Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Insiden #2

Bang Zaki tersenyum sembari menaik-naikkan alis. Tatapannya mesum sekali dan sialnya aku mulai menyukai-tidak bisa! Jika pun aku akan mencoba menaruh hatiku padanya, aku tidak ingin terlalu terlihat dan membuatnya berpikiran aku laki-laki gampangan. Tapi-lagi-lagi-tatapan mesumnya itu membuatku ingin memukul mulutnya dengan mulutku. Untungnya aku masih bisa menahan, terlebih aku melihat seseorang lari tergopoh-gopoh dari pintu depan. Mukanya memar, sudut bibirnya berdarah, dan seketika pikiranku langsung berpikir ada yang tidak beres hari ini.
"Bos!" serunya. "Sa-saya dipukulin sama si Sanga!" lanjutnya. Bang Zaki sontak bangkit.
"Di mana si Deon sekarang?"
"Ada di rumah sakit," jawabnya. Sontak Bang Zaki bangkit kemudian berjalan ke atas, membuatku mau tidak mau mengikutinya.
Sesampainya di atas, Bang Zaki berteriak, "Kita pergi sekarang!"
Seakan sudah tahu apa yang sedang terjadi, si Bombom yang tadinya sedang garuk-garuk pantat langsung berhenti, juga si Feri yang tadinya sedang ada di kamar mandi, langsung keluar, menampakan pisang coklat yang menggantung di tubuh bagian bawahnya.
"Baik, Bos!"
Sial. Aku melihat Bombom sedang menggaruk pantatnya lagi.
"Theo," kata Bang Zaki. Alisku mengernyit. "Kamu pulang saja." Mataku langsung menyipit.
"Nggak-"
"Bom, antar dia ke rumahnya."
Aku tidak suka ini. Kenapa Bang Zaki tidak melibatkanku? Apakah aku tak cukup kuat bertempur-atau paling tidak manjaga diriku sendiri? Kulihat Bombom mengangguk lalu serta-merta menarikku keluar. Tentu saja aku berontak dan karena tenagaku lebih besar darinya, aku berhasil lolos.
Kuhentakan kakiku saat berjalan dan menemui Bang Zaki sambil menegadah. Dia tinggi sekali. Bukannya meladeni tatapanku, Bang Zaki membuang mukanya lalu berjalan menjauhiku.
"Bang! Kenapa aku nggak boleh ikut!?"
Bang Zaki berbalik lalu tersenyum mencemooh. "Ini bukan permainan anak-anak, Theo. Kamu nggak seharusnya ikut dan nggak akan pernah ikut. Jadi pulang saja dan-"
"Bang!"
"Bom, Fer, bawa dia pulang!" Bang Zaki pun melengos pergi.
"Ayo Theo, kita pulang," kata Bombom ketakutan. Lho, ada apa lagi ini?
"Iya hayu, saya takut kalau si Bos sudah marah jadi jangan buat dia marah, oke?" lanjut Feri. Aku memutar bola mata sebal.
"Aku nggak takut kalau Bos kalian marah," kataku sembari bersedekap. "Sebentar aku pakai jaket dulu," jawabku. Setelah kutemukan jaketku, langsung kupakai dan langsung kuhampiri mereka ber-baiklah ... saat ini alu marah sekali. Mereka berdua mengunci pintu dan tersenyum lebar sambil menyembunyikan kunci itu di saku celananya. "Bom, buka sekarang," kataku pelan. "Bom!" sentakku. Dia terlonjak kaget.
"Ti-tidak bisa," jawabnya.
"Bu-ka pin-tu-nya se-ka-rang," titahku sambil menunjuk pintu di belakangnya. Bombom dan Feri serentak menggeleng. Kini di ruangan ini hanya ada aku, Bombom dan Feri.
Beberapa detik kemudian aku mendengar suata ribut motor. Dan sudah pasti mereka sedang pergi menuju tempat Sanga-atau entah siapa aku lupa namanya. "Maaf, Theo. Perintah si Bos itu mutlak, nanti saya yang kena semprot, jadi di sini saja ya?"
Aku menggeleng. Bagaimanapun juga aku ingin ikut dan melihat apa yang sedang terjadi. Tetapi kurasa, Bang Zaki dan arek-areknya akan berkelahi, terbukti Bang Zaki melarangku sekeras ini karena dia tahu aku belum pernah sekali pun berkelahi. Baiklah, meskipun aku belum pernah melayangkan tinjuku ke moncong hidung seseorang, bukan berarti aku tidak mampu melakukannya. Dan hal itu membuatku kesal. Aku merasa diremehkan.
