Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Pergi ke Jakarta #4
Mulai dari sini
bacanya serius ya. Akan banyak plot twist soalnya.
Semua orang mengerubungiku.
Beberapa di antaranya ada yang berteriak memanggil ambulan, beberapa di
antaranya lagi bertanya soal keadaanku. Aku bangkit. Sepertinya reaksi impuls
tubuhku mencoba menghindar moncong mobil yang menabrakku yang sayangnya malah
membuat kepalaku tersungkur mencium jalan yang ada batunya. Benturannya sangat
keras. Untungnya, aku tidak merasakan sakit yang tak begitu berarti di daerah
dada sampai kaki. Syukurlah aku bisa berdiri.
Aku bangkit dengan wajah berang
menahan amarah. Seorang pria turun dari mobil merahnya dengan pakaian necis bak
ketua mafia. Dia memakai kacamata hitam sehingga aku tak bisa melihat bagaimana
bentuk wajahnya. Namun aku bisa melihat parut di dagunya yang sepertinya
mencoba bersembunyi di balik janggut hitamnya.
"KAMU!" tunjukku di
depan mukanya. Bukannya menjawab, dia malah melihatku intens. "KALAU JALAN
ITU--"
"Hery! Kita tahan
keberangkatan kita ke Mexiko." Dia pun pergi.
"HEI! SETIDAKNYA TANGGUNG
JAWAB, DONG!" teriakku marah.
"Tanggung jawab? Oh aku
lupa." Dia mengambil sesuatu di dalam mobilnya kemudian melemparkan uang
sebesar lima ratus rupiah kepadaku. "Untuk beli plester," lanjutnya.
Baiklah. Dia adalah orang
termenyebalkan yang pernah aku temui. Sebelum dia masuk ke dalam mobil, aku
bisa melihat senyum sinisnya tersungging. Ada apa dengan orang itu? Sudah gila
kah?
"Kamu nggak kenapa-kenapa,
Mas?" tanya Ibu-ibu berkerudung merah. Tangannya memegang bahuku.
"Ayo duduk dulu di sana, lukanya Ibu bersihkan terlebih dahulu."
Sifat Ibu ini sangat keibuan sekali. Hanya dengan melihat senyumnya, aku merasa
tenang ada di dekatnya. Kurasa kalau Ibuku masih hidup, sifat keibuannya akan
nampak seperti Ibu ini. "Nahas sekali kamu bertemu orang seperti dia, Nak.
Bukannya ditolong, eh dia malah melengos pergi. Kamu yang sabar saja ya."
Aku tersenyum ramah sembari menekan pelipisku. Rasanya sedikit membuatku
nyaman.
Selama kurang lebih satu jam
aku ada di TKP. Aku menolak untuk pergi ke rumah sakit. Selain karena aku
terburu-buru, aku juga merasa baik-baik saja. Andai aku punya ponsel, mungkin
akan lebih mudah menghubungi teman-temanku yang ada di sini. Sayangnya,
seberapa sering pun aku meminta Ayah untuk membelikan benda itu, dia tetap
menolak entah alasannya apa. Padahal dari segi keuangan dia baik aku cukup
untuk membelinya.
Kali ini aku hati-hati ketika
menyebrangi jalan. Sudah pasti luka sebesar ini akan membuatnya khawatir.
Ditambah sebelum diriku pergi, Ayah mewanti-wanti diriku untuk hati-hati dan
peka terhadap keadaan sekitar. Kalimat itu terus dia ucapkan berulang kali dan
sekarang aku tahu kalimat Ayah memang benar adanya.
Akhirnya kini aku sampai di
depan rumah Reyhan. Tidak terlalu besar memang, tetapi ketika seseorang diam di
depan pagar, dia akan langsung qatahu kalau pemilik rumah ini orang kaya.
Bangunan arsitekturnya campuran Belanda dan khas pribumi. Terlihat elegan dan
meneduhkan. Aku suka rumahnya. Sayangnya poin minus dari rumah ini adalah
sedikitnya pohon yang terpancang baik di area dalam maupun area yang
mengelilinginya.
DING
DONG.
Aku menekan bel rumah dua kali,
tapi bunyinya malah satu kali. Ketika kutekan lagi satu kali, ternyata bunyi
yang keluar hanya DING. Oh
pantesan. Beberapa detik kemudian keluar wanita paruh baya--kurasa dia Neneknya
Reyhan--sambil membawa gincu di tangannya.
"Siapa?"
"Saya Grey, Nek,"
kataku.
"Siapa?"
"Grey. Sahabat
Reyhan."
"Siapa?"
"Greyyyyyyyyyyy."
"Siapa?"
"Grey!" ucapku rasa
emosi.
Dia memandangku lekat.
"Siapa?"
Ya Tuhan. "AKU GREY!
KE--"
"Aku Lala. Aku lagi cali
kucing, um kucingnya walna ijo, Nenek tahu ada di mana?" Tiba-tiba seorang
anak kecil berkata cadel. Sejak kapan dia ada di sampingku? Oh aku jadi malu
sendiri. "Itu dia kucingnya! Paman, tolong tangkap kucingnya, nanti dia
kabul lagi!"
Mana kucingnya? Oh itu dia--ya
Tuhan! Kucingnya gede sekali. Aku ragu gadis kecil ini bisa memangkunya.
Sialnya ketika kutangkap, kucing sialan itu malah mencakar tanganku. Aku tidak
percaya ini. Dalam kurun waktu beberapa jam, aku mendapatkan dua luka
sekaligus.
TAK!
Tiba-tiba Nenek Reyhan
melemparku dengan gincu yang ada di tangannya. "Nenek belum budeg! Ngapain
kamu teriak-teriak di depan Nenek!? Teman-teman si Reyhan emang belangsak
semua."
Ingin rasanya aku melempar
balik. Pasalnya gincu itu telak mengenai luka di pelipisku. Tapi karena aku
takut durhaka, kupatahkan saja gincu ini hingga remuk! Hari ini mood-ku
sepertinya sedang tidak bagus.
BLETAK!
Dasar Nenek-nenek kurang ajar.
"Maaf, Nek. Saya mau cari Reyhan," kataku.
"Dia nggak ada." Dia
pun kembali ke dalam rumahnya. Baiklah, ini memang salahku karena telah
berteriak kepada orang tua, tetapi ... kenapa aku bisa sekesal ini!?
Kuputuskan untuk pergi ke kosan
Angga. Dia pasti tahu ke mana Reyhan pergi. Beruntungnya, tak hanya sekedar
tahu, Reyhan memang ada di sana. Ketika melihatku, mereka berdua langsung
memelukku erat.
"Gila, bro. Aku kira kamu
nggak akan ke sini. Gimana perjalanannya? Pasti baik-baik saja kan,
secara--"
"Baik-baik saja dari mana!
Aku ketabrak mobil tadi di jalan!" semburku. "Untungnya nggak parah
hanya luka ...." aku menunjuk luka di pelipisku yang mulai mengering.
"Hahahahaha! Ketabrak
onta!? Kok aku nggak lihat!? Waduh, Grey. Tapi serius lho kamu jadi kelihatan
sangar dengan luka itu. Tatapan kamu kan tajam kayak mafia," ucapnya
sambil tertawa. Aku menojok bahu rampingnya. Memang sudah jadi tabiat kali ya
kalau teman sendiri terjatuh, bukannya khawatir malah ditertawakan.
"Serius?" kataku.
"Yap."
"Tapi mukaku jadi nggak
aneh kan?" Reyhan menggeleng. "Syukurlah. Jadi, to
the point saja. Si Aura
sekarang beneran tunangan?" Reyhan mengangguk, tatapan dia buat seiba
mungkin, dan reaksinya itu membuatku ingin meninju mukanya.
"Kok kamu nggak kelihatan
sedih sih?" tanya Angga tiba-tiba. "Seharusnya kamu sedih kek,
ngelamun kek, atau ginana kek. Lah ini malah lempeng-lempeng saja."
Karena
aku homo, Ga. Andai aku bisa
bicara seperti itu. Tapi sepertinya nggak mungkin. Jadinya aku hanya berkata,
"Ya mau gimana lagi, itu pertunangan yang dilandasi kepentingan keluarga,
kan? Kalau itu yang terbaik buat dia, gue bisa ap--"
"Serius itu jawaban
kamu?" potong Reyhan cepat. "Kamu nggak ada rasa ingin memperjuangkan
dia, gitu?"
Aku bingung harus berkata apa.
Kalau aku menggeleng, sudah pasti mereka akan kesal padaku tetapi jika aku
mengangguk, aku takut malah mereka menyuruhku untuk jadi Siti Nurbaya. Jadinya
aku hanya diam saja, mengedarkan pandangan sembari mencari benda yang bisa
mengalihkan pembicaraan.
"Kamu beli di mana tuh
barang? Bagus, Ga, aku juga pengen atuh," kataku
sembari menunjuk benda gilap berwarna bening di atas meja.
"Jangan ngalihin
pembicaraan, Grey." Sial aku ketahuan. "Kalian pacaran hampir satu 2
tahun. Tapi kok aku bingung ya?" Aku menaikkan alis menuntut kelanjutan
kalimatnya. "Bingung dua kali kamu lupa ulang tahun dia. Bahkan setiap
Aura minta ini itu, kamu malah lempeng-lempeng saja. Kamu homo?" Tubuhku
langsung menegang seketika. Mulutku rasanya kelu dan aku ingin pergi dari sini
sekarang juga. "Tapi nggak mungkin kamu homo. Soalnya setiap ada di sisi
si Angga, yang notabennya ayam jantan kampus, kamu juga biasa-biasa saja. Ah,
atau kamu punya cewek simpanan dan malah lebih suka ke dia?" Lagi, aku
diam tak menjawab. Sekilas kulihat Angga menahan tawa.
"Errr ...."
"Kasihan ke dianya, Grey.
Dia kan ngebet ngawinin kamu. Dia ngebet pengen ngerasain otong panjang kamu.
Seharusnya ...," aku tak lagi mendengar suara Reyhan. Alam sadarku
beranjak memikirkan apakah aku harus jujur atau tetap berbohong bahwa aku tidak
mencintainya. Tetapi karena kasusnya dia akan segera bertunangan, kurasa aku
harus jujur sekarang. Supaya dia tak ada bebas melepasku pergi.
"Sebenarnya ...,"
ucapku menggantung.
"Sebenarnya?"
"Sejak dulu aku nggak suka
si Aura. Ada seseorang di hatiku sekarang."
Di saat yang bersamaan ketika
aku mengucapkan kalimat itu, terdapat tangan seseorang menutup mataku,
membuatku mau tak mau berontak dan melepaskan diri. Ketika aku berbalik, mataku
membelalak tak percaya. Di belakangku ada Aura, Dewi, Coki, dan teman-temanku
yang lain sembari memegang kue ulang tahun.
Kutatap Reyhan, sialnya dia
hanya menunduk sembari menekan pelipisnya. Mendadak aku tersadar akan sesuatu. WHAT
THE FUCK! BERITA SOAL
TUNANGAN AURA HANYA BUALAN REYHAN SUPAYA AKU DATANG KE JAKARTA! DAN PESTA YANG
REYHAN MAKSUD ADALAH ... PESTA KECIL-KECILAM ULANG TAHUNKU? KENAPA AKU LAMBAT
MENYADARINYA!?
Kulihat mata Aura berkaca-kaca.
"Aku sudah menduganya, tetapi berulang kali aku tidak ingin memercayainya,
karena apa? Karena aku ingin jadi Ibu dari anakmu kelak, Grey."