Archive for Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Di Atas Awan

Semesta tahu, betapa egoisnya aku.
Malam ini kami semua berkumpul di ruang tengah—kecuali Bang Zaki dan pacarnya. Apa sebenarnya yang terjadi padaku? Kenapa aku merasa marah dan kesal ketika mereka berdua bermesraan di kamar? Ah ... semesta tahu, bahwa perasaan marah dan kesal itu muncul karena hati menolak untuk terluka, menolak untuk mengingat kembali sosok Reno, dengan begitu harapan untuk tidak larut dalam kesedihan perlahan terobati karena ada sosok yang menggantikan.
Kehilangan harus digantikan dengan yang baru. Jika memang begitu, harus kepada siapa aku berharap? Bang Zaki? Tidak tidak tidak! Aku tidak ingin dibodohi lagi. Feri? Haruskah? Kurasa juga bukan. Pada akhirnya kini aku benar-benar sendiri. Satu-satu cara untuk melupakan kesedihan ini adalah dengan menjadi diriku yang dulu. Aku yang apatis terhadap perasaan. Aku yang hanya memikirkan pertemanan dan pekerjaan. Cinta itu adalah pengekang. Padahal tanpanya, manusia bisa hidup sampai akhir hayat yang dia punya.
"Theo, sekarang giliran kamu."
Bersama mereka, teman-teman baruku, sedikitnya aku bisa melupakan kesedihan soal hamilnya Enok. Tidak buruk juga. Rasanya terlalu berlebihan jika aku menanggapi masalah percintaanku dengan drama yang berlarut-larut. Sialnya aku masih saja merasa sedih. Untuk itulah aku ingin segera pergi ke gunung. Lagian, aku penasaran kenapa Bang Zaki selalu mengajakku ke gunung? Mungkin baginya naik ke puncak adalah hobi yang sangat jantan. Entahlah.
Ngomong-ngomong sekarang kami sedang main catur. "Skak," kataku. Dan aku sudah memenangkan pertandingan sebanyak 10 kali.
Jam 1 dini hari kami semua tertidur. Aku tidur di sofa dengan Feri. Hmmm sebenarnya sengaja haha. Aku melihat kursi itu cukup untuk tiga orang jadi aku memintanya untuk bergeser. Sambil menyelam minum air. Sambil tidur, bisa peluk-peluk Feri. Ternyata niat mesumku itu membuat mata Bang Zaki melotot. Dia mempergokiku mencoba memeluk Feri. "Hmmm ternyata kamu Theo jalang sebenarnya," desisnya pelan di telingaku.
Bang Zaki benar. Aku jalang sebenarnya. Mungkin otakku memang sudah nggak waras. Sudahlah. Aku menyerah. Aku akan mencoba mengenyahkan cinta dan nafsu di kehidupanku.
***
Ternyata mereka berdua memang pacaran. Buktinya, perjalanan menuju gunung Burangrang Bang Zaki satu motor dengan Keke sedangkan aku dengan Bombom. Padahal kan aku sudah mengajak Bang Zaki untuk satu motor denganku. Argh! Sudah Theo, fokus saja menikmati alam sekitar.
"Si Bos meni kayak anak kecil."
"Anak kecil? Siapa?"
"Hahaha nggak."
Perjalanan dari Lembang menuju gunung Burangrang cukup jauh. Dari sini kami harus naik motor selama 1 jam menuju daerah Parongpong kemudian terus ke bawah. Suhu kurasa tidak berubah. Masih dingin dan sejuk. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku adalah ... awan di atas sana sedikit mendung. Semoga saja tidak hujan. Aku—tidak tetapi kami—sudah menantikan hari ini sejak kemarin. Aku tidak mau gagal hanya karena hujan turun.
"Bom," kataku.
"Ya?" jawabnya.
"Sejak kapan mereka pacaran?"
"Maksudmu si Bos?"
Aku mengangguk. Kulihat Bombom di kaca spion. Sial, kenapa dia malah tersenyum? "Duh saya teh nggak ngerti ah sama kalian."
"Maksudnya?"
"Tidak. Ya mereka pacaran sejak kamu memutuskan untuk selingkuh sama si Reno." Aku menyikut tubuh gempalnya sedikit keras. "Sakit kampret!"
"Hmmm." Bang Zaki melewati motorku. Dia tak melihatku sedikit pun meskipun aku sudah memanggilnya. "Dia lagi marah?" tanyaku.
"Positif saja. Mungkin tidak kedengeran. Kamu kan tahu kalau di motor itu suara orang-orang terdengar kecil."
"Oh iya ya."
Lagi pula kenapa aku harus sedih? Bukankah sudah kuputuskan akan kujadikan Bang Zaki sebagai sosok Abang? Abang yang sesungguhnya. Dia pun sepertinya sudah menganggapku sebagai Adik. Entah kenapa memikirkannya membuatku bahagia. Kata Ayah sih aku punya seorang Kakak. Nahasnya, Kakakku telah meninggal bersamaan dengan Ibu dan Ayah saat kecelakaan mobil beruntun puluhan tahun silam. Aku tidak pernah diberi tahu lebih lanjut soal kecelakaan itu. Ayah hanya menjelaskan sebatas kecelakaan mobil. Sudah itu saja. Ayah tidak menjelaskan bagaimana aku bisa selamat dan bisa ada di tangannya.
Kami pun sudah sampai. Sebenarnya aku merasa ragu, apakah tempat ini parkiran atau bukan, ternyata jawaban Bombom sedikit membuatku tercengang. "Tempat ini sudah jadi milik kopasus. Jadi hati-hati terhadap peluru nyasar, bisa-bisa si Bos nangis kalau kamu mati la ..." Kalimatnya terhenti. Aku tidak bertanya lebih jauh karena aku kaget ternyata lahan luas ini adalah tempat latihan kopasus.
"Serius!?"
"Ya," sahut Bombom.
"Jadi kenapa harus parkir di sini?"
"Oh kita akan parkir di mesjid. Semacam pesantren gitu, tapi nggak terlalu besar. Sekarang si Bos sedang ngecek apakah ada orang di sana atau tidak."
Kami semua menunggu sementara Bang Zaki pergi. 5 menit kemudian Bang Zaki mengacungkan jempolnya. "Tapi gerbangnya ditutup. Hmm kita angkat saja motornya," sahutnya.
"Gila! Gimana kalau kena marah?" sahutku. "Kita masuknya ilegal?"
Bang Zaki berbisik di telingaku. "Sudah deh nurut aja, jalang."
Aku memandang Bang Zaki dengan tatapan nista. "Heh, Bang. Aku bukan jalang ya," kataku.
"Terus apa namanya kalau bukan jalang? Pake acara ngedeketin si Feri segala."
"Lho hak dong. Kan biar aku cepat move on-nya."
Bang Zaki mengibaskan tangan tidak peduli. "Jalang tetap jalang. Kalau kamu nggak tahu artinya ... jalang itu lonte!"
Bang Zaki menyebalkan hari ini! Dia kenapa sih? Oh aku tahu, mungkin karena Bang Zaki sedang datang bulan. Sial! Harusnya dia jadi mood booster, bukan mood broker! Atau ... ah benar. Akunya yang terlalu sensi. Kalimat seperti itu seharusnya wajar diucapkan.
Bang Zaki menghampiri Keke kemudian tertawa bersamanya. Sial! Aku merasa gak rela. Aku ingin Bang Zaki yang dulu, Bang Zaki yang selalu memprioritaskan diriku. Huhuhuhu. Sungguh aku nyesel deh. Kenapa aku gak milih laki kayak dia sih? Udah ganteng, baik, tapi nggak deh! Sifatnya udah menyebalkan.
"Woi ayo kumpul!" seru Bang Zaki. Kami semua berkumpul membentuk deret melingkar. "Nah sebentar lagi kita akan pergi. Sebelum itu, ayo kita berdoa semoga kita semua diberi keselamatan baik perjalanan menuju puncak atau setelah kembali nanti. Berdoa dimulai." Ketika mengucapkan kalimat itu, mata Bang Zaki menatapku cukup lama. Tatapan itu sulit kuartikan, yang jelas, kok aku merasa takut?
"Ini pertama kalian naik ke gunung?" tanyaku ke Feri. Si jangkung ini menoleh kemudian menggeleng.
"Sudah beberapa kali ke gunung Putri, tapi baru kali ini kita mau ke gunung yang lebih tinggi dengan medan yang cukup ekstrem." Aku manggut-manggut. "Malahan si Bos ada niatan buat naik gunung Semeru dan Bromo. Sayangnya, kami semua gak berani. Terlalu jauh, ditambah karena kebanyakan pekerjaan kami dagang dan burung tani, jadi gak nentu liburnya."
Hmmm aku baru tahu kalau ternyata Bang Zaki maniak gunung.
"Nah ayo kita pergi. Perempuan di tengah, saya di depan dan kamu Feri, kamu jaga di belakang."
Dug dug dug ...
Aku tidak pernah sesemangat ini. Rasanya aku mulai bisa menikmati. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku, mendung menggelayut manja di atas sana. Seakan jika angin bertiup, hujan itu akan langsung turun di celah-celah langit yang terbuka.
Aku memutuskan untuk menemani Feri. Bukan karena aku ingin berduaan dengannya, tetapi dia orangnya cukup asik.
Awal-awal, aku masih bisa menikmati perjalanan ini. Aku masih bisa bercanda dan tertawa. Baru ketika 30 menit berlalu, nafasku sudah mulai ngos-ngosan. Tentu saja! Aku disuruh bawa tas besar dan kayu dua jinjing sama Bang Zaki! Hmm mereka juga bawa barang-barang sih. Tapi kan tidak terlalu berat.
"Jadi, Fer. Boleh minta minum gak? Air punyaku ada di dalam tas, susah lagi kalau musti aku buka sekarang."
Feri mengambil air mineral di tas luarnya kemudian membukakan tutup botolnya. "Kamu lihat ke atas saja," kata Feri. Aku tak mengerti. "Tangan kamu penuh, biar saya saja." Oh sekarang aku mengerti. Aku menengadah ke atas kemudian membuka mulut. Detik berikutnya Feri menumpahkan air mineral ke mulutku sedikit demi sedikit. Romantis sekali, bukan? Haha.
"FER CEPAT! KAMU KETINGGALAN JAUH!" teriak Bang Zaki membahana.
Aku melihat Bang Zaki menatapku kemudian dia berpaling lagi sambil menggeleng. "Dia kenapa sih? Akhir-akhir ini kok sering marah?"
"Masih kuat?" Sial. Dia malah menanyakan keadaanku.
"Masih, Fer. Kalau nggak kuat gendong sama kamu aja haha."
"Gila saya juga penuh kali. Sudah yuk, kalau si Bos malah hutan ini bisa jadi lautan darah haha."
"Haha mana bisa."
10 menit berlalu. Kami semua istirahat di tanah luas dekat dengan pohon kayu putih. Bang Zaki menghampiriku. "Gimana? Ada masalah nggak?" Huh, sok baik!
"Aku baik-baik aja, Bang. Cuma ini jariku gak tahu kenapa tiba-tiba berdarah. Tapi udah men—"
"Mana?"
Bang Zaki langsung memeriksa jariku. Dia membersihkan darah di jariku dengan kain yang ada di sakunya kemudian tanpa kuduga Bang Zaki langsung mengulum jariku. Rasanya kasar, lembab dan hangat. Aku bisa merasakan permukaan lidah Bang Zaki. "Gila kamu, Bang!"
Bang Zaki memandangku. "Kenapa?"
"Gimana kalau ada yang lihat!?"
"Saya hanya mengobati. Air liur bisa membunuh bakteri dan menyembuhkan luka dengan cepat." Bang Zaki pun pergi ke depan. Aku mengejarnya.
"Maaf, Bang. Aku nggak bermaksud ...," ucapku.
"Tidak masalah. Yuk berangkat lagi!"
Kami semua berdiri, lalu mulai berjalan penuh semangat. Aku kembali ke belakang, menemani Feri yang kini sedang kesusahan menyalakan rokok. Dasar. Disaat seperti ini bisa-bisa dia merokok. Padahal kalau mau, aku akan dengan senang hati memberikan 'rokokku' padanya.
"Shit! Tanjakannya cukup curam," desis Feri.
"Gila! Mana jalannya licin lagi," kataku.
"Hati-hati barudak!" seru Bang Zaki yang artinya hati-hati kawan-kawan!
Baru saja Bang Zaki mengucapkan itu, ketika aku naik, aku sudah terjatuh ke bawah karena licin. Untungnya mereka tidak melihat karena sebisa mungkin aku tidak teriak. Hanya saja Feri melihatnya dan dia langsung turun untuk membantuku.
"Tangan kamu berdasar, Theo. Duh pasti kena ranting. Masih kuat jalan?"
"Iya masih kuat kok. Tolong jangan kasih tahu mereka ya. Aku gak mau jadi penghambat."
"Tapi—"
"Aku mohon, Fer. Aku masih kuat." Padahal nyatanya, anjrit anjrit anjrit! Kakiku perih, mungkin keseleo, dan pundakku sedikit ngilu. Jari jemariku mencengkram tali yang mengikat kayu, bahkan rasanya aku ingin meninju awan saking sakitnya. Anehnya, di saat seperti ini aku malah bisa naik ke atas dan tidak terjatuh. Argh!
"Mereka sudah nggak kekihatan," lirihku.
"Iya karena jalan di gunung kan biasanya kayak labirin. Dibatasi pohon dan tumbuhan yang menghalangi pemandangan. Jarak 10 meter saja mereka bisa langsung menghilang."
"Kalau gitu kamu duluan saja deh."
"Haha ucapan macam apa itu? Yang ada saya dibunuh sama si Zaki."
"FERI KAMU JANGAN LAMBAT!"
"Tuh kan? Dia udah teriak-teriak," ucap Feri sambil tertawa.
"Baiklah." Kami berdua pun berjalan sedikit cepat, mencoba menyusul Bang Zaki dan teman-temannya. Sayangnya kami tidak menemukan mereka. Mungkin karena jalannya berkelok-kelok, ditambah dengan keadaanku saat ini.
"Argh!" Aku meringgis ketika kakiku tak sengaja terbentur kayu tumbang. Sial sial sial! Aku menaruh kayu dan tenda di bawah kemudian meninju angin sampai aku merasa puas.
"Apa yang kamu lakukan? Hahahaha."
"Eh? Haha jangan lihat. Aku sedang kesal."
"Dengan meninju angin?"
"Iya."
"Hahahaha kamu mengingatkan saya pada seseorang Theo. Oh iya, muka kalian juga mirip," ucapnya. "Tidak hanya mukanya, nama kalian juga mirip.
"Oh ya? Nama dia Theo juga?"
"Ya, dia mantan geng kita, hanya saja dia suday nggak a—"
"FERI! DALAM 5 MENIT KAMU NGGAK KE SINI, AKU BANTING KAMU!" teriak Bang Zaki kencang. Gaung? Sial! Itu berarti jarak kami dan Bang Zaki lumayan jauh!
"Sepertinya kita harus cepat."
"Kamu benar."
Kami berjalan—nyaris berlari—mengikuti jalan setapak. Kakiku melangkah takik demi takik, belokan demi belokan, hingga di belokan itu akhirnya jalan lurus. Ternyata mereka sedang duduk di tanah sedikit terbuka sambil melihat ke arah kami. Sebisa mungkin aku berjalan normal, dan menyembunyikan langkah pincangku. Kukira aktingku berhasil. Nahasnya, ketika aku akan berteriak menyapa mereka, Bang Zaki langsung berdiri kemudian melesat pergi ke arahku. Aku kebingungan. Akhirnya aku berhenti sambil memandangnya yang tengah berlari.
"Bang kamu ke—"
"SUDAH SAYA BILANG! KALAU KAMU KENAPA-KENAPA BILANG!" Aku tak pernah melihat Bang Zaki semarah ini. Aku takut. Bahuku gemetar. Tanpa sadar, teman-temanku yang lain sudag mengerubungiku. "SIMPAN!" serunya sambil menunjuk tas, kayu bakar dan tenda.
Bang Zaki menaikan celana training-ku, membuat mereka—termasuk aku—terkejut ketika melihat lebam biru dengan darah yang sudah mengering. Hal itu membiat tatapan Bang Zaki semakin ganas. Dia menggeram lalu menatap Feri yang sedang garuk-garuk kepala. "FER APA MAKSUDNYA INI!?"
"Jangan salah dia, Bang. Aku yang memerintahkan Feri buat—"
"Kamu diam saja, Theo!"
Bang Zaki marah! Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan. Aku takut aku takut aku takut. Gimana ini? Rasanya aku ingin menangis.
"Errrrrr ... maaf, Bos. Saya—"
"Saya apa!? Kamu sengaja hah!? Apa karena dia baru di sini!? Bedebah!" Aku bisa melihat semua orang di sini ketakutan. Argh! Rasanya aku ingin menangis, tapi aku malu. Harga diriku mau ditaruh di mana?
"Maaf, Bang," ucapku dengan nada gemetar. "Maaf sudah jadi penghambat—"
"APA!? KAMU BILANG APA!?"
Bombom langsung menghampiriku. "Hush jangan bilang gitu. Bisa-bisa dia semakin marah," bisik Bombom.
"Penghambat."
"Theo! Jangan bilang gitu!" Bombom mengguncang-guncangkan bahuku.
"UCAPKAN SEKALI LAGI, KAMU BILANG APA!?"
Aku ketakutan. Serius. Mata Bang Zaki tajam menatapku. Lebay nggak sih kalau aku ingin pingsan saja?
"Sudah Ki, daripada mempermasalahkan itu, lebih baik kita obati saja dia," ucap Keke. Dia tersenyum padaku kemudian memapahku ke arena luas tadi.
Arrrghhhhh Keke, aku akan mentraktir kamu!!!
Aku gak mau bertemu Bang Zaki! Apa-apaan dia itu? Marahnya lebih menakutkan daripada setan!
Di sana, aku disuruh duduk kemudian minum air mineral. Mereka semua masih mengerubungiku, termasuk Bang Zaki. Kucoba untuk menatap matanya. Sial. Aku tak kuasa. "Arrghh!" erangku ketika Keke membersihkan luka di tanganku dengan air. "ARGHHH!" teriakku ketika Keke meneteskan betadine cukup banyak.
"Lukanya cukup dalam," ucapnya.
"Anjrit," balasku. "Bakal ninggalin bekas gak?"
"Lho? Kok kamu malah mengkhawatirkan hal itu? Kamu nggak takut kamu akan mati?"
"Lho!? Jadi luka ini bisa membuatku mati!?"
Sontak mereka semua tertawa, tetapi tidak dengan Bang Zaki.
"Hahahahaha kamu ini lucu, Theo. Sudah ah sekarang tinggal kaki."
"Hmmm bisa diskip?"
"Kenapa?"
Aku malu menjawab perih jadi aku tidak menjawab. Lagi, tanpa kuduga Bang Zaki menumpahkan air mineral di kakiku kemudian dia pegang kakiku kuat. Sontak aku berontak. "Bang, Bang, kamu mau apa?"
"Diam!"
"Bom tolong! Bom!" Tangan Bang Zaki semakin kuat mencengkram kakiku. "BANG ZAKI JANGAN! FER! TOLONG AKU, SIAPAPUN, BANG HENTIKAN," racauku takut. Mereka semua semakin tertawa terbahak-bahak. "BANG ZAKI HENTI—AAAARRGGGGHHHHH!" teriakku membelah angkasa. Bahkan Bang Zaki sempat menutup telinganya.
"Sakit?"
"Gila sakit! Mending aku dihantam balok lagi daripada ..." Aku tak melanjutkan kalimatku ketika tatapan tajam itu muncul lagi. Hasilnya, syukurlah tidak terlalu perih. Tinggal rasa nyeri yang diakibatkan lebam biru di kakiku, selebihnya aku baik-baik saja.
"Yuk kita berangkat, aku sudah tidak kenapa-kenapa."
"Ayo kita lanjut, takut keburu hujan," ucap Bang Zaki. Dia memindahkan tasnya jadi depan kemudian memasukkan 10 botol air mineral ke dalam tas. "Sekarang ... kamu naik."
"He? Maksudnya?"
"Cepat naik!"
"Serius? Nggak ah aku masih kuat."
Bombom lagi-lagi berlari ke arahku. "Cepat naik Theo, atau dia akan marah lagi."
"Tapi kan ..."
"Ayo buruan. Tuh matanya udah mulai mau keluar."
"NAIK!"
"I-iya." Aku pun digendong Bang Zaki. Sebenarnya aku merasa malu, tapi karena tidak ada yang mentertawakan kami, akhirnya aku bisa merasa lega.
"Ayo kita pergi," kata Bang Zaki.
Bombom, Feri dan Toni menghampiri kami. "Tasnya biar kami saja yang bawa."
"Iya bener, Bos. Saya yakin Bos kuat, tapi buat berjaga-jaga saja. Jalanan kan licin, kalau bos terluka, nggak ada yang sanggup buat gendong Bos."
"HAHAHAHAHAHA." Kali ini aku yang tertawa. Hmmm ... hanya aku.
"Bener Bos."
Jadinya tas Bang Zaki diambil Bombom, tenda diambil Feri, dan kayu bakar yang dipegang olehku diambil Toni.
"Yo yo yo kita lanjut."
Bang Zaki memilih ada di urutan paling belakang. Meskipun tadi ketakutan, entah kenapa sekarang aku tersenyum. Betapa baiknya Bang Zaki ini. Ditambah rasanya aku betah ada di gendongannya. Bagaimana tidak? Bang Zaki memakai kaos sangsang, semacam kaus tipis tak berlengan, topi hitam, celana tentara pendek selutut, dan jaket yang dia sampirkan di pinggang. Pakaian yang dia kenakan membuatnya lebih tampan 1000 kali lipat! Serius lho. Wajahnya menurutku terlalu sempurna. Lalu sekarang aku ada di gendongannya? Dengan tangan dan mata leluasa menjajahi punggung lebar penuh ototnya?
"Bang," ucapku.
"Hmmm."
"Maaf."
"Iya, jangan diulangi lagi. Kalau ada masalah bilang saja."
"Iya, Bang."
Kami mulai berjalan. Lagi ... lagi ... dan selalu lagi ... semesta sepertinya tahu bahwa aku sangat bahagia detik ini.
"Theo."
"Ya?"
"Lupakan."
"Tubuh kamu bau, Bang," kataku. "Tapi aku menyukainya. Bau laki-laki hehe."
"Benarkah?"
"Kok bau tubuh kamu kayak parfum, Bang?"
"Cium saja kalau kamu menyukainya."
DUG.

Preman Pasar : TOOM #12

Preman Pasar : The Outside of Madness

Roti Sobek Milik Zaki



Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan mengadu ke Bang Zaki ya wkwk   



Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan mengadu ke Bang Zaki ya wkwk.
Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan mengadu ke Bang Zaki ya wkwk   


Dan itu si Theo ketika nangis di hadapan Bang Zaki. Kok sosweet ya 😢 lihat wajah si Theo :( ikut sedih. Terus lihat si Zaki :( tatapannya dan jambangnya itu lho.
 Terus lihat si Zaki :( tatapannya dan jambangnya itu lho   


Dan ini ... ah udahlah. Gak tahan lihat Zaki haha.
Tekan bintang kalau suka, kalau nggak ... btw add akun line aku ya. solitude_
Sorry ya yang nggak kebalas komennya. Bingung soalnya komennya ada yang kelelep. Gitu aja. Sekarang ... sok gera baca terus komen komen komen! Haha.
Kesel! 4 kali publish babnya ilang mulu! Sial sial sial! Ini kok makin error ya? Malah jadinya males update! Huh, apalagi tadi sore! Nulis panjang eh pas dipiblish ilang semua! Jadinya percuma kan! Sabar ... sabar ... sabar ...
Noh itu artinya udah update kan?
Dan sekarang ginj lagi!? Sabar ... sabar ...
" ... mulai sekarang saya tidak akan membiarkanmu menderita."
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di dalam pikiranku, semakin membuatku bersalah. Lama kami berdua ada di posisi ini. Aku menangis di dadanya yang bidang sementara dia mengusap kepalaku lembut. Entah kenapa, mendadak aku merasakan sebuah kenyamanan yang tak bisa kuutarakan. Aku merasa utuh dan lengkap. Sebagai seorang pria, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan sosok Bang Zaki yang begitu sempurna. Fisiknya, hatinya, sikapnya.
"Sampai kapan kita akan berdiri di sini? Kaki saya mulai pegel, Theo."
Kitinju dada bidangnya pelan. Dasar tidak peka! Aku kan masih berkabung atas meninggalnya harapanku hidup bersama Reno. Detik berikutnya kudorong Bang Zaki dengan sekali hentakan kemudian kubalikan badan untuk melihat langit. "Abang masuk saja. Aku di luar."
Bang Zaki memelukku dari belakang, memberiku kehangatan, memberiku kekuatan. Jika dulu aku yang selalu melakukan itu, akhirnya kini ada seseorang yang melakukannya padaku. "Jadilah istri yang baik, Theo. Bukankah sudah menjadi kewajiban sang istri untuk mematuhi perintah suaminya?"
DUG.
Aku merasa hatiku tersentil. Mukaku memerah saking malunya tetapi entah kenapa kalimat receh Bang Zaki membuat genderang perang di alam hatiku. Jangan bawa perasaan, jangan bawa perasaan, jangan bawa perasaan. Sayangnya aku merasa tersentuh. "Sialan kau! Istri katamu? Abang kelewatan bercandanya."
"Lho? Kamu nggak mau jadi istri Abang?"
Demi apapun. Aku yang tadinya sedih dan masih mengharap Reno, kini dibuat blushing oleh kalimat gombal Bang Zaki. "Nggak."
"Ya sudah kalau begitu." Bang Zaki pun pergi masuk ke dalam. Heeeeeeh? Hanya segitu? Aku kesal! Tetapi aku masih ingin diam di luar memandang langit. Rasanya tak etis dan tak sopan kalau aku tidak masuk, padahal aku sudah mengganggunya malam-malam begini. Entahlah. Aku hanya merasa belum siap memulai lembaran baru secepat ini. Lagi pula Bang Zaki sudah mempunyai pacar perempuan bernama Keke kalau aku tak salah dengar. Aku tak ingin merasakan sakit untuk yang kedua kalinya.
Tak terasa satu jam berlalu. Haruskah aku pulang? Lagi pula Bang Zaki tidak keluar lagi menemuiku. Mungkin ucapannya tadi hanya lelucon semata. Sial. Seharusnya aku tak ke sini. Seharusnya aku bergabung bersama Bombom, Feri dan teman-temanku yang lain di markas. Tak sepatutnya aku ada di sini setelah apa yang aku lakukan padanya. Aku pun menyalakan kembali motorku. Bunyinya membuat Bang Zaki keluar sambil memandangku dengan mulu terkatup rapat dan rahang mengeras.
"Kembali lagi ke sini atau saya hancurkan motor sialan itu!" Untuk pertama kalinya aku melihat Bang Zaki marah. I mean, marah yang terlihat seksi, bukan marah menakutkan seperti ketika dia memperkosaku di bulan Januari? Atau Februari? Entahlah aku sudah lupa.
"Galak amat," kataku.
Bang Zaki menggeram. Dia merebut kunci motorku kemudian dia masukan ke dalam celananya. "Sikap kamu ya, untung sayang, coba kalau nggak? Sudah saya pukuli kamu."
"Apa!? Pukuli!? Dasar preman!"
"Cepat masuk! Atau saya kunci sekarang juga."
"Iya iya bawel amat jadi cowok." Kami berdua akhirnya masuk ke dalam. Rumah ini masih terlihat menyeramkan dan kosong. Kadang aku merasa aneh kenapa Bang Zaki bisa betah tinggal di tempat seperti ini. "Bang kamu nggak akan membunuhku, kan?" celetukku takut.
"Ya saya akan melakukannya."
"Hahahahaha nggak lucu."
"Hanya orang bodoh yang menganggap ucapan itu adalah lelucon."
"Ish kok jadi galak."
"Arghh sudah deh Theo kamu jangan banyak omong."
"Tapi kan—hmmmp!" Bang Zaki membekap mulutku kemudian menggiringku pergi ke atas menuju satu-satunya kasur yang ada di rumah ini. "Cara terbaik meringankan masalah adalah dengan tidur." Perlahan Bang Zaki melepaskan jaket, baju dan celanaku hingga menyisakan boxer saja. Dia juga melakukan hal yang sama, melepas baju dan celananya.
Kini kami berdua berbaring di atas kasur dengan posisi telentang. "Andai bisa, Bang. Aku sudah melakukannya dari tadi. Tapi sialnya aku nggak bisa. Mataku terpejam tapi kesadaranku masih terjaga. Apa yang harus aku lakukan, Bang?"
"Yang perlu kamu lakukan hanya pejamkan mata kemudian lupakan semuanya. Pikiran kamu masih terjaga karena kamu enggan melupakan hal yang menjadi keinginan kamu. Lupakan Reno, lupakan semua mimpimu sekarang juga. Sekarang kamu nggak marah kan kalau aku sebut dia dengan panggilan jalang?" Hatiku kembali terhimpit. Mimpi? Ah, ya. Aku pernah ingin membangun mimpi bersama Reno di kemudian hari. Kuhirup nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan pelan. Ternyata mimpi itu gampang hancur hanya dengan satu waktu dan kedipan mata saja.
"Ya, panggil dia jalang sesuka hatimu, Bang. Kini aku tak akan marah."
"Jalang jalang jalang jalang jalang lonte. Reno lonte Reno lonte. Hahahahaha."
"Ish hahaha." Lalu di sinilah aku, tak mempercayai tawaku bisa keluar setelah apa yang terjadi padaku barusan. "Jangan deh Bang. Mulut kamu terlalu bersih untuk berucap kotor seperti itu. Gak enak didengarnya. Hmmm aku coba tidur ya Bang." Aku pun menggerakan tubuhku untuk memunggunginya. Bang Zaki langsung memelukku, lagi, membuatku nyaman dan damai. Menit pun berlalu. Menggulirkan malam kelabu menjadi biru. Nafas yang berembus ini entah akan seirama dengan nafas siapa, aku tak tahu. Yang aku tahu sekarang ... aku membencinya ... sekaligus mencintainya. Jika mencintai adalah suatu kejahatan, kurasa aku telah menjadi penjahat terkejam karena telah mencintai Reno sebegitu dasyatnya. "Pacarmu nggak akan marah, Bang? Sebaiknya kita jangan terlalu dekat. Jadilah Abangku saja. Bagiku sudah cukup. Terima kasih ya, Bang. Sudah mau menerimaku kembali." Pelukannya semakin mengeras, bahkan sesaat membuat nafasku sesak. Aku tak tahu apa artinya tetapi akhirnya aku bisa tertidur juga.
***
Warning! Beberapa paragraf berikutnya ada adegan sedikit dewasa. Kalian bisa lompat paragraf dan cari tanda ***. Bijaklah ketika membaca tulisan. Yang masih di bawah umur hush hush pergi.
Aku melihat Reno menghampiriku. Tatapannya terlihat sendu, begitu pun dengan raut wajahnya. Apa yang harus aku lakukan? Apalagi, sudah jelas aku harus pergi. Ketika aku berlari, aku merasakan tangannya yang besar itu menahan bahuku. Kami berdua pun terlibat percakapan yang entah membicarakan apa, yang jelas aku marah dan ingin meninju mukanya. Lalu sesaat aku dibuat bungkam ketika mulutnya berkata, "Ayo kita lakukan sekarang. Saya sudah siap."
Reno menggiringku menuju rumah pohon. Ketika kami berdua sudah ada di atas, Reno perlahan menurunkan celananya, bajunya, hingga tak menyisakan sehelai benang pun di tubuhnya. "Ren, aku mau pergi."
"Jangan begitu. Saya sudah siap," jawabnya.
Melihat diriku hanya diam saja melihat Reno, dia pun perlahan menanggalkan semua pakaian yang melekat pada tubuhku. Dia tersenyum dan terus membisikan kata : saya sudah siap. Tanpa kuduga, Reno membaringkan tubuhku lalu dia mengulum batang panjangku pelan-pelan. Aku mengerang. Hisapannya membuat tubuhku melayang.
Sudut bibirku tertarik ke atas. Langsung hempaskan tubuh Reno menjadi di bawahku. Penis kecilnya yang sebesar cabe itu terlihat imut dan lucu. Langsung kukulum pelan hingga dia mengerang kenikmatan. Semua batangnya masuk ke dalam mulutku, precumnya mulai membasahi lidahku dan rasanya nikmat sekali. Aku tak pernah merasakan kenikmatan seluar biasanya sebelumnya. Seakan semua partikel dalam diriku terpacu untuk ikut merasakan sensasi luar biasa ini.
"Argh!" erangnya. Dia kembali membalikan tubuhku menjadi di bawah. Dia angkat kakiku dengan tangannya kemudian dia masukan penisnya ke dalam anusku. Hal itu tentu saja membuatku berontak. Aku tak mau menjadi gawang, aku inginnya jadi penyerang. Tetapi Reno tak melepaskannya begitu saja. Bahkan dia menamparku beberapa kali, membuatku sedikit takut, namun masih bisa menikmati sensasi luar biasa ini.
"Ren, jangan."
"Diam!" sentaknya.
"Tapi—"
"Saya biang diam!"
Kini Reno memaksaku memposisikan diri seperti anjing. Dia kembali menusukku sambil mencium leherku kasar. Saat kuputar kepalaku, aku bisa melihat keringatnya bercucuran. Namun, betapa terkejutnya diriku ketika melihat di ambang pintu ada Enok sedang memperhatikan kami berdua dengan tatapan bengis. Aku gelagapan. "Ren, itu ada si Enok! Kamu lupa mengunci pintunya!? Ren ayo kita berhenti!" racauku.
"Biarkan saja."
"Ren!"
"Kamu berisik amat, Rey."
"Tapi—"
"Argh!" serunya. "Nok ke sini!" panggil Reno.
"Iya, Ren?" jawabnya.
"Ayo kamu gabung saja. Bungkam tuh mulut si Rey dengan pussy-mu." Mataku membelalak. Enok membuka celana dan bajunya kemudian dia paksa mulutku untuk menjilati alat kelaminnya.
"Fuck! Fuck fuck fuck! Apa yang kamu lakukan—hmmmp!" di saat kepalaku di arahkan oleh Reno dan Enok untuk menjilati alat kelaminnya, aku melihat Reno dan Enok ciuman. Melihatnya membuat air mataku keluar. Aku sudah tak ingin melanjutkan.
"Ren hentikan. Ren ... Ren ... Ren ..."
***

"Theo? Theo bangun. Theo?"
Pandanganku gelap. Aku bisa melihat siluet hitam sedang mengguncangkan tubuhku. "Reno?"
"Saya Zaki. Kamu mimpi buruk, Theo. Saya ambilkan minum dulu, kamu tunggu sebentar."
Beberapa detik kemudian lampu menyala. Aku melihat tubuh besar Bang Zaki berjalan pelan menuju dapur. Di area pantatnya banyak sekali bulu, aku bisa melihat di antara sela celana dalamnya. Sesaat setelah Bang Zaki kembali, kupejamkan mata sebentar, mencoba menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku. "Sial. Barusan aku mimpi buruk, Bang. Sangat buruk."
"Yakin mimpi, buruk?" tanyanya sambil mengerlingkan mata. "Yang saya dengar kamu mendesah, 'ah Ren, ah ... Ren ... hentikan ahhhh—"
"Bang!" seruku marah. Meskipun marah aku terkejut. Suara desahan Bang Zaki barusan membuatku merinding. Begitu berat dan renyahnya suara yang dia hasilkan. Hasilnya? Jantungku berdegub dengan kencang. Aku ingin mendengar suara desahan itu lagi. Sayangnya tak mungkin aku memintanya langsung, bisa-bisa Bang Zaki memandangku aneh kemudian tertawa mengejekku. Mana ada seseorang terangsang hanya karena mendengar suara?
"Ini minum," ucapnya.
Aku mengambil air putih di tangannya kemudian kuminum dengan sekali tegukan. "Terima kasih," kataku.
"Ayo kita tidur lagi."
Kali ini Bang Zaki tidur memunggungiku. "Tadi aku mimpi bersenggama dengan Reno. Syukurlah kamu membangunkanku, Bang." Tak ada balasan. "Karena di mimpi itu, Reno memaksaku untuk bersenggama juga dengan pacarnya."
"Theo tidur, sekarang masih jam 1 dini hari."
"Gak ngantuk, Bang. Kita ngobrol saja."
"Nggak, kamu harus tidur."
"Ya sudah Bang Zaki tidur saja." Hening. "Kapan ulang tahun kamu, Bang?"
"Hari ini," jawabnya.
"Serius!?"
"Ya."
"Haha kamu pasti bohong."
"Ya sudah kalau kamu nggak percaya."
"Serius!?"
"Ya."
Hening lagi.
"Ulang tahun yang ke berapa Bang kalau boleh tahu?"
"Ke-29 tahun. Saya sudah tua hahaha." Bang Zaki mengganti posisinya menjadi menghadapku.
"Sudah jadi Om-om hahahaha." Bang Zaki memukul kepalaku pelan. "Sakit dodol! Hmmm jadi beneran ulang tahun hari ini?" Samar aku melihat Bang Zaki mengangguk. "Kalau begitu aku akan menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun Bang!"
"Terima kasih."
"Jadi apa harapan di hari spesial kamu, Bang?"
"Saya berharap dia peka."
"Maksudnya pacar Abang?" Dia tak menjawab.
"Menurutmu?"
"Ya pasti pacar Abang yang cewek itu lah."
"Haha saya benar-benar memohon pada Tuhan berharap dia menjadi orang yang peka."
"Aamiin."
Hening lagi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara angin di luar sana.
"Maaf aku gak bisa kasih hadiah, Bang. Aku nggak mungkin pulang ke rumah untuk ngambil uang. Aku sudah bilang pada Ayah kalau aku akan pergi selama 3-5 hari. Jadi, sebagai gantinya besok aku akan melakukan semua permintaanmu, Bang." Bang Zaki mengacak-ngajak rambutku sambil tetawa.
"Apa alasanmu pergi ke ayah kamu?"
"Pergi naik gunung."
"Kalau begitu besok kita akan naik gunung."
"Lho kenapa?"
"Kenapa? Jelas bukan, supaya kamu nggak jadi anak nakal hahaha."
BUGH!
Aku memukul dada bidangnya. Ya Tuhan, sepertinya pukulanku cukup keras sehingga membuat Bang Zaki merintih. Sialnya, aku menyukai suara Bang Zaki ketika kesakitan seperti itu.
"Maaf hehehe."
"Tak apa," balasnya. "Hmmm maksud saya, kalau ada orang yang lihat kamu bersama saya, nanti kamu akan dapat masalah."
"Jadi maksud kamu tidak akan ada masalah kalau aku pergi ke gunung sesuai alasan yang telah aku buat? Meskipun aku perginya sama kamu, Bang?"
"Yap! Anak pintar."
BUGH!
"Argh!" erangnya. Sial. Aku menyukainya aku menyukainya. "Sakit kampret!"
"Hehehe. Kalau begitu ayo kita ke gunung."
"Nggak masalah kan kalau saya ajak teman-teman saya?"
"Teman-teman siapa?"
"Bombom, Feri, semuanya." Aku tercenung. Bang Zaki menyebut mereka dengan panggilan teman-teman, bukan anak buah. Betapa baiknya Bang Zaki ini.
"Tentu saja. Banyak orang lebih baik. Pasti seru, Bang. Aku nggak sabar pengen cepat-cepat ke sana. Kalau begitu ... gunung mana yang akan kita daki?"
"Gunung Burangrang."
Gunung Burangrang? Gunung yang curam itu? Gunung yang ... jauh itu? Sepertinya akan seru. Cara terbaik untuk melupakan masalah adalah bersatu dengan alam. Ayah pernah mengatakannya padaku. Kalau begitu, aku akan sangat berterima kasih pada Bang Zaki. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitinya. Tak akan pernah.
***
Jam enam pagi kami berdua pergi menuju rumah Bang Zaki. Ketika sampai di sana, Bang Zaki langsung berteriak lantang soal rencana pergi ke gunung Burangrang. Hampir semua orang di ruangan ini antusias, meskipun ada beberapa orang apatis dan tak tertarik. Alasannya simpel yaitu mereka harus bekerja. Ngomong-ngomong bukankah Bang Zaki harus bekerja juga ya?
Persiapan pergi ke gunung diluar dugaanku, kukira akan selesai selama satu atau dua jam, ternyata membutuhkan waktu satu hari. Sial. Hal itu membuatku kesal. Bagaimana tidak? Aku ingin segera naik ke puncak sementara mereka masih asik membicarakan makanan apa yang akan mereka bawa, pakaian apa yang akan mereka kenakan dan hal-hal memuakkan lainnya. Bang menyadari kekesalanku. "Hari ini kamu tidur saja di sini. Beberapa orang akan menginap, jadi tidak masalah kan?"
"Iya tidak masalah, Bang. Aku cuma ingin cepat-cepat pergi ke sana. Ngomong-ngomong pacar kamu ikut, Bang?"
"Pacar?"
"Itu lho si Keke."
"Oh. Ya, dia akan ikut." Aku terdiam. Bukannya aku ingin dia untuk nggak ikut, tapi aku takut Bang Zaki jadi lebih sering berduaan dengannya karena aku ada niatan untuk bercerita soal unek-unekku tentang dunia hombreng.
Jam 8 malam aku memutuskan untuk tidur. "Theo kamu mau ke mana? Sini gabung sama kita main kartu."
"Sorry, Fer. Aku takut menang."
"Halah mana mungkin kamu menang. Coba sini, kalau kamu menang aku buatkan masakan ala-ala bule."
Aku tertawa. "Masakan apa, tuh?"
"Caesal salad? Atau kamu suka Gamberi Aglio e Olio nggak?"
"Sip. Aku suka yang kedua."
Oh ya, Feri itu chef. Dia bekerja di rumah makan ala-ala western gitu. Hmmm bukannya cowok yang bisa memasak itu hawt ya? Haruskah aku dekati dia? Mungkin iya, supaya aku bisa melupakan Reno. Tapi ... kok aku kapok ya. Takut dia straight dan aku takut dia ngebuntingin lagi perempuan secara diam-diam. Harusnya aku pilih Bang Zaki saja yang udah jelas-jelas homo atau paling nggak bisex. Masalahnya dia sudah punya pacar sekarang. Aku gamang. Sedih juga sih. Seharusnya aku pilih Bang Zaki saja sejak dulu. Dia itu tampannya membelah lautan. Bodohnya aku. Apalagi sih yang kurang dari dia? Salah satu poin utama ketika mencintai adalah fisiknya yang aduhai. Aku tidak akan munafik, kalau aku ingin mempunyai pacar yang ganteng. Kalau dipersentasekan, aku menaruh fisik di 49 % dan hati 51%. Dan fisik Bang Zaki jauh-jauh lebih ganteng dari siapapun di kampung ini. Hanya saja, karena aku lebih mementingkan hati--jumlahnya ada 51 %--maka aku pun memilih Reno.
"Main cacangkulan (cangkulan) bisa kan?"
"Serius kita akan main itu? Gak poker atau--"
"Theo!" potong Bang Zaki.
"Dipanggil tuh."
"Ya, Bang?" sahutku sedikit kesal. Aku kan lagi main.
"Ke sini sebentar!"
"Iya!" aku menghampiri Bang Zaki yang sedang terkurap di atas kasur.
"Kata si Bombom kamu pintar mijit?"
"Gak terlalu pintar sih tapi bisalah. Aku sering mijitin Ayah kalau dia sedang capek."
"Kalau begitu pijitin saya sekarang juga."
"Heeee? Aku mau main, Bang."
"Ya sudah nggak jadi," balasnya.
Aku mengembuskan nafas dalam. Kukira dia akan memaksa tetapi tidak. "Iya-iya aku pijitin. Minyaknya ada di mana? Kalau nggak ada kayu putih saja."
"Di atas nakas."
Setelah mengambil minyak di atas nakas, aku membuka baju Bang Zaki pelan. Mataku langsung terpana. Betapa maskulinnya dia. Penuh otot di sana-sini, dan banyak bulunya. Banyak parut juga di daerah pinggang. Pasti bekas perkelahian. "Bang kok banyak parut sih," ucapku.
"Hmmm parut itu adalah bentuk kejantanan seorang pria, Theo. Kalau terlalu mulus kan patut dipertanyakan apakah dia punya kont--"
"Stop! Jangan bicara jorang aku nggak suka."
"Haha. Kamu juga bukannya punya parut ya tuh di pelipis?"
"Ini?" Aku memegang pelipisku. Luka yang disebabkan oleh musuhnya Bang Zaki bernama Sanga. "Ah ya, aku juga punya bekas luka."
"Kamu semakin tampan dengan bekas luka itu. Terlihat lebih jantan dan sangar. Malahan saya ingin punya bekas luka di arena wajah, biar lebih keren gitu."
"Haha tanpa luka pun kamu sudah sangar, Bang. Jadi jangan deh nanti orang-orang pada takut lihatnya."
Kubaluri area punggung secara rata lalu aku mulai memijit area yang menurut Ayah terasa enak untuk dibenyek-benyek. Ternyata berfungsi juga kepada Bang Zaki. Dia sedikit mengerang dan menikmati. Selama 15 menit aku berjibaku di daerah punggung. Awalnya aku ingin menurunkan celana Bang Zaki dan mulai memijit betisnya. Tetapi aku lupa, aku ini gay. Sekuat apapun aku menahan, kalau dihidangkan cowok sepertinya aku nggak akan kuat.
"Kok nggak diteruskan?"
"Hmmm sudah kok, Bang."
"Lho? Kakinya nggak?"
"Errrrrrrr."
Akhirnya kulakukan juga. Aku menurunkan celana levisnya hingga menyisakan celana dalam saja. Lagi, aku dibuat terkejut. Ternyata pantatnya lebih besar dari pada pantat ... Reno. What!? Aku selalu memimpikan bisa nge-rimming benda kenyal di depanku ini. Sayangnya mustahil kulakukan. Arghhh sial! Andai Bang Zaki masih single, rasanya aku ingin jadi pacarnya saja. Tapi aku sudah muak berharap pada orang yang sudah mempunyai pacar perempuan. Takut ditinggal hamil lagi.
Keadaan ini jujur saja sangat menyiksa. Belalai gajahku sudah ngamuk ingin dikeluarkan. Dari tadi mataku fokus melihat dua bukit di depanku. Pasti rasanya empuk dan--mesum lagi, kan? Kenapa sih otakku bisa semesum ini. Aku jadi malu sendiri. Tapi bukankah cowok mesum itu wajar ya? Bisa saja kan sebenarnya Bang Zaki selalu mesum ketika berduaan dengan pacarnya. 15 menit kemudian akhirnya selesai. Aku siap-siap kembali pergi ke ruang tengah namun dicegah oleh Bang Zaki.
"Arena perutnya belum," katanya.
Dengan kesal kubalikkan tubuh Bang Zaki, membuat nafasku sesak seketika. Demi apapun, aku tidak pernah melihat tubuh semenawan ini. Perut sixpack terlihat jelas dengan bulu yang tidak terlalu banyak. Otot di dadanya tidak diragukan lagi. Terlihat membukit dan mengkilat. Jantungku langsung berdegup dengan kencang. Jujur saja baru kali ini aku melihat hampir keseluruhan lekuk tubuh Bang Zaki. Jika aku melihatnya dari dulu, sudah pasti aku akan langsung memilih Bang Zaki daripada Reno. Sial. Bagaimana ini? Nafsuku padanya sudah diluar kendaliku. Ditambah ketika aku menyentuh roti sobek di perutnya, aku merasakan aliran listrik langsung menyerangku.
Fix. Roti sobek miliknya adalah sebuah bencana.
Lucu bukan? Bagian itu lho. Bagian ketika si Theo berkata tidak akan menyakiti Bang Zaki padahal dia sendiri yang menyakitinya. Kadang saya sendiri sebagai penulis suka kesel sendiri kalau lihat orang yang nggak peka kayak si Theo. Tapi saya nggak menampik bahwa orang kayak dia itu berlesiweran di mana-mana.
Saya punya teman. Dia disukai oleh teman dekatnya sendiri. Nahasnya, dia gak peka-peka :D

Preman Pasar : TOOM #11

Preman Pasar : The Outside of Madness

Drama

Selalu ada kali pertama dalam hidup. Entah itu berjalan, menangis, bahkan mencintai. Kali pertama itu biasanya tak terlupakan. Kenapa? Karena biasanya impresif dan membekas di hati.
Aku tak bisa melupakan kali pertama ketika aku mencintai seseorang. Dalam hal ini adalah Reno. Rasanya aku rela mengemis cinta jika dengan hal itu dia bisa menjadi milikku. Bahkan aku rela menyerahkan satu ginjalku padanya. Tentu saja jika keadaannya mendesak. Misalnya Reno membutuhkan satu ginjal dan aku akan dengan senang hati memberikannya. Hal ini membuktikan bahwa saking aku mencintai makhluk Tuhan bernama Reno.
Ketika mencintai, aku sadar penuh bahwa aku harus siap untuk terluka. Namun aku tak menampik bahwa ketika mencintai pula aku harus siap untuk bahagia. Karena cinta itu adalah bentuk tak pasti dalam hidup, maka aku tak tahu akan berakhir seperti apa kisah cintaku pada Reno. Apakah terluka atau bahagia. Entah mengapa, firasatku kali ini aku akan merasa bahagia. Reno masih enggan bersetubuh denganku. Tapi mata itu, mata ketika memandangku, taku tahu terasa lain dan bukan hanya sekadar tatapan biasa. Maka dari itu aku memutuskan menunggu, tak peduli selama apapu itu.
"Pupuknya habis, Rey," kata Reno. Jika Ayah sedang tidak membaca koran di depan pekarangan rumah, rasanya aku ingin mencium dia saat ini juga. Sepertinya Reno sudah tahu gelagatku jika ingin menerkam bibirnya. Maka dari itu dia membuat jarak dan menatap tajam diriku.
"Kalau begitu biar aku yang beli ke pasar," kataku.
"Boleh kah?"
"Oh tentu. Sekalian aku ingin membeli makanan kucing."
Aku malas mengambil jaket di kamar, jadi kuputuskan untuk memakai jaket Reno yang dia simpan di atas teras. Ah nyamannya. Aku suka aroma tubuh Reno. Terasa wangi dan manis. Jika bisa, aku ingin mendekap aroma ini selamanya. Tetapi mungkin kah?
"Yah, aku mau pamit ke pasar dulu beli pupuk." Ayah mengangguk kemudian menyerahkan kunci motor yang telah dia beli satu bulan yang lalu. Ternyata Ayah tidak membual ketika mengatakan akan membeli motor. Motor mirip Bang Zaki hanya bedanya motor ini berwarna putih sedangkan Bang Zaki hitam.
Selama perjalanan, tak henti-hentinya aku membaui aroma yang ada di jaket ini. Terlihat gila, tetapi aku yakin semua orang akan melakukan ini, terlebih jika jaket ini adalah jaket orang tercinta. Sial sekali, bukan? Maksudku terdengar menyedihkan. Tetapi terkadang, hanya dengan membaui aroma tak langsung ini bisa membuat seseorang bahagia. Bahagia paling sederhana selain bisa melihat senyum dan kehadirannya.
Ketika sampai di pasar, aku melihat orang-orang berkumpul di tengah jalan. Setelah kulihat, ternyata ada Bang Zaki di sana. Aku sedikit tertegun. Rambutnya kini memanjang, namun terlihat rapi dan terawat. Mukanya semakin bersih dan bibirnya sedikit kemerahan. "Bangsat!" teriak Bang Zaki. Ternyata dia sedang memukuli pria berbadan kekar sepertinya. Aku menghela nafas panjang melihat kejadian ini. Orang-orang sudah melerai tetapi tenaga Bang Zaki cukup kuat untuk menepis semua tangan yang mencoba menghentikannya.
Perlahan aku masuk ke dalam kerumunan itu. Tanganku memegang bahunya kemudian berkata, "Bang Zaki, cukup. Dia tak akan mampu melawan." Kepala Bang Zaki memutar. Nafasnya terengah-engah. Namun bukan itu yang kuperhatikan, tetapi matanya ketika melihatku. Aku bisa merasakan ada kerinduan yang tersimpan dan terpendam. Bang Zaki bangkit kemudian pergi meninggalkan kerumunan ini. Dia tak sedikit pun melihatku ketika pergi.
"Syukurlah dia pergi," kata Bapak-bapak bertopi ungu.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanyaku.
"Orang ini mencoba mencopet dompet si Zaki. Mungkin dia orang baru jadi nggak tahu kalau si Zaki itu preman di pasar ini. Namun yang Bapak nggak habis pikir, di dompet si Zaki nggak ada uang sepeser pun. Hanya ada foto laki-laki mirip mas, tapi kenapa dia bisa semarah itu? Haha, pikiran preman itu memang dangkal ya."
Foto mirip diriku? Ah mana mungkin.
Di dalam pasar aku bertemu lagi dengan Bang Zaki. Entah perasaanku atau Bang Zaki memang lagi sibuk, aku merasa dia menghindariku. Biarlah. Dia punya urusan dan aku juga punya urusan. Aku harus bergegas membeli pupuk. Jika tidak, Reno pasti marah.
***
Hari ini hari Sabtu. Jika perkiraanku benar, Reno tidak akan bekerja dan tugas dialihkan ke Pak Aji. Hari yang sungguh melelahkan. Seharusnya Reno bekerja setiap hari seperti dulu. Dasar Ayah! Kenapa dia mempekerjakan Pak Warno? Padahal kami berdua sudah cukup. Aku sudah menguasai dasar-dasar berkebun. Jadi bertambahnya Pak Warno tentu saja menghambat ... waktuku bersama Reno.
Bosan dengan aktivitas monotonku, aku memutuskan jalan-jalan mengelilingi kampung. Di lapang desa aku berhenti untuk melihat bola. Sebenarnya aku melihat pemainnya, bukan bolanya. Nahasnya permainan hampir selesai dan mau tak mau aku harus menemukan kesenangan lain. Ah, mungkin aku akan mengajak teman-temanku main kasti. Rasanya sudah lama kami tidak memainkan permainan bola kecil itu. Lagi, nahasnya aku teringat bola kasti yang kami miliki hilang entah ke mana. Aku terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya perutku berbunyi. Kuputuskan untuk makan di rumah makan Ibunya Reno. Tanpa kuduga, Reno sedang ada di rumahnya. Dia sedang menjaga warung sambil ngemut lolipop. Ketika melihatku, Reno tersenyum namun kali ini terlihat dipaksakan. Huh, dia pasti takut aku akan bertingkah aneh-aneh. Baiklah, jangan khawatir, Ren. Terakhir kali aku menyentuhmu adalah ketika aku menginap di kamarmu tempo hari. Selebihnya aku tak akan melakukannya kecuali kamu yang meminta.
"Grey? Sini masuk, si Reno sedang jaga warung tuh."
"Iya, Bu. Grey mau makan sih ke sini, kangen sama kupat tahu buatan Ibu."
"Lah makan saja di dalam, Grey, jangan sungkan."
"Nggak, Bu. Masa setiap ke sini Grey makan gratis terus? Kali ini Grey mau bayar."
Sudut mataku melihat Reno sedang memperhatikanku namun kuabaikan. Seperti katanya, aku tidak akan bersikap aneh-aneh. Aku harus menahan pikiran mesumku yang kada suka tak terkendali.
Maka, selama satu bulan ini aku berhasil menahannya. Tanpa kuduga, Reno jadi sering menginap di rumahku. Entahlah. Seakan dia jadi tidak takut, bahkan sekarang berani membuka celana dalamnya di hadapanku. Kalau Reno berpikiran aku bisa menahannya, mungkin dia benar, mungkin juga tidak. Maksudku, entah dia bermaksud mengetesku, tetapi aku yang melihatnya di atas kasur sontak menahan nafas. Belalaiku gajahku langsung berdiri tegak.
Nafsuku semakin besar ketika dia berjongkok mengambil celana di lantai. Aku bisa melihat lingkaran hitam itu. Sialnya, pemandangan indah ini hanya berlangsung beberapa detik. Reno langsung melihatku dan tersenyum lebar. "Apa yang kamu lihat tadi?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis, bermaksud menggodaku.
"Lihat gua yang tertutup rapat." Reno tertawa renyah. Dia naik ke atas kasur, ikut bersandar sambil menutupi bagian bawahnya dengan selimut.
"Kamu ingin masuk ke sana?" tanyanya, menggodaku.
"I-iya."
"Hahaha. Belum saatnya, Rey. Belum saatnya."
Reno memeluk diriku. Aku menjatuhkan kepalaku ke bahunya yang lebar. Dia tak pernah tahu, betapa aku ingin memilikinya. Kuhirup aroma tubuhnya sembari memejam. Reno mengelus rambutku, mencoba menenangkanku yang sedang menahan nafsu yang kurasa. Selama satu bulan ini, syukurlah aku semakin dekat dengan Reno. Dia tak pernah ragu untuk menciumku, meskipun hanya di kening.
Aku bangkit kemudian naik di atas paha Reno. Dia sedikit tersentak namun tak kubiarkan dia mendorongku lagi. Aku memang ingin segera menerkamnya, tetapi tak kulakukan itu. Aku hanya mencoba memeluk dirinya dari depan. Membenamkan wajahku di dadanya seperti anak kecil. Merasakan begitu hangat tubuhnya yang penuh otot itu. Kenyamanan yang kurasa begitu membuatku bahagia. Rasanya aku ingin selamanya ada di posisi ini. Hangat, tenang, nyaman.
"Rey."
"Sttttt." Kubungkam mulut Reno dengan tanganku. "Aku mencintaimu, Ren. Sangat mencintaimu. Akan aku lakukan apapun untukmu. Akan aku lakukan. Aku mencintaimu." Hening. Hanya suara jangkrik yang menemani malam kelam ini.
"Tapi--"
"Sttttt. Kali ini saja. Aku tak tahu apakah ini kesempatan terakhirku untuk memelukmu seperti ini."
"Maksudmu?"
"Bisa saja besok aku mati, kan?"
"Kamu teh bicara apa!"
"Jadi apa salahnya? Sebentar saja, sebentar saja." Aku semakin mengeratkan pelukanku sampai ... aku tertidur.
1 minggu kemudian aku merasa hampa. Sejak kejadian malam itu, Reno kembali jarang menginap di rumahku. Bahkan aku merasa dia mencoba menghindariku. Entahlah. Aku merasa frustasi dan marah. Betapa teganya dia membiarkan perasaan rindu ini semakin berat. Betapa teganya dia membiarkanku berharap. Lalu, betapa teganya dia membiarkanku menunggu.
Aku bertanya pada temanku, apakah dia melihat Reno? Dia menjawab, ya dia melihatnya. Reno sedang berjalan bersama Enok entah ke mana. Lihat? Betapa teganya dia melakukan itu. Aku masih setia menunggu. Di tengah aktivitas berkebunku, di tengah aktivitas bermain kastiku. Oh ya, kamu sudah membeli bola kasti yang baru. Dan betapa dia jahat pada teman-temannya. Dia lebih memilih jalan bersama Enok daripada main kasti bersama kami. Reno jahat! Tapi bagaimana lagi? Aku cinta. Bagaimana lagi ... aku sayang.
"Grey awas!"
Tak!
Wajahku tiba-tiba terasa nyeri dan perih. Ternyata bola kasti itu mendarat di pelipisku. "Rizky! Kalau mukul itu hati-hati dong. Ya ampun! Sampai ungu begini!" ucap Ayu.
"Mau ke puskesmas?" tanya Rizky khawatir.
"Tidak, aku baik-baik saja. Aku masih bisa melanjutkan."
Sebenarnya tidak. Aku merasakan perih yang sangat luar biasa. Aku merasakan nyeri. Tetapi aku sudah terbiasa menahan sakit dan menyimpannya hanya untuk diriku. Aku terbiasa menyembunyikan perasaanku. Karena jika aku menunjukannya, Reno akan memandangku seperti penjahat kelamin. Aku tak mau seperti itu.
"Yakin?"
"Ya, aku masih bisa main. Yo yo yo, kita jangan sampai kalah, Ayu!"
Mereka tertawa, aku pun begitu. Apakah mereka tak mampu menyadari bahwa mataku tak bernyawa lagi? Kurasa terlalu berlebihan menyebutnya dengan kata itu. Mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya mataku tak bercahaya lagi. Tu-tunggu? Haha apa-apaan.
"Grey awas!"
"Eh?"
Sial! Aku malah berlari dengan mata menengadah ke atas sehingga aku tak melihat di depan sana ada Ayu. Kami bertubrukan. Untungnya tidak terlalu keras, jadi baik Ayu maupun diriku masih kuat melanjutkan permainan.
"Sepertinya aku harus pulang. Aku kurang tidur."
Di saat yang bersamaan ketika aku berjalan ke rumah, aku mendengar suara motor Reno. Dia memanggilku tetapi aku abaikan. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Di rumah, tepat jam 7 malam, Reno datang ke rumah pohon, menggangguku yang sedang bermain-main dengan ikan cupang. "Ikan cupangnya sudah gede, Ren. Hehehehe."
"Kenapa kamu tadi pergi pas saya datang?" tanyanya.
"Eh? Di mana?"
"Itu di lapang."
"Kapan kamu ke sana?"
"Jangan pura-pura!"
"Kamu bicara apa sih, Ren? Oh kamu datang pas aku pulang? Mungkin tadi aku capek jadi gak mendengar panggilanmu. Kalau gak percaya tanya saja sama Ayu."
Reno memandangku lekat kemudian tersenyum. Lihat? Betapa pintarnya aku memainkan drama. Dia memelukku dari belakang kemudian mengecup keningku pelan. "Maaf, mulai sekarang Enok sedang membuka usaha bisnis batik. Jadi tadi aku mengantar dia beli bahan di Bandung."
"Ya, tak masalah."
Seketika hatiku terasa remuk dari dalam. Tetapi, percuma. Aku tak berani menunjukannya. Aku takut Reno balik marah dan kesal. "Kira-kira umur cupang berapa tahun ya?"
"Ingin kubuatkan kopi?"
"Boleh kah?"
"Tentu saja. Kalau begitu tunggu sebentar." Emosi sesaat hanya akan memperburuk suasana. Jadi, kuputuskan untuk membuat kopi, berharap hatiku menjadi tenang dan pikiranku bisa berpikir jernih. Terima kasih, Tuhan. Ternyata berhasil.
"Oh iya Rey ada yang mau saya bicarakan. Eh? Tubuhmu panas, Rey. Sudah beli obat?" Aku menggeleng. "Kalau begitu tunggu, saya mau beli obat."
***
Akhir-akhir ini aku jarang lari. Itu sebabnya sekarang aku lari sore ke rumah pohon tempat persembunyian Bang Zaki. Sialnya, Bang Zaki ada di sana, sedang merokok sambil duduk bersandar di lantai dua. Ketika melihatku, dia tersenyum tipis kemudian menyesap rokoknya kembali. Perasaanku sedang buruk, jadi aku tidak menyapa Bang Zaki.
Aku memutuskan untuk terus berlari menuju daerah Sindang Waas. Tiba-tiba Bang Zaki berkata, "Tangkap."
Bang Zaki melempar satu botol air mineral. "Terima kasih, Bang."
Ini aneh. Kenapa suasana hatiku semakin tidak membaik? Dua minggu Reno menghilang. Kami bertemu hanya ketika dia bekerja di rumahku. Setelah itu dia pergi ke rumahnya untuk membantu Ibunya jaga warung. Benarkah? Sontak kakiku berbalik arah. Aku ingin melihat aktivitas Reno. Aku ingin melihat wajahnya.
30 menit kemudian aku sampai di rumah Reno. Dia tak ada di sana. Dasar pembual! "Bu, Renonya ke mana?" tanyaku sedikit emosi.
"Dia pergi. Tunggu saja di kamarnya, sebentar lagi dia bakal balik."
Aku pun menunggu. Kata sebentar yang diucapkan Ibunya ternyata 3 jam. Dia pulang, memanggil-manggil Ibunya, sayangnya Ibunya sedang pergi ke pasar. "Pak, Reno rek ameng heula. Konci di candaknya, Reno paling mulih jam sapuluhan."
(Pak, Reno mau main. Kunci diambil ya, Reno pulang sekitar jam 10-an.)
Dia bahkan tidak mengecek kamarnya. Lihat? Betapa teganya dia membuatku menunggu lagi dan lagi. Haruskah aku menunggu di kamar Reno sampai jam 10 malam? Tidak, aku akan mengikutinya.
Dia pergi naik motor belok ke kanan. Di lapang desa, seorang perempuan yang kuyakini adalah Enok naik tergesa-gesa kemudian memeluk pinggang Reno. Hanya ada dua kemungkinan jika dia belok ke kanan. Pertama, mereka akan pergi ke kavling. Dan kedua, mereka akan pergi ke Maribaya. Aku bertaruh Reno akan pergi ke kavling, jadi aku mengikutinya dengan berlari. Dan ternyata benar.
Lama mereka diam memandang kota. Aku bersembunyi di balik semak-semak hingga akhirnya mereka berbicara. "Dia mirip sekali dengan Adikmu, Nok."
"Ya, setelah aku perhatikan, mirip sekali."
Dia? Dia siapa?
"Saya tak ingin kehilangan dia lagi. Tapi saya bingung bagaimana mengatasinya. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah mencegah. Syukurlah, dia terlihat bahagia. Dia sering tersenyum ketika melihat saya." Dia siapa!? Apakah Reno diam-diam menyukai orang lain?
"Tak hanya mukanya, ternyata sifatnya pun sama seperti dia. Mungkin dia pengganti sahabatmu, Ren. Dia pengganti sahabatmu, sekaligus pengganti Adikku."
Hening. Aku tak mengerti arah pembicaraan mereka. Tetapi mendapati fakta Reno sering keluar malam bersama Enok membuat hatiku terluka. Rupanya Reno belum bisa melupakan Enok.
"Saya khawatir. Bisakah kita pulang sekarang? Saya ingin mengecek bagaimana keadaannya."
"Sebelum itu ada yang ingin aku bicarakan." Meskipun aku hanya bisa melihat siluet tubuh mereka, aku bisa melihat Enok menggenggam tangan Reno kuat. "Sebentar lagi kamu akan menjadi Ayah."
DEG.
Bahuku menegang seketika.
"Ma-maksud kamu?" tanya Reno. Lalu tangan Reno pun dia tuntun ke perutnya. "Tidak mungkin! Bukankah kita sudah pakai pengaman!?"
"Apakah menjadi 100 % aman? Tidak, Ren. Dengan begini, Ayahku pasti akan menyetujui rencana pernilahan ... ta ... ja ... senang ... kan?"
Aku tak bisa mendengar kalimat Enok dengan jelas karena aku berjalan menjauhi mereka dengan tatapan kosong. Hatiku remuk seremuk-remuknya

Aku belum belum pernah mengalami bagaimana rasanya mencintai tetapi dikhianati. Sekali pun belum pernah. Lalu kali ini aku merasakannya. Merasakan bagaimana aku mencintai seseorang tanpa tapi, kemudian dibalas dengan kalimat manis yang sebenarnya adalah tahi. Kini aku merasakan lelahnya berjuang tetapi tak bermakna apa-apa. Kini aku merasakan lelahnya kepura-puraan sehingga aku ingin berteriak dan melolong seperti anjing kelaparan. Aku yang belum pernah merasakan itu kini merasakannya. Jadi aku harus bagaimana? Apakah aku harus melupakan semua fakta itu dan berpura-pura lagi tidak terjadi apa-apa?
Sepertinya aku tidak sekuat itu.
Sejujurnya aku tak tahu harus ke mana. Mata, hati dan pikiranku kosong.
Angin pun mengembus pelan, menyadarkanku bahwa mimpi yang selama ini aku bangun telah hancur dalam satu hembusan nafas dan kedipan mata. Mimpi yang selama ini aku indam-idamkan kini telah pergi tertawa angin malam. Malam berselimut dingin. Seketika aku benci malam, karena dingin yang dia berikan tidak serta-merta membuat hatiku kembali utuh, malah membuat hatiku runtuh.
Kulihat tangan dan bahuku yang gemetar. Heeee? Ada apa ini? Yang bisa kulakukan sekarang adalah tertawa. Betapa lucunya takdir membawaku pada harapan di ujung jalan. Betapa baiknya dia memberiku pengalaman sakitnya terabaikan. Betapa murah hatinya dia memberiku pengalaman dibodohi dan ditelanjangi.
Kakiku pelan berjalan menembus malam. Aku lelah bertanya kenapa dan bagaimana. Aku hanya ingin segera terlelap dalam gelap mimpi yang tak akan pernah mengkhianatiku sekeji ini. Aku ingin tidur, berharap ketika bangun nanti aku tak lagi melihat matahari, tetapi melihat pohon besar tempat peristirahatan. Mendadak anganku ingin mencapai nirwana. Paling tidak, aku ingin mencapai moksa. Ah, pikiranku semakin melantur. Aku tak siap mati, tidak sebelum melihat Reno menjadi Ayah.
Dari arah belakang aku mendengar suara motor dan suara Reno. Dia melewatiku begitu saja, mungkin berpikir bahwa aku adalah orang asing yang dengan bodohnya berlari di malam hari. Jika itu yang dia pikirkan, dia benar. Aku adalah orang asing dihidupnya. Aku adalah orang asing yang mengganggu kenyamanan hidupnya. Seharusnya aku sadar ketika Reno memandangku dengan penuh rasa takut. Dia hanya berusaha menjauhkanku dengan Bang Zaki, orang yang sangat dia benci.
Lagi, aku tertawa. Aku tak tahu kenapa aku tidak menangis padahal normalnya seseorang akan menangis jika mengetahui orang yang dia cintai akan segera menikah. Berhenti berpikir dan cepat kembali ke rumah! Kamu hanya harus pergi ke kamar, tidur, lalu ... lalu setelahnya apa?
Aku mulai berlari. Sekuat tenaga aku berlari. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku langsung pergi ke rumah pohon, mematikan lampu dan beranjak tidur. Sial. Aku merasa ada yang meremas hatiku, mengeluarkan semua sari pati rasa sakit hingga tersebar ke seluruh tubuhku. Percuma, mataku tak bisa terpejam. Kesal dengan usaha yang kulakukan sia-sia, aku menggeragap bangun kemudian pergi memandang bintang. Saat aku membuka jendela, tak sengaja tanganku menumpahkan ikan cupang di dalam botol. Botol itu menggelinding ke bawah kemudian terjun ke tanah hingga botol itu tercerai berai. Dari atas aku melihat ikan itu menggelepar-gelepar. Dan aku hanya memandangnya datar tanpa ekspreasi hingga ikan itu berhenti berkelejatan. "Maaf ikan, aku bukan tuan yang baik."
DEG.
Entah yang ke berapa kalinya, aku merasakan hatiku kembali diremas. Aku baru menyadari, kalau ternyata hatiku hancur sehancur-hancurnya. "Kenapa kamu tega, Ren?" lirihku pelan. Emosiku memuncak. Kali ini aku benar-benar marah. Aku harus pergi dari rumah ini, setidaknya sampai suasana hatiku membaik.
Aku pun berlari ke dalam rumah, mengambil secarik kertas kemudian menulis surat untuk Ayah. "Yah, Grey mau kemping sama temen-temen Grey ke Bukit Tunggul selama 3-5 hari. Maaf tiba-tiba, maaf juga tidak membangunkan Ayah. Grey nggak tega."
Baiklah sekarang aku harus ke mana? Aku tak tahu. Kurasa aku harus pergi ke tempat Bang Zaki walaupun sebenarnya aku malu. Tetapi apa boleh buat? Tidak mungkin aku pergi ke tempat Richard. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi terpaksa aku pergi ke tempat Bang Zaki. Aku hanya harus bersikap tenang seakan tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di sana, Bombom menyambutku. Tidak hanya dia, Feri dan juga anak buah Bang Zaki yang lain menyambutku antusias. "Si Zaki tidak ada di sini. Dia sedang ada ... ada di mana dia, Fer?"
"Aku nggak tahu."
"Maaf kami nggak tahu."
Aku tahu Bang Zaki ada di mana. Ya, dia sedang ada di rumah pohon. Seharusnya tujuanku adalah mencari tempat tinggal sementara. Tetapi kenapa ketika mendengar Bang Zaki tidak ada di sini, aku pergi? Aku kembali menaiki motorku kemudian pergi ke rumah pohon untuk menemuinya? Kenapa? Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu.
Laju motorku mencapai 100 km/jam. Biasanya aku tak berani ada di kecepatan seperti ini. Tapi kali ini aku tidak merasa takut sama sekali. "Bang," ketukku pelan setelah sampai di sana. "Bang," ucapku nyaris tak terdengar. "Bang Zaki," ucapku parau. Rasanya tenggorokanku tersumbat. "Bang Za-" Kalimatku terhenti ketika dia membukakan pintu. Dia memandangku dari atas sampai bawah. Sejujurnya aku malu, tetapi pikiranku sedang tidak sehat dan aku tak memikirkan hal lain selain ingin menumpahkan semuanya.
Perlahan kakiku mendekati Bang Zaki. Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku celana. Lalu setelah jarak di antara kami terpaut beberapa senti meter saja, aku menjatuhkan kepalaku di dadanya. "Bang Zaki," ucapku parau, nyaris terisak. Tangan Bang Zaki langsung mendekap kepalaku. Di saat itulah pertahananku pun runtuh. Selama ini aku menahan untuk tidak menangis, kini tertumpah ruah.
"Jangan menangis," katanya pelan. "Pria gagah, tampan seperti kamu tidak boleh menangis." Aku masih menangis. Rasanya sulit untuk menahan rasa sakit di dadaku saat ini. "Sudah saya katakan jangan." Sial sial sial! Air mataku tak mau berhenti untuk keluar. "Tetapi, untuk kali ini saja saya izinkan kamu menangis. Selanjutnya, akan saya buat hari-harimu penuh tawa."
 "
   


    
  
    
      
      
    
  
   

200 vote, saya akan bikin cerita part bonus yang isinya ikeh ikeh kimochi   




Preman Pasar : TOOM #10

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -