Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Pergi ke Jakarta #1
Aku memang tidak
menginginkannya. Burung di atas dahan sana tahu akan hal itu.
Sial.
Aku bangun jam 9 pagi. Lebih
sialnya lagi, setelah kupukul bahu bang Zaki, dia belum terbangun juga. “BANG
BANGUN! JANGAN KEBLUK KITA HARUS PULANG!” Akhirnya setelah aku berteriak di
dekat telinganya, Bang Zaki membuka mata.
“Saya masih ngantuk, Theo.”
“Ayahku pasti khawatir, Bang.
Ayo kita pulang sekarang.”
Bang Zaki mengangguk. Setelah
meminta izin pulang, kami pun melengos pergi. Kaus oblongnya tampak kotor,
mungkin karena kemarin malam dia tiduran di atas rumput.
Belum juga kami berjalan selama
30 menit, lututku rasanya sudah ngilu. Bang Zaki mengomel soal keadaan fisikku
yang katanya sangat lemah. Dia terus mengolok-olok otot yang ada di perut dan
lenganku. Memangnya ada jaminan apa cowok berotot itu bagus fisiknya? Dasar
aneh. Seperti cowok tinggi nggak ada jaminan dia cepat larinya. Malahan temanku
saat SMA dulu, tingginya tak lebih dari 160 cm setiap ada pertandingan lari,
dia sering juara pertama.
Angin pagi ini besar sekali.
Setiap pohon yang kulalui, ranting pohon itu banyak yang terjatuh.
Sesampainya di parkiran, kami
langsung naik motor dan melesat pergi ke rumahku. “Bang, tubuh kamu asem.” Bang
Zaki terkekeh. Memang benar asem tetapi asem yang tidak mengganggu. Sepanjang
perjalanan aku tak bisa menghentikan pikiranku soal Ayah dan Reno. Mereka pasti
cemas dan akan memarahiku habis-habisan.
“Siap-siap di rumah kamu bakal
banyak orang.” Aku terheran-heran, hingga akhirnya aku tersadar, sudah pasti
bakal banyak orang. Mereka pasti menganggapku hilang atau diculik.
Tentu saja pemikiran itu tepat
sasaran. Ketika melihat berjalan sambil tersenyum lebar, Enok langsung berseru
nyaring, “AAAAAAA ITU DIA ORANGNYA!” Di antara kerumunan itu, wajah Reno
langsung menyembul sembari berlari kecil menatapku marah. Ditambah ketika
melihat Bang Zaki ada di sampingku, tatapannya semakin tajam membunuh.
“KAMU KE MANA SAJA, HAH!? SEMUA
ORANG DI SINI KHAWATIR TAHU!” Seharusnya aku sudah menduga hal ini bakal
terjadi, tetapi tetap saja aku terkesiap ketika mendengar sentakan Reno. Dia
100 % marah. “SEMALAMAN SAYA NYARI TAPI NGGAK ADA YANG TAHU KE MANA KAMU PERGI!
DAN SEKARANG KAMU—”
“Grey!” seru Ayah. Memang nada
kalimatnya tidak setinggi Reno, tetapi kalimat dengan garis muka datar itu
membuat bulu kudukku meremang. “Masuk ke rumah se-ka-rang.”
“Tapi Yah—”
“Eleh
eleh sudah Bapak duga pasti
ini teh ulah kamu, Zaki!” Ketua RW, Pak Tharik, menyela ucapanku. “Sudah-sudah
sekarang bubar. Ibu-ibu, Bapak-bapak, kalian bisa bubar sekarang biar masalah
ini diselesaikan oleh pihak keluarga dan kerabat di dalam. Dan kamu Zaki, kamu
tetap di sini!” Bang Zaki mengedikkan bahunya tak peduli. Dia mengambil rokok
di sakunya kemudian merokok di depan kami semua seakan kami sedang berkumpul
untuk menonton bola. Aku ingin memarahinya sekarang juga. Bisa-bisanya dia
merokok disaat genting seperti ini.
Di dalam rumah, ketika
tatapanku bertabrakan dengan Reno atau Ayah, kulempar mereka dengan senyum
canggung. Bukannya membalas senyum, Reno malah memalis kemudian menatap bang
Zaki penuh kesumat. Aku tahu bang Zaki menyadari dia banyak dilihat olehnya. Tetapi
saking cueknya, mungkin dia tak akan peduli jika Reno memandangnya sambil
membawa pisau.
Sekarang di depanku ada Ayah,
Reno orang tua Reno, Enok, Ayu dan juga Pak RW. Posisi mereka ada di depan
sementara di sampingku hanya ada bang Zaki seorang.
"Bang, seperti katamu,
abang harus tanggung jawab!" desisku pelan. "Aku bingung harus
menjelaskan bagaimana pada mereka." Aku menggeram marah ketika reaksinya
hanya menaikan alis sambil merokok.
Selang beberapa detik kemudian
dia berkata, "Iya sayang."
Mataku langsung menatapnya
horor. Aku yakin kalimat dia terdengar oleh mereka, tetapi setelah kuperhatikan
baik-baik, sepertinya mereka sedang sibuk sebelum akhirnya menyidang bang Zaki.
"Jadi, kamu bawa kabur ke
mana si Grey, Zaki," kata Pak RT to the point.
"Sekarang dia nggak akan
di sini Pak Rete kalau sama saya dibawa
kabur." Kulihat Reno semakin mengatupkan rahangnya.
"Oke, kamu apakah dia
sampai-sampai dia tak mau pulang. Kamu panti mengancam dia!" Bang Zaki
mematikan rokoknya kemudian memandang mereka satu per satu.
"Saya memperkosa
dia," kata Bang Zaki. Sudah pasti tubuh kami semua, termasuk diriku,
menegang seketika.
“Kamu serius, Zaki?” jawab Pak
RT.
“Ya bercanda lah masa serius!”
“Kamu ini!”
“Baiklah, jadi kamu bawa ke
mana dia?” Kali ini Ayah yang bertanya.
“Saya bawa dia ke gunung.
Sebelumnya Theo berkata ingin pergi ke gunung sama temannya, tapi sampai
sekarang temannya belum membawa dia ke gunung. Akhirnya saya mengajak—tidak
tetapi memaksa dia—untuk ikut saya naik gunung dan kemping di sana. Tentu saja
dia berontak. Hubungan saya dan Theo kan hanya sebatas teman biasa. Tapi—”
“Theo?”
Ayah cepat menanggapi. “Theo
nama depan anak saya. Theo Greyson.”
“Baiklah Bapak menangkap apa
maksud kamu, Zaki. Benarkah itu apa yang terjadi?” Aku mengangguk. Beberapa orang
di antara mereka mengembuskan nafas panjang. Hingga akhirnya aku menemukan
alasan kenapa bang Zaki berperilaku seenaknya seperti merokok dan tidak
menanggapi ucapan mereka dengan serius. “Meskipun itu yang terjadi, saya tidak
tahu apa yang akan kamu lakukan pada dia nanti. Jadi jangan coba-coba berbuat
sesuatu padanya.” Itu bukan pertanyaan tetapi tuduhan! Apakah dia selalu
diperlakukan seperti itu oleh masyarakat?
“Benar! Dia pasti punya maksud
terselubung!” ucap Reno.
“Ya saya memang punya maksud
terselubung. Karena udara di gunung lebih dingin daripada di sini, saya memaksa
dia ikut supaya dia bisa membelikan saya rokok.” Kepalaku berputar ke
kiri, mencoba melihat Bang Zaki yang telah berbohong demi membebaskanku dari
persidangan. Kalau dipikir-pikir, kenapa Bang Zaki yang terus ditanya? Memang
benar Bang Zaki memaksaku ikut, tetapi kan pada akhirnya, jauh di dasar hatiku
aku memang ingin pergi ke sana.
“Tuh!” seru Reno berapi-api.
“Dia pasti punya maksud lain
yang membahayakan.” Ayah Reno ikut-ikutan bersuara.
“Terserah. Kalau tidak percaya
tanya saja pada orangnya.”
“Zaki!”
“Saya harus pergi.”
“Tidak kamu tetap di sini!”
kata Reno. “Kamu belum menjelaskan bagian pentingnya. Secara logika Rey nggak
mungkin mau ikut kamu kalau nggak kamu paksa. Jadi kamu pasti mengancam dia.”
Haruskah aku senang mendengar kalimat barusan? Jika Bang Zaki adalah orang yang
pertama kali kulihat dulu, mungkin aku senang karena ada yang membelaku sampai
segitunya. Tapi sekarangkan situasinya berbeda. Bang Zaki adalah orang baik
dengan caranya sendiri.
Aku merasa telah menjadi
laki-laki pengecut. Aku berkata kepada Bang Zaki seolah-olah kesalahan ada pada
dia, semuanya. Padahal kan kenyataannya tidak begitu. Tetapi aku tidak
menyesal. Dengan kejadian ini aku bisa melihat kesungguhan Bang Zaki menepati
janjinya. Dia rela berbohong dan membuat dirinya nampak buruk untuk membelaku.
“Sudah, Pak. Biarkan Bang Zaki
pergi. Memang benar Bang Zaki memaksa saya, tetapi karena saya sedari dulu
memang ingin pergi ke gunung, jadi ya saya ikut dia. Lagian dia baik kok. Saya
sempat nggak kuat naik ke atas, tapi dengan sabar Bang Zaki menunggu saya.”
Padahal aslinya aku digendong sama dia. Bodo amat. Tidak mungkin aku berkata
hal memalukan seperti itu.
“Menunggu? Bukannya—”
“Iya menunggu!” desisku tajam.
Bang Zaki mengedikan bahu tak peduli. “Jadi biarkan dia pergi. Saya juga salah
karena tidak menulis pesan di meja.”
Reno tak terima. Dia terus
memaksa Bang Zaki untuk mengakui maksud terselubungnya, tetapi apa yang harus
diutarakan? Sementara aku yakin Bang Zaki tidak mempunyai maksud apapun.
“Benar kata Theo. Saya harus
pergi,” kata Bang Zaki sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana kamu!”
“Mau ee. Kamu mau ikut,
Reno?”
“Hahahahaha.” Aku tak bisa
menahan tawaku mendengar kalimat lucu Bang Zaki. Reno memandangku tajam,
membuat tubuhku merenggut seketika.
“Kamu tetap di sini, Zaki,”
kata Pak RT.
Kali ini wajah Bang Zaki
berubah serius. “Saya memang tidak terlalu paham terhadap peraturan di kampung
ini. Tapi asal Bapak tahu, saya bukanlah orang yang tidak paham terhadap
peraturan hukum. Bukankah seharusnya Bapak yang terhormat mendiskusikan masalah
ini dengan ketua RT di tempat saya tinggal? Saya tidak tinggal di sini, Pak.
Jika Bapak belum mendengar, saya ti-dak ting-gal di-si-ni.”
“Memang benar. Tapi nak Grey
ini tidak tinggal di sana, tho? Dia tinggal di sini jadi sudah sepatutnya
menjadi urusan saya.”
“Baiklah. Saya tahu betul itu,
Pak. Makanya saya datang ke sini, ada di depan kalian sekarang, dan saya rasa
pertanyaannya sudah cukup sampai disitu karena memang saya telah menjawab
semuanya. Jadi kenapa saya harus tetap tinggal? Jika Bapak orang terpelajar,
seharusnya Bapak melepaskan saya pergi.”
Aku tidak suka ini. Suasana
semakin memanas. Seharusnya, pertanyaan tidak semuanya tertuju pada Bang Zaki,
seharusnya aku juga ditanya, seharusnya ... mereka tidak menuduh Bang Zaki,
hingga membuatku bertanya, apa yang sudah dilakukan Bang Zaki hingga membuat
dia dibenci seperti ini?
"Sudah kamu pergi saja,
Bang." Ayah memandangku tajam. "Abang sudah menjelaskan semuanya.
Buar sisanya aku yang menjelaskan pada mereka," kataku pelan.
Bang Zaki memandangku dengan
tampang sumringah. "Serius!? Saya beneran pengen ee. Takutnya mencret kan
bahaya. Ya sudah saya pergi dulu ya dan ... selamat tinggal." Dua kata
terakhir itu membuatku bungkam. Bang Zaki selalu menepati perkataannya. Itu
berarti dia serius tidak akan menggangguku lagi.
Selepas Bang Zaki pergi, kukira
aku boleh pergi ke kamar. Sialnya, aku dimarahi habis-habisan. Semua keburukan
Bang Zaki kudengar tanpa sensor, seperti dia pernah membunuh, senang berkelahi
dan lain-lain. Kalimat terakhir Pak RT syukurlah menutup adegan penuh drama
ini.
"Sudahlah. Mungkin nak
Grey ini belum melihat sisi belangsak di Zaki. Kita biarkan saja, nanti juga
dia tahu."
Belum tahu sisi buruk Bang
Zaki!? Tahu kah kau, Pak. Aku sudah diperkosa sama dia satu kali!
👬
Malamnya Reno datang ke rumah
pohon sambil memberiku surat. Setelah kubaca ternyata dari Reyhan.
Halo,
Rey. Apa kabar?
Aku
hanya ingin memberitahukan dua berita kepadamu. Satu berita baik dan satunya
lagi berita buruk. Kurahap kamu siap ya. Aku dan teman-temanku di sini
sebenarnya syok sekali mendengarnya, apalagi kamu. Jadi kamu ingin berita
baiknya atau buruknya terlebih dahulu?
Pasti
baiknya. Baiklah, aku sudah mendiskusikan masalah soal kepindahanku ke Bandung
sama Ibu dan Ayahku. Mereka menginzinkanku pergi setelah wisuda nanti dengan
syarat : di sana aku harus mendapatkan pekerjaan. Kalau belum, ya terpaksa aku
kembali lagi ke Jakarta dan bekerja di perusahaan teman Ayahku. Jadi kamu harus
bantu aku cari kerja di sana, oke?
Berita
buruknya ... Aura telah bertunangan.
Sudah
ya.
Reyhan
Lho? Kenapa bagian terburuknya
dia tulis sedikit? Ah, aku tahu. Pasti maksudnya supaya aku pergi ke sana, ke
Jakarta. Dasar Reyhan! Dan ehat the hell! Aura
bertunangan? Kok aku merasa senang?
"Kenapa kamu teh senyum-senyun sendiri?" kata
Reno. Dia membawa teh hangat hasil buatannya sendiri, petikannya sendiri
selepas kembali dirinya di Subang.
"Bukan sesuatu yang
penting."
Reno beringsut dari tempatnya
duduk ke sisiku. Dia mengatupkan mulutnya sembari memainkan teh di tangannya.
Lama dia melakukan itu. Sementara aku sibuk membuat surat balasan untuk Reyhan.
"Kenapa kamu nggak ngasih
tahu nama kamu teh Theo
Greyson? Malah bilangnya ke si Zaki. Terus kenapa juga kamu nggak bilang pengen
pergi ke gunung. Kalau kamu bilang kan langsung saya antar ke sana." Aku menghentikan
aktivitas menulisku kemudian menatap Reno. Jelas sekali dia sedang menuntut
balasan.
"Karena ...," kataku
menggantung.
"Karena apa, Theo."
"Ish kok kamu bilang Theo?
Rey saja aku sudah terbiasa dengan nama itu."
"Tapi si Zaki satu-satunya
orang yang manggil kamu dengan sebutan itu."
"Dan kamu satu-satunya
orang yang memanggilku dengan sebutan Rey. Sudah deh, Ren. Kamu kan kemarin
kerja. Aku mau ke gunungnya kemarin."
Reno menyimpan teh hangatnya di
atas lantai. "Tapi kenapa harus sama si Zaki? Saya nggak suka kamu
dekat-dekat sama dia. Pokoknya nggak suka."
"Hmm."
"Kamu nggak akan ketemu
dia lagi kan?"
"Hmm."
"Jawab pertanyaan saya,
Rey!" Aku memutar bola mata sebal.
"Aku sedang menulis. Kamu
jangan ganggu aku dulu."
"Oke. Setelah nulis jawab
pertanyaan saya." Sial. Kukira dia akan pergi ketika aku berucap seperti
itu. Dia malah berniat menungguku.
5 menit kemudian aku selesai
menulis. Mata kami bertabrakan sebentar, hingga akhirnya aku memutuskan untuk
tidak meladeni keinginan Reno untuk hari ini saja. Aku ingin tidur. Kemarin
malam aku tidak tidur nyenyak.
"Rey! Kamu akan ke
Jakarta!?" seru Reno menggelegar. "Pokoknya saya pengen ikut!"
Ah, aku lupa melipat surat yang telah kubuat.