"Tenang, Theo. Bukan bermaksud si Bos nggak percaya sama kamu. Tapi demi kebaikan kita semua," kata Feri.
Bombom mengangguk. "Benar. Jika kamu terluka, dan masyarakat tahu kamu ikut geng kita, sudah pasti orang yang akan dicap buruk ya si Bos. Kemudian ...," Bombom menarikku sedikit ke sudut lalu berbisik, "saya yakin si Bos melakukannya bukan karena dia takut sama pandangan masyarakat terhadapnya, tetapi saya yakin dia melakukannya karena memang dia tidak ingin kamu terluka."
"Kenapa kamu berbisik?"
"Ih ya biar si Feri nggak tahu kamu pacar si Bos, lah!"
Lho? Aku semakin bingung.
"Bukankah mereka semua sudah tahu?"
Bombom menggeleng. "Yang tahu cuma saya saja." Sial! Bang Zaki telah menipuku. "Saya teman si Bos dari kecil, jadi saya teh tahu dia teh suka suka susu yang keluarnya dari mulut burung, bukan mulut gunung. Kamu seharusnya bangga punya si Bos, dia teh orang paling hebat yang pernah saya temui. Mungkin dari segi penampilan terlihat urakan, tapi dari segi hati, saya rasa semua orang di sini setuju, bahwa dia tak pernah memen-"
"Kalian sedang bicara apa?" potong Feri. Kalimat Feri membuat Bombom tak melanjutkan kalimatnya.
"Memen apa?"
"Sebentar ya kok pantat saya gatal. Aduh!" pekiknya. "Pasti kutu sedang minum darah pantat saya!"
Aku menghela nafas panjang lalu duduk di sofa seraya mengedarkan pandangan. Seberkas bayangan Reno tiba-tiba muncul dipermukaan alam pikirku. Jika benar dia merasa risih ada di dekatku, kurasa aku harus mulai membiasakan diri hidup tanpanya. Tentu saja bukan berarti aku akan menjauhi Reno kalau bertemu. Bukan begitu, tapi lebih tepatnya aku akan menahan untuk tidak tidur bersamanya, menginap di kamarnya yang sempit dan jorok, memeluk pinggangnya saat kami naik sepeda bersama, dan ... mencari perhatian apapun bentuknya.
Sementara di sisi lain aku melihat sosok Zaki dengan segala sikap misteriusnya. Zaki si preman pasar sekaligus ketua dari geng yang entah apa namanya. Dia mencintaiku, setidaknya itu yang dikatakan matanya. Apakah aku mencintainya? Satu pertanyaan itu bagai puzzle yang tak kunjung kutemukan jawabannya. Tetapi setelah pikiranku berhenti berpikir, malah dengan jelas aku bisa menjawab, aku tidak mencintai Bang Zaki.
Lalu apa yang kulihat dari sosoknya?
Entahlah. Aku hanya merasa ingin menerkam mulutnya, pisangnya dan juga bukitnya. Tak lebih dan sepertinya tak juga kurang. Aku hanya ingin memikiki tubuh Bang Zaki secara utuh, tidak dengan hatinya. Aku sayang sama Bang Zaki, tetapi rasa sayang ini kadarnya hanya sebatas teman saja.
Esensi dari memiliki adalah tak mau kehilangan. Jadi, meskipun aku tak menginginkan Bang Zaki, aku tak rela kalau ada orang yang memiliki Bang Zaki secara utuh. Sangat tidak rela. Tubuhnya yang aduhai itu hanya boleh dicicipi oleh-apakah aku sedari dulu semesum ini?
Betapa brengseknya diriku ini.
Dasar binal. Seharusnya otakku isinya bukan selangkangan melulu.
"Gimana kalau Bang Zaki kenapa-kenapa?" tanyaku setelah ada jeda cukup lama. Mereka berdua memandangku bingung.
"Ya ... doakan semoga dia baik-baik saja."
Sial. Aku benar-benar kesal kepada mereka berdua, terutama Bang Zaki. Tak tahukah dia ketika adrenalinku terpacu, aku merasa lebih hidup dan bergairah? Aku ingin sekali terlibat, dan kalau Bombom tidak mengingatkanku dampak negatifnya baik untuk masyarakat, diriku dan Bang Zaki, mungkin aku sudah memaksa mereka sampai titik darah penghabisan.
"Aku ke luar dulu," kata Feri.
"Aku ikut," seruku.
"Kamu tetap di sini, Theo!" kata Bombom. Aku memandangnya sebal.
Selepas Feri pergi, Bombom duduk di sampingku lalu tiba-tiba bercerita. "Saya juga sama kayak kamu, Theo. Khawatir terjadi apa-apa sama si Bos, sama teman-teman saya yang lain. Tapi, saya bukannya ingin membuatmu percaya terhadap kami, tetapi konflik ini sudah terjadi jauh sebelum si Bos menjadi Bos."
"Maksudnya?"
"Bos pertama di geng ini bukan si Bos. Ada pendahulu kami. Namanya Kang Dasman, dan sejak saya dan si Bos gabung, sedari dulu memang sudah terjadi konflik. Saya tidak tahu asal muasalnya bagaimana, tetapi selalu, mereka yang memulai perkelahian seperti tadi. Kami tidak akan bertindak kalau mereka tidak memulai, jadi sudah dipastikan kami tidak sebelangsak yang masyarakat pikirkan." Aku tertegun. "Kamu tahu?" Aku menggeleng. "Saya kentut. Kamu nggak merasa bau?"
BUGH!
Aku memukul bahunya yang penuh lemak itu. Kukira dia akan berucap serius, tahunya malah ... bau!
"Aku mau ke kamar mandi," kataku.
"Silakan. Saya mau tiduran dulu."
Aku berjalan menuju kamar mandi yang terletak di ruangan terpisah dengan ruangan ini. Ketika sampai di sana, aku melihat di depan kamar ada satu pintu terbuka. Hal yang membuatku tertarik adalah gitar yang tergeletak di atas kasur, belum ada snarnya dan masih ada labelnya. Gitar baru, pikirku.
Aku melihat kasur mewah yang di atasnya terdapat jaket-what the fuck! Di kamar ini banyak sekali jaket Bang Zaki yang berarti ini kamarnya! Mendadak, aku ingin menggeledah semua ini di kamar ini. Baiklah, aku memang tak tahu diri, tapi sialnya aku tetap berjalan mengitari ruangan ini.
Theo, mengorek pripasi orang itu tindakan tak tahu adab, meskipun terhadap temanmu sendiri.
Ti-tidak. Lanjutkan saja toh bukan tindakan kriminal.
Theo! Kembali lagi sana!
Teruskan saja. Kamu bisa memulainya dengan membuka lemari.
Theo-sudah terbuka? Kalau begitu lanjutkan saja. Itu foto siapa?
Drama di pikiranku akhirnya setuju dengan tindakanku. Sepertinya mereka juga penasaran. Ketika angkat, aku terkejut ketika melihat satu foto yang ... mirip denganku? Ti-tidak. Hanya mirip matanya saja. Ah, malah foto ini mirip dengan Bang Zaki. Pasti dia adalah adiknya.
Oh ada foto kedua. Kubuka secara perlahan dan-HAP! Langsung ditangkap. Yap. Tanganku langsung ditangkap oleh Bombom. "Kamu ngapain di sini?"
"Lihat foto," kataku jujur. Bombom menyelidiku dengan tampang nggak suka. "Ketika Bang Zaki di kamarku, Bang Zaki suka lihat-lihat fotoku, jadi aku juga ingin lihat foto yang dia punya." Bombom manggut-manggut.
"Oh gitu. Ya sudah nanti saja lihatnya, sekarang ayo kita ke rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Ya, lihat keadaan si Deon."
Kami bertiga meluncur ke rumah sakit naik motor bertiga. Posisiku ada di tengah dan demi apapun aku sangat tidak menyukai posisi ini.
"Bom kamu nggak pernah mandi ya!" seruku.
"Kok tahu?"
"Asem!"
"Ya elah, sekelas si Bos pun kalau dia jarang mandi tetep asem!"
Benarkah? Kalau begitu akan kusuruh Bang Zaki untuk tidak mandi selama 1 minggu.
Rumah sakit yang kami tuju dekat dengan lapangan pelatihan tentara. Posisinya ada di pinggir jalan, dan ketika kami memasuki parkiran, ternyata mereka sedang ada di sana.
"Bang Zaki di mana?" tanyaku.
