Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Zaki #9

Malam semakin larut. Kami tidur di dalam tenda saling berdesakan dengan si empunya tenda. Aku tidak terlalu keberatan, selain karena aku menumpang kemping di tenda ini, juga membuat tubuhku jadi lebih hangat.
Kini aku masih terjaga. Memandang wajah bang Zaki lekat di tengah remang cahaya lampu petromaks dalam tenda. Aku ingin benci kepadanya. Aku ingin marah padanya. Aku ingin membalas perbuatannya. Aku ingin meninju wajahnya. Tetapi kenapa semua perasaan itu lenyap seketika? Apakah perasaan manusia itu gampang berubah-ubah? Jika iya, kurasa aku telah mengalaminya. Sisi yang kemarin kulihat adalah sisi ketika aku belum mengenalnya. Lalu apakah sekarang aku sudah mengenal bang Zaki? Tentu saja belum. Kedekatan kami hanya berlasung selama satu hari ini saja. Maksudku, dibandingkan kemarin, kini aku mengenal sisi lain bang Zaki yang menurutku baik dan seharusnya bisa diterima oleh semua orang. Misalnya, dia adalah pendengar yang baik. Beberapa orang yang baru kami kenal bercerita soal adik perempuannya yang nakal, suka pulang malam dan suka berfoya-foya. Bang Zaki fokus mendengarkan sebelum akhirnya memberi saran yang menurutku dipilih dengan pemilihan kata yang tepat dan tidak menyakiti.
Lalu aku mencoba bercerita soal dunia abu-abu yang baru aku masuki. Kenapa aku menyadarinya sekarang. Kenapa tidak seperti pria gay pada umumnya. Jawabannya sedikit membuatku lega. ‘Karena kamu adalah tipe orang yang tidak tertarik dengan sebuah hubungan. Kamu tipe orang apatis terhadap hal itu. Jika kamu tertarik seperti kebanyakan orang pada umumnya, sedari dulu kamu akan mencoba-coba berhubungan dengan wanita hingga akhirnya kamu tahu kamu tidak tertarik padanya. Pertanyaan pun muncul. Lalu kamu merasa debaran aneh ketika melihat pria tampan di koran atau mungkin gurumu sendiri. Dan, kamu pun akan mengalami fase denial dan menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu akan merasa hina. Kamu akan merasa jijik terhadap diri kamu sendiri.’ Saat itu bang Zaki memberi jeda kalimat panjangnya lalu berkata kembali saat menatapku. ‘Beruntungnya, kamu menyadari kamu berbeda di umur 23 tahun, itu pun secara tidak sengaja. Kamu tidak menyadari kamu berbeda saat berhubungan dengan Aura karena saya yakin Aura yang menyukaimu dan entah bagaimana caranya kalian pacaran. Hatimu punya dalih untuk berkata kamu tidak menyukai Aura secara hasrat karena memang sedari awal kamu tidak menginginkannya. Ketika kamu pindah ke sini, bertemu lah kamu dengan Reno, cowok sialan yang mulutnya kayak perempuan itu. Secara hasrat kamu sudah tertarik padanya, ditambah kalian berdua setiap harinya bersinggungan. Klimaksnya—‘
‘Kamu memperkosaku, bang!’
‘Haha. Saya nggak kuat, Theo. Salah siapa punya wajah aneh kayak gitu.’
‘Aneh!?’
‘Kamu nggak kayak orang pribumi. Menurut saya itu aneh. Wajah aneh dan tampan.’
‘Cuih! Terus?’
‘Ya intinya kamu adalah orang apatis terhadap suatu hubungan. Hal itu langsung berubah ketika hati dan pikiranmu mulai bertanya-tanya yang muncul oleh keadaan tak terduga. Lalu kenapa saya katakan kamu beruntung menyadarinya di umur 23 tahun?’
‘Nggak tahu, Bang.’
‘Kamu tidak akan terlalu melodrama menanggapinya. Kamu cukup dewasa untuk berpikir dan bertindak. Saya tidak akan pernah menyebutkan dan menjelaskan menjadi gay itu benar atau salah. Semua itu kamu yang harus mencarinya. Saya hanya ingin berkata, jika kamu ingin menjauhi dunia seperti ini, mending dari sekarang saja. Saya akan menjauhi kamu. Saya tidak akan mengganggu kamu lagi, Theo. Saya—‘
‘Kamu gila, Bang! Setelah apa yang kamu lalukan padaku, kamu menyuruhku untuk meninggalkan semuanya!?’
‘Dengarkan sampai selesai, Theo! Saya minta maaf karena telah membawamu ke dunia pelangi yang sejatinya tidak berwarna ini. Tapi saya tidak menyesal melakukannya karena cepat atau lambat kamu akan tahu soal kehomoan yang ada di dalam diri kamu. Jika bukan saya, ya si Reno yang akan membuatmu paham. Ketika kamu tidur di atas puncak tadi siang, tiba-tiba saya ingat seseorang. Berbanding terbalik dengan kamu, dia tidak serta-merta menerima orientasinya. Dia sangat membenci dunia seperti ini karena banyak membuatnya menderita. Hanya satu kata yakni ‘menderita’, satu kata itu telah mematahkan semua prinsip saya. Seorang pria tidak akan membiarkan orang yang dia sayang menderita. Tidak akan pernah.’
Seorang pria tidak akan membiarkan membiarkan orang yang dia sayang menderita. Tidak akan pernah.
Itulah akhir dari obrolan panjangku dengan bang Zaki tadi malam. Aku tidak pernah merasa asik ketika mengobrol dengan seseorang, tetapi lain dengan bang Zaki sehingga aku merasa tidak ingin untuk berhenti. Sayangnya, Bang Zaki ingin segera tidur jadi ya ... kalimat terakhir dia mengiang-ngiang di alam pikirku sampai sekarang.
Aku tidak terlalu bodoh untuk tidak mengerti apa maksud kalimatnya. Aku tahu betul. Secara tidak langsung Bang Zaki berkata bahwa aku adalah orang yang dia sayang. Maka dari itu, dia memberiku saran untuk segera meninggalkan dunia pelangi ini. Dua pelangi yang isinya hanya ada hitam dan putih. Aku merasa tidak rela. Tapi, kurasa bagus dicoba. Lagian Ayah pasti akan sedih jika aku terjerumus lebih jauh lagi. Aku takut jikalau Ayah terkena serangan jantung ketika melihat perutku bunting mengandung anak bang Zaki. Oke tidak lucu. Sekarang aku hanya ingin tidur.
Zaki. Kurasa aku akan mulai membela jika Reno berkata buruk soal dirinya.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -