimana? Apakah aku harus melupakan semua fakta itu dan berpura-pura lagi tidak terjadi apa-apa?
Sepertinya aku tidak sekuat itu.
Sejujurnya aku tak tahu harus ke mana. Mata, hati dan pikiranku kosong.
Angin pun mengembus pelan, menyadarkanku bahwa mimpi yang selama ini aku bangun telah hancur dalam satu hembusan nafas dan kedipan mata. Mimpi yang selama ini aku indam-idamkan kini telah pergi tertawa angin malam. Malam berselimut dingin. Seketika aku benci malam, karena dingin yang dia berikan tidak serta-merta membuat hatiku kembali utuh, malah membuat hatiku runtuh.
Kulihat tangan dan bahuku yang gemetar. Heeee? Ada apa ini? Yang bisa kulakukan sekarang adalah tertawa. Betapa lucunya takdir membawaku pada harapan di ujung jalan. Betapa baiknya dia memberiku pengalaman sakitnya terabaikan. Betapa murah hatinya dia memberiku pengalaman dibodohi dan ditelanjangi.
Kakiku pelan berjalan menembus malam. Aku lelah bertanya kenapa dan bagaimana. Aku hanya ingin segera terlelap dalam gelap mimpi yang tak akan pernah mengkhianatiku sekeji ini. Aku ingin tidur, berharap ketika bangun nanti aku tak lagi melihat matahari, tetapi melihat pohon besar tempat peristirahatan. Mendadak anganku ingin mencapai nirwana. Paling tidak, aku ingin mencapai moksa. Ah, pikiranku semakin melantur. Aku tak siap mati, tidak sebelum melihat Reno menjadi Ayah.
Dari arah belakang aku mendengar suara motor dan suara Reno. Dia melewatiku begitu saja, mungkin berpikir bahwa aku adalah orang asing yang dengan bodohnya berlari di malam hari. Jika itu yang dia pikirkan, dia benar. Aku adalah orang asing dihidupnya. Aku adalah orang asing yang mengganggu kenyamanan hidupnya. Seharusnya aku sadar ketika Reno memandangku dengan penuh rasa takut. Dia hanya berusaha menjauhkanku dengan Bang Zaki, orang yang sangat dia benci.
Lagi, aku tertawa. Aku tak tahu kenapa aku tidak menangis padahal normalnya seseorang akan menangis jika mengetahui orang yang dia cintai akan segera menikah. Berhenti berpikir dan cepat kembali ke rumah! Kamu hanya harus pergi ke kamar, tidur, lalu ... lalu setelahnya apa?
Aku mulai berlari. Sekuat tenaga aku berlari. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku langsung pergi ke rumah pohon, mematikan lampu dan beranjak tidur. Sial. Aku merasa ada yang meremas hatiku, mengeluarkan semua sari pati rasa sakit hingga tersebar ke seluruh tubuhku. Percuma, mataku tak bisa terpejam. Kesal dengan usaha yang kulakukan sia-sia, aku menggeragap bangun kemudian pergi memandang bintang. Saat aku membuka jendela, tak sengaja tanganku menumpahkan ikan cupang di dalam botol. Botol itu menggelinding ke bawah kemudian terjun ke tanah hingga botol itu tercerai berai. Dari atas aku melihat ikan itu menggelepar-gelepar. Dan aku hanya memandangnya datar tanpa ekspreasi hingga ikan itu berhenti berkelejatan. "Maaf ikan, aku bukan tuan yang baik."
DEG.
Entah yang ke berapa kalinya, aku merasakan hatiku kembali diremas. Aku baru menyadari, kalau ternyata hatiku hancur sehancur-hancurnya. "Kenapa kamu tega, Ren?" lirihku pelan. Emosiku memuncak. Kali ini aku benar-benar marah. Aku harus pergi dari rumah ini, setidaknya sampai suasana hatiku membaik.
Aku pun berlari ke dalam rumah, mengambil secarik kertas kemudian menulis surat untuk Ayah. "Yah, Grey mau kemping sama temen-temen Grey ke Bukit Tunggul selama 3-5 hari. Maaf tiba-tiba, maaf juga tidak membangunkan Ayah. Grey nggak tega."
Baiklah sekarang aku harus ke mana? Aku tak tahu. Kurasa aku harus pergi ke tempat Bang Zaki walaupun sebenarnya aku malu. Tetapi apa boleh buat? Tidak mungkin aku pergi ke tempat Richard. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi terpaksa aku pergi ke tempat Bang Zaki. Aku hanya harus bersikap tenang seakan tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di sana, Bombom menyambutku. Tidak hanya dia, Feri dan juga anak buah Bang Zaki yang lain menyambutku antusias. "Si Zaki tidak ada di sini. Dia sedang ada ... ada di mana dia, Fer?"
"Aku nggak tahu."
"Maaf kami nggak tahu."
Aku tahu Bang Zaki ada di mana. Ya, dia sedang ada di rumah pohon. Seharusnya tujuanku adalah mencari tempat tinggal sementara. Tetapi kenapa ketika mendengar Bang Zaki tidak ada di sini, aku pergi? Aku kembali menaiki motorku kemudian pergi ke rumah pohon untuk menemuinya? Kenapa? Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu.
Laju motorku mencapai 100 km/jam. Biasanya aku tak berani ada di kecepatan seperti ini. Tapi kali ini aku tidak merasa takut sama sekali. "Bang," ketukku pelan setelah sampai di sana. "Bang," ucapku nyaris tak terdengar. "Bang Zaki," ucapku parau. Rasanya tenggorokanku tersumbat. "Bang Za-" Kalimatku terhenti ketika dia membukakan pintu. Dia memandangku dari atas sampai bawah. Sejujurnya aku malu, tetapi pikiranku sedang tidak sehat dan aku tak memikirkan hal lain selain ingin menumpahkan semuanya.
Perlahan kakiku mendekati Bang Zaki. Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku celana. Lalu setelah jarak di antara kami terpaut beberapa senti meter saja, aku menjatuhkan kepalaku di dadanya. "Bang Zaki," ucapku parau, nyaris terisak. Tangan Bang Zaki langsung mendekap kepalaku. Di saat itulah pertahananku pun runtuh. Selama ini aku menahan untuk tidak menangis, kini tertumpah ruah.
"Jangan menangis," katanya pelan. "Pria gagah, tampan seperti kamu tidak boleh menangis." Aku masih menangis. Rasanya sulit untuk menahan rasa sakit di dadaku saat ini. "Sudah saya katakan jangan." Sial sial sial! Air mataku tak mau berhenti untuk keluar. "Tetapi, untuk kali ini saja saya izinkan kamu menangis. Selanjutnya, akan saya buat hari-harimu penuh tawa."
 "
   


    
  
    
      
      
    
  
   

200 vote, saya akan bikin cerita part bonus yang isinya ikeh ikeh kimochi   




Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -