Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Pergi ke Jakarta #3
👬
Aku merasa ada yang
mengguncangkan tubuhku diiringi panggilan suara berat khas Bang Zaki. Ternyata
memang benar. Dia adalah bang Zaki. Tunggu, bisa saja aku sedang bermimpi.
Bukan, ini bukan mimpi. For God sake! Kenapa dia ada di sini? Langsung
kunyalakan lampu di dekat jendela kemudian kupandangi Bang Zaki dengan tatapan
horor, hal yang selalu kulakukan jika aku ketakutan plus kaget.
"Ikut saya," katanya.
Hanya dua kata. Tanpa menjelaskan, tanpa membiarkanku bertanya.
Mataku masih lengket. Beberapa
kali aku tersandung kakiku sendiri. Sesampainya di bawah, aku melihat jendela
rumah pohon terbuka. Hal itu membuatku paham, ternyata Bang Zaki masuk ke dalam
lewat jendela. Bagaimana cara dia melakukannya? Aku tidak tahu. Mungkin dia
punya bakat memanjat seperti kera--tidak tetapi gorila.
"Aku ijin dulu
sama--"
"Nggak usah,"
potongnya.
"Tapi gimana kalau kamu di
sidang lagi, Bang?" Bang Zaki mendengus. Dia tidak menjawab pertanyaanku,
tetapi malah bertanya soal Reno. Pertanyaan singkat, sebenarnya. Dia hanya
bertanya : Ke mana rimbanya si jalang itu? Ketika kujawab, Bang Zaki tidak
bertanya lagi.
Ternyata motor Bang Zaki
terparkir di samping gerbang rumahku. Ke mana dia akan membawaku ya?
"Nggak pakai jaket?"
"Jaketku ada di
kamar," jawabku. "Aku ambil dulu ya," lanjutku.
"Jangan. Pakai saja jaket
saya."
Aku menggeleng. "Jaket
kulit kamu masih ada di aku, Bang."
"Ya sudah kalau nggak mau.
Kamu peluk saja tubuh saya."
Aku tidak bertanya ke mana dia
akan membawaku. Entah kenapa kini aku mulai mempercayai Bang Zaki. Ke mana pun
sekarang kami pergi, pasti dia tidak akan tega menjualku, terlebih katanya dia
menyukaiku.
Aku tidak memeluk Bang Zaki
bahkan menyimpan tanganku di pinggangnya. Entahlah. Aku merasa tidak ingin saja
padahal saat ini aku mengantuk sekali. Beberapa kali aku hampir terjatuh ke
samping, untungnya sebelum itu terjadi, kesadaranku langsung kembali.
"Kamu saja yang bawa
motor," kata Bang Zaki.
"Kenapa? Bukannya lebih
bahaya kalau aku bawa motor ya?" kataku.
"Kamu akan fokus karena
kamu mengendarai. Saya yakin kamu nggak ingin berakhir di rumah sakit jadi,
pasti kamu bisa fokus." Logikanya seharusnya tidak begitu. Tapi Bang Zaki
benar. Kantuk perlahan menguap ketika angin menghantam tubuhku. Sepenuhnya aku
telah terjaga.
Bang Zaki memasukan tangannya
ke dalam saku celanaku. "Jangan macam-macam, Bang!" petintahku.
Seperti biasa Bang Zaki tidak banyak bicara. Dia menjawabnya dengan gerak yang
dia ciptakan. Hal itu jujur saja membuatku tidak fokus.
"Anak kondamu
menggeliat-geliat tuh," desisnya di samping telingaku.
"Hentikan atau aku turun
sekarang juga."
"Hm?"
"Bang!"
"Iya-iya." Bang Zaki
menyerah. Tapi sebagai gantinya dia memelukku erat. Sangat erat. "Kamu
pasti kedinginan. Di perempatan sana belok ke kanan, kemudian belok lagi ke
kiri."
5 menit kemudian kami sampai di
tempat tujuan. Rumah ini cukup besar. Meskipun begitu, karena letaknya
berdempetan dengan rumah lain dan harus memasuki gang yang sangat kecil, rumah
ini terlihat kumuh.
Pertama kali aku masuk ke
dalam, tidak ada pencahayaan sedikit pun di sini. Mungkin arena bawah digunakan
untuk area parkir. Baru ketika aku naik ke lantai dua, aku mendengar suara
hentakan musik yang sangat keras dan suara hingar bingar gelak tawa belasan
pria.
Bang Zaki membuka pintu secara perlahan.
Ketika pintu itu terbuka, dia langsung masuk ke dalam, sementara aku diam
membantu bersembunyi di samping dinding. Gila. Ternyata dia membawaku ke sarang
harimau. Aku harus bagaimana? Haruskah aku pergi dan membawa motor Bang Zaki ke
rumah? Ah, aku takut membuat Bang Zaki kesal. Demi apapun aku takut. Mata dia
ketika memandangku datar sangat menakutkan, lebih menakutkan ketika menjumpai
celana dalam kotorku menghilang di kamar.
"Akhirnya si Bos sudah
datang!" teriak seseorang. "Gimana sudah selesai masalahnya?"
Volume musik lamat-lamat
berubah jadi pelan. "Sudah. Lho? Theo masuk!" titah Bang Zaki sedikit
keras. Aku merenggut. Perlahan aku berjalan masuk ke dalam. Aku bisa merasakan
semua tatapan mereka teralih padaku. Kini hanya suara musik yang terdengar.
Mendadak semua kebisingan itu lenyap.
Dan ternyata memang benar saja.
Ketika aku mendongakan kepalaku, aku bisa melihat mereka menatapku penuh tanya.
Tubuhku pasti terlihat kikuk. Dasar Bang Zaki! Akan kupukul dia nanti. Apa
maksudnya coba dia membawaku ke markasnya?
"Kenalkan, dia Theo. Dia
anggota baru di geng kita." Sontak riuh tepuk tangan menggema. Aku
membelalakan mata sembari tersenyum canggung. Sip. Aku akan memukul Bang Zaki,
tak peduli dia akan marah padaku atau tidak.
"Panco panco panco panco!"
ucap mereka bersamaan. "PANCO PANCO PANCO PANCO!" Mereka semakin
menjadi-jadi menyuarakan kata panco. Aku mengernyitkan alis tak tahu apa yang
terjadi, hingga akhirnya Bang Zaki mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Setiap ada anggota baru,
ospeknya harus adu panco," katanya membuat bulu kakiku meriang.
"Kalau kalah gimana?"
"Oh jelas ada
hukumannya." Beberapa kali aku menelan ludah. Sementara Bang Zaki kulihat
tersenyum penuh kemenangan. "Hukumannya, kamu harus mencintai saya secara
tulus. Cinta suci yang bisa membolak-balikan akal manusia, yang tak akan pernah
aus dilekang masa." Gila gila gila. Dari mana semua kalimat Bang Zaki itu
berasal? Aku tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Dasar bos aneh. Dibalik
tampangnya yang sangar, ternyata banyak kata manis yang bisa diucapkan
mulutnya.
Beberapa detik kemudian, aku
mendengar mereka berhenti mengucapkan kata panco. Tiba-tiba seorang pria
berbadan besar berdiri sambil tersenyum padaku. Tubuhnya tambun dan kepalanya
botak. Aku semakin membelalakan mata. Bukan karena aku takut terhadap hukuman
Bang Zaki, tetapi aku tahu hukuman yang diucapkannya bukanlah seperti itu.
"Ayo siapkan
mejanya!" seru pria berbadan ceking seperti ranting pohon. Dua orang pria
di sudut rumah ini langsung membawakan meja bermotif catur lalu dia simpan di
tengah ruangan.
Bang Zaki mendorong tubuhku
dengan sekali hentakan. Mau tidak mau, aku harus duduk bersila di depan meja,
berharap aku bisa mengalahkan pria tambun di depanku. Kalau aku menang, aku
bersumpah tidak akan meninju Bang Zaki. Tetapi jika aku kalah, aku akan
memukulnya bertubi-tubi.
Ketika kami berdua telah siap,
seseorang datang menghampiri meja untuk menjadi juri. Kulihat Bang Zaki
tersenyum sinis sembari bersandar di dinding berwarna putih ini. Pasti maksud
senyumannya itu untuk mengejekku.
"Siap?" Aku
mengangguk. Menarik juga. Lagi, adrenalinku kini terpacu. Entah kenapa setiap
adrenalinku terpacu, aku merasa lebih hidup. Aku ... merasa bahagia.
