Senin, 15 Januari 2018


Preman Pasar : The Outside of Madness

Pergi ke Jakarta #5

Aku mencoba menggapai tangan Aura. Dia tidak menepisnya, malahan, tanganku dia genggam semakin erat dan kuat seakan tangan yang tak pantas dia sentuh ini terlepas dari genggamannya. Aku yakin suasana canggung ini berdampak juga pada mereka. Kurasa, sebaiknya aku memang harus jujur. Bukan karena aku memakan omonganku sendiri, tetapi mempertahankan hubunganku dengan Aura yang terpaut jarak dan waktu tak akan pernah berhasil. Malahan jadinya, aku keburu jadi homo tulen yang sangat anti terhadap wanita.
Sejurus kemudian, kupeluk kuat Aura sembari mebisikan--sebenarnya bermaksud nembisikan--tetapi kubuat keras supaya mereka juga bisa mendengar. "Maaf, sedari dulu aku memang nggak suka kamu, Ra." Kulihat mata Reyhan terbelalak. Kenapa? Oh, mungkin karena aku terlalu frontal. "Jadi kita putus ya." Kini mata teman-temanku terbelalak.
Tiba-tiba Dewi berjengit lalu berjalan menghampiriku dan menarikku ke dapur. Dia memandangku tak percaya sembari bersedekap angkuh. "Kamu apa-apaan sih! Frontal banget jadi orang. Si Aura kan perempuan, hatinya rapuh, dan kamu berkata putus seperti membalikan telapak tangan?"
"Aku memang nggak suka, Dewi," belaku.
"Ya tapi yang halus dong bicaranya!"
"Tadi aku sudah halus! Nada bicaraku dibuat setenang mungkin, dan aku bicara sambil meluk dia. Jadi kamu nggak usah--"
"What the hell is that. Aku tidak akan pernah mempercayai ini." Dia melengos pergi sambil mencak-mencak. Oh dia balik lagi. "Kamu adalah predator yang harus dijauji wanita." Yes! Berarti kalau pria boleh.
Ketika kembali lagi, aku tak mendapati Aura di sana. "Ke mana dia?" tanyaku.
"Dia pergi. Susulin gih," kata Angga. Hening.
"Iya bener susul, kasihan dia," sahutku.
"Susul sama kamu dodol!" seru Reyhan marah.
"Ya sama cewek, lah! Yang ada dia malah nambah nangis." Reyhan menepuk jidatnya satu kali. "Aku benar, kan? Wi susul sama kamu saja, kamu kan temen deketnya," lanjutku.
Dia memandangku marah lalu berkata, "SE-LA-MAT U-LANG TA-HUN!"
"Terimakasih."
Sekarang di kosan Angga hanya ada pria saja. TAK TAK TAK. Selain suara jam, di ruangan ini tak ada suara sama sekali. Sebenarnya aku lapar sekali, tetapi disituasi seperti ini, aku malu minta makan pada mereka. Awalnya aku akan pergi saja ke rumah makan di daerah sini, tapi aku merasa nggak enak juga. Akhirnya akun hanya diam menunggu Dewi kembali.
"Ahh," desah Angga sambil merebahkan tubuh jangkungnya.
"Aku lapar. Kue ulang tahunnya aku makan ya," kataku. "Ngomong-ngomong terimakasih," lanjutku. "Ahh kuenya enak! Beli di ma--"
"Itu buatan si Aura. Dia buatnya semalaman penuh, dibantu sama si Dewi. Dia hampir buat empat kali karena dia ingin kue yang sempurna." Aku berhenti makan kue yang kupegang kemudian kuletakan kembali di atas meja. "Makan saja, itu  untuk kamu." Baiklah kumakan lagi.
Reyhan bangkit kemudian berjalan menghampiriku. Tanpa kuduga, dia menarik jaketku kemudian dia seret diriku ke dinding. Dia menekan leherku dengan nafas menyalang marah. Hal itu membuat Angga, Coki, dan teman-temanku yang lain bangkit mencoba menahan Reyhan. Belum sempat kusadari apa yang akan terjadj, Reyhan, sahabat terbaik yang pernah aku punya, memukul wajahku.
"Han, kamu apa-apaan!" teriak Angga. "Pegang dia, Ki!" Coki langsung memegang Reyhan sementara Angga memegang bahuku kuat.
"Kamu," tunjuk Reyhan di depan wajahku. "Kenapa kamu tega mempermainkan dia sampai segitunya, hah!?" Mata Reyhan tajam menatapku. Dia seriusan marah. "Dia selalu membicarakanmu, dia selalu berbuat jauh untuk mendapat perhatianmu, tapi apa yang dia dapat!?"
Kutatap lagi mata Reyhan yang sedang memunculkan kilatan marah dan kebencian yang sangat mendalam. Di tatapan ketiga, setelah kuperhatikan dengan saksama, aku tahu apa maksud kilatan itu. Kilatan yang selama ini dia sembunyikan dengan rapi. Lucu sekali, kenapa lagi-lagi aku lambat menyadarinya?
"Kamu menyukai Aura," kataku pelan. "Maaf, aku nggak sadar." Angga memandangku dengan tampang terheran-heran kemudian beralih menatap Reyhan. Diamnya Reyhan adalah kebenaran kalimat yang aku ucapkan. Aku tahu dan sekarang mereka tahu.
👬
Aku pulang jam 12 siang. Memang terlalu cepat, tetapi suasana sedang tidak baik antara diriku dan Reyhan. Dia sudah meminta maaf beberapa kali karena telah memukulku, meskipun begitu, aku tahu dia masih marah karena aku memperlakukan Aura dengan begitu buruknya.
Aku naik kereta kelas eksekutif supaya cepat pulang ke rumah. Biasanya kan kelas ekonomi atau bisnis sula delayed. Dan entah takdir menuntunku ke orang itu, kini aku melihatnya lagi, orang yang telah menabrakku dan meninggalkanku begitu saja. Dia sedang berbicara dengan pria berjas di sampingnya. Dia juga masih memakai kacamata hitam, seakan sedang menyembunyikan identitasnya.
Awalnya aku ingin mencak-mencak di depan pria itu. Suasana hatiku sedang buruk. Bagaimana tidak? Aku ketabrak, Nenek Reyhan melemperi lukaku dengan gincu, tanganku dicakar, Aura menangis, Reyhan memukulku, apakah tidak ada kebaikan yang bisa kutemukan hari ini? Kurasa ada satu : aku tidak boleh mencati ribut dengannya. Jadi aku hanya diam memperhatikan dia dari belakang dan sesekali mendengar apa yang akan mereka bicarakan.
"Benar, Richard." Jadi namanya Richard?
"Dia masukan ke dalam daftar list. Berarti kita punya 11 orang yang kita ..." sial aku tak bisa mendengar apa kelanjutan kalimatnya karena suara tangis anak kecil yang berisik itu. Fix. Mendadak aku jadi benci anak kecil. Baiklah, sepertinya aku duduk menjauh sana ke belakang, toh di sana kosong dan tidak ditempati.
Namun sialnya. Aku malah memikirkan laki-laki sialan itu. Meskipun dia memakai kacamata hitam, saat melihatnya mataku spontan memandang penuh tertatik pada mulutnya dan juga ... bokongnya. Ada apa denganku ini!? Dia tampan. Oh, kini malah aku tertarik pada pria di sampingku yang sedang membaca koran. Hi eats an apple? Laki-laki itu menggoda sekali. Bibirnya sedit kemerahan dan tanpa sadar aku memandangnya lama, membuatnya tersadar ada seseorang yang sedang memperhatikan dia yaitu aku. Di tersenyum manis. Rambutnya sedikit memutih, mungkin umurnya sudah 40 lebih dan ketika berkata menggunakan bahasa Inggris, aku tahu dia bukan orang Indonesia.
Dia memberi isyarat pergi ke belakang yang artinya pergi ke kamar mandi. Tentu saja aku ... mau. Aku sedang kalut, oke? Jadi jangan pernah salahkan aku! Aku setres. Hubungan pertemananku dengan Reyhan pasti renggang. Aku butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku.
Dan ternyata ... lagi-lagi aku dikecewakan. Dia hanya mengajakku menuju tempat kosong yang jendelanya sedikit terbuka. Dia bermaksud mengajakku mengobrol yang dia pikir aku seorang pelancong dari negara lain. Baiklah. Aku rindu Reno. Aku ingin segera pulang dan berkata, 'Ren, aku ingin latihan lagi.'
Berlanjut ke part 'Insiden.'

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

â–º

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -