Senin, 15 Januari 2018


Preman Pasar : The Outside of Madness

Zaki #8

Sejak kapan aroma angin begitu memabukan?
Nafasku masih memburu. Kalimat terakhir bang Zaki membuat diriku bingung dan tak terkendali. Tanganku masih ada di belakang bokongnya, berharap hasrat yang terpendam ini segera tersalurkan. Ketika jariku hendak meremas lagi, tawa bang Zaki menyembur.
Dia melepaskan pelukan hangatnya, membuat udara di sekelilingku mendadak hilang. "Sampai mati pun, saya nggak akan memberikan terowongan saya padamu, Boy." Aku menggeram marah. Dia sedang mempermainkanku.
"Stop panggil aku dengan panggilan Boy! Aku nggak suka!" ucapku marah. Alis bang berkedut-kedut sambil menahan tawa. "Apa!?"
"Kalau begitu saya akan manggil kamu sweetheart. Bagaimana?"
"Oke, aku akan memanggilmu jalang."
"Nggak masalah."
"Tapi panggilanmu yang masalah!"
"Terus kamu mau dipanggil apa?"
Aku berpikir sebentar hingga akhirnya berkata, "Namaku Theo Greyson. Silakan pakai nama depanku atau nama belakangku." Ketika aku mengucapkan nama panjangku mendadak tubuh bang Zaki menegang. Dia memandangku lama, namun aku tahu pikirannya tidak sedang ada di sana. Apakah aku salah berucap lagi? Apakah aku akan diperkosa lagi? Kurasa aku harus kabur.
Namun sebelum itu terjadi bang Zaki berucap, "Theo. Saya akan memanggilmu Theo." Lalu dia pun berjalan mendekatiku sembari memegang tanganku kuat. Aku sempat berontak, tetapi aku tak nampu melawan tenaganya yang besar itu.
Aku melihat tubuh besar bang Zaki dari belakang. Demi apapun, aku lambat menyadari kalau bang Zaki mempunyai tubuh yang sangat-sangat bagus. Rambutnya pendeknya sedikit bergelombang, bahunya yang lebar penuh tonjolan otot, dan pantatnya yang menggunung itu membuat pikiranku menjadi tak sehat. Baiklah, tidak seharusnya aku berjalan di belakangnya.
Pantas saja ketika Aura menggandeng tanganku, aku tidak merasakan hasrat apapun padanya selain rasa kasih sayang yang kurasa hanya secuwil. Ternyata aku ho--tidak! Meskipun aku homo aku tidak mau mengakuinya. Aku akan menjadi homo terselubung. Juga ketika Ayu secara terang-terangan tertarik padaku, aku tidak merasakan getaran apapun selain menaruh rasa hormat. Tetapi ketika melihat tubuh bang Zaki, pikiran liarku mendadak terpacu. Juga ketika diriku melihat Reno. Di sungai itu, ketika aku melihat titit Reno, aku sempat kesulitan untuk bernapas. Hmm. Pantas saja! Dan sekarang bang Zaki akan membawaku ke rumah pohon itu lagi? Bukankah seharusnya aku senang akan diperkosa lagi sama pria berotot yang mempunyai roti sobek--tidak tidak tidak. Kenapa aku jadi terobsesi dengan aktivitas seksual? Apakah penyebabnya karena bibirku yang merah ini telah merasakan bagaimana nikmatnya? Jika itu terjadi, seharusnya aku menyalahkan Reno dan bang Zaki. Gara-gara mereka orientasi dan hasratku jadi kian membesar.
"Bang, aku nggak mau ikut. Lepaskan tanganku atau aku teriak," ancamku. Munafik sekali diriku ini. Seharusnya aku membenci bang Zaki dan memberinya pelajaran yang setimpal karena telah memperkosaku dengan begitu sadisnya. Nahasnya, reaksi tubuhku malah tidak sesuai dengan perkataanku. "Bang kamu sudah janji nggak akan menusukku lagi. Kumohon, bang. Aku kapok. Titit kamu gede bang. Kalau punya Reno baru--"
"Apa!?" sentaknya. Sial! Aku keceplosan.
"Jadi si lacur itu sudah memasukimu!?" Lacur? Ingin rasanya aku mendamprat mulut tak beretikanya.
"Nggak! Aku cuma pernah liat."
Bang Zaki mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Kamu nggak tahu? Yang besar itu bisa membuat kamu melayang sampai ketujuh lautan, lho," desahnya pelan.
"Yang benar saja! Selangkanganku besoknya nggak bisa digerakan, bahlul! Sakit banget sampai-sampai aku--"
"Yakin? Bukankah waktu itu kamu ...," ucapnya menggatung. Keenakan? Sial! Kenapa pikiranku jadi cabul? "Karena waktu itu kali pertama kamu melakukannya, The ...," ucapnya menggantung lagi. "Theo." Ketika mengucapkan nama itu, air muka bang Zaki kurasa berubah jadi murung. Dasar cowok aneh.
"Serius?" Kenapa aku malah menjawabnya begitu!?
"Iya serius. Mau coba lagi sama abang?"
"Gila!"
Meskipun rasa penasaran itu kian membesar, aku juga punya harga diri. Mana mungkin aku melalukannya setelah kucaci maki dirinya? Lagi pula, aku menginginkan Reno, bukan bang Zaki. Mungkin, inilah cinta yang bang Zaki maksud. Tak selamanya cinta menawarkan sisi indah dan memikat, tetapi banyak juga menawarkan sisi keinginan yang mungkin tak pernah terbalas. Sesuai apa yang akan dilakukan bang Zaki, aku pun akan menjaga cintaku pada Reno. Meski pada akhirnya, aku hanya bisa memendamnya. Aku tak tega merusak hubungan Reno dengan Enok yang batas hubungannya ada di antara bertunangan dan menikah.
"Kita akan pergi ke gunung Putri, Theo. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak mau pergi ke sana sendirian. Jadi, untuk kali ini saja saya memohon. Jangan membantah dan ikuti saja perkataan saya." Gunung? Sudah lama aku ingin pergi ke gunung yang ada di Bandung Barat. Reno pernah menjanjikan akan membawaku ke bukit tunggul, tetapi sampai saat ini belum juga terlaksana.
"Baik, bang. Untuk hari ini aku akan mengikuti ke mana pun abang pergi. Tapi janji jangan menusuk saya."
Bang Zaki mengacungkan jempolnya. Akhirnya aku naik motor bang Zaki sembari memegang celanamya kuat. Bang Zaki tidak memakai jaket atau baju berlengan. Dia memakan kaus oblong berwarna hijau army.
Dari belakang hidungku bisa membaui aroma tubuhnya. Mungkin karena angin menerpakan aroma itu langsung ke dalam hidungku. "Pegangan yang kuat, Theo!" ucapnya lantang. Aku tidak serta-merta menurutinya, mungkin karena aku takut seseorang melihat kedekatan kami, jadi aku tetap memegang celananya. "Keras kepala juga kamu ternyata," kata bang Zaki sembari terkekeh.
Bang Zaki menancapkan gas kencang sekali, membuatku memekik ketakutan. Tetapi anehnya aku menimmati moment ini. Adrenalinku terpacu. Dan ketika terpacu, entah kenapa aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.
"Bang hentikan! Bahaya berkendara di jalan berkelak-kelok dengan kecepatan hampir 100 km/jam!"
"Nggak perlu takut, Theo! Abang sudah ahli! Lagian jalanan di kota ini selalu sepi!"
"Hahahaha."
"Kok ketawa?"
"Nggak, bang. Ayo bang yang kenceng!"
Bang Zaki ikutan tertawa. Hidup memang selalu tak terduga. Kemarin-kemarin aku sangat membenci bang Zaki, tetapi hari ini, dia adalah orang yang membuatku merasa bebas menjalani hidup.
Kurasa ketika membenci seseorang, tak perlu membenci sebenci-bencinya karena bisa saja beberapa jam kemudian, dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat hidupmu jadi lebih berwarna.
Tanpa sadar aku merapatkan tubuhku, meskipun tanganku tidak memeluk pinggangnya. Entah bang Zaki menyadari atau tidak, aku tidak peduli. Yang terpenting, aku ingin memanjakan hidungku dengan aromanya. Ah, andai saja orang yang di depanku ini adalah Reno. Kurasa rasa bahagiaku tak akan mengenal batas.
"Sudah sampai?" tanyaku.
"Sampai di parkiran. Kita harus naik gunung sejauh 2 km." Aku membelalakan mata. Kalau jalannya lurus sih tak masalah, tapi kan jalannya menanjak. "Jangan bilang kamu nggak kuat naik gunung sekecil ini, Theo."
"Kata siapa? Kuat kok. Aku kan seri lari."
"Sering lari bukan berarti kamu kuat berlari. Kamu hanya sedang melatih staminamu yang payah itu."
"Yah kamu benar, bang."
"Tentu. Saya tahu apapun tentang kamu."
"Oh ya?"
Kami mulai mendaki. Sepanjang jalur, setiap sisinya penuh dengan pohon pinus yang menjulang tinggi. Tubuh bang Zaki seperti pohon itu. Jangkung, besar dan meneduhkan sesekali. Karena hal itulah aku senang berjalan di belakangnya. Aku malas mengakui aku menyukai pantatnya yang besar itu. Tidak, aku tidak akan mengakuinya. Lagian, rasa suka ini terdengar menjijikan yang sialnya mendebarkan. Hm. Sungguh ironi.
"Ya."
"Contohnya?"
"Saya tahu kamu jatuh cinta pada saya." Aku menendang kaki jenjangnya.
"Ngayal! Nggak mungkin aku suka cowok urakan kayak kamu, bang." Bang Zaki mengedikan bahu. Di depan sana ada pohon yang telah tumbang. Bang Zaki berusaha mengangkatnya dan ternyata berhasil. Aku terpana melihat kekuatannya.
"Oh kamu akan jatuh cinta pada saya, Theo." Pd sekali dia.
"Hanya ada dalam mimpimu, bang. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah menerimamu jadi apapun di hidup aku."
Bang Zaki berbalik sebentar sebelum akhirnya kembali menatap ke depan. "Jangan begitu, Boy."
"Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama itu!"
"Jangan begitu, Theo," ulangnya. "Kamu membuat saya sedih."
"Aku nggak peduli."
Bang Zaki menghentikan langkahnya. Kukira, dia akan marah. Tetapi dia hanya ingin memberiku buah aneh yang dia dapat di depan pohon pinus yang katanya bisa di makan. Ketika kumakan, rasanya manis sedikit kesad. "Tidak masalah. Saya ... akan selalu mencintai Theo. Kapanpun dan di mana pun." Ada nada getir dalam kalimat itu. Aku mengetahuinya. Sayangnya aku tidak tahu apa penyebabnya.
"Aku nggak suka sama prinsip cintamu, bang," katamu akhirnya. "Prinsip itu akan membuat dirimu menderita. Kamu bodoh jika terlalu mendramatisir keadaan kayak gitu. Jika kamu tak bisa mendapatkan orang yang kamu cintai, ya tinggal cari yang lain. Sesimpel itu--"
"Kamu benar, Theo. Saya menderita dan saya akan menyerah." Kalimatnya barusan bagai enigma buatku. Ketika aku bertanya lebih jauh, bang Zaki tak kunjung menjawab.
Jujur saja menurutku sosok bang Zaki adalah sosok yang sangat misterius. Aku tak pernah paham dengan jalan pikirnya. Tetapi syukurlah jika dia menyerah untuk mendapatkanku, itu artinya aku nggak akan diteror sama dia lagi. Malahan sekarang dia banyak diamnya. Ketika aku bertanya ada apa, bang Zaki selalu menjawab, 'saya baik-baik saja.'
Hampir 1 jam kami mendaki. Rasanya kakiku sudah merasa ngilu. Nafasku sedari tadi naik-turun, sementara kaki bang Zaki malah semakin cepat melangkah. Ketika melihatku duduk di atas pohon, bang Zaki berdecak kesal. "Dasar lemah. Cepat jalan, nanti keburu banyak orang di atasnya."
"Aku nggak kuat, bang. Aku nggak pernah naik gu--"
"Halah. Sini saya gendong." Kepalaku langsung menengok ke arah bang Zaki. "Cepat naik atau saya tinggal," lanjutnya. Dengan senyum mengembang aku baik ke gendongannya. Dalam posisi ini aku bisa menghirup aroma kelelakian bang Zaki dengan leluasa. "Berat sekali. Makanya kalau punya titit janga gede, jadinya berat kan. Titit kamu pasti 25 kg ya--ah." Bang Zaki mengaduh keras lewat suara baritonnya.
Selama perjalanan pun aku digendong naik ke atas sama bang Zaki. Aku sempat memintanya untuk menurunkanku ketika kami berpapasan dengan seseorang. Tetapi sialnya, tangan bang Zaki malah langsung meremas pantatku. Dasar cowok gila! Gimana kalau mereka melihatnya?
15 menit berlalu, bang Zaki masih bisa bernafas normal. Setelah waktu berjalan selama 30 menit, baru aku bisa mendengar suara nafas bang Zaki yang terengah-engah. Hal itu lantas tak membuatku turun dari gendongannya. Malah aku semakin kuat mengalungkan tanganku dk lehernya.
"Akhirnya sudah sampai," kata bang Zaki. Kepalaku langsung mendongak. Benar. Aku bisa melihat puncaknya.
"Aku turun di sini saja."
"Anak pintar. Turun ketika puncak ada di depan mata."
"Hahaha. Sudah ah, aku duluan ya, bang."
"Hey!"
Aku tak memedulikan umpatannya. Aku ingin melihat pemandangan kota Bandung dari atas puncak. Pasti indah sekali. Ternyata memang benar. Ketika diriku ada di atas, aku bisa melihat gunung berjajar dan bukit berundak-undak. Tak hanya gunung dan bukit, dari sini juga aku bisa melihat kebun dan perumahan. Indahnya. Kurasa akan lebih indah kalau di atas sini ada Reno.
"Bagaimana?"
Kujelaskan semuanya apa yang kurasakan pada bang Zaki. Dia hanya tertawa renyah. Selepas puas menyanyaiku, bang Zaki berjalan ke depan kemudian duduk di tepi puncak sembari menelentangkan tubuhnya. Di atas kepalanya ada kanopi pohon, jadi wajahnya tidak kepanasan terkena sinar matahari.
Kuturuti apa yang dia lakukan. Bedanya, aku tiduran bukan di samping bang Zaki, tetapi di pohon lain yang sama-sama mempunyai kanopi lebar. Rasanya damai sekali. Burung meratus riang, angin mengembus merdu dan suara alam yang menenangkan. Semua hal itu membuatku ngantuk. Hingga tanpa sadar ketika mataku terbuka, jam sudah menunjukan pukul 3 sore. What the hell! Berapa lama aku tertidur!?
Kulihat bang Zaki tidak ada di mana-mana. Apakah dia pergi meninggalkanku sendirian di sini? Jika iya, akan kubunuh dia saat ini juga!
Sesaat kemudian aku mendengar suara tawa yang kuyakini adalah tawa bang Zaki. Kucari sumber suara itu hingga akhirnya aku menemukannya. Bang Zaki sedang mengobrol dengan para pria dan wanita di depan api unggun. Mereka sedang membakar jagung.
"Nah dia sudah bangun," kata bang Zaki ketika melihatku. "Saya kira kamu merosot ke gawir." Beberapa orang dari mereka tertawa menanggapi kalimat bang Zaki.
Aku marah. Harusnya dia membangunkanku, bukan meninggalkanku sendirian di sana. Lagi pula aku harus pulang. Pasti Ayah dan Reno sedang mencemaskanku. Kubisikan pada bang Zaki bahwa aku ingin pulang sekarang juga. Dia menggeleng kuat-kuat. Katanya teman yang baru dia kenal mengajaknya kemping bersama, yang berarti mereka mengajakku juga. Tawaran bang Zaki tentu saja menggiurkan. Tetapi, apa jadinya nanti jika aku tidak pulang ke rumah?
Reno, dia pasti orang pertama yang akan membunuhku.
"Nanti saya yang akan menjelaskan, jadi kamu tenang saja," kata bang Zaki menyadari kekalutanku.
"Benar?" jawabku karena memang aku ingin lebih lama berada di sini.
"Ya, benar."
Akhirnya aku ngikut perkataan bang Zaki. Selama menunggu jagung bakar, mereka bernyanyi sembari memetik gitar. Di pertengahan lagu, sepertinya aku tahu mereka sedang menyanyikan lagu apa, maka aku ikut bernyanyi bersama mereka. Bang Zaki terpana mendengar suaraku. Katanya, suaraku mirip penyanyi barat yang sering dia dengar. Kukatakan saja padanya aku memang bukan asli warga pribumi, tetapi campuran, jadi warna suaraku tidak seperti orang Indonesia. Bang Zaki mengangguk-ngangguk mafhum.
