Archive for Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Di Atas Awan
Semesta tahu, betapa egoisnya aku.
Malam ini kami semua berkumpul
di ruang tengah—kecuali Bang Zaki dan pacarnya. Apa sebenarnya yang terjadi
padaku? Kenapa aku merasa marah dan kesal ketika mereka berdua bermesraan di
kamar? Ah ... semesta tahu, bahwa perasaan marah dan kesal itu muncul karena
hati menolak untuk terluka, menolak untuk mengingat kembali sosok Reno, dengan
begitu harapan untuk tidak larut dalam kesedihan perlahan terobati karena ada
sosok yang menggantikan.
Kehilangan harus digantikan
dengan yang baru. Jika memang begitu, harus kepada siapa aku berharap? Bang
Zaki? Tidak tidak tidak! Aku tidak ingin dibodohi lagi. Feri? Haruskah? Kurasa
juga bukan. Pada akhirnya kini aku benar-benar sendiri. Satu-satu cara untuk
melupakan kesedihan ini adalah dengan menjadi diriku yang dulu. Aku yang apatis
terhadap perasaan. Aku yang hanya memikirkan pertemanan dan pekerjaan. Cinta
itu adalah pengekang. Padahal tanpanya, manusia bisa hidup sampai akhir hayat
yang dia punya.
"Theo, sekarang giliran
kamu."
Bersama mereka, teman-teman
baruku, sedikitnya aku bisa melupakan kesedihan soal hamilnya Enok. Tidak buruk
juga. Rasanya terlalu berlebihan jika aku menanggapi masalah percintaanku
dengan drama yang berlarut-larut. Sialnya aku masih saja merasa sedih. Untuk
itulah aku ingin segera pergi ke gunung. Lagian, aku penasaran kenapa Bang Zaki
selalu mengajakku ke gunung? Mungkin baginya naik ke puncak adalah hobi yang
sangat jantan. Entahlah.
Ngomong-ngomong sekarang kami
sedang main catur. "Skak," kataku. Dan aku sudah memenangkan
pertandingan sebanyak 10 kali.
Jam 1 dini hari kami semua
tertidur. Aku tidur di sofa dengan Feri. Hmmm sebenarnya sengaja haha. Aku
melihat kursi itu cukup untuk tiga orang jadi aku memintanya untuk bergeser.
Sambil menyelam minum air. Sambil tidur, bisa peluk-peluk Feri. Ternyata niat
mesumku itu membuat mata Bang Zaki melotot. Dia mempergokiku mencoba memeluk
Feri. "Hmmm ternyata kamu Theo jalang sebenarnya," desisnya pelan di
telingaku.
Bang Zaki benar. Aku jalang
sebenarnya. Mungkin otakku memang sudah nggak waras. Sudahlah. Aku menyerah.
Aku akan mencoba mengenyahkan cinta dan nafsu di kehidupanku.
***
Ternyata mereka berdua memang
pacaran. Buktinya, perjalanan menuju gunung Burangrang Bang Zaki satu motor
dengan Keke sedangkan aku dengan Bombom. Padahal kan aku sudah mengajak Bang
Zaki untuk satu motor denganku. Argh! Sudah Theo, fokus saja menikmati alam sekitar.
"Si Bos meni kayak anak kecil."
"Anak kecil? Siapa?"
"Hahaha nggak."
Perjalanan dari Lembang menuju
gunung Burangrang cukup jauh. Dari sini kami harus naik motor selama 1 jam
menuju daerah Parongpong kemudian terus ke bawah. Suhu kurasa tidak berubah.
Masih dingin dan sejuk. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku adalah ... awan
di atas sana sedikit mendung. Semoga saja tidak hujan. Aku—tidak tetapi
kami—sudah menantikan hari ini sejak kemarin. Aku tidak mau gagal hanya karena
hujan turun.
"Bom," kataku.
"Ya?" jawabnya.
"Sejak kapan mereka
pacaran?"
"Maksudmu si Bos?"
Aku mengangguk. Kulihat Bombom
di kaca spion. Sial, kenapa dia malah tersenyum? "Duh saya teh nggak ngerti ah sama kalian."
"Maksudnya?"
"Tidak. Ya mereka pacaran
sejak kamu memutuskan untuk selingkuh sama si Reno." Aku menyikut tubuh
gempalnya sedikit keras. "Sakit kampret!"
"Hmmm." Bang Zaki
melewati motorku. Dia tak melihatku sedikit pun meskipun aku sudah
memanggilnya. "Dia lagi marah?" tanyaku.
"Positif saja. Mungkin
tidak kedengeran. Kamu kan tahu kalau di motor itu suara orang-orang terdengar
kecil."
"Oh iya ya."
Lagi pula kenapa aku harus
sedih? Bukankah sudah kuputuskan akan kujadikan Bang Zaki sebagai sosok Abang?
Abang yang sesungguhnya. Dia pun sepertinya sudah menganggapku sebagai Adik.
Entah kenapa memikirkannya membuatku bahagia. Kata Ayah sih aku punya seorang
Kakak. Nahasnya, Kakakku telah meninggal bersamaan dengan Ibu dan Ayah saat
kecelakaan mobil beruntun puluhan tahun silam. Aku tidak pernah diberi tahu
lebih lanjut soal kecelakaan itu. Ayah hanya menjelaskan sebatas kecelakaan
mobil. Sudah itu saja. Ayah tidak menjelaskan bagaimana aku bisa selamat dan
bisa ada di tangannya.
Kami pun sudah sampai.
Sebenarnya aku merasa ragu, apakah tempat ini parkiran atau bukan, ternyata
jawaban Bombom sedikit membuatku tercengang. "Tempat ini sudah jadi milik
kopasus. Jadi hati-hati terhadap peluru nyasar, bisa-bisa si Bos nangis kalau
kamu mati la ..." Kalimatnya terhenti. Aku tidak bertanya lebih jauh
karena aku kaget ternyata lahan luas ini adalah tempat latihan kopasus.
"Serius!?"
"Ya," sahut Bombom.
"Jadi kenapa harus parkir
di sini?"
"Oh kita akan parkir di
mesjid. Semacam pesantren gitu, tapi nggak terlalu besar. Sekarang si Bos
sedang ngecek apakah ada orang di sana atau tidak."
Kami semua menunggu sementara
Bang Zaki pergi. 5 menit kemudian Bang Zaki mengacungkan jempolnya. "Tapi
gerbangnya ditutup. Hmm kita angkat saja motornya," sahutnya.
"Gila! Gimana kalau kena
marah?" sahutku. "Kita masuknya ilegal?"
Bang Zaki berbisik di
telingaku. "Sudah deh nurut aja, jalang."
Aku memandang Bang Zaki dengan
tatapan nista. "Heh, Bang. Aku bukan jalang ya," kataku.
"Terus apa namanya kalau
bukan jalang? Pake acara ngedeketin si
Feri segala."
"Lho hak dong. Kan biar
aku cepat move
on-nya."
Bang Zaki mengibaskan tangan
tidak peduli. "Jalang tetap jalang. Kalau kamu nggak tahu artinya ...
jalang itu lonte!"
Bang Zaki menyebalkan hari ini!
Dia kenapa sih? Oh aku tahu, mungkin karena Bang Zaki sedang datang bulan.
Sial! Harusnya dia jadi mood booster, bukan mood
broker! Atau ... ah benar.
Akunya yang terlalu sensi. Kalimat seperti itu seharusnya wajar diucapkan.
Bang Zaki menghampiri Keke
kemudian tertawa bersamanya. Sial! Aku merasa gak rela. Aku ingin Bang Zaki
yang dulu, Bang Zaki yang selalu memprioritaskan diriku. Huhuhuhu. Sungguh aku
nyesel deh. Kenapa aku gak milih laki kayak dia sih? Udah ganteng, baik, tapi
nggak deh! Sifatnya udah menyebalkan.
"Woi ayo kumpul!"
seru Bang Zaki. Kami semua berkumpul membentuk deret melingkar. "Nah
sebentar lagi kita akan pergi. Sebelum itu, ayo kita berdoa semoga kita semua
diberi keselamatan baik perjalanan menuju puncak atau setelah kembali nanti.
Berdoa dimulai." Ketika mengucapkan kalimat itu, mata Bang Zaki menatapku
cukup lama. Tatapan itu sulit kuartikan, yang jelas, kok aku merasa takut?
"Ini pertama kalian naik
ke gunung?" tanyaku ke Feri. Si jangkung ini menoleh kemudian menggeleng.
"Sudah beberapa kali ke
gunung Putri, tapi baru kali ini kita mau ke gunung yang lebih tinggi dengan
medan yang cukup ekstrem." Aku manggut-manggut. "Malahan si Bos ada
niatan buat naik gunung Semeru dan Bromo. Sayangnya, kami semua gak berani.
Terlalu jauh, ditambah karena kebanyakan pekerjaan kami dagang dan burung tani,
jadi gak nentu liburnya."
Hmmm aku baru tahu kalau
ternyata Bang Zaki maniak gunung.
"Nah ayo kita pergi.
Perempuan di tengah, saya di depan dan kamu Feri, kamu jaga di belakang."
Dug
dug dug ...
Aku tidak pernah sesemangat
ini. Rasanya aku mulai bisa menikmati. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku, mendung
menggelayut manja di atas sana. Seakan jika angin bertiup, hujan itu akan
langsung turun di celah-celah langit yang terbuka.
Aku memutuskan untuk menemani
Feri. Bukan karena aku ingin berduaan dengannya, tetapi dia orangnya cukup
asik.
Awal-awal, aku masih bisa
menikmati perjalanan ini. Aku masih bisa bercanda dan tertawa. Baru ketika 30
menit berlalu, nafasku sudah mulai ngos-ngosan. Tentu saja! Aku disuruh bawa
tas besar dan kayu dua jinjing sama Bang Zaki! Hmm mereka juga bawa
barang-barang sih. Tapi kan tidak terlalu berat.
"Jadi, Fer. Boleh minta
minum gak? Air punyaku ada di dalam tas, susah lagi kalau musti aku buka
sekarang."
Feri mengambil air mineral di
tas luarnya kemudian membukakan tutup botolnya. "Kamu lihat ke atas
saja," kata Feri. Aku tak mengerti. "Tangan kamu penuh, biar saya
saja." Oh sekarang aku mengerti. Aku menengadah ke atas kemudian membuka
mulut. Detik berikutnya Feri menumpahkan air mineral ke mulutku sedikit demi
sedikit. Romantis sekali, bukan? Haha.
"FER CEPAT! KAMU KETINGGALAN
JAUH!" teriak Bang Zaki membahana.
Aku melihat Bang Zaki menatapku
kemudian dia berpaling lagi sambil menggeleng. "Dia kenapa sih?
Akhir-akhir ini kok sering marah?"
"Masih kuat?" Sial.
Dia malah menanyakan keadaanku.
"Masih, Fer. Kalau nggak
kuat gendong sama kamu aja haha."
"Gila saya juga penuh
kali. Sudah yuk, kalau si Bos malah hutan ini bisa jadi lautan darah
haha."
"Haha mana bisa."
10 menit berlalu. Kami semua
istirahat di tanah luas dekat dengan pohon kayu putih. Bang Zaki menghampiriku.
"Gimana? Ada masalah nggak?" Huh, sok baik!
"Aku baik-baik aja, Bang.
Cuma ini jariku gak tahu kenapa tiba-tiba berdarah. Tapi udah men—"
"Mana?"
Bang Zaki langsung memeriksa
jariku. Dia membersihkan darah di jariku dengan kain yang ada di sakunya
kemudian tanpa kuduga Bang Zaki langsung mengulum jariku. Rasanya kasar, lembab
dan hangat. Aku bisa merasakan permukaan lidah Bang Zaki. "Gila kamu,
Bang!"
Bang Zaki memandangku.
"Kenapa?"
"Gimana kalau ada yang
lihat!?"
"Saya hanya mengobati. Air
liur bisa membunuh bakteri dan menyembuhkan luka dengan cepat." Bang Zaki
pun pergi ke depan. Aku mengejarnya.
"Maaf, Bang. Aku nggak
bermaksud ...," ucapku.
"Tidak masalah. Yuk
berangkat lagi!"
Kami semua berdiri, lalu mulai
berjalan penuh semangat. Aku kembali ke belakang, menemani Feri yang kini
sedang kesusahan menyalakan rokok. Dasar. Disaat seperti ini bisa-bisa dia
merokok. Padahal kalau mau, aku akan dengan senang hati memberikan 'rokokku'
padanya.
"Shit! Tanjakannya cukup curam,"
desis Feri.
"Gila! Mana jalannya licin
lagi," kataku.
"Hati-hati barudak!"
seru Bang Zaki yang artinya hati-hati kawan-kawan!
Baru saja Bang Zaki mengucapkan
itu, ketika aku naik, aku sudah terjatuh ke bawah karena licin. Untungnya
mereka tidak melihat karena sebisa mungkin aku tidak teriak. Hanya saja Feri
melihatnya dan dia langsung turun untuk membantuku.
"Tangan kamu berdasar,
Theo. Duh pasti kena ranting. Masih kuat jalan?"
"Iya masih kuat kok.
Tolong jangan kasih tahu mereka ya. Aku gak mau jadi penghambat."
"Tapi—"
"Aku mohon, Fer. Aku masih
kuat." Padahal nyatanya, anjrit anjrit anjrit! Kakiku perih, mungkin keseleo, dan
pundakku sedikit ngilu. Jari jemariku mencengkram tali yang mengikat kayu,
bahkan rasanya aku ingin meninju awan saking sakitnya. Anehnya, di saat seperti
ini aku malah bisa naik ke atas dan tidak terjatuh. Argh!
"Mereka sudah nggak
kekihatan," lirihku.
"Iya karena jalan di
gunung kan biasanya kayak labirin. Dibatasi pohon dan tumbuhan yang menghalangi
pemandangan. Jarak 10 meter saja mereka bisa langsung menghilang."
"Kalau gitu kamu duluan
saja deh."
"Haha ucapan macam apa
itu? Yang ada saya dibunuh sama si Zaki."
"FERI KAMU JANGAN
LAMBAT!"
"Tuh kan? Dia udah
teriak-teriak," ucap Feri sambil tertawa.
"Baiklah." Kami
berdua pun berjalan sedikit cepat, mencoba menyusul Bang Zaki dan
teman-temannya. Sayangnya kami tidak menemukan mereka. Mungkin karena jalannya
berkelok-kelok, ditambah dengan keadaanku saat ini.
"Argh!" Aku meringgis
ketika kakiku tak sengaja terbentur kayu tumbang. Sial sial sial! Aku menaruh
kayu dan tenda di bawah kemudian meninju angin sampai aku merasa puas.
"Apa yang kamu lakukan?
Hahahaha."
"Eh? Haha jangan lihat.
Aku sedang kesal."
"Dengan meninju
angin?"
"Iya."
"Hahahaha kamu mengingatkan
saya pada seseorang Theo. Oh iya, muka kalian juga mirip," ucapnya.
"Tidak hanya mukanya, nama kalian juga mirip.
"Oh ya? Nama dia Theo
juga?"
"Ya, dia mantan geng kita,
hanya saja dia suday nggak a—"
"FERI! DALAM 5 MENIT KAMU
NGGAK KE SINI, AKU BANTING KAMU!" teriak Bang Zaki kencang. Gaung? Sial!
Itu berarti jarak kami dan Bang Zaki lumayan jauh!
"Sepertinya kita harus
cepat."
"Kamu benar."
Kami berjalan—nyaris
berlari—mengikuti jalan setapak. Kakiku melangkah takik demi takik, belokan
demi belokan, hingga di belokan itu akhirnya jalan lurus. Ternyata mereka
sedang duduk di tanah sedikit terbuka sambil melihat ke arah kami. Sebisa
mungkin aku berjalan normal, dan menyembunyikan langkah pincangku. Kukira
aktingku berhasil. Nahasnya, ketika aku akan berteriak menyapa mereka, Bang
Zaki langsung berdiri kemudian melesat pergi ke arahku. Aku kebingungan.
Akhirnya aku berhenti sambil memandangnya yang tengah berlari.
"Bang kamu ke—"
"SUDAH SAYA BILANG! KALAU KAMU
KENAPA-KENAPA BILANG!" Aku tak pernah melihat Bang Zaki semarah ini. Aku
takut. Bahuku gemetar. Tanpa sadar, teman-temanku yang lain sudag
mengerubungiku. "SIMPAN!" serunya sambil menunjuk tas, kayu bakar dan
tenda.
Bang Zaki menaikan celana training-ku,
membuat mereka—termasuk aku—terkejut ketika melihat lebam biru dengan darah
yang sudah mengering. Hal itu membiat tatapan Bang Zaki semakin ganas. Dia
menggeram lalu menatap Feri yang sedang garuk-garuk kepala. "FER APA
MAKSUDNYA INI!?"
"Jangan salah dia, Bang.
Aku yang memerintahkan Feri buat—"
"Kamu diam saja,
Theo!"
Bang Zaki marah! Ya Tuhan ya
Tuhan ya Tuhan. Aku takut aku takut aku takut. Gimana ini? Rasanya aku ingin
menangis.
"Errrrrr ... maaf, Bos.
Saya—"
"Saya apa!? Kamu sengaja
hah!? Apa karena dia baru di sini!? Bedebah!" Aku bisa melihat semua orang
di sini ketakutan. Argh! Rasanya aku ingin menangis, tapi aku malu. Harga
diriku mau ditaruh di mana?
"Maaf, Bang," ucapku
dengan nada gemetar. "Maaf sudah jadi penghambat—"
"APA!? KAMU BILANG APA!?"
Bombom langsung menghampiriku.
"Hush jangan bilang gitu. Bisa-bisa dia semakin marah," bisik Bombom.
"Penghambat."
"Theo! Jangan bilang
gitu!" Bombom mengguncang-guncangkan bahuku.
"UCAPKAN SEKALI LAGI, KAMU
BILANG APA!?"
Aku ketakutan. Serius. Mata Bang
Zaki tajam menatapku. Lebay nggak sih kalau aku ingin pingsan saja?
"Sudah Ki, daripada
mempermasalahkan itu, lebih baik kita obati saja dia," ucap Keke. Dia
tersenyum padaku kemudian memapahku ke arena luas tadi.
Arrrghhhhh
Keke, aku akan mentraktir kamu!!!
Aku gak mau bertemu Bang Zaki!
Apa-apaan dia itu? Marahnya lebih menakutkan daripada setan!
Di sana, aku disuruh duduk
kemudian minum air mineral. Mereka semua masih mengerubungiku, termasuk Bang
Zaki. Kucoba untuk menatap matanya. Sial. Aku tak kuasa. "Arrghh!"
erangku ketika Keke membersihkan luka di tanganku dengan air.
"ARGHHH!" teriakku ketika Keke meneteskan betadine cukup banyak.
"Lukanya cukup
dalam," ucapnya.
"Anjrit," balasku.
"Bakal ninggalin bekas gak?"
"Lho? Kok kamu malah
mengkhawatirkan hal itu? Kamu nggak takut kamu akan mati?"
"Lho!? Jadi luka ini bisa
membuatku mati!?"
Sontak mereka semua tertawa,
tetapi tidak dengan Bang Zaki.
"Hahahahaha kamu ini lucu,
Theo. Sudah ah sekarang tinggal kaki."
"Hmmm bisa diskip?"
"Kenapa?"
Aku malu menjawab perih jadi
aku tidak menjawab. Lagi, tanpa kuduga Bang Zaki menumpahkan air mineral di
kakiku kemudian dia pegang kakiku kuat. Sontak aku berontak. "Bang, Bang,
kamu mau apa?"
"Diam!"
"Bom tolong! Bom!"
Tangan Bang Zaki semakin kuat mencengkram kakiku. "BANG ZAKI JANGAN! FER!
TOLONG AKU, SIAPAPUN, BANG HENTIKAN," racauku takut. Mereka semua semakin
tertawa terbahak-bahak. "BANG ZAKI HENTI—AAAARRGGGGHHHHH!" teriakku
membelah angkasa. Bahkan Bang Zaki sempat menutup telinganya.
"Sakit?"
"Gila sakit! Mending aku
dihantam balok lagi daripada ..." Aku tak melanjutkan kalimatku ketika
tatapan tajam itu muncul lagi. Hasilnya, syukurlah tidak terlalu perih. Tinggal
rasa nyeri yang diakibatkan lebam biru di kakiku, selebihnya aku baik-baik saja.
"Yuk kita berangkat, aku
sudah tidak kenapa-kenapa."
"Ayo kita lanjut, takut
keburu hujan," ucap Bang Zaki. Dia memindahkan tasnya jadi depan kemudian
memasukkan 10 botol air mineral ke dalam tas. "Sekarang ... kamu
naik."
"He? Maksudnya?"
"Cepat naik!"
"Serius? Nggak ah aku
masih kuat."
Bombom lagi-lagi berlari ke
arahku. "Cepat naik Theo, atau dia akan marah lagi."
"Tapi kan ..."
"Ayo buruan. Tuh matanya
udah mulai mau keluar."
"NAIK!"
"I-iya." Aku pun
digendong Bang Zaki. Sebenarnya aku merasa malu, tapi karena tidak ada yang
mentertawakan kami, akhirnya aku bisa merasa lega.
"Ayo kita pergi,"
kata Bang Zaki.
Bombom, Feri dan Toni
menghampiri kami. "Tasnya biar kami saja yang bawa."
"Iya bener, Bos. Saya
yakin Bos kuat, tapi buat berjaga-jaga saja. Jalanan kan licin, kalau bos
terluka, nggak ada yang sanggup buat gendong Bos."
"HAHAHAHAHAHA." Kali
ini aku yang tertawa. Hmmm ... hanya aku.
"Bener Bos."
Jadinya tas Bang Zaki diambil
Bombom, tenda diambil Feri, dan kayu bakar yang dipegang olehku diambil Toni.
"Yo yo yo kita
lanjut."
Bang Zaki memilih ada di urutan
paling belakang. Meskipun tadi ketakutan, entah kenapa sekarang aku tersenyum.
Betapa baiknya Bang Zaki ini. Ditambah rasanya aku betah ada di gendongannya.
Bagaimana tidak? Bang Zaki memakai kaos sangsang, semacam
kaus tipis tak berlengan, topi hitam, celana tentara pendek selutut, dan jaket
yang dia sampirkan di pinggang. Pakaian yang dia kenakan membuatnya lebih
tampan 1000 kali lipat! Serius lho. Wajahnya menurutku terlalu sempurna. Lalu
sekarang aku ada di gendongannya? Dengan tangan dan mata leluasa menjajahi
punggung lebar penuh ototnya?
"Bang," ucapku.
"Hmmm."
"Maaf."
"Iya, jangan diulangi
lagi. Kalau ada masalah bilang saja."
"Iya, Bang."
Kami mulai berjalan. Lagi ...
lagi ... dan selalu lagi ... semesta sepertinya tahu bahwa aku sangat bahagia
detik ini.
"Theo."
"Ya?"
"Lupakan."
"Tubuh kamu bau,
Bang," kataku. "Tapi aku menyukainya. Bau laki-laki hehe."
"Benarkah?"
"Kok bau tubuh kamu kayak
parfum, Bang?"
"Cium saja kalau kamu
menyukainya."
DUG.
Preman Pasar : TOOM #12
Preman Pasar : The Outside of Madness
Roti Sobek Milik Zaki
Ini si Theo nangis ketika mendengar si Enok bunting dan
mengadu ke Bang Zaki ya wkwk.
Dan itu si Theo ketika nangis di hadapan Bang Zaki. Kok sosweet ya 😢 lihat wajah si Theo :( ikut sedih. Terus lihat si Zaki :( tatapannya dan jambangnya itu lho.
Dan ini ... ah udahlah. Gak tahan lihat Zaki haha.
Tekan
bintang kalau suka, kalau nggak ... btw add akun line aku ya. solitude_
Sorry
ya yang nggak kebalas komennya. Bingung soalnya komennya ada yang kelelep. Gitu
aja. Sekarang ... sok gera baca terus komen komen komen! Haha.
Kesel! 4 kali publish babnya ilang mulu! Sial
sial sial! Ini kok makin error ya? Malah jadinya males update! Huh, apalagi
tadi sore! Nulis panjang eh pas dipiblish ilang semua! Jadinya percuma kan!
Sabar ... sabar ... sabar ...
Noh itu artinya udah update kan?
Dan sekarang
ginj lagi!? Sabar ... sabar ...
" ... mulai sekarang saya
tidak akan membiarkanmu menderita."