"Mulai!" lanjutnya. Ototku mulai menegang menahan tenaga pria gendut
di depanku. Lho? Kok aku bisa menahannya?
"THEO THEO THEO
THEO!" teriak sebagian dari mereka.
Sebagiannya lagi berteriak,
"BOMBOM BOMBOM BOMBOM!"
"AYO THEO! KALAHKAN SI
GEMBROT!"
"AYO MBROT! SIA MENANG KU AING DITRAKTIR CILOK!"
Ini aneh. Kenapa aku bisa
menahannya? Kulihat Bang Zaki menatapku dengan alis terangkat kemudian aku
membalas senyum kemenangan seperti yang dia lakukan tadi. Ketika senyum di
bibirnya memudar, langsung kuhentakan tanganku ke bawah, membuat semua orang
berteriak memanggil namaku.
"HEBAT! TENAGA KAMU BESAR
JUGA TERNYATA!"
Sial. Jika tahu aku akan
menang, aku tidak akan membuat perjanjian pada diriku sendiri.
"Ayo, Fer! Lawan
dia!" Muncul lah seseorang bernama Feri. Tubuhnya hampir menyerupai Bang
Zaki. Baiklah. Kalau sama dia aku pasti kalah.
Kali ini Bang Zaki menjadi
wasit. Dia tak lagi tersenyum mencemeeh tetapi pandangannya serius menatapku.
"Siap?"
"JOS!" teriak Feri
membuatku kaget. Mereka sudah gila kali ya.
"Mulai," katanya Bang
Zaki pelan.
Sebenarnya aku bisa menahan
tenaga Feri. Hanya saja, karena dia sangat gigih merubuhkan tanganku, aku
sedikit kesulitan dibuatnya. Hingga akhirnya dimomentum ketika namaku banyak
disebutkan, aku membalikan keadaan. Lho? Aku menang lagi? Kenapa bisa?
Hingga akhirnya adrenalinku
semakin terpacu ketika mereka meneriakan satu nama, "ZAKI ZAKI ZAKI
ZAKI!" Aku semakin semangat. Bang Zaki sontak melepaskan jaket levisnya,
menampilkan semua otot lengan dan dada yang ternyata sangat bersih sekali. Dia
memakai kaus oblong berwarna hitam. Di lehernya tersampir kalung Dog
Tag--kalung yang biasa dipakai tentara--yang terlihat pas di lehernya. Demi
apapun yang ada di dunia ini, aku ingin sekali memiliki kalung itu. Pasti akan
terlihat keren dan membuatku lebih gentle.
"Kalahkan dia Theo!"
Hampir semua orang kini
mendukungku. Mungkin karena aku berhasil mengalahkan kartu AS mereka dan
sekarang aku akan mengalahkan kartu joker mereka. Sialnya hampir semua orang
kini mengerubungi kami berdua. Jarak mereka terlampau dekat, membuatku gugup,
tetapi juga membuatku semangat.
"Siap, mulai!" Aku
mencoba mengalahkan Bang Zaki. Sialnya, tangannya tidak bergerak sama sekali.
Bang Zaki mendekatkan bibirnya
ke telingaku, mencoba membisikan sesuatu. "Jika kamu kalah, kamu harus
menuruti apapun kemauan saya," katanya. "Aku menggeleng kuat-kuat.
"Satu permintaan saja. Kalau nggak mau nggak masalah, berarti kamu bukan
orang--"
"Oke." Aku menerima
tantangan Bang Zaki spontan. Sontak Bang Zaki menyunggingkan senyum lebar.
Senyum kemenangan. Hal itu lantas membuatku kesal. Kukerahkan semua tenagaku
hingga membuat wajahku memanas. Sialnya tangan Bang Zaki masih tidak bergerak
sedikit pun.
"Argh!" Tanpa sadar
aku mengerang.
TAK!
Aku kalah telak. Suara tanganku
menghantam meja terdengar keras. Seharusnya aku sudah tahu siapa yang akan
menang. Buktinya saat Bang Zaki memperkosaku, aku tak bisa menahan kekuatannya.
Dan sekarang? Kenapa dengan bodohnya aku mengiyakan tantangan Bang Zaki?
Sekarang aku harus menuruti apapun kemauannya? Jika aku menolak akankah Bang
Zaki? Tidak, bukan itu permasalahannya. Harga diriku sedang dipertaruhkan kalau
aku sampai menolak. Baiklah.
"Yeah! Si Bos memang
hebat!"
"Keren, Bos. Tunggu saja
nanti, saya bakal mengalahkanmu, Bos!"
"Waktunya hukuman!"
"Lho? Kan aku menang
tadi?" kataku tak terima.
"Menang itu kalau kamu
bisa mengalahkan si Bos," jawab Feri.
"Karena kamu kalah,"
sahut Bombom. "Hukumannya ...," lanjutnya menggantung. Apakah aku
akan dip*rk*s* rame-rame sama mereka? Aku menelan ludah beberapa kali. Bang
Zaki memakai jaketnya kembali kemudian pergi meninggalkan ruangan ini.
"kamu harus beli martabak dan gorengan." Heee? Pantas saja Bang Zaki
sigap memakai jaket dan mengambil kunci di meja, ternyata dia sudah tahu
hukuman yang akan diberikan Bombom.
"Baiklah. Aku pergi dulu
ya," kataku. Mereka mengangguk.
Sesampainya di lantai satu, aku
mengeluhkan soal apapun yang terjadi di dalam. Baik tentang dia yang tidak
meminta izin memasukan diriku ke dalam geng, hingga hukuman mandiri yang dia
berikan padaku. Seperti biasa. Dia diam seribu bahasa. Bang Zaki akan bersuara
jika memang dia ingin bersuara. Oh, aku hampir lupa. Dia kan seorang raja.
Biasanya perintah raja itu mutlak, absolut, tak bisa diganggu-gugat.
"Bang, kenapa akhir-akhir
ini kamu jadi sering diam?" tanyaku saat kami sedang dalam perjalanan menuju
pusat pasar.
"Hm?"
"Mungkin hanya perasaanku
saja." Kali ini angin malam sedikit membuatku kedinginan. Sangat
kedinginan.
“Hmm.”
Kali ini Bang Zaki yang membawa
motor. Bukannya munafik atau gimana, sekarang aku melingkarkan tanganku ke
pinggang Bang Zaki dan sedikit merapatkan tubuhku. Jika di sore hari saja
dingin di kota ini bisa mencapai 18 ° C, apalagi di malam hari? Aku butuh kehangatan.
Bukan kehangatan dari seorang pria, tetapi murni kehangatan yang bisa
menghangatkan tubuhku.
Setelah membeli martabak dan
gorengan, Bang Zaki mengajakku membeli sekoteng di simpang lima. Rasanya
sedikit aneh tetapi lama-lama aku bisa menikmatinya. “Ayo kita pergi sekarang,”
katanya sambil merogoh kunci disaku jaketnya. Setelah itu, Bang Zaki melepas
jaketnya kemudian dia lempar padaku. Jaket penuh aroma kelelakian ini membuatku
nyaman. Ketika kupakai, ternyata ukurannya pas sekali. Sedikit kedodoran di
bagian lengan, tetapi setelah kulipat bagian ujungnya, aku bisa merasakan jaket
ini memang tercipta hanya untukku.
Bang Zaki bertanya kenapa aku
bisa menang melawan Bombom dan Feri tadi. Sebenarnya aku juga bingung. Tetapi
mungkin, aku senang bermain bulu tangkis jadi masa ototku lebih padat
dibandingkan dengan mereka berdua.
Sekembalinya kami berdua,
makanan langsung diserbu dan dalam hitungan detik raib layaknya kepulan asap
rokok Bang Zaki. Sebenarnya aku ingin pulang, takut Ayah marah lagi. Tetapi
bergabung bersama mereka sangat mengasikan, terutama guyonan dan tingkah mereka
yang terkesan enjoy menjalani hidup. Tepat jam 5 subuh, Bombom mengantarku
pulang. Awalnya aku akan diantar oleh Bang Zaki, tetapi aku menolaknya dengan
alasan takut dia kena semprot Reno atau Ayah.
“Di sini saja, Bang.” Bombom
menghentikan motornya di depan gerbang.
“Panggil saya Bom atau terserah
asalkan jangan Bang.”
“Baik, Bom. Aku masuk ke dalam
dulu ya atau kamu mau mampir dulu?”
“Tidak, saya pulang saja. Sudah
ngantuk dari kemarin belum tidur.”
Aku berjalan mengendap-endap ke
rumah pohon. Sesampainya di atas, syukurlah Ayah sepertinya sedang sibuk
berjibaku mengurusi makan pagi dan kerjaan di dalam rumah.
Suara ayam mulai berkokok. Aku
menelentangkan tubuhku di atas kasur, menatap langit-langit dengan nafas
teratur. Hingga akhirnya aku tersadar, hari ini adalah hari keberangkatanku ke
... Jakarta. What the fuck! Kenapa aku bisa lupa? Tidak, tetapi Bang Zaki yang
membuatku lupa.
Pokoknya aku harus pergi hari
ini.
Bagaimana dengan Reno? Kurasa
aku harus mengajaknya.
Ayah sudah tahu hari ini
keberangkatanku pergi ke Jakarta, jadi dia menyiapkan makanan dan keripik pedas
buat teman-temanku sekantung plastik. Setelah siap, aku pergi ke rumah Reno
untuk mengajaknya pergi. Di depan rumahnya ada Enok dan Reno sedang makan bakso
keliling. Langsung kusapa mereka sambil menyunggingkan senyum ramah. “Pagi,”
kataku.
“Pagi. Ada apa, Rey? Ayah kamu
perlu bantuan saya?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku
akan pergi ke Jakarta sekarang. Jadi kalau kamu mau ikut, kamu bisa siap-siap
sekarang.”
Reno nampak berpikir sementara
Enok, dia langsung berseru ingin ikut denganku pergi ke Jakarta. “Nggak boleh,
Nok. Kita kan hari ini mau jalan-jalan ke kebun teh, terus pergi ke rumah Nenek
kamu yang ada di Subang. Jadi ... nggak ikut deh, Rey. Kapan-kapan kalau kamu
akan pergi ke Jakarta lagi, saya ingin ikut.” Ketika berucap seperti itu, Reno
tak berani menatap mataku. Hal itu membuatku bingung, juga membuatku sedih.
Bukankah dia ingin sekali ikut denganku ya? Pasti penyebabnya gara-gara ulahku
ketika di rumah kayu itu.
Aku memandang Reno dengan
tatapan sedih. Entah dia sadar atau tidak, aku menginginkan dia ikut. Pada
akhirnya aku hanya bisa menghela nafas panjang sembari berbalik meninggalkan
rumahnya. Enok masih protes soal keputusan Reno. Tetapi Reno serius dengan
ucapannya. Haruskah kuajak saja Bang Zaki? Pertanyaan bodoh. Tidak mungkin dia
mau ikut toh di sini dia punya urusan yang lebih penting.
👬
Pemandangan di sisi kanan
kereta ini ternyata cukup indah. Banyak pohon berjajar, danau, perumahan dan
juga kebun. Aku tidak tahu kereta sudah melaju sejuah mana. Tetapi aku yakin,
aku hampir sampai di Jakarta. Ternyata dugaanku benar. 10 menit aku menunggu,
aku telah sampai di stasium gambir.
Sebenarnya sekarang aku merasa
lapar. Tetapi kurasa lebih baik aku makan di tempat Reyhan saja. Jadi sebaiknya
kucari kendaraan umum, dan itu dia ada di seberang jalan.
"AWAS!" teriak
seseorang. Beberapa detik kemudian aku mendengar suara klakson yang sangat
nyaring. Ketika ku tengokkan kepalaku ke samping, mataku menanap ketika melihat
mobil melaju ke arahku dan mencium mesra pinggangku hingga membuatku terjatuh.
Aku tidak tahu bagaimana aku
terjatuh. Apakah kepalaku dulu, tubuhku dulu, atau tanganku terlebih dahulu
yang jelas aku bisa merasakan pelipisku berdarah. Sontak aku mengerang
kesakitan. Rasanya benar-benar sakit sakit sekali. Ya Tuhan, apakah aku akan
mati sekarang.
"Argh!" erangku.
"Hey jangan disentuh itu berdarah goblok!" makiku. "Maaf. Aku
nggak bermaksud--argh!" Rasanya sakit sekali.
Fix. Aku akan membalas orang yang
menabrakku sampai berdarah seperti ini.