Jam 5 sore, kami semua naik ke atas puncak. Syukurlah Deden, dia teman baruku di sini, membawa kamera. Jadi kami bisa mengabadikan momen saat ini.
Warna langit kuning keemasan. Layung yang sangat indah. "Den, tolong foto saya dan Theo." Bang Zaki memanggil Deden yang sedang menyeting kameranya.
"Oke, sebentar, bang."
Setelah selesai mengutak-atik kamera di tangannya, Deden menghampiri kami. "Hmmm kalian diam di sana saja. Langitnya bagus, terus latarnya juga menarik." Bang Zaki dan aku mengangguk. "Siap?"
Tangan kanan bang Zaki memegang bahuku sementara tangan kirinya memegang kepalaku, membuat pose seperti sedang mengacak-ngacak rambutku, dan memang dia melakukannya sambil tertawa. Sontak mataku mendongak ke atas melihat bang Zaki. Setelah kulihat hasil jepretannya, demi apapun, foto itu bagus sekali. Tawa bang Zaki begitu lepas. Kami terlihat seperti adik-kakak yang sangat akrab. Ditambah lembayung senja itu menguatkan sisi keadaan yang sulit kuutarakan.
"Bagus sekali, kang."
"Ya, bagus sekali," ulang bang Zaki. "Satu kali lagi ya," imbuhnya.
Kami saling berangkulan. Pose yang sangat lumrah bagi kawan yang sudah bersahabat sejak lama. Selepas itu, aku dan bang Zaki memisahkan diri. Kami berjalan menuju tepi puncak melihat matahari terbenam. Kebanyakan dari kami tidak membuka mulut. Diam membeku, memikirkan deretan pertanyaan muskil.
Mata bang Zaki lurus menatap ke depan. Hingga akhirnya aku tersadar, tujuan bang Zaki pergi ke gunung adalah melepas kalut. Aku tahu sisi lain pria semacam bang Zaki tidak akan mengumbar masalah yang sedang dia alami. Orang semacam itu akan menyimpannya rapat-rapat, dan bercerita penuh dengan sikap diamnya. Ingin rasanya aku mengulik sejumput sisi hidupnya. Bukan karena aku merasa penasaran, tetapi melihat laki-laki gahar, ganas, garang, barbar menjadi seorang pendiam membuat diriku tak nyaman. Sungguh, aku merasa sedih mihatnya.
Tanpa sadar aku menggenggam tangannya kuat-kuat. Bang Zaki menoleh sambil tersenyum mengejek. "Kenapa?"
Langsung kulepaskan genggamanku.
Lembayung senja semakin menguning hingga akhirnya sepenuhnya berwarna orange. Bang Zaki menyuruhku diam di sini sementara dia pergi membaur entah untuk kepentingan apa. Hingga akhirnya amu mendengar suaranya yang berat itu berkata, "Theo, berbalik." Dia pun memotret diriku. "Siluet," ucapnya kemudian.
 "Siluet," ucapnya kemudian   


Benar. Siluet tubuhku nampak sedang melihat kamera.
(Meskipun nggak mirip anggap saja si Grey alias Theo ya. Oh ya, khusus orang Bandung yuk ah caw kemping.)
Lagi kami berjalan menuju tepi puncak. Kalau aku mendorong bang Zaki ke bawah, sudah pasti bang Zaki akan langsung mati. Haruskah kudorong dia? Kurasa aku akan melakukannya. Dalam mimpi.
"Kita pergi ke sana saja," kata bang Zaki. Dia menunjuk satu pohon besar yang banyak semak-semaknya. Sesampainya di sana, bang Zaki duduk sambil menjuntaikan lakinya ke bawah. "Sini duduk. Matahari sudah sepenuhnya terbenam. Nggak akan ada orang yang melihat kita."
Aku mengangguk. Kini aku duduk di sampingnya. Tangan bang Zaki langsung memegang kepalaku kemudian menaruhnya di bahunya yang lebar. Aku tidak melawan. Kubiarkan tangannya yang kasar mengusap rambutku. Jujur saja dadaku bergemuruh. Hasratku naik sampai ke ubun-ubun, berharap bang Zaki akan melancarkan aksi mesumnya. Tetapi, dia tidak melakukan itu. Dia masih diam tidak bersuara, entah memikirkan apa.
Zaki. Satu nama penuh misteri yang kini hinggap di hidupku.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -