Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Insiden #1
Cinta sepihak hanya
akan menghadirkan luka. Hanya luka.
Langit mendung dan sepertinya
akan bertahan sampai besok pagi.
Orang pertama yang aku temui
ketika sampai di Bandung bukan Ayah, bukan pula Reno, tetapi bang Zaki. Kami
bertemu di pasar saat aku sedang menunggu angkutan umum dan dia sedang
memanggul beras. Dia melihatku lekat-terutama bagian lukaku-dengan tatapan
menyelidik yang sangat mengganggu.
"Kamu kenapa?"
tanyanya.
"Ditabrak mobil,"
kataku.
Bang Zaki tersenyum meremehkan.
"Hanya anak kecil yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri."
"Aku ditabrak! Mana
orangnya langsung pergi gitu saja lagi." Alis Bang Zaki langsung
terangkat. "Aku sedang tidak baik untuk diajak bicara, Bang. Aku pulang
dulu ya," kataku.
"Siapa orang yang menabrak
kamu?"
"Errr ...," ucapku
menggantung. Memangnya siapa? Di kereta aku telah mendengar namanya, tetapi ...
siapa? Kenapa aku bisa lupa? "Lupa lagi, Bang."
"Ingat-ingat lagi!"
katanya sedikit meninggi. "Akan kuberi pelajaran dia." He?
Mendengarnya sontak bibirku tersenyum lebar.
"Terima kasih, tapi, kamu
sedang bekerja, Bang. Lupakan saja."
Angkutan umum berhenti di
depanku. Sebelum Bang Zaki mencegah, aku masuk ke dalam mobil sambil
melambaikan tangan. Bang Zaki mengangguk. "Nanti malam saya jemput
ya."
"Mau apa?"
"Kumpul-kumpul di
markas."
Lagi, entah kenapa aku
tersenyum.
Perjalanan menuju rumah terasa
lambat. Mungkin karena aku ingin cepat-cepat sampai di rumah untuk melihat
Reno. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan cinta pada seseorang.
Aku tak pernah menyangka kalau ternyata mencintai seseorang itu terasa manis
bagai candu. Ah, cinta. Semoga aku tidak jadi gila karenanya.
Jam 5 sore aku sampai di rumah.
Reno sedang di kebun memetik daun yang sudah menguning atau bolong-bolong
dimakan ulat. Ketika melihatku, dia tidak tersenyum. Ini aneh. Biasanya Reno
akan berkata soal apapun kejadian yang menimpanya atau bertanya soal apa saja
yang saja yang menimpaku. Aksi diamnya itu membuat dadaku bergemuruh menahan
amarah. Seumur hidupku, aku memang belum pernah marah pada siapapun. Contohnya
saja kepada Reyhan. Ketika dia memukulku, aku hanya diam saja tidak membalas.
Oh dan juga Bang Zaki. Ketika dia memperkosaku-aku memang marah-tetapi besoknya
suasana hatiku kembali baik.
"Ren," ucapku sambil
menepuk pundaknya. Dia terkesiap lalu mundur beberapa langkah.
"Eh kamu sudah datang,
Rey?" balasnya.
"Iya. Gimana tadi?
Lancar?"
"Iya lancar, Rey. Hmm saya teh mandi dulu ya, keringetan."
"Nggak mandi di rumahku
saja?"
"Saya mandi di rumah
saja." Dia pun pergi. Aku mendedikkan bahu tak peduli. Mungkin Reno sedang
ingin mandi di rumahnya.
Kami berjalan bersisian menuju
rumah. Kukalungkan tanganku di leher Reno dan hal yang membuatku terkejut
adalah Reno menepis tanganku. Langsung kusimpan tanganku di saku. Kenapa dia?
Sial sekali. Kupejamkan mataku beberapa detik, menarik nafas, lalu mengembuskannya.
Demi apapun, aku ingin menyudahi hari ini.
Ketika sampai di rumah,
langsung kutemui Ayah dan seperti dugaanku, Ayah terlalu berlebihan menanggapi
luka di pelipisku padahal sudah kujelaskan ini hanya kecelakaan kecil.
"Lain kali kalau kamu mau
ke Jakarta ajak si Reno. Ayah nggak mau tahu pokoknya harus ada yang menemani
kamu. Awas kalau bandel." Ultimatumnya terdengar absolut dan tidak bisa
diganggu gugat. Kalau itu yang dikatakan Ayah, aku tak bisa berbuat apa-apa
selain menuruti perintahnya.
"Ayah sedang apa?"
tanyaku. Tangan Ayah mengambil pena di meja kemudian mengambis setumpuk berkas
yang aku sendiri tidak tahu berkas apa itu.
"Tolong ambilkan kacamata
di kamar Ayah, Grey." Aku mengangguk. "Eh eh eh biar Ayah saja,"
lanjutnya cepat.
"Biar Grey saja."
"Ayah saja, Grey."
"Grey saja." Aku
langsung melesat pergi ke kamar Ayah.
"Baiklah. Jangan
lama!"
Sesampainya di sana, aku
mengedarkan pandanganku ke semua penjuru. Kamar Ayah cukup luas, muat untuk
tidur empat orang. Selain itu, di sisi dekat jendela lemari berukuran raksasa
terpajam indah. Lemari itu sepertinya terbuat dari kayu jati. Di bagian atas
lemari itu penuh dengan tumpukan berkas. Kenapa Ayah menyimpan berkas di
kantornya ya? Entahlah. Dan-what the hell-di
mana ayah menyimpan kacamatanya?
Sudah pasti ada di lemari
karena di atas kasur tidak ada. Lemari ini ada empat sorolok. Di sorolok pertama, alu tidak menemukan
kacamata Ayah, isinya kosong dan banyak debunya. Sudah sorolok ini jarang Ayah gunakan. Di sorolok
kedua, bukannya menemukan
kacamata, mataku membulat ketika di dalam sana aku menemukan tumpukan emas
batangan dan berlian. Sontak aku menutupnya lalu kubuka lagi. Ini nyata. Ayah
mempunyai banyak emas dan berlian. Haha, mungkin emas ini punya sahabat Ayah.
Munkin. Tapi masa iya!?
Kutengokan kepalaku ke kiri
yang ternyata kacama Ayah ada di atas nakas. Mungkin aku tidak melihatnya
karena terhalang kain batik bermotif mega mendung. Sebenarnya aku ingin
bertanya soal emas itu, tapi aku lelah dan ingin segera berbaring di rumah
pohon.
"Ada yang bisa Grey bantu
lagi, Yah?" Ayah menggeleng. "Kalau begitu Grey ke rumah pohon
ya."
"Oke. Kalau mau makan ke
dapur saja, sudah Ayah siapkan."
Di kamar, meskipun aku lelah,
mataku tak bisa terlelap. Pikiranku terus saja memikirkan perubahan sikap Reno
yang tiba-tiba. Tu-tunggu. Sebab? Hukum sebab-akibat itu nyata, jadi kenapa aku
harus bertanya lagi? Sudah pasti ada sebabnya. Dan sebab itu adalah ... shit! Apakah gara-gara ciuman yang kami
lakukan di rumah kayu? Mungkinkah Reno merasa jijik padaku? Jika iya, aku tak
tahu apa yang harus kulakukan. Tadi saja dia langsung menepis tanganku. Aku
salah telah berprasangka dia nggak normal sepertiku, salah besar.
Aku bangkit. Lembayung senja
kini berwarna merah. Gunung-gunung indah di depanku mendadak tak bisa kunikmati
keindahannya. Juga pemandangan sore yang langka ini. Satu-satunya hal yang bisa
kunikmati adalah : Ikan cupang milik Reno. Ikan cupang itu sedang diam tak
bergerak. Airnya kuning karena daun katapang yang Reno masukan.
Lelah dengan drama pantomim
yang ada di pikiranku, aku pergi ke luar kemudian menjuntaikan kakiku di atas
rumah pohon ini. Berbanding terbalik saat aku masih tinggal di Jakarta, di
saat-saat seperti ini biasanya aku kumpul sama teman-temanku entah sekadar
bermain gitar atau nongkrong membicarakan wanita.
Reno?
Aku melihat dia berjalan menuju
rumah. Di belakang Reno ada Enok sedang mengikutinya, membuat tanganku mengepal
kuat. Tarik nafas, hembuskan. Aku tidak boleh seperti ini. Lebih baik kusudahi
saja perasaanku pada Reno dan menyerahkan hatiku pada ... Zaki. Reno akan
menikah, mungkin, Reno dan Enok pergi menemui Ayah untuk meminjam uang.
"Yah, aku pergi ke rumah
temen ya," kataku ketika sampai di sana. Ayah, Reno dan Enok menatapku.
"Ke mana?" tanya
Ayah.
"Ke Pasar."