"Dia ada di dalam." Aku manggut-manggut. "Tunggu jangan dulu masuk ke dalam, ruangannya sempit, nggak muat banyak orang," lanjutnya ketika melihatku hendak ke dalam. Aku mengurungkan niatku.
Bombom mendekatiku lalu menyampirkan tangannya di bahuku. Kutepis secara kasar lalu kukatakan padanya, "Hanya Bang Zaki yang boleh-halo, Fer." Feri ikut menyampirkan tangannya di bahuku. "Kenapa Bang Zaki ada di sini? Aku kira dia akan melabrak."
"Seharusnya begitu. Tapi saya rasa mereka sedang bersembunyi."
"Mereka yang telah memukul si Deon sampai babak belur?" Feri mengangguk. "Ya sudah kita urus besok sa-"
"Tuh si Bos keluar." Ketika melihatku, Bang Zaki langsung mendekatiku dan mengalungkan tangannya di leherku. Baiklah, setiap laki-laki selalu melakukan itu kepada sahabat dekatnya, tak perlu takut mereka akan curiga.
Aku menarik rokok di mulut Bang Zaki lalu langsung kubuang ke tanah. Dia menatapku marah yang kubalas dengan kedikan bahu.
Setelah itu, Bang Zaki mengambil satu batang rokok di sakunya sambil tersenyum meninggalkanku. Sial. Berapa kali aku mengucapkan kata sial? Sial sial sial.
Kesal dengan tingkahnya, aku mendekati Feri yang sedang mengobrol dengan housekeeping rumah sakit ini.
"Bapak ge gaduh putra nu alit hiji nu ageng hiji. Tapi da kumaha deui? Bapak teh teu gaduh pangabisa, sakola ngan tamat SLA, kebon teu boga komo deui ai harta banda mah. Ai hoyong mah ieu ge kerja di lembur Bapak sorangan, teu jauh jeung kulawarga, dulur sarerea. Pas basa eta ge anak hareeng pan Bapak mah teu terang. Jadi mun bisa mah emut-emut heula mun bade kerja tebih, leheng mun gadih ageung, kan Ujang teh gaduh si Ema nu kudu diurus."
(Bapak juga punya putra yang satu masih kecil dan satunya lagi sudah gede. Tapi ya mau gimana lagi? Bapak gak punya keahlian, sekolah hanya tamat SLA, kebun nggak punya apalagi harta benda. Kalau bisa ini juga pengen kerja di tempat kelahiran sendiri, gak jauh dari keluarga, saudara Bapak semuanya. Waktu dulu juga anak Bapak panas dingin kan Bapak nggak tahu. Jadi, kalau bisa pikir-pikir dulu kalau mau cari tempat kerja jauh, mending kalau gadih gede, kan Ujang ada si Ema yang harus dijaga."
Aku tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, tetapi sepertinya obrolannya cukup serius.
"Ieu sareng saha? Bapak teh asa nembe ningal?"
(Ini sama siapa? Bapak sepertinya baru lihat.)
"Dia Theo, Mang. Pindahan ti Jakarta."
(Dia theo, Mang. Pindahan dari Jakarta.)
Jadilah aku mengobrol panjang lebar soal pekerkaan. Pandangan Pak Sujar soal kehidupan membuatku tertegun. Oh tentu saja. Tubuh dan hati Pak Sujar telah ditempa oleh pengalaman hidup yang begitu lamanya. Di akhir kalimatnya, dia berkata bahwa bersyukurlah kita telah lahir ke dunia. Setidaknya, kita bisa merasakan kebahagiaan meski sececap. Jangan pikirkan semua kesedihan karena tak mungkin hidup itu isinya kededihan semuanya.
Tepat jam 12 malam, Bang Zaki menyuruhku pulang. Awalnya aku menolak, aku kan sudah bilang akan menginap dan Ayah mengiyakan, jadi kenapa aku harus menuruti perintahnya? Tetapi karena-sesuai perkataan Bom-bom-ultimatum Bang Zaki itu absolut, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Sebelum pergi aku menghampiri Deon di dalam. "Lekas sembuh ya. Maaf nggak bisa lama, aku disuruh pulang sama gorila sinting."
"Iya nggak masalah. Salam buat keluarga kamu di rumah ya."
Saat pulang aku diantar Bang Zaki naik motor CB-nya. "Hati-hati di jalan, Bos." Bang Zaki mengangguk lalu menancap gas.
10 menit kami melaju dan kami hampir sampai di rumahku. "Bang," kataku. "Aku lihat gitar di kamar kamu pas waktu aku mau ke air."
"Arghhh saya lupa. Itu gitar buat kamu." Bang Zaki tiba-tiba berhenti lalu memutar balik.
"Lho?"
"Kita putar balik, ngambil gitar."
"Buatku?"
"Ya, hadiah ulang tahun."
Rasanya ada kupu-kupu terbang masuk ke dalam hatiku. "Buatku?" kataku sekali lagi. Dari belakang aku bisa melihat kepalanya mengangguk. "Terima kasih, Bang! Padahal kan besok lagi bisa, nggak usah balik lagi."
"Iya sama-sama."
Kupeluk erat Bang Zaki dari belakang. Kali ini aku benar-benar ingin melakukannya. Jika dia bisa mengetahui kapan hari ulang tahunku, sudah pasti dia serius mencari tahu tanggalnya. Terdengar manis sekali, bukan? Ah, cowok sangar ini lagi-lagi membuat pandanganku tentangnya luntur.
"Jangan terlalu keras nanti ada yang bangun."
BUGH!
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. "Dasar pembohong!" seruku. "Katanya mereka sudah tahu, tetapi hanya si Bombom saja kan yang tahu?"
"Hehehehe."
"Jangan kasih tahu mereka ya, Bang. Meskipun mereka bisa dipercaya." Bang Zaki tidak bertanya kenapa, dia hanya terdiam cukup lama hingga akhirnya berkata 'ya.'
Tak banyak hal yang kami lakukan setelahnya. Ketika sampai di kamar Bang Zaki, aku langsung mengambil gitar Ibanez berwarna coklat kemudian langsung pergi ke rumahku. Motor dia parkirkan di depan pagar. "Mau mampir dulu?" Bang Zaki menggeleng. "Kalau begitu sampai jumpa besok."
"Besok?" Bang Zaki tersenyum. "Akan saya tunggu."
Bang Zaki menyelah motor CB-nya kemudian setelah motor itu menyapa, dia tersenyum lagi. "Sebentar, Bang," kataku.
Aku menghampiri Bang Zaki lalu kucium mulutnya yang sedikit kebasahan itu. Dia tidak menolak, justru tangannya memegang kepalaku kuat supaya tidak lepas dari jangkauan mulutnya. Lama kami melakukan ciuman mendebarkan ini-aku takut Ayahku melihat. Tapi kurasa tidak mungkin, selain di luar gelap, Ayah pasti sudah tidur di kamarnya.


"Mau lanjut di kamar?" Aku menggeleng. "Payah." Dia pun pergi.
Dadaku masih bergemuruh, pertanda ada hasrat yang belum tersalurkan. Sesampainya di rumah pohon, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Sejak rumah pohon ini dibangun, aku jadi sering tidur di sini dibandingkan di kamarku karena menurutku suasana di sini lebih nyaman saja. Sebenarnya aku khawatir terjadi apa-apa sama Ayah. Mungkin besok aku akan tidur di bawah.
"Hoaaam-"
"Habis dari mana malam-malam begini baru-"
"ARRGHH!" teriakku membahana. "Jurig baseh siah! Lho? Reno? Itu kamu kan?" Aku langsung bangkit kemudian menyalakan lampu. Ternyata benar! Reno ada di sini dan dengan tenangnya dia menatapku tajam. "A-aku habis dari-"
"Dari rumah si Zaki?" ucapnya tepat sasaran.
"Eng ..." Aku tak tahu harus meresponnya gimana.
"Ngapain kamu di sana? Dan itu apa?" tanyanya dua sekaligus.
"Habis nongkrong. Ini? Ini gitar, hadiah ulang tahun dari-"
"Si Zaki?" Reno tertawa. "Hahahaha. Kamu kasih tahu hari ulang tahunmu ke dia sementara ke saya nggak?" Lho? Kok Reno bisa berpikiran kayak gitu. "Terus ngapain kamu di depan gerbang tadi?"
DEG.
Reno tidak melihatnya Reno tidak melihatnya Reno tidak melihatnya.
Sialnya, Reno telah melihatnya.
"Ciuman? Sama cowok belangsak itu? Kenapa? Bukankah sudah saya katakan jangan dekati dia? Jawab saya Rey!" Oke, kini aku takut melihat mata Reno. Kutundukan kepalaku ke lantai dan memainkan jari di tanganku. "Oke lupakan. Saya cuma ingin bertanya, kenapa kamu ciuman sama dia?" What the fuck. Kenapa Reno bisa li-ow shit. Aku melupakan fakta motor Bang Zaki telah menyala dan cahaya lampu di motornya pasti membuat aksi mesumku tercyduk. Baiklah aku ulangi, TERCYDUK!
"Karena ... aku menyukainya."
"Maksud kamu? Menyukai si Zaki?"
"Bukan, aku menyukai ciuman sama cowok." Sial! Jawaban apaan itu?
Reno mendorongku ke dinding dan mengunci tubuhku. Aku masih tak berani menatapnya, apalagi deru nafasnya sedang tidak terkontrol sekarang. "Kalau saya yang gantiin si Zaki kamu mau? Asalkan kamu jangan pernah dekati dia lagi."
Kalimat yang meluncur di mulutnya sekarang membuatku menatap matanya. Jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang. Reno akan menggantikan Bang Zaki? Aku masih menatap mata Reno, mencoba mencari keseriusan di sana dan sepertinya Reno tidak membual. Lama kami ada di posisi ini hingga akhirnya aku mengangguk. "I-iya."
"Bagus." Reno memiringkan wajahnya kemudian menciumku lembut. Sengatan listrik tiba-tiba menghujami tubuhku. Kutekan kepala Reno, lalu kutatap matanya yang sedang terpejam. Nafsu tak sehat ini semakin menguasai diriku. Aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah, yang jelas aku ingin menuntaskannya sesegera mungkin.
Masih seperti biasa, aku mencoba meremas bukit di bekalang tubuh Reno. Lagi-lagi dia menepisnya. Kucoba sekali lagi, dia masih menepisnya. What the hell! Aku marah. Kubalikkan posisi sehingga Reno yang ada di dinding. Dia sempat mengerang, lalu setelah itu dia memandangku sedikit ketakutan.
Kubuka baju Reno perlahan. Dia menepisnya lagi. Aku tak menyerah, kubuka secara paksa dan akhirnya terbuka juga. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghisap nipple di bukit Reno, membuat tubuhnya impuls merenggut dan ... dan ... aku melihat tubuh Reno menegang. Dia memandangku horor dengan tubuh gemetar. Mukanya pias, mukanya terlihat pasrah dan hal itu membuat dadaku dirajam oleh ratusan jarum. Jantungku serasa diremas. Sakit. Menyedihkan.
"Ma-maaf," kataku. Reno tak menjawab. Aku mengambil baju Reno lalu memasukannya kembali ke tubuhnya yang masih menegang. "Maaf." Reno masih terdiam. Remasan itu kembali meremas dadaku. "Maaf." Kulihat mata Reno yang memandangku ketakutan. Aku tak kuasa melihatnya, aku tak mau melihat pandangan itu, pandangan ketika seseorang melihat monster, apalagi pandangan itu ditunjukkan untukku.
Sontak aku mundur beberapa langkah. "Hmmm."
"Maaf. Aku tidur di bawah saja," kataku sembari berjalan meninggalkan ruangan ini.
"Rey," kata Reno. Kepalaku memutar. "Ka-kamu sudah janji nggak akan ..." Kalimat terakhir Reno tak terdengar jelas oleh telingaku. Saat ini pikiranku kosong dan aku masih merasakan sakit di dadaku yang entah apa penyebabnya. Ingin rasanya aku menangis tetapi tak ada satu tetes pun air mata yang keluar. Aku hanya bisa berjalan sedikit semponyongan ke kamar.
Di bawah angin menerpa rambutku. Aku tidak merasakan dingin. Ini aneh. Di dalam kamar, ketika kuselimuti tubuhku aku tidak merasakan hangat. Ini aneh. Lalu beberapa menit kemudian kudengar kaca kamar diketuk. Setelah kulihat ternyata Reno. Lagi, aku berjalan sedikit sempoyongan untuk membuka pintu. Reno masuk, mendahuluiku pergi ke kamar, lalu setelah kukunci, aku menghempaskan tubuhku di samping Reno. Aku tidur membelakanginya.
Tiba-tiba Reno melepaskam bajunya dan memelukku dari belakang. Tak berucap tak juga memberi isarat. Lagi, hatiku rasanya diremas. Aku ingin menangis, tetapi tak ada air mata yang keluar. Ternyata aku bukan ingin menangis, tetapi aku ingin marah.
Baiklah, aku tertawa saja. Kini aku marah. Sangat marah.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -