Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Pergi ke Jakarta #2
👬
Sudah dua hari Reno tidak
datang ke rumahku. Kata Ayah, Reno sedang sibuk mengurusi pekerjaan. Aku
beberapa kali memintanya untuk melibatkan diriku dengan urusan bisnis, tetapi
Ayah selalu saja mengangguk tanpa memberiku perintah.
"Hari ini Reno nggak akan
ke sini, Yah?" tanyaku. Ayah sedang membetulkan kembali radio lawasnya.
"Kenapa nggak beli saja yang baru? Daripada Ayah capek setiap minggu
membetulkan tuh radio."
Ayah tersenyum. Dia tidak
serta-merta menjawab. Setelah dia membetulkan ujung kabelnya baru dia berkata,
"Radio ini peninggalan Kakek kamu, Grey." Baiklah. Ayah punya cara
sendiri menikmati harinya. "Reno bakal ke sini. Tapi nanti malam, kalau
urusannya sudah selesai," kata Ayah menjawab pertanyaanku yang tadi.
Aku memutuskan untuk berlari
sore ini. Seperti biasa, aku akan berlari ke rumah kayu, rumah yang telah
menjadi saksi tubuhku dan tubuh Bang Zaki telah menyatu. Rumah yang telah
menjadi saksi lubang di belakang tubuhku tak perjaka lagi.
Gara-gara kejadian itu otakku
jadi mesum. Meskipun terasa sakit, aku tak bisa menyangkal ada rasa nikmat
disetiap sentuhannya. Sayangnya waktu itu aku telah berucap ... berucap apa?
Yang jelas Bang Zaki marah besar saat itu sehingga aku tak bisa lagi menikmati
sentuhannya. Maksudku, Bang Zaki berubah jadi buas. Bahkan dengan teganya dia
menggigit bibirku hingga berdarah sedikit.
Ketika aku menutup gerbang, aku
mendengar suara berisik Reno. Baru saja dia menghilang selama dua hari, aku
sudah kangen seperti ini, apalagi jika berminggu-minggu?
"Saya sudah tahu pasti
kamu bakalan ninggalin saya. Saya bilang kan kalau mau lari ajak saya.
Untungnya saya pinter jadi dari rumah saya sudah pakai ..." Reno menunjuk
kakinya yang sudah mulai berbulu. "Pakai sepatu mikik si Enok."
"Kamu pakai sepatu
perempuan?"
"Iya. Habisnya saya nggak
punya," sahutnya.
"Oke gak masalah. Nggak
kelihatan itu sepatu perempuan kok. Ya sudah ayo kita mulai lari."
Cuaca sedikit mendung. Tetapi
karena musim sudah memasuki musim panas, jadi aku yakin hari ini tidak akan
terjadi hujan.
Kami mulai berlari pelan
menyusuri jalan raya. Seperti dugaanku, fisik Reno jauh di atasku, membuatku
mengumpat kesal karena dia bisa berlari tanpa istirahat sedikit pun. Keringatnya
banyak sekali. Aku bisa melihat otot di lengan dan dadanya meskipun terbalut
baju berwarna abu-abu. Tidak, Grey. Hidup itu bukan hanya tentang
kemesuman. Jadi jangan berpikir yang aneh-aneh dan fokus saja sama aktivitasmu.
Akhirnya aku bisa berpikir jernih.
Hidup itu bukan hanya tentang sex. Jauh di luar itu, banyak hal penting yang
bisa kulakukan. Sex dengan Reno bisa kapan saja, tapi--oh aku menyerah. Aku tak
bisa mengenyahkan pikiran mesumku saat ini. Kurasa aku harus lari di depan,
bukan di belakang di mana aku bisa melihat ... fix, ADA APA DENGAN DIRIKU INI?
Aku kesal. Seharusnya aku
mengikuti apa saran Bang Zaki. Aku harus menjauhi dunia ini. Aku harus punya
pendirian yang kuat. Tetapi, bagaimana caranya sementara di sisi lain Aura akan
bertunangan? Ah, Ayu. Aku akan mencoba mendekatinya.
"Kita berhenti di rumah
kayu sana, Ren," kataku. Reno mengangguk.
Angin menerpa tubuh kami
berdua, membuat rambutku yang mulai memanjang melambai-lambai. Aku dan Reno
duduk bersisian. "Kenapa kamu tersenyum?" tanyanya.
"Nggak."
"Ingin latihan ciuman
lagi?"
Aku mengangguk. Tawaran yang
sangat menggiurkan.
"Errr ... boleh saja. Tapi
kamu sudah sikat gigi, kan?" tanyanya dengan nada yang cukup aneh.
"Kalau belum gimana?"
"Saya nggak mau."
Aku tersenyum culas.
"Kalau begitu nggak jadi. Aku belum sikat gigi."
Reno langsung menjawab.
"Nggak masalah, Rey. Untuk kali ini saja."
Lagi, aku menelan ludah.
"Di sini?" tanyaku.
"Iya." Aku
mengangguk. "Di belakang saja deh. Kalau ada orang yang lihat nanti kita
disangka homo." Aku bingung sebenarnya. Ini Reno yang kelewat bodo atau
dia sudah jadi homo? Mungkin dia yang terlalu bodoh.
Reno bersandar di dinding kayu.
Aku berjalan menghampirinya pelan. Setelah aku mengunci lehernya, aku
mendekatkan bibirku pada bibirnya. Setelah menempel, kubiarkan bibirku ada di
sana selama berpuluh-puluh detik. Tidak terbuka tidak juga bergerak. Hingga
akhirnya bibir Reno terbuka dan aku pun melepaskan ciumanku.
"Maaf. Tidak seharusnya
kita begini." Reno memandangku bingung. Tatapannya sedikit sayu, namun
kubiarkan tetap begitu. Dia sudah punya Enok. Pantang bagi seorang pria merusak
hubungan seseorang. Hati Enok pasti akan berkeping-keping jika melihat
seseorang yang dia cintai sedang berciuman dengan orang lain, apalagi ciumannya
sesama cowok.
"Tu-tunggu."
"Apa?"
"Nggak jadi."
"Ya sudah, ayo kita lari
lagi. Kalau kita terus ke bawah bakal tembus ke mana, Ren?" Nafasku memang
belum sepenuhnya teratur, tetapi aku ingin mencoba mendobrak batas diriku. Kali
saja fisikku bisa dengan cepat naik ketahanannya.
"Eh jadi deh, Grey."
Reno menarik tanganku kemudian dia simpan di dalam sakunya. Detik berikutnya
... mulut kami pun berpagut kembali.
Sudah saya
katakan sebelumnya, jika ada adegan dewasa, akan saya publish di blog pribadi
saya. Maaf, bukan apa-apa. Mencegah
usia di bawah umur baca, terutama anak SMP. Haha.
Link part
lanjutan :
https://catatanusangsibocahtengil.blogspot.co.id/2017/12/part-preman-pasar-kembali-ke-jakarta-2.html?m=1
Atau search
cacatanusangsibocahtengil.blogspot.co.id
Blognya masih
baru. Jadi masih berantakan.
Tidak membaca
part em-em tidak akan berpengaruh terhadap jalannya cerita.
Aku memandang Reno yang sedang
mengambil daun bunga sepatu. Katanya cairan yang ada di dalam bunga itu bisa
diminum. Ketika aku mencobanya, rasanya sangat manis sekali.
Baiklah. Ketika aku melihat
Reno tertawa, entah kenapa aku merasa beruntung telah lahir ke dunia ini
sebagai sosok Theo Greyson. I mean, aku
beruntung mempunyai wajah seperti ini karena dengan wajah inilah Zaki dan Reno
sepertinya menyukaiku. Kalau dipikir secara logika, rasanya tidak mungkin aku
disukai oleh dua cowok secara bersamaan. Terkesan muluk-muluk dan terlalu
dipaksakan. Tapi apa yang kurasakan sekarang adalah kenyataan.
Kenapa aku berkata Reno
menyukaiku? Meskipun aku sering melihat tingkah bodohnya, bukan berarti aku
tidak bisa menilai bagaimana cara dia berpikir. Buktinya, dia menciumku tadi di
rumah kayu. Ciuman liar sama sepertiku. Ciuman mendamba dan ciuman bukan hanya
sekedar ingin 'latihan' seperti yang dia katakan.
Bukti lainnya, aku menjumpai
p*nisnya menegang ketika kusentuh. Penis kecilnya yang seperti cengek itu
terasa keras. Jadi, dia Gay juga kan? Maka dari itu aku berkata, aku beruntung
telah terlahir menjadi sosok Theo Greyson.
Tidak! Kurasa setiap orang
punya kelebihan masing-masing yang patut disyukuri. Kuralat perkataanku, aku
bahagia telah terlahir ke dunia ini. Bagaimaba
tidak? Pria yang kucintai--sekarang aku mulai terbiasa menjadikannya sebagai
pria yang kucintai--dan dia juga menyukaiku. Memang Reno tidak pernah dia
menyukaiku, tetapi aku tahu sikapnya berkata seperti itu. Aku sangat yakin
seyakin-yakinnya.
Hanya tinggal menunggu waktu
saja, aku akan menyatakan perasaanku pada Reno. Aku berharap, sampai waktunya
tiba, dia bisa melihat diriku bukan dari sisi pertemanan, tetapi lebih. Aku tak
akan memintanya menjadi pacarku, dia sudah dimiliki seseorang. Jujur aku sedih
karenanya. Tetapi apa boleh buat? Jika pada akhirnya dia lebih memilih pacarnya
aku siap. Tetapi jika pada akhirnya dia lebih memilihku, kurasa aku tak bisa
mengenyahkan rasa bersalahku pada Enok.
"Makasih ya
latihannya," dasar bodoh. Aku tahu apa maksud dibalik itu semua. Tetapi
jika aku jadi Reno, kurasa aku akan berperilaku kayak dia. Beralasan dan
beralasan. Tetapi ada yang aneh dengan Reno hari ini. Dia tidak banyak bicara,
tidak juga bertingkah aneh. Mendadak dia jadi orang yang kalem. Mungkinkah
karena efek capek berlari? Kurasa iya.
Hal itu berlangsung selama
seminggu. Ketika bertemu denganku, dia bicara hanya seperlunya saja. Apakah aku
berbuat salah padanya? Ah, aku tahu. Reno pasti sedang mempertanyakan soal
orientasinya. Dan yang perlu aku lakukan adalah mendiamkannya. Nanti juga dia
bakal balik lagi kayak Reno yang aku kenal. Harus begitu. Jika tidak, aku
kugampar dia sampai mampus.
Malam ini aku kebagian meronda
bersama Pak Sugih dan Pak Haris. "Tolong belikan Bapak rokok dong Nak,
Grey." Aku mengangguk.
"Tutup," lirihku
pelan. Aku berjalan menuju lapang desa, kalau nggak salah di sana ada warung
yang buka sampai jam 2 dini hari. Setelah kucek ternyata memang benar.
Aku mengeratkan jaketku sembari
menunggu kembalian. Aku langsung kembali setelah mendapatkan kembalian, sialnya
aku mendengar suara ribut kendaraan bermotor dari arah seberang. Aku semakin
cepat melangkah, takut kalau mereka memalakku. Sayangnya aku mendengar suara
Bang Zaki yang tentu saja menyuruhku untuk berhenti.
"Theo!" Dia sedang
membonceng perempuan berambut panjang yang wajahnya sangat cantik sekali
menurutku. "Saya sebenarnya sedang sibuk," desisnya. "Langsung
saja, saya menjauhi kamu supaya kamu nggak jadi homo! Saya membebaskanmu dengan
berat hati berharap kamu bisa keluar. Tapi apa yang saya lihat?" tanyanya.
Aku yakin perempuan itu tidak bisa mendengar duara bang Zaki karena memang
suaranya kecil sekali. "Saya lihat kamu ciuman sama si Reno! Kalau begitu
lihat saja nanti. Saya akan memakai prinsip saya lagi. Kalau kamu memang ingin
merasakan asin amisnya dunia homo, saya akan membuat dunia penuh ikan asin!
Sudah ya saya buru-buru."
Bang Zaki menggas motornya
kencang sekali, membuat telingaku berdengung-dengung tak nyaman.
Apa!? Bang Zaki melihatku
ciuman dengan Reno? Di mana!? Ah! Pasti di rumah kayu itu. Tempat itu kan jadi
markasnya dia. Sial sial sial.
Ps. Anggap saja dia si Zaki ya.
Meskipun animasi, saya
terlanjur kesemsem sama gambarnya.