Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Insiden #2
Bang Zaki tersenyum sembari menaik-naikkan alis.
Tatapannya mesum sekali dan sialnya aku mulai menyukai-tidak bisa! Jika pun aku
akan mencoba menaruh hatiku padanya, aku tidak ingin terlalu terlihat dan
membuatnya berpikiran aku laki-laki gampangan. Tapi-lagi-lagi-tatapan mesumnya
itu membuatku ingin memukul mulutnya dengan mulutku. Untungnya aku masih bisa
menahan, terlebih aku melihat seseorang lari tergopoh-gopoh dari pintu depan.
Mukanya memar, sudut bibirnya berdarah, dan seketika pikiranku langsung
berpikir ada yang tidak beres hari ini.
"Bos!" serunya.
"Sa-saya dipukulin sama si Sanga!" lanjutnya. Bang Zaki sontak
bangkit.
"Di mana si Deon
sekarang?"
"Ada di rumah sakit,"
jawabnya. Sontak Bang Zaki bangkit kemudian berjalan ke atas, membuatku mau
tidak mau mengikutinya.
Sesampainya di atas, Bang Zaki
berteriak, "Kita pergi sekarang!"
Seakan sudah tahu apa yang
sedang terjadi, si Bombom yang tadinya sedang garuk-garuk pantat langsung
berhenti, juga si Feri yang tadinya sedang ada di kamar mandi, langsung keluar,
menampakan pisang coklat yang menggantung di tubuh bagian bawahnya.
"Baik, Bos!"
Sial. Aku melihat Bombom sedang
menggaruk pantatnya lagi.
"Theo," kata Bang
Zaki. Alisku mengernyit. "Kamu pulang saja." Mataku langsung
menyipit.
"Nggak-"
"Bom, antar dia ke rumahnya."
Aku tidak suka ini. Kenapa Bang
Zaki tidak melibatkanku? Apakah aku tak cukup kuat bertempur-atau paling tidak
manjaga diriku sendiri? Kulihat Bombom mengangguk lalu serta-merta menarikku
keluar. Tentu saja aku berontak dan karena tenagaku lebih besar darinya, aku
berhasil lolos.
Kuhentakan kakiku saat berjalan
dan menemui Bang Zaki sambil menegadah. Dia tinggi sekali. Bukannya meladeni
tatapanku, Bang Zaki membuang mukanya lalu berjalan menjauhiku.
"Bang! Kenapa aku nggak
boleh ikut!?"
Bang Zaki berbalik lalu
tersenyum mencemooh. "Ini bukan permainan anak-anak, Theo. Kamu nggak
seharusnya ikut dan nggak akan pernah ikut. Jadi pulang saja dan-"
"Bang!"
"Bom, Fer, bawa dia
pulang!" Bang Zaki pun melengos pergi.
"Ayo Theo, kita
pulang," kata Bombom ketakutan. Lho, ada apa lagi ini?
"Iya hayu, saya takut
kalau si Bos sudah marah jadi jangan buat dia marah, oke?" lanjut Feri.
Aku memutar bola mata sebal.
"Aku nggak takut kalau Bos
kalian marah," kataku sembari bersedekap. "Sebentar aku pakai jaket
dulu," jawabku. Setelah kutemukan jaketku, langsung kupakai dan langsung
kuhampiri mereka ber-baiklah ... saat ini alu marah sekali. Mereka berdua
mengunci pintu dan tersenyum lebar sambil menyembunyikan kunci itu di saku
celananya. "Bom, buka sekarang," kataku pelan. "Bom!"
sentakku. Dia terlonjak kaget.
"Ti-tidak bisa,"
jawabnya.
"Bu-ka pin-tu-nya
se-ka-rang," titahku sambil menunjuk pintu di belakangnya. Bombom dan Feri
serentak menggeleng. Kini di ruangan ini hanya ada aku, Bombom dan Feri.
Beberapa detik kemudian aku
mendengar suata ribut motor. Dan sudah pasti mereka sedang pergi menuju tempat
Sanga-atau entah siapa aku lupa namanya. "Maaf, Theo. Perintah si Bos itu
mutlak, nanti saya yang kena semprot, jadi di sini saja ya?"
Aku menggeleng. Bagaimanapun
juga aku ingin ikut dan melihat apa yang sedang terjadi. Tetapi kurasa, Bang
Zaki dan arek-areknya akan berkelahi, terbukti Bang Zaki melarangku sekeras ini
karena dia tahu aku belum pernah sekali pun berkelahi. Baiklah, meskipun aku
belum pernah melayangkan tinjuku ke moncong hidung seseorang, bukan berarti aku
tidak mampu melakukannya. Dan hal itu membuatku kesal. Aku merasa diremehkan.
"Tenang, Theo. Bukan
bermaksud si Bos nggak percaya sama kamu. Tapi demi kebaikan kita semua,"
kata Feri.
Bombom mengangguk. "Benar.
Jika kamu terluka, dan masyarakat tahu kamu ikut geng kita, sudah pasti orang
yang akan dicap buruk ya si Bos. Kemudian ...," Bombom menarikku sedikit
ke sudut lalu berbisik, "saya yakin si Bos melakukannya bukan karena dia
takut sama pandangan masyarakat terhadapnya, tetapi saya yakin dia melakukannya
karena memang dia tidak ingin kamu terluka."
"Kenapa kamu
berbisik?"
"Ih ya biar si Feri nggak
tahu kamu pacar si Bos, lah!"
Lho? Aku semakin bingung.
"Bukankah mereka semua
sudah tahu?"
Bombom menggeleng. "Yang
tahu cuma saya saja." Sial! Bang Zaki telah menipuku. "Saya teman si
Bos dari kecil, jadi saya teh tahu
dia teh suka suka susu yang keluarnya dari mulut burung, bukan mulut gunung.
Kamu seharusnya bangga punya si Bos, dia teh orang
paling hebat yang pernah saya temui. Mungkin dari segi penampilan terlihat
urakan, tapi dari segi hati, saya rasa semua orang di sini setuju, bahwa dia
tak pernah memen-"
"Kalian sedang bicara
apa?" potong Feri. Kalimat Feri membuat Bombom tak melanjutkan kalimatnya.
"Memen apa?"
"Sebentar ya kok pantat
saya gatal. Aduh!" pekiknya. "Pasti kutu sedang minum darah pantat
saya!"
Aku menghela nafas panjang lalu
duduk di sofa seraya mengedarkan pandangan. Seberkas bayangan Reno tiba-tiba
muncul dipermukaan alam pikirku. Jika benar dia merasa risih ada di dekatku,
kurasa aku harus mulai membiasakan diri hidup tanpanya. Tentu saja bukan
berarti aku akan menjauhi Reno kalau bertemu. Bukan begitu, tapi lebih tepatnya
aku akan menahan untuk tidak tidur bersamanya, menginap di kamarnya yang sempit
dan jorok, memeluk pinggangnya saat kami naik sepeda bersama, dan ... mencari
perhatian apapun bentuknya.
Sementara di sisi lain aku
melihat sosok Zaki dengan segala sikap misteriusnya. Zaki si preman pasar
sekaligus ketua dari geng yang entah apa namanya. Dia mencintaiku, setidaknya
itu yang dikatakan matanya. Apakah aku mencintainya? Satu pertanyaan itu bagai
puzzle yang tak kunjung kutemukan jawabannya. Tetapi setelah pikiranku berhenti
berpikir, malah dengan jelas aku bisa menjawab, aku
tidak mencintai Bang Zaki.
Lalu apa yang kulihat dari
sosoknya?
Entahlah. Aku hanya merasa
ingin menerkam mulutnya, pisangnya dan juga bukitnya. Tak lebih dan sepertinya
tak juga kurang. Aku hanya ingin memikiki tubuh Bang Zaki secara utuh, tidak
dengan hatinya. Aku sayang sama Bang Zaki, tetapi rasa sayang ini kadarnya
hanya sebatas teman saja.
Esensi dari memiliki adalah tak
mau kehilangan. Jadi, meskipun aku tak menginginkan Bang Zaki, aku tak rela
kalau ada orang yang memiliki Bang Zaki secara utuh. Sangat tidak rela.
Tubuhnya yang aduhai itu hanya boleh dicicipi oleh-apakah aku sedari dulu
semesum ini?
Betapa brengseknya diriku ini.
Dasar binal. Seharusnya otakku
isinya bukan selangkangan melulu.
"Gimana kalau Bang Zaki
kenapa-kenapa?" tanyaku setelah ada jeda cukup lama. Mereka berdua
memandangku bingung.
"Ya ... doakan semoga dia
baik-baik saja."
Sial. Aku benar-benar kesal
kepada mereka berdua, terutama Bang Zaki. Tak tahukah dia ketika adrenalinku
terpacu, aku merasa lebih hidup dan bergairah? Aku ingin sekali terlibat, dan
kalau Bombom tidak mengingatkanku dampak negatifnya baik untuk masyarakat,
diriku dan Bang Zaki, mungkin aku sudah memaksa mereka sampai titik darah
penghabisan.
"Aku ke luar dulu,"
kata Feri.
"Aku ikut," seruku.
"Kamu tetap di sini,
Theo!" kata Bombom. Aku memandangnya sebal.
Selepas Feri pergi, Bombom
duduk di sampingku lalu tiba-tiba bercerita. "Saya juga sama kayak kamu,
Theo. Khawatir terjadi apa-apa sama si Bos, sama teman-teman saya yang lain.
Tapi, saya bukannya ingin membuatmu percaya terhadap kami, tetapi konflik ini
sudah terjadi jauh sebelum si Bos menjadi Bos."
"Maksudnya?"
"Bos pertama di geng ini
bukan si Bos. Ada pendahulu kami. Namanya Kang Dasman, dan sejak saya dan si
Bos gabung, sedari dulu memang sudah terjadi konflik. Saya tidak tahu asal
muasalnya bagaimana, tetapi selalu, mereka yang memulai perkelahian seperti
tadi. Kami tidak akan bertindak kalau mereka tidak memulai, jadi sudah
dipastikan kami tidak sebelangsak yang masyarakat pikirkan." Aku tertegun.
"Kamu tahu?" Aku menggeleng. "Saya kentut. Kamu nggak merasa
bau?"
BUGH!
Aku memukul bahunya yang penuh
lemak itu. Kukira dia akan berucap serius, tahunya malah ... bau!
"Aku mau ke kamar
mandi," kataku.
"Silakan. Saya mau tiduran
dulu."
Aku berjalan menuju kamar mandi
yang terletak di ruangan terpisah dengan ruangan ini. Ketika sampai di sana,
aku melihat di depan kamar ada satu pintu terbuka. Hal yang membuatku tertarik
adalah gitar yang tergeletak di atas kasur, belum ada snarnya dan masih ada
labelnya. Gitar
baru, pikirku.
Aku melihat kasur mewah yang di
atasnya terdapat jaket-what the fuck! Di kamar ini banyak sekali jaket
Bang Zaki yang berarti ini kamarnya! Mendadak, aku ingin menggeledah semua ini
di kamar ini. Baiklah, aku memang tak tahu diri, tapi sialnya aku tetap
berjalan mengitari ruangan ini.
Theo,
mengorek pripasi orang itu tindakan tak tahu adab, meskipun terhadap temanmu
sendiri.
Ti-tidak.
Lanjutkan saja toh bukan tindakan kriminal.
Theo!
Kembali lagi sana!
Teruskan
saja. Kamu bisa memulainya dengan membuka lemari.
Theo-sudah
terbuka? Kalau begitu lanjutkan saja. Itu foto siapa?
Drama di pikiranku akhirnya
setuju dengan tindakanku. Sepertinya mereka juga penasaran. Ketika angkat, aku
terkejut ketika melihat satu foto yang ... mirip denganku? Ti-tidak. Hanya
mirip matanya saja. Ah, malah foto ini mirip dengan Bang Zaki. Pasti dia adalah
adiknya.
Oh ada foto kedua. Kubuka
secara perlahan dan-HAP! Langsung ditangkap. Yap. Tanganku langsung ditangkap
oleh Bombom. "Kamu ngapain di sini?"
"Lihat foto," kataku
jujur. Bombom menyelidiku dengan tampang nggak suka. "Ketika Bang Zaki di
kamarku, Bang Zaki suka lihat-lihat fotoku, jadi aku juga ingin lihat foto yang
dia punya." Bombom manggut-manggut.
"Oh gitu. Ya sudah nanti
saja lihatnya, sekarang ayo kita ke rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Ya, lihat keadaan si
Deon."
Kami bertiga meluncur ke rumah
sakit naik motor bertiga. Posisiku ada di tengah dan demi apapun aku sangat
tidak menyukai posisi ini.
"Bom kamu nggak pernah
mandi ya!" seruku.
"Kok tahu?"
"Asem!"
"Ya elah, sekelas si Bos
pun kalau dia jarang mandi tetep asem!"
Benarkah? Kalau begitu akan
kusuruh Bang Zaki untuk tidak mandi selama 1 minggu.
Rumah sakit yang kami tuju
dekat dengan lapangan pelatihan tentara. Posisinya ada di pinggir jalan, dan
ketika kami memasuki parkiran, ternyata mereka sedang ada di sana.
"Bang Zaki di mana?"
tanyaku.
"Dia ada di dalam."
Aku manggut-manggut. "Tunggu jangan dulu masuk ke dalam, ruangannya
sempit, nggak muat banyak orang," lanjutnya ketika melihatku hendak ke
dalam. Aku mengurungkan niatku.
Bombom mendekatiku lalu
menyampirkan tangannya di bahuku. Kutepis secara kasar lalu kukatakan padanya,
"Hanya Bang Zaki yang boleh-halo, Fer." Feri ikut menyampirkan tangannya
di bahuku. "Kenapa Bang Zaki ada di sini? Aku kira dia akan
melabrak."
"Seharusnya begitu. Tapi
saya rasa mereka sedang bersembunyi."
"Mereka yang telah memukul
si Deon sampai babak belur?" Feri mengangguk. "Ya sudah kita urus
besok sa-"
"Tuh si Bos keluar."
Ketika melihatku, Bang Zaki langsung mendekatiku dan mengalungkan tangannya di
leherku. Baiklah, setiap laki-laki selalu melakukan itu kepada sahabat
dekatnya, tak perlu takut mereka akan curiga.
Aku menarik rokok di mulut Bang
Zaki lalu langsung kubuang ke tanah. Dia menatapku marah yang kubalas dengan
kedikan bahu.
Setelah itu, Bang Zaki
mengambil satu batang rokok di sakunya sambil tersenyum meninggalkanku. Sial.
Berapa kali aku mengucapkan kata sial? Sial sial sial.
Kesal dengan tingkahnya, aku
mendekati Feri yang sedang mengobrol dengan housekeeping rumah sakit ini.
"Bapak
ge gaduh putra nu alit hiji nu ageng hiji. Tapi da kumaha deui? Bapak teh teu
gaduh pangabisa, sakola ngan tamat SLA, kebon teu boga komo deui ai harta banda
mah. Ai hoyong mah ieu ge kerja di lembur Bapak sorangan, teu jauh jeung
kulawarga, dulur sarerea. Pas basa eta ge anak hareeng pan Bapak mah teu
terang. Jadi mun bisa mah emut-emut heula mun bade kerja tebih, leheng mun
gadih ageung, kan Ujang teh gaduh si Ema nu kudu diurus."
(Bapak
juga punya putra yang satu masih kecil dan satunya lagi sudah gede. Tapi ya mau
gimana lagi? Bapak gak punya keahlian, sekolah hanya tamat SLA, kebun nggak
punya apalagi harta benda. Kalau bisa ini juga pengen kerja di tempat kelahiran
sendiri, gak jauh dari keluarga, saudara Bapak semuanya. Waktu dulu juga anak
Bapak panas dingin kan Bapak nggak tahu. Jadi, kalau bisa pikir-pikir dulu
kalau mau cari tempat kerja jauh, mending kalau gadih gede, kan Ujang ada si
Ema yang harus dijaga."
Aku tidak tahu mereka sedang
membicarakan apa, tetapi sepertinya obrolannya cukup serius.
"Ieu
sareng saha? Bapak teh asa nembe ningal?"
(Ini
sama siapa? Bapak sepertinya baru lihat.)
"Dia
Theo, Mang. Pindahan ti Jakarta."
(Dia
theo, Mang. Pindahan dari Jakarta.)
Jadilah aku mengobrol panjang
lebar soal pekerkaan. Pandangan Pak Sujar soal kehidupan membuatku tertegun. Oh
tentu saja. Tubuh dan hati Pak Sujar telah ditempa oleh pengalaman hidup yang
begitu lamanya. Di akhir kalimatnya, dia berkata bahwa bersyukurlah kita telah
lahir ke dunia. Setidaknya, kita bisa merasakan kebahagiaan meski sececap.
Jangan pikirkan semua kesedihan karena tak mungkin hidup itu isinya kededihan
semuanya.
Tepat jam 12 malam, Bang Zaki
menyuruhku pulang. Awalnya aku menolak, aku kan sudah bilang akan menginap dan
Ayah mengiyakan, jadi kenapa aku harus menuruti perintahnya? Tetapi
karena-sesuai perkataan Bom-bom-ultimatum Bang Zaki itu absolut, aku tak bisa
berbuat apa-apa.
Sebelum pergi aku menghampiri
Deon di dalam. "Lekas sembuh ya. Maaf nggak bisa lama, aku disuruh pulang
sama gorila sinting."
"Iya nggak masalah. Salam
buat keluarga kamu di rumah ya."
Saat pulang aku diantar Bang
Zaki naik motor CB-nya. "Hati-hati di jalan, Bos." Bang Zaki
mengangguk lalu menancap gas.
10 menit kami melaju dan kami
hampir sampai di rumahku. "Bang," kataku. "Aku lihat gitar di
kamar kamu pas waktu aku mau ke air."
"Arghhh saya lupa. Itu
gitar buat kamu." Bang Zaki tiba-tiba berhenti lalu memutar balik.
"Lho?"
"Kita putar balik, ngambil
gitar."
"Buatku?"
"Ya, hadiah ulang
tahun."
Rasanya ada kupu-kupu terbang
masuk ke dalam hatiku. "Buatku?" kataku sekali lagi. Dari belakang
aku bisa melihat kepalanya mengangguk. "Terima kasih, Bang! Padahal kan
besok lagi bisa, nggak usah balik lagi."
"Iya sama-sama."
Kupeluk erat Bang Zaki dari
belakang. Kali ini aku benar-benar ingin melakukannya. Jika dia bisa mengetahui
kapan hari ulang tahunku, sudah pasti dia serius mencari tahu tanggalnya.
Terdengar manis sekali, bukan? Ah, cowok sangar ini lagi-lagi membuat
pandanganku tentangnya luntur.
"Jangan terlalu keras
nanti ada yang bangun."
BUGH!
Tiba-tiba aku ingat sesuatu.
"Dasar pembohong!" seruku. "Katanya mereka sudah tahu, tetapi
hanya si Bombom saja kan yang tahu?"
"Hehehehe."
"Jangan kasih tahu mereka
ya, Bang. Meskipun mereka bisa dipercaya." Bang Zaki tidak bertanya
kenapa, dia hanya terdiam cukup lama hingga akhirnya berkata 'ya.'
Tak banyak hal yang kami
lakukan setelahnya. Ketika sampai di kamar Bang Zaki, aku langsung mengambil
gitar Ibanez berwarna coklat kemudian langsung pergi ke rumahku. Motor dia
parkirkan di depan pagar. "Mau mampir dulu?" Bang Zaki menggeleng.
"Kalau begitu sampai jumpa besok."
"Besok?" Bang Zaki
tersenyum. "Akan saya tunggu."
Bang Zaki menyelah motor CB-nya
kemudian setelah motor itu menyapa, dia tersenyum lagi. "Sebentar,
Bang," kataku.
Aku menghampiri Bang Zaki lalu
kucium mulutnya yang sedikit kebasahan itu. Dia tidak menolak, justru tangannya
memegang kepalaku kuat supaya tidak lepas dari jangkauan mulutnya. Lama kami melakukan
ciuman mendebarkan ini-aku takut Ayahku melihat. Tapi kurasa tidak mungkin,
selain di luar gelap, Ayah pasti sudah tidur di kamarnya.
"Mau lanjut di
kamar?" Aku menggeleng. "Payah." Dia pun pergi.
Dadaku masih bergemuruh,
pertanda ada hasrat yang belum tersalurkan. Sesampainya di rumah pohon, aku
langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Sejak rumah pohon ini dibangun, aku
jadi sering tidur di sini dibandingkan di kamarku karena menurutku suasana di
sini lebih nyaman saja. Sebenarnya aku khawatir terjadi apa-apa sama Ayah.
Mungkin besok aku akan tidur di bawah.
"Hoaaam-"
"Habis dari mana
malam-malam begini baru-"
"ARRGHH!" teriakku
membahana. "Jurig baseh siah! Lho? Reno? Itu kamu kan?" Aku
langsung bangkit kemudian menyalakan lampu. Ternyata benar! Reno ada di sini
dan dengan tenangnya dia menatapku tajam. "A-aku habis dari-"
"Dari rumah si Zaki?"
ucapnya tepat sasaran.
"Eng ..." Aku tak
tahu harus meresponnya gimana.
"Ngapain kamu di sana? Dan
itu apa?" tanyanya dua sekaligus.
"Habis nongkrong. Ini? Ini
gitar, hadiah ulang tahun dari-"
"Si Zaki?" Reno
tertawa. "Hahahaha. Kamu kasih tahu hari ulang tahunmu ke dia sementara ke
saya nggak?" Lho? Kok Reno bisa berpikiran kayak gitu. "Terus ngapain
kamu di depan gerbang tadi?"
DEG.
Reno
tidak melihatnya Reno tidak melihatnya Reno tidak melihatnya.
Sialnya, Reno telah melihatnya.
"Ciuman? Sama cowok
belangsak itu? Kenapa? Bukankah sudah saya katakan jangan dekati dia? Jawab
saya Rey!" Oke, kini aku takut melihat mata Reno. Kutundukan kepalaku ke
lantai dan memainkan jari di tanganku. "Oke lupakan. Saya cuma ingin
bertanya, kenapa kamu ciuman sama dia?" What the fuck. Kenapa
Reno bisa li-ow shit. Aku
melupakan fakta motor Bang Zaki telah menyala dan cahaya lampu di motornya
pasti membuat aksi mesumku tercyduk. Baiklah aku ulangi, TERCYDUK!
"Karena ... aku
menyukainya."
"Maksud kamu? Menyukai si
Zaki?"
"Bukan, aku menyukai
ciuman sama cowok." Sial! Jawaban apaan itu?
Reno mendorongku ke dinding dan
mengunci tubuhku. Aku masih tak berani menatapnya, apalagi deru nafasnya sedang
tidak terkontrol sekarang. "Kalau saya yang gantiin si Zaki kamu mau?
Asalkan kamu jangan pernah dekati dia lagi."
Kalimat yang meluncur di
mulutnya sekarang membuatku menatap matanya. Jantungku tiba-tiba berdegup
dengan kencang. Reno akan menggantikan Bang Zaki? Aku masih menatap mata Reno,
mencoba mencari keseriusan di sana dan sepertinya Reno tidak membual. Lama kami
ada di posisi ini hingga akhirnya aku mengangguk. "I-iya."
"Bagus." Reno
memiringkan wajahnya kemudian menciumku lembut. Sengatan listrik tiba-tiba
menghujami tubuhku. Kutekan kepala Reno, lalu kutatap matanya yang sedang
terpejam. Nafsu tak sehat ini semakin menguasai diriku. Aku tak tahu mana yang
benar dan mana yang salah, yang jelas aku ingin menuntaskannya sesegera
mungkin.
Masih seperti biasa, aku
mencoba meremas bukit di bekalang tubuh Reno. Lagi-lagi dia menepisnya. Kucoba
sekali lagi, dia masih menepisnya. What the hell! Aku
marah. Kubalikkan posisi sehingga Reno yang ada di dinding. Dia sempat
mengerang, lalu setelah itu dia memandangku sedikit ketakutan.
Kubuka baju Reno perlahan. Dia
menepisnya lagi. Aku tak menyerah, kubuka secara paksa dan akhirnya terbuka
juga. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghisap nipple di bukit Reno, membuat tubuhnya
impuls merenggut dan ... dan ... aku melihat tubuh Reno menegang. Dia
memandangku horor dengan tubuh gemetar. Mukanya pias, mukanya terlihat pasrah
dan hal itu membuat dadaku dirajam oleh ratusan jarum. Jantungku serasa
diremas. Sakit. Menyedihkan.
"Ma-maaf," kataku.
Reno tak menjawab. Aku mengambil baju Reno lalu memasukannya kembali ke
tubuhnya yang masih menegang. "Maaf." Reno masih terdiam. Remasan itu
kembali meremas dadaku. "Maaf." Kulihat mata Reno yang memandangku
ketakutan. Aku tak kuasa melihatnya, aku tak mau melihat pandangan itu,
pandangan ketika seseorang melihat monster, apalagi pandangan itu ditunjukkan
untukku.
Sontak aku mundur beberapa
langkah. "Hmmm."
"Maaf. Aku tidur di bawah
saja," kataku sembari berjalan meninggalkan ruangan ini.
"Rey," kata Reno.
Kepalaku memutar. "Ka-kamu sudah janji nggak akan ..." Kalimat
terakhir Reno tak terdengar jelas oleh telingaku. Saat ini pikiranku kosong dan
aku masih merasakan sakit di dadaku yang entah apa penyebabnya. Ingin rasanya
aku menangis tetapi tak ada satu tetes pun air mata yang keluar. Aku hanya bisa
berjalan sedikit semponyongan ke kamar.
Di bawah angin menerpa
rambutku. Aku tidak merasakan dingin. Ini aneh. Di dalam kamar, ketika
kuselimuti tubuhku aku tidak merasakan hangat. Ini aneh. Lalu beberapa menit
kemudian kudengar kaca kamar diketuk. Setelah kulihat ternyata Reno. Lagi, aku
berjalan sedikit sempoyongan untuk membuka pintu. Reno masuk, mendahuluiku
pergi ke kamar, lalu setelah kukunci, aku menghempaskan tubuhku di samping
Reno. Aku tidur membelakanginya.
Tiba-tiba Reno melepaskam
bajunya dan memelukku dari belakang. Tak berucap tak juga memberi isarat. Lagi,
hatiku rasanya diremas. Aku ingin menangis, tetapi tak ada air mata yang
keluar. Ternyata aku bukan ingin menangis, tetapi aku ingin marah.
Baiklah, aku tertawa saja. Kini
aku marah. Sangat marah.