"Tapi malam-malam begini
kan nggak ada ojek atau angkutan u-"
"Aku jalan saja. Jam
segini masih rame kok. Nanti aku pulangnya diantar teman, atau kalau nggak pulang
Grey nginep di sana." Ayah terlihat ingin melarangku tetapi aku tidak
membiarkan Ayah berucap. "Grey pergi ya."
"Tu-tunggu, sama saya
dianter," kata Reno.
Aku berbalik, tersenyum
kemudian menggeleng. Reno tetap mengikutiku. "Nggak usah, Ren."
"Pokoknya sama saya di
anter. Kamu tunggu di sini, saya mau ambil motor dulu di rumah."
"Ren nggak usah. Kamu lagi
ada urusan kan sama Ayah? Mending selesaikan dulu sekarang." Reno tetap
berjalan ke depan. "Ren!" panggilku. "Maaf ya." Dia berdiri
mematung-hanya beberapa detik-setelah itu dia berjalan kembali.
Tentu saja aku tidak menunggu
Reno. Aku berjalan keluar dari rumah, belok ke kanan untuk mengambil rute
tercepat, kemudian bersiul sambil bersedekap. Rasa dingin malam ini terasa lain
dan sedikit menyakitkan. Haruskah aku berlari? Kurasa tidak.
Di pertigaan dekat dengan SMP
aku melihat pos ronda. Si cunguk itu pasti akan mengejarku dengan motornya jadi
kurasa aku harus bersembunyi. Dugaanku benar, aku melihat Reno melewati jalan
ini dengan kecepatan lambat dan menyegat orang yang sedang berjalan lalu melaju
kembali. Sebenarnya aku ingin-ingin saja diantar oleh Reno, tapi untuk
sementara ini aku ingin mengalihkan sosoknya di pikiranku. Lagi pula aku takut
kalau ternyata Reno tahu aku akan pergi menemui Bang Zaki. Sudah pasti
urusannya akan berabe, mungkin dia akan melaporkan langsung pada Ayah, mungkin
juga dia akan menarikku pulang.
Setelah 15 menit aku menunggu,
baru aku melanjutkan perjalanan. Di depan SMP aku melihat warung yang sedang
dikerumuni oleh banyak motor. Aku pergi menuju warung itu untuk membeli rokok.
Memang aku bukan pecandu rokok, aku hanya merokok jika sedang ingin saja, dan
sekarang aku menginginkannya. Menurutku laki-laki itu harus bisa merokok
bukannya dirokok. Eh? Sepertinya otakku sedang lelah jadi omonganku ngelantur.
"Bu, rokoknya dua batang
ya," kataku.
"Tunggu sebentar ya, Jang."
Selagi menunggu, aku melihat pria yang sedang mengobrol serius sambil
berkerumun di depanku.
Pakaian yang mereka pakai
membuat alisku mengernyit beberapa kali. Lusuh sekali, ditambah dengan anting
hitam yang mereka pakai, bukannya suka, malah aku ingin mual melihatnya.
Meskipun aku menyukai pria, bukan berarti aku ingin mencicipi semuanya! Bukan,
kecuali kalau mereka gan-sudah cukup.
"Jadi intinya si Deon sama
si Deri akan melewati jalan itu?" tanya salah satu dari mereka. Deon dan
Deri? Kedua nama itu sepertinya sangat familiar bagiku.
"Ya."
"Aku tidak peduli apa yang
sedang mereka berdua lakukan, tetapi kita cegat kemudian kita--"
"Ini rokoknya, Jang."
"Baik, Bu, terimakasih."
***
Aku melihat Bang Zaki sedang
beres-beres. Sialnya, entah dia dapat kemampuan dari mana, baru saja aku tiba
di sini, Bang Zaki sudah bisa menemukan keberadaanku seakan aku mempunyai
energi yang bisa dia rasakan di mana pun aku berada. Dia terlihat sedang berbincang
dengan seseorang kemudian berjalan menghampiriku.
"Kamu keringetan,"
katanya. "Si jalang itu tidak mengantarmu ke sini?" tebaknya tepat
sasaran. Oh baiklah. Aku kesal kalau Bang Zaki sudah menyebut Reno dengan
panggilan jalang.
"Tidak, Bang." Bang
Zaki tersenyum.
"Ikut saya,"
sahutnya. Ternyata Bang Zaki membeli es kelapa muda yang jujur saja
mengingatkanku pada masa lalu. Dulu dia juga memberikanku es kelapa muda saat
aku kecapean mencari Ayah dan sekarang dia memberiku lagi es kelapa muda saat
aku kecapean ... mencarinya?
Kami diam menikmati es kelapa
muda ini di ruko besar yang sudah tutup di lantai dua. Rasanya nikmat sekali.
Beberapa detik kemudian, Bang Zaki memegang kepalaku kemudian dia arahkan ke
bahunya yang lebar. Selalu. Ketika berbuat sesuatu Bang Zaki selalu
melakukannya dalam diam, perlahan dan juga secara tiba-tiba. Namun kali ini aku
tidak menolaknya, termasuk ketika bibirnya yang hangat itu menciumku lembut.
Aku bisa merasakan manis susu es kelapa yang dia minum di lidahnya.
"Mulut kamu bau rokok,
Theo." Bang Zaki melepaskan ciumannya.
"Kenapa Bang Zaki
tahu?"
"Karena baunya bau rokok,
bukan bau sperma. Tapi tak masalah. Kalau hidung saya bisa mencium bau sperma
di mulut kamu, akan saya patahkan burung itu karena telah muntah di mulut
kamu."
Aku terkekeh. "Mulut kamu
juga bau rokok, Bang."
"Oh tentu karena saya
merokok setiap hari."
"Tapi nggak menyengat kok.
Aku suka." Hening. Selama 10 menit kami terdiam, bisu dengan pikiran
masing-masing.
"Kamu milik saya Theo.
Akan selalu jadi milik saya."
"Haha abang ngomong apaan?
Sudah ah yuk pulang. Aku ingin ngobrol sama si Bombom dan juga si Feri."
Setelah kami kembali, ruko tempat Bang Zaki bekerja sudah tutup. Ternyata di
ruko itu ada si Bombom.
Malam ini banyak hal yang kami
lakukan mulai dari bermain catur, mengobrol, hingga bercanda. Bombom ternyata
sangat kocak. Jika dia sudah berkelakar, maka seisi rumah akan tertawa
dibuatnya. Selain itu, dia itu pintar berbicara. Ketika seseorang memulai
obrolan, maka dia akan menyahut tak terkendali seperti roket.
Kalau Feri, aku melihat sisi
gelap dalam dirinya. Dia selalu berkata sarkas, kasar dan ucapannya sering
tidak dia saring. Misalnya ketika tadi Bombom membahas soal geng yang sekarang
menjadi musuhnya. Dengan entengnya Feri berkata, "Kita pukulin saja mereka
sampai tulangnya patah toh jumlah kita sekarang lebih banyak dari mereka."
"Kuantitas tidak menjamin
kemenangan, Fer," kata Bang Zaki.
"Saya tahu tapi setidaknya
kan cukup membantu."
Setelah itu, aku tak tahu
kelanjutan obrolan mereka karena Bang Zaki menarikku keluar. Dia ingin membahas
soal luka yang aku dapat di Jakarta.
"Di dalam saja, Bang.
Nanti mereka curiga." Bang Zaki mengeluarkan pematik kemudian menyulut
rokok yang ada di tangannya.
"Biarkan saja. Mereka
sudah tahu." Aku membulatkan mata saking kagetnya.
"Jadi mereka tahu Bang
Zaki suka ..."
"Suka pisang dibandingkan
kacang?" Ada jeda sebentar. "Ya, mereka tahu saya suka pisang."
Aku tidak mempercayai ini.
"Terus mereka juga tahu kalau aku ..."
"Suka bukit dibandingkan
gunung?"
BUGH!
Aku meninju bahunya yang lebar.
"Iya, mereka tahu nggak!?"
"Mungkin tahu mungkin juga
nggak."
Tiba-tiba kepala Bombom yang
gempal itu nongol dibalik pintu. "Maaf ganggu, belum kemasukan kan?" Fuck! "Saya cuma mau ngasih ini ke
si bos." Bombom memberi bon lalu pergi sambil cekikilan. Saat aku akan
berbicara kepala Bombom nongol lagi. "Hati-hati Theo, otong punya si bos gede
pisan! "
Aku memandang Bang Zaki tak
suka. "MEREKA SUDAH TAHU!"
"Terus?"
"Kok terus? Ya gawat
lah!"
"Biasa saja kok nggak
gawat."
Aku uring-uringan di depan Bang
Zaki. Kenapa dia bisa sesantai ini? Tidak kah dia takut orientasinya akan
tersebar ke publik?
"Sudah jangan kamu
sembunyikan Theo. Saya juga suka bukit, nggak suka gunung, jadi bawa santai
saja oke?"
ARGH!