Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Zaki #7
Mimpiku malam ini
melihat Aurora, bukan Aura. Kurasa, Aurora di langit itu melukis satu wajah :
Reno.
Malamnya, aku menyelimutkan
selimut bercorak tumbuhan milik Ayah ke sekujur tubuhku. Rasanya aku malu telah
menangis di dada Reno, lebih malu lagi setelah sebelumnya kami berciuman. Reno
pun sama. Dia diam membatu di depan jendela rumah pohon ini sembari memainkan
ikan cupang miliknya.
"Rey--"
"Eh i-iya ada apa?"
potongku gugup. Rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri saking malunya.
Gara-gara ini hubunganku dengan Reno menjadi canggung dan terasa lain.
"Saya mau pulang."
Aku tak langsung menjawabnya.
"Menginap saja," kataku.
"Eh?"
"Ya sudah pulang
saja."
"Oke saya menginap
saja." Pandanganku masih gelap karena aku masih menyelimuti sekujur
tubuhku dengan selimut.
Aku bisa merasakan
kehadirannya. Sejujurnya ajakanku tadi impulsif, bukan atas dasar pikiranku.
Setelah kupikirkan baik-baik, akhirnya aku punya alasan yang cukup logis,
"Karena malam ini aku ingin menginap di rumah pohon. Aku ingin kamu tidur
di sini bersamaku. Aku takut terjadi sesuatu."
Logis? Justru alasan barusan
adalah alasan paling kekanak-kanakan yang tidak masuk di akal. Cowok dewasa
takut tidur sendiri? Yang benar saja! Tetapi untungnya Reno tidak berkata lebih
lanjut.
"Saya tidur di sini
saja," katanya, membuatku mau tidak mau melihat di mana tempat yang dia
maksud. Ternyata dia ingin tidur di samping jendela.
“Tunggu di sini,” kataku. “Aku
akan mengambil bantal dan selimut.”
“Saya saja yang ngambil.”
“Tidak, biar aku sa—“
“Sekalian saya mau bicara sama
Ayah kamu. Sebentar saja kok.”
“Oh oke.”
Dasar. Katanya sebentar tetapi
jam 9 malam dia belum juga kembali. Tepat setengah sepuluh malam, kepala Reno
menyembul di balik pintu, di saat kesadaranku hampir hilang karena mengantuk.
Reno langsung menyimpan bantalnya di samping jendela, bukan di sisiku. Hal itu
lantas membuatku sedih. Dia pasti merasa jijik sehingga lebih memilih tidur di
sana. Kurasa memang seharusnya begitu. Lagi pula aku takut tanganku tak
sengaja—maksudku sengaja—menggerayangi semua lekuk tubuhnya.
Mataku kini terpejam, tetapi
tidak dengan mulutku. Entah kenapa malam ini aku ingin sekali bersenandung. Dan
hal itu kulakukan tanpa sadar. “Every night
in my dream. I see you. I feel you.”
My
Heart Will Go On.
Entah kenapa aku ingin
menyanyikannya. Lagu ini adalah lagu yang sangat aku sukai. Aku mendengar lagu
ini di radio pada tahun 1997, tepatnya di bulan terakhir sejak lagu ini
dirilis. Memang benar suasana hatiku sedang bersusah hati, tetapi aku
menyanyikan lagu ini bukan karena aku merasa sengsara, melainkan dalam pejam
mataku, aku ingat begitu saja. Lagu yang hampir kulupakan. Kurasa, aku akan
menyuntikan lagu ini ke dalam walkman-ku.
“That
is how i know you ... go on. Far across the distance and spaces between us. You
have come to show you ... go on.” Aku
menyanyikan lagu ini dari awal sampai akhir, hingga akhirnya aku tersadar, di
ruangan ini masih ada Reno. Kulihat dia memandangku sambil tersenyum lembut.
“Lagi, Rey. Lagunya enak, bikin
bulu kumis saya merinding, terlebih saya teh suka sama suara kamu. Ada
serak-seraknya gitu. Jadi, nyanyi lagi, ya?”
“Suaraku jelek, Ren.”
“Kata siapa?”
“Kataku barusan.”
“Pokoknya harus nyanyi lagi!”
Nyanyi lagu apa ya? Kebanyakan
aku menghafal lagu bahasa Inggris. Mungkin karena Ibuku berasal dari negeri
seberang, jadi mau tidak mau aku harus mempelajari apapun yang berasal dari
tanah lahir Ibuku. “Lagu ini judulnya When the Children Cry.”
“Apa? Cilen lay?”
“Lupakan. Ini lagu bahasa
Inggris, aku suka sama melodi dan liriknya. Atau kalau kamu ingin tahu arti
judul lagu ini kira-kira seperti ini, ketika anak kecil menangis, atau ...
ketika budak letik ceurik.”
“Alah
meni waas kitu ngadengena.”
“Muhun, Ren.”
Aku mulai menyanyikan lagu
White Lion di tengah keheningan rumah pohon ini. Rasanya dengan bernyanyi aku
merasa baikan. "Kamu bisa nyanyi?" tanyaku.
"Nggak, saya nggak
bisa."
"Coba nyanyi. Satu
saja."
Aku tidak bisa melihat garis
wajahnya karena aku masih membenamkan kepalaku di dalam selimut. Hingga
akhirnya aku mendengar suara Reno bernyanyi entah lagu apa. "Bambung hideung bara-bara teuing diri
Leuheung bari dianggo ka suka galih
situ pinuh balong jero bebendon sareung bebendu unggal ti salira ju…ag awiiii teh pangajul buah
lantaran ti kitu. Sora bedil luhur mega paripaos teu paya lepat saeutik--oho oho oho," Reno terbatuk-batuk ketika memaksakan nada tinggi pada lagu tembang yang dia nyanyikan. Meskipun kini aku tertawa, tetapi sedikitnya aku merasa kagum karena suara Reno hampir bisa mencapai nada tinggi. Hampir ya. Meskipun begitu, aku tidak suka suaranya. Dia tidak pantas jadi penyanyi.
Leuheung bari dianggo ka suka galih
situ pinuh balong jero bebendon sareung bebendu unggal ti salira ju…ag awiiii teh pangajul buah
lantaran ti kitu. Sora bedil luhur mega paripaos teu paya lepat saeutik--oho oho oho," Reno terbatuk-batuk ketika memaksakan nada tinggi pada lagu tembang yang dia nyanyikan. Meskipun kini aku tertawa, tetapi sedikitnya aku merasa kagum karena suara Reno hampir bisa mencapai nada tinggi. Hampir ya. Meskipun begitu, aku tidak suka suaranya. Dia tidak pantas jadi penyanyi.
Hening.
Pikiran kami berdua sepertinya
terbang sana-sini.
"Kamu jijik tidur di
sampingku, Ren?" kataku. Sungguh, aku tak tahan untuk mengatakannya.
Harusnya dia cukup pintar untuk mengerti maksudku, bahwa aku ini nggak normal,
tapi akankah pirirannya sampai ke sana? Aku saja butuh waktu berbulan-bulan
untuk meyakinkanku bahwa aku nggak normal.
"Eh eh eh? Ya nggak atuh,
saya hanya ... saya hanya ..." Kalimatnya terhenti, mungkin dia bingung
harus menjawab apa karena ... sepertinya dia memang merasa jijik.
Kurasa mulai saat ini aku akan
menjaga jarak darinya.
👬
Reno sama Ayah pergi ke Subang
dengan alasan yang sama : urusan bisnis. Tentu saja hal itu membuatku dongkol
karena setiap aku ingin ikut, Ayah selalu melarangku, yang sialnya alasan kali
ini membuatku mendecak kesal. Bagaimana tidak? Persediaan beras sudah habis dan
Ayah menyuruhku untuk membelinya yang berarti aku harus pergi ke pasar. Jika
aku pergi ke pasar, sudah pasti aku akan petgi ke distrik penjualan beras! Di
sana pasti aku bakal ketemu sama bang Zaki.
Ternyata memang benar. Baru
saja kakiku melangkah dari distrik penjualan baju menuju wilayahnya, bang Zaki
langsung bisa melihat kehadiranku lalu tersenyum lebar. "Halo, Boy."
Aku memandangnya gusar. "Mau beli beras?"
"Ya beras, lah! Masa beli
ikan?"
"Tuh ada penjual
ikan," tunjuk bang Zaki ke toko di samping penjual Ayam. Baiklah, aku baru
tahu kalau ternyata tidak beras saja yang dijual di sini.
Aku berjalan melewatinya. Suara
hingar-bingar aktivitas pasar terdengar lain kali ini, mungkin karena mulut
bang Zaki tak mau diam menawarkan harga beras kenalannya. Sudah kukatakan
berkali-kali aku tidak akan membeli beras di tempatnya, tetapi dia tak mau
mendengar. Lihatnya siapa yang akan menyerah. Dan ternyata ... aku menyerah.
Aku risih ketika bang Zaki terus mengikutiku kemana pun aku pergi.
Aku membeli beras 1 karung.
Nahasnya lagi, sudah pasti bang Zaki akan mengantarkan beras ini ke rumahku
karena pekerjaan dia adalah pengangkut beras. Aku hanya bisa menghela nafas
panjang dan berharap dia tidak akan memperkosaku untuk yang kedua kalinya. Rasa
sakit di selangkanganku belum sembuh total.
Jadilah bang Zaki pergi ke
rumahku naik motor bututnya sambil membawa beras, sementara aku naik ojek.
Sebenarnya aku sempat memaksa beras itu dinaikan ke motor tukang ojek yang aku
tumpangi, tetapi bang Zaki menolak dengan keras. Jika dia sudah berkata
A, maka sampai akhir hasilnya tetap A.
Selama perjalanan hatiku tak
tenang. Pasti dibalik seringai yang dia keluarkan, tersimpan maksud terselubung
yang akan membuatku menderita. Tapi ... entah kenapa setiap aku berbalik melihatnya,
pandanganku tak bisa lepas dari mulut yang kini berwarna kemerahan. Rambutnya
lurus pendeknya terlihat pas, pun dengan jambang yang tidak terlalu lebat itu.
Sepertinya aku mulai menyukai bang Zaki, dalam artian secara fisik. Aku baru
sadar kalau ternyata bang Zaki mempunyai wajah yang sangat tampan. Sayang
sekali bukan? Masa cowok setampan dia homo. Ah, bukankah bagus? Harusnya homo
seperti bang Zaki bertebaran di kota ini.
Hanya sebatas itu. Satu-satunya
hal yang kusukai dari bang Zaki adalah wajahnya. Di luar itu, aku sangat
membencinya, apalagi sifatnya. Jadi, kurasa tidak mungkin aku menaruh hati di
tangannya yang busuk itu. Lagi pula, meskipun aku sadar aku bukan laki-laki
normal, bukan berarti aku akan memilih jalan seperti ini. Aku akan berusaha
berubah. Caranya? Aku nggak tahu. Kurasa kehadiran Aura akan membantuku untuk
berubah. Semoga saja.
"Simpan saja di
teras," kataku. Bang Zaki mengangguk.
"Saya baru tahu kamu punya
rumah pohon, Boy."
"Ya, baru dibuat. Sekarang
kamu pergi gih, aku sedang sibuk." Bang Zaki masih dia di sini, menatapku
sambil tersenyum kemudian memandang rumah pohon di depannya lama sekali.
"Oh aku tahu, ini bayarannya," aku menyerahkan uang 20 ribu pada bang
Zaki. Bang Zaki menerima uang di tanganku lalu dia masukan ke dalam saku
celananya. Bukannya pergi, bang Zaki malah berjalan menaiki rumah pohon itu
dengan gerakan cepat. Tak sampai 10 detik untuknya sampai di atas.
Dari bawah aku memandangnya
geram. "Apaan ini, Boy? Kolormu bolong-bolong?" Mendengar kalimat
bang Zaki sontak aku langsung naik ke atas. Apakah aku tak sengaja meninggalkan
kolorku di sana? Tapi masa iya? Setelah sampai, bang Zaki sontak tertawa
sembari memegang perutnya. "Saya memang ingin kamu naik ke sini, Boy.
Jadi--"
"Fuck! Pergi sana atau aku teriak. Asal
kamu tahu Ayahku punya pistol di kamarnya."
"HAHAHAHAHAHAHA! Terus
kamu nyangka aku takut sama mainan kecil Ayah kamu? Lagian," bang Zaki
berjalan menghampiri jendela kemudian menyandarkan tubuhnya di sana, "Ayah
kamu sedang tidak ada. Dia sedang pergi sama pria culun yang bodoh itu."
Gigiku merapat kuat. Aku tak suka bang Zaki menjelek-jelekan Reno. "Marah
saja, Boy. Fakta dia bodoh dan culun sudah menjadi rahasia umum--"
"Stop!"
Bahu bang Zaki mengedik. Kami
terdiam cukup lama hingga akhirnya dia bersuara. "Maaf soal waktu itu,
Boy. Saya lepas kendali."
"Lepas kendali?
Haha." Aku memandangnya dengan tatapan sinis.
"Seperti yang kamu bilang,
saya memang seorang pembunuh. Saya adalah penyebab dia mati. Jadi, kamu boleh
melabeli saya dengan kata itu. Saya tidak akan keberatan lagi." Bang Zaki
menyulut rokok di tangannya kemudian mengembuskannya pelan. Tatapannya langsung
beralih melihat pemandangan kota ini, atau lebih tepatnya memandang gunung
Putri dan Tangkuban Parahu.
Aku bingung harus menjawab apa.
Aku hanya menatapnya dari kejauhan berharap dia akan segera pergi. Alih-alih
menanggapi topik soal pembunuhan, aku malah bertanya, "Dari mana kamu tahu
Ayah sama Reno sedang pergi?"
"Di jalan saya
melihatnya." Oke, kalimat singkat itu menjawab semuanya. "Ke sini,
Boy. Saya kedinginan." Bulu kudukku mulai meremang. Aku tahu akan ke mana
cerita hari ini bermuara. Maka sebelum itu terjadi, aku berjalan mundur, bermaksud
meninggalkannya sendirian. "Atau saya lempar kedua ikan sialan ini ke
bawah." Langkahku terhenti.
"Mulut kotormu itu hanya
bisa mengancam dan mengancam. Busuk."
"Tapi mulut ini bisa
membuatmu mendesah, Boy. Jadi jangan lupakan hal itu. Ngomong-ngomong, kamu
sudah menyadari bahwa kamu homo?" Aku menggeram tak suka. Dasar laki-laki
barbar.
"Aku bukan homo."
Bang Zaki tertawa mencemooh.
"Ya ya ya. Kamu pria
normal yang menyukai pria." Jadi mau ke sini atau saya lempar ikan cupang
ini ke bawah?" Sepertinya aku tak punya pilihan. Andai saja ikan cupang
milik Reno tidak ada di sana, mungkin aku tidak akan peduli dengan ancaman bang
Zaki. Tapi karena aku tahu Reno sangat menyukai ikan cupangnya, kurasa aku
harus menurut.
"Asal jangan tusuk aku
lagi, bang."
"Baiklah. Saya
janji."
Akhirnya aku bisa bernafas
lega. Sesampainya di sana, bang Zaki lamgsung melemparkan rokoknya ke bawah
kemudian memelukku dari belakang. Bibirnya yang hangat itu menggigit kecil
telingaku, membuat ular di dalam celanaku ereksi seketika. "Bang, kamu sudah
janji."
"Ih tentu. Saya hanya
ingin memperkosa mulut kamu." Lalu bang Zaki pun membalikamn tubuhku
dengan sekali hentakan. Dia langsung menciumku dengan lembut. Sial! Aku tak
serta-merta membuka mulutku karena marah. Tapi lidahnya yang lembab itu membuat
nafsuku naik sampai ke ubun-ubun.
"Bang hentikan--"
"Stttt. Saya tahu kamu
juga menyukainya. Buka, Boy. Jangan sungkan." Bang Zaki kembali melumat
mulutku. Kali ini terkesan liar dan menuntut. Aku tak kuat menahannya. Kubuka
mulutku secara perlahan, membiarkan lidah bang Zaki masuk, membiarkan lidahnya
yang manis itu menjarah apapun yang ada di sana. Aku diam tidak membalas, takut
hilang kendali, hingga akhirnya ketika tangan bang Zaki meremas pantatku, aku
pun mulai ikut aktif menggerakan lidahku.
Bau. Mulut bang Zaki bau rokok.
Sialnya aku tidak bisa menghentikan aktivitas gila ini. "Bang,
henti--"
"Saya bilang diam. Saya
suka mulut kamu, Boy."
"Ahhh ...," desahku
ketika bang Zaki kembali meremas pantatku. Di detik-detik aku hanpir kehilangan
kesadaran, aku berhasil mendorong tubuhnya. Pagutan mulut kami terlepas,
anehnya aku merasa semua oksigen di ruangan ini lenyap, membuat nafasku
terengah-engah dengan dada bergemuruh. Bang Zaki kembali meraihku. Dka
memelukkku dari belakang kemudian menggerak-gerakan pantatnya ke atas dan ke
bawah.
"Tahu kah kamu, Boy. Saya
sangat menginginkanmu. Saya ingin menggagahimu setiap waktu." Bang Zaki
kembali mencium leherku.
"Fuck!" umpatku ketika bang Zaki
meninggalkan bekas di sana. "Bang kamu janji nggak akan
melakukannya."
"Ya saya janji. Saya hanya
menggerak-gerakan penis saya di pantat kamu. Semoga saja orgasme."
"Tetap saja, bang."
Bukannya aku merasa tidak nyaman, aku hanya takut kalau pertahananku runtuh dan
aku membiarkan ularnya yang besar itu masuk kembali atas ijinku.
"Kalau begitu, biarkan
saya memperkosa mulutmu, Boy. Saya nggak kuat."
Bang Zaki kembali mencium
bibirku, sementara pantatnya naik turun di belakang sana. "Ahhh."
Bang Zaki semakin liar
menciumku. Di sela aktivitasnya, dia sempat berkata, "Menurutmu cinta itu
apa, Boy?"
"Hmmm hmmm," lenguhku
tanpa sadar. "Cinta?"
"Ya."
"Cinta itu ya cinta. Cukup
satu kata, semua orang akan langsung terbayang bagaimana bentuk dan
perasaannya." Mulut bang Zaki tiba-tiba berhenti.
"Itu berarti, setiap orang
punya perspektif masing-masing soal cinta?" Aku mengangguk.
"Artinya cinta itu tidak
terdefinisikan apa maknanya melalui kata-kata, tetapi semua orang bisa tahu dan
paham seperti apa cinta itu."
"Haha. Jawaban yang sangat
bagus."
"Jadi menurut abang
sendiri cinta itu apa?"
Bang Zaki nampak berpikir
sejenak. "Berlebihan tidak jika kukatakan cinta itu adalah kamu?"
Wajahmu rasanya memanas.
"Kenapa harus aku?"
"Karena ... saya selalu
memikirkanmu setiap waktu sejak saat itu. Jadi apa namanya kalau bukan
cinta?"
Tawa sinisku langsung keluar.
"Itu bukan cinta, bangsat!" Bang Zaki terkekeh. "Jika kamu
mencintaiku, kamu tidak akan tega memperkosaku. Tidak akan pernah tega."
"Naif." Sikutku
langsung menonjok perutnya. "Memang benar. Asal kamu tahu, Boy. Sudah ada
ribuan kasus seseorang melukai orang yang dia cinta karena keadaan yang tidak
sesuai dengan ekspetasi."
"Dan kamu membenarkan hal
itu, bang?"
"Oh tentu. Hal itu
tetaplah bagian dari cinta."
"Jadi, kamu akan
membunuhku jika aku lebih memilih Reno, karena kamu nggak rela aku menikah
dengannya karena kamu mencintaiku."
"Yap. Anak pintar."
Aku memandangnya tak percaya. "Tapi saya nggak akan melakukan itu, Boy.
Kamu terlalu berharga untuk pergi dari dunia ini." Aku bungkam.
"Artinya gini, Boy. Menurut saya, cinta adalah segala sisi yang tidak
selalu membuat seseorang tersenyum. Di samping kata dan perasaannya yang indah,
banyak juga rasa sakit di dalamnya. Saya adalah pria yang meyakini cinta itu
tak selamanya indah. Mungkin karena cinta yang saya miliki terjebak di dunia
homo, di mana sampai kapanpun saya berusaha, akhir dari cinta seperti ini
tetaplah sama : tragis." Aku terhenyak. Penuturan bang Zaki ssdikit
membuat kepalaku pusing, tapi banyak juga hal yang bisa kupikirkan dengan baik
dan mendalam.
Bang Zaki benar. Sekuat apapun aku
berusaha membawa cinta tak sehat ini di dalam kehidupanku, hanya ada satu
jaminan ke mana cinta ini bermuara, yakni penderitaan. Meskipun ... kami
sama-sama saling mencintai.
"Lalu, meskipun kamu tahu
akhir dari cinta yang kamu amini, apakah kamu akan menyerah dan--"
"Tidak. Saya akan tetap
mengejar cinta saya. Saya akan tetap mengejar kamu, Boy. Tak peduli di setiap
langkah kaki saya, setiap sentinya terpancang paku yang sangat tajam."
Baiklah, meskipun terdengar picisan, kalimat bang Zaki tadi adalah kalimat
paling romantis yang pernah seseorang katakan padaku. "Bisakah kita tunda
obrolannya? Penis saya masih berkedut-kedut, Boy." Lagi, bang Zaki mencium
bibirku buas. Di sela aktivitasnya, bang Zaki sempat membisikan kata yang
membuatku merinding. "Pantat saya masih perawan, Boy. Jika kamu ingin,
saya akan menyerahkannya padamu sekarang juga. Kamu juga boleh
memasukinya."
Lalu impulsif tanganku meraba
pantat bang Zaki. Rasanya kenyal, besar dan ... oh Ayah! Aku ingin sekali
merasakannya! Ini kali pertama dalam hidupku beraktivitas seksual.
"Jadi ... kamu ingin
merasakannya atau tidak, Boy?"
Zaki
... dia adalah orang yang sangat sangat sangat berbahaya.