Kalimat itu terus
terngiang-ngiang di dalam pikiranku, semakin membuatku bersalah. Lama kami
berdua ada di posisi ini. Aku menangis di dadanya yang bidang sementara dia
mengusap kepalaku lembut. Entah kenapa, mendadak aku merasakan sebuah
kenyamanan yang tak bisa kuutarakan. Aku merasa utuh dan lengkap. Sebagai
seorang pria, seharusnya aku tidak menyia-nyiakan sosok Bang Zaki yang begitu
sempurna. Fisiknya, hatinya, sikapnya.
"Sampai kapan kita akan
berdiri di sini? Kaki saya mulai pegel, Theo."
Kitinju dada bidangnya pelan.
Dasar tidak peka! Aku kan masih berkabung atas meninggalnya harapanku hidup
bersama Reno. Detik berikutnya kudorong Bang Zaki dengan sekali hentakan
kemudian kubalikan badan untuk melihat langit. "Abang masuk saja. Aku di
luar."
Bang Zaki memelukku dari
belakang, memberiku kehangatan, memberiku kekuatan. Jika dulu aku yang selalu
melakukan itu, akhirnya kini ada seseorang yang melakukannya padaku.
"Jadilah istri yang baik, Theo. Bukankah sudah menjadi kewajiban sang
istri untuk mematuhi perintah suaminya?"
DUG.
Aku merasa hatiku tersentil.
Mukaku memerah saking malunya tetapi entah kenapa kalimat receh Bang Zaki
membuat genderang perang di alam hatiku. Jangan bawa perasaan, jangan bawa perasaan,
jangan bawa perasaan. Sayangnya
aku merasa tersentuh. "Sialan kau! Istri katamu? Abang kelewatan
bercandanya."
"Lho? Kamu nggak mau jadi
istri Abang?"
Demi apapun. Aku yang tadinya
sedih dan masih mengharap Reno, kini dibuat blushing oleh
kalimat gombal Bang Zaki. "Nggak."
"Ya sudah kalau
begitu." Bang Zaki pun pergi masuk ke dalam. Heeeeeeh? Hanya segitu? Aku
kesal! Tetapi aku masih ingin diam di luar memandang langit. Rasanya tak etis
dan tak sopan kalau aku tidak masuk, padahal aku sudah mengganggunya
malam-malam begini. Entahlah. Aku hanya merasa belum siap memulai lembaran baru
secepat ini. Lagi pula Bang Zaki sudah mempunyai pacar perempuan bernama Keke
kalau aku tak salah dengar. Aku tak ingin merasakan sakit untuk yang kedua
kalinya.
Tak terasa satu jam berlalu.
Haruskah aku pulang? Lagi pula Bang Zaki tidak keluar lagi menemuiku. Mungkin
ucapannya tadi hanya lelucon semata. Sial. Seharusnya aku tak ke sini.
Seharusnya aku bergabung bersama Bombom, Feri dan teman-temanku yang lain di
markas. Tak sepatutnya aku ada di sini setelah apa yang aku lakukan padanya.
Aku pun menyalakan kembali motorku. Bunyinya membuat Bang Zaki keluar sambil
memandangku dengan mulu terkatup rapat dan rahang mengeras.
"Kembali lagi ke sini atau
saya hancurkan motor sialan itu!" Untuk pertama kalinya aku melihat Bang
Zaki marah. I
mean, marah yang terlihat
seksi, bukan marah menakutkan seperti ketika dia memperkosaku di bulan Januari?
Atau Februari? Entahlah aku sudah lupa.
"Galak amat," kataku.
Bang Zaki menggeram. Dia
merebut kunci motorku kemudian dia masukan ke dalam celananya. "Sikap kamu
ya, untung sayang, coba kalau nggak? Sudah saya pukuli kamu."
"Apa!? Pukuli!? Dasar
preman!"
"Cepat masuk! Atau saya
kunci sekarang juga."
"Iya iya bawel amat jadi
cowok." Kami berdua akhirnya masuk ke dalam. Rumah ini masih terlihat
menyeramkan dan kosong. Kadang aku merasa aneh kenapa Bang Zaki bisa betah
tinggal di tempat seperti ini. "Bang kamu nggak akan membunuhku,
kan?" celetukku takut.
"Ya saya akan
melakukannya."
"Hahahahaha nggak
lucu."
"Hanya orang bodoh yang
menganggap ucapan itu adalah lelucon."
"Ish kok jadi galak."
"Arghh sudah deh Theo kamu
jangan banyak omong."
"Tapi kan—hmmmp!"
Bang Zaki membekap mulutku kemudian menggiringku pergi ke atas menuju
satu-satunya kasur yang ada di rumah ini. "Cara terbaik meringankan
masalah adalah dengan tidur." Perlahan Bang Zaki melepaskan jaket, baju
dan celanaku hingga menyisakan boxer saja. Dia juga melakukan hal yang sama,
melepas baju dan celananya.
Kini kami berdua berbaring di
atas kasur dengan posisi telentang. "Andai bisa, Bang. Aku sudah
melakukannya dari tadi. Tapi sialnya aku nggak bisa. Mataku terpejam tapi
kesadaranku masih terjaga. Apa yang harus aku lakukan, Bang?"
"Yang perlu kamu lakukan
hanya pejamkan mata kemudian lupakan semuanya. Pikiran kamu masih terjaga
karena kamu enggan melupakan hal yang menjadi keinginan kamu. Lupakan Reno,
lupakan semua mimpimu sekarang juga. Sekarang kamu nggak marah kan kalau aku
sebut dia dengan panggilan jalang?" Hatiku kembali terhimpit. Mimpi? Ah,
ya. Aku pernah ingin membangun mimpi bersama Reno di kemudian hari. Kuhirup
nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan pelan. Ternyata mimpi itu gampang hancur
hanya dengan satu waktu dan kedipan mata saja.
"Ya, panggil dia jalang
sesuka hatimu, Bang. Kini aku tak akan marah."
"Jalang jalang jalang
jalang jalang lonte. Reno lonte Reno lonte. Hahahahaha."
"Ish hahaha." Lalu di
sinilah aku, tak mempercayai tawaku bisa keluar setelah apa yang terjadi padaku
barusan. "Jangan deh Bang. Mulut kamu terlalu bersih untuk berucap kotor
seperti itu. Gak enak didengarnya. Hmmm aku coba tidur ya Bang." Aku pun
menggerakan tubuhku untuk memunggunginya. Bang Zaki langsung memelukku, lagi,
membuatku nyaman dan damai. Menit pun berlalu. Menggulirkan malam kelabu
menjadi biru. Nafas yang berembus ini entah akan seirama dengan nafas siapa,
aku tak tahu. Yang aku tahu sekarang ... aku membencinya ... sekaligus
mencintainya. Jika mencintai adalah suatu kejahatan, kurasa aku telah menjadi
penjahat terkejam karena telah mencintai Reno sebegitu dasyatnya. "Pacarmu
nggak akan marah, Bang? Sebaiknya kita jangan terlalu dekat. Jadilah Abangku
saja. Bagiku sudah cukup. Terima kasih ya, Bang. Sudah mau menerimaku
kembali." Pelukannya semakin mengeras, bahkan sesaat membuat nafasku
sesak. Aku tak tahu apa artinya tetapi akhirnya aku bisa tertidur juga.
***
Warning! Beberapa paragraf berikutnya ada adegan
sedikit dewasa. Kalian bisa lompat paragraf dan cari tanda ***. Bijaklah ketika
membaca tulisan. Yang masih di bawah umur hush hush pergi.
Aku melihat Reno menghampiriku.
Tatapannya terlihat sendu, begitu pun dengan raut wajahnya. Apa yang harus aku
lakukan? Apalagi, sudah jelas aku harus pergi. Ketika aku berlari, aku
merasakan tangannya yang besar itu menahan bahuku. Kami berdua pun terlibat
percakapan yang entah membicarakan apa, yang jelas aku marah dan ingin meninju
mukanya. Lalu sesaat aku dibuat bungkam ketika mulutnya berkata, "Ayo kita
lakukan sekarang. Saya sudah siap."
Reno menggiringku menuju rumah
pohon. Ketika kami berdua sudah ada di atas, Reno perlahan menurunkan
celananya, bajunya, hingga tak menyisakan sehelai benang pun di tubuhnya.
"Ren, aku mau pergi."
"Jangan begitu. Saya sudah
siap," jawabnya.
Melihat diriku hanya diam saja
melihat Reno, dia pun perlahan menanggalkan semua pakaian yang melekat pada
tubuhku. Dia tersenyum dan terus membisikan kata : saya sudah siap. Tanpa
kuduga, Reno membaringkan tubuhku lalu dia mengulum batang panjangku
pelan-pelan. Aku mengerang. Hisapannya membuat tubuhku melayang.
Sudut bibirku tertarik ke atas.
Langsung hempaskan tubuh Reno menjadi di bawahku. Penis kecilnya yang sebesar
cabe itu terlihat imut dan lucu. Langsung kukulum pelan hingga dia mengerang
kenikmatan. Semua batangnya masuk ke dalam mulutku, precumnya mulai membasahi
lidahku dan rasanya nikmat sekali. Aku tak pernah merasakan kenikmatan seluar
biasanya sebelumnya. Seakan semua partikel dalam diriku terpacu untuk ikut
merasakan sensasi luar biasa ini.
"Argh!" erangnya. Dia
kembali membalikan tubuhku menjadi di bawah. Dia angkat kakiku dengan tangannya
kemudian dia masukan penisnya ke dalam anusku. Hal itu tentu saja membuatku
berontak. Aku tak mau menjadi gawang, aku inginnya jadi penyerang. Tetapi Reno
tak melepaskannya begitu saja. Bahkan dia menamparku beberapa kali, membuatku sedikit
takut, namun masih bisa menikmati sensasi luar biasa ini.
"Ren, jangan."
"Diam!" sentaknya.
"Tapi—"
"Saya biang diam!"
Kini Reno memaksaku
memposisikan diri seperti anjing. Dia kembali menusukku sambil mencium leherku
kasar. Saat kuputar kepalaku, aku bisa melihat keringatnya bercucuran. Namun,
betapa terkejutnya diriku ketika melihat di ambang pintu ada Enok sedang
memperhatikan kami berdua dengan tatapan bengis. Aku gelagapan. "Ren, itu
ada si Enok! Kamu lupa mengunci pintunya!? Ren ayo kita berhenti!"
racauku.
"Biarkan saja."
"Ren!"
"Kamu berisik amat,
Rey."
"Tapi—"
"Argh!" serunya.
"Nok ke sini!" panggil Reno.
"Iya, Ren?" jawabnya.
"Ayo kamu gabung saja.
Bungkam tuh mulut si Rey dengan pussy-mu." Mataku membelalak. Enok
membuka celana dan bajunya kemudian dia paksa mulutku untuk menjilati alat
kelaminnya.
"Fuck!
Fuck fuck fuck! Apa yang kamu
lakukan—hmmmp!" di saat kepalaku di arahkan oleh Reno dan Enok untuk
menjilati alat kelaminnya, aku melihat Reno dan Enok ciuman. Melihatnya membuat
air mataku keluar. Aku sudah tak ingin melanjutkan.
"Ren hentikan. Ren ... Ren
... Ren ..."
***
"Theo? Theo bangun. Theo?"
Pandanganku gelap. Aku bisa
melihat siluet hitam sedang mengguncangkan tubuhku. "Reno?"
"Saya Zaki. Kamu mimpi
buruk, Theo. Saya ambilkan minum dulu, kamu tunggu sebentar."
Beberapa detik kemudian lampu
menyala. Aku melihat tubuh besar Bang Zaki berjalan pelan menuju dapur. Di area
pantatnya banyak sekali bulu, aku bisa melihat di antara sela celana dalamnya.
Sesaat setelah Bang Zaki kembali, kupejamkan mata sebentar, mencoba
menghilangkan pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku. "Sial. Barusan aku
mimpi buruk, Bang. Sangat buruk."
"Yakin mimpi, buruk?"
tanyanya sambil mengerlingkan mata. "Yang saya dengar kamu mendesah, 'ah
Ren, ah ... Ren ... hentikan ahhhh—"
"Bang!" seruku marah.
Meskipun marah aku terkejut. Suara desahan Bang Zaki barusan membuatku
merinding. Begitu berat dan renyahnya suara yang dia hasilkan. Hasilnya?
Jantungku berdegub dengan kencang. Aku ingin mendengar suara desahan itu lagi.
Sayangnya tak mungkin aku memintanya langsung, bisa-bisa Bang Zaki memandangku
aneh kemudian tertawa mengejekku. Mana ada seseorang terangsang hanya karena
mendengar suara?
"Ini minum," ucapnya.
Aku mengambil air putih di
tangannya kemudian kuminum dengan sekali tegukan. "Terima kasih,"
kataku.
"Ayo kita tidur
lagi."
Kali ini Bang Zaki tidur
memunggungiku. "Tadi aku mimpi bersenggama dengan Reno. Syukurlah kamu
membangunkanku, Bang." Tak ada balasan. "Karena di mimpi itu, Reno
memaksaku untuk bersenggama juga dengan pacarnya."
"Theo tidur, sekarang
masih jam 1 dini hari."
"Gak ngantuk, Bang. Kita
ngobrol saja."
"Nggak, kamu harus
tidur."
"Ya sudah Bang Zaki tidur
saja." Hening. "Kapan ulang tahun kamu, Bang?"
"Hari ini," jawabnya.
"Serius!?"
"Ya."
"Haha kamu pasti
bohong."
"Ya sudah kalau kamu nggak
percaya."
"Serius!?"
"Ya."
Hening lagi.
"Ulang tahun yang ke
berapa Bang kalau boleh tahu?"
"Ke-29 tahun. Saya sudah
tua hahaha." Bang Zaki mengganti posisinya menjadi menghadapku.
"Sudah jadi Om-om
hahahaha." Bang Zaki memukul kepalaku pelan. "Sakit dodol! Hmmm jadi
beneran ulang tahun hari ini?" Samar aku melihat Bang Zaki mengangguk.
"Kalau begitu aku akan menjadi orang pertama yang akan mengucapkan selamat
ulang tahun. Selamat ulang tahun Bang!"
"Terima kasih."
"Jadi apa harapan di hari
spesial kamu, Bang?"
"Saya berharap dia
peka."
"Maksudnya pacar
Abang?" Dia tak menjawab.
"Menurutmu?"
"Ya pasti pacar Abang yang
cewek itu lah."
"Haha saya benar-benar
memohon pada Tuhan berharap dia menjadi orang yang peka."
"Aamiin."
Hening lagi. Satu-satunya suara
yang terdengar adalah suara angin di luar sana.
"Maaf aku gak bisa kasih
hadiah, Bang. Aku nggak mungkin pulang ke rumah untuk ngambil uang. Aku sudah
bilang pada Ayah kalau aku akan pergi selama 3-5 hari. Jadi, sebagai gantinya
besok aku akan melakukan semua permintaanmu, Bang." Bang Zaki mengacak-ngajak
rambutku sambil tetawa.
"Apa alasanmu pergi ke
ayah kamu?"
"Pergi naik gunung."
"Kalau begitu besok kita
akan naik gunung."
"Lho kenapa?"
"Kenapa? Jelas bukan,
supaya kamu nggak jadi anak nakal hahaha."
BUGH!
Aku memukul dada bidangnya. Ya
Tuhan, sepertinya pukulanku cukup keras sehingga membuat Bang Zaki merintih.
Sialnya, aku menyukai suara Bang Zaki ketika kesakitan seperti itu.
"Maaf hehehe."
"Tak apa," balasnya.
"Hmmm maksud saya, kalau ada orang yang lihat kamu bersama saya, nanti
kamu akan dapat masalah."
"Jadi maksud kamu tidak
akan ada masalah kalau aku pergi ke gunung sesuai alasan yang telah aku buat?
Meskipun aku perginya sama kamu, Bang?"
"Yap! Anak pintar."
BUGH!
"Argh!" erangnya.
Sial. Aku menyukainya aku menyukainya. "Sakit kampret!"
"Hehehe. Kalau begitu ayo
kita ke gunung."
"Nggak masalah kan kalau
saya ajak teman-teman saya?"
"Teman-teman siapa?"
"Bombom, Feri,
semuanya." Aku tercenung. Bang Zaki menyebut mereka dengan panggilan
teman-teman, bukan anak buah. Betapa baiknya Bang Zaki ini.
"Tentu saja. Banyak orang
lebih baik. Pasti seru, Bang. Aku nggak sabar pengen cepat-cepat ke sana. Kalau
begitu ... gunung mana yang akan kita daki?"
"Gunung Burangrang."
Gunung Burangrang? Gunung yang
curam itu? Gunung yang ... jauh itu? Sepertinya akan seru. Cara terbaik untuk
melupakan masalah adalah bersatu dengan alam. Ayah pernah mengatakannya padaku.
Kalau begitu, aku akan sangat berterima kasih pada Bang Zaki. Aku tak akan
membiarkan siapapun menyakitinya. Tak akan pernah.
***
Jam enam pagi kami berdua pergi
menuju rumah Bang Zaki. Ketika sampai di sana, Bang Zaki langsung berteriak
lantang soal rencana pergi ke gunung Burangrang. Hampir semua orang di ruangan
ini antusias, meskipun ada beberapa orang apatis dan tak tertarik. Alasannya
simpel yaitu mereka harus bekerja. Ngomong-ngomong bukankah Bang Zaki harus
bekerja juga ya?
Persiapan pergi ke gunung
diluar dugaanku, kukira akan selesai selama satu atau dua jam, ternyata
membutuhkan waktu satu hari. Sial. Hal itu membuatku kesal. Bagaimana tidak?
Aku ingin segera naik ke puncak sementara mereka masih asik membicarakan makanan
apa yang akan mereka bawa, pakaian apa yang akan mereka kenakan dan hal-hal
memuakkan lainnya. Bang menyadari kekesalanku. "Hari ini kamu tidur saja
di sini. Beberapa orang akan menginap, jadi tidak masalah kan?"
"Iya tidak masalah, Bang.
Aku cuma ingin cepat-cepat pergi ke sana. Ngomong-ngomong pacar kamu ikut,
Bang?"
"Pacar?"
"Itu lho si Keke."
"Oh. Ya, dia akan
ikut." Aku terdiam. Bukannya aku ingin dia untuk nggak ikut, tapi aku
takut Bang Zaki jadi lebih sering berduaan dengannya karena aku ada niatan untuk
bercerita soal unek-unekku tentang dunia hombreng.
Jam 8 malam aku memutuskan
untuk tidur. "Theo kamu mau ke mana? Sini gabung sama kita main
kartu."
"Sorry, Fer. Aku takut menang."
"Halah mana mungkin kamu
menang. Coba sini, kalau kamu menang aku buatkan masakan ala-ala bule."
Aku tertawa. "Masakan apa,
tuh?"
"Caesal salad? Atau kamu
suka Gamberi Aglio e Olio nggak?"
"Sip. Aku suka yang
kedua."
Oh ya, Feri itu chef. Dia bekerja di rumah makan ala-ala western gitu. Hmmm bukannya cowok yang
bisa memasak itu hawt ya?
Haruskah aku dekati dia? Mungkin iya, supaya aku bisa melupakan Reno. Tapi ...
kok aku kapok ya. Takut dia straight dan aku takut dia ngebuntingin lagi
perempuan secara diam-diam. Harusnya aku pilih Bang Zaki saja yang udah
jelas-jelas homo atau paling nggak bisex. Masalahnya dia sudah punya pacar
sekarang. Aku gamang. Sedih juga sih. Seharusnya aku pilih Bang Zaki saja sejak
dulu. Dia itu tampannya membelah lautan. Bodohnya aku. Apalagi sih yang kurang
dari dia? Salah satu poin utama ketika mencintai adalah fisiknya yang aduhai.
Aku tidak akan munafik, kalau aku ingin mempunyai pacar yang ganteng. Kalau
dipersentasekan, aku menaruh fisik di 49 % dan hati 51%. Dan fisik Bang Zaki
jauh-jauh lebih ganteng dari siapapun di kampung ini. Hanya saja, karena aku
lebih mementingkan hati--jumlahnya ada 51 %--maka aku pun memilih Reno.
"Main cacangkulan (cangkulan) bisa kan?"
"Serius kita akan main
itu? Gak poker atau--"
"Theo!" potong Bang
Zaki.
"Dipanggil tuh."
"Ya, Bang?" sahutku
sedikit kesal. Aku kan lagi main.
"Ke sini sebentar!"
"Iya!" aku
menghampiri Bang Zaki yang sedang terkurap di atas kasur.
"Kata si Bombom kamu
pintar mijit?"
"Gak terlalu pintar sih
tapi bisalah. Aku sering mijitin Ayah kalau dia sedang capek."
"Kalau begitu pijitin saya
sekarang juga."
"Heeee? Aku mau main,
Bang."
"Ya sudah nggak
jadi," balasnya.
Aku mengembuskan nafas dalam.
Kukira dia akan memaksa tetapi tidak. "Iya-iya aku pijitin. Minyaknya ada
di mana? Kalau nggak ada kayu putih saja."
"Di atas nakas."
Setelah mengambil minyak di
atas nakas, aku membuka baju Bang Zaki pelan. Mataku langsung terpana. Betapa
maskulinnya dia. Penuh otot di sana-sini, dan banyak bulunya. Banyak parut juga
di daerah pinggang. Pasti bekas perkelahian. "Bang kok banyak parut
sih," ucapku.
"Hmmm parut itu adalah
bentuk kejantanan seorang pria, Theo. Kalau terlalu mulus kan patut
dipertanyakan apakah dia punya kont--"
"Stop! Jangan bicara jorang aku nggak suka."
"Haha. Kamu juga bukannya
punya parut ya tuh di pelipis?"
"Ini?" Aku memegang
pelipisku. Luka yang disebabkan oleh musuhnya Bang Zaki bernama Sanga. "Ah
ya, aku juga punya bekas luka."
"Kamu semakin tampan
dengan bekas luka itu. Terlihat lebih jantan dan sangar. Malahan saya ingin
punya bekas luka di arena wajah, biar lebih keren gitu."
"Haha tanpa luka pun kamu
sudah sangar, Bang. Jadi jangan deh nanti orang-orang pada takut
lihatnya."
Kubaluri area punggung secara
rata lalu aku mulai memijit area yang menurut Ayah terasa enak untuk
dibenyek-benyek. Ternyata berfungsi juga kepada Bang Zaki. Dia sedikit
mengerang dan menikmati. Selama 15 menit aku berjibaku di daerah punggung.
Awalnya aku ingin menurunkan celana Bang Zaki dan mulai memijit betisnya.
Tetapi aku lupa, aku ini gay. Sekuat apapun aku menahan, kalau dihidangkan
cowok sepertinya aku nggak akan kuat.
"Kok nggak
diteruskan?"
"Hmmm sudah kok,
Bang."
"Lho? Kakinya nggak?"
"Errrrrrrr."
Akhirnya kulakukan juga. Aku
menurunkan celana levisnya hingga menyisakan celana dalam saja. Lagi, aku
dibuat terkejut. Ternyata pantatnya lebih besar dari pada pantat ... Reno. What!? Aku selalu memimpikan bisa nge-rimming benda
kenyal di depanku ini. Sayangnya mustahil kulakukan. Arghhh sial! Andai Bang
Zaki masih single, rasanya aku ingin jadi pacarnya
saja. Tapi aku sudah muak berharap pada orang yang sudah mempunyai pacar
perempuan. Takut ditinggal hamil lagi.
Keadaan ini jujur saja sangat
menyiksa. Belalai gajahku sudah ngamuk ingin dikeluarkan. Dari tadi mataku
fokus melihat dua bukit di depanku. Pasti rasanya empuk dan--mesum lagi, kan?
Kenapa sih otakku bisa semesum ini. Aku jadi malu sendiri. Tapi bukankah cowok
mesum itu wajar ya? Bisa saja kan sebenarnya Bang Zaki selalu mesum ketika
berduaan dengan pacarnya. 15 menit kemudian akhirnya selesai. Aku siap-siap
kembali pergi ke ruang tengah namun dicegah oleh Bang Zaki.
"Arena perutnya
belum," katanya.
Dengan kesal kubalikkan tubuh
Bang Zaki, membuat nafasku sesak seketika. Demi apapun, aku tidak pernah
melihat tubuh semenawan ini. Perut sixpack terlihat
jelas dengan bulu yang tidak terlalu banyak. Otot di dadanya tidak diragukan
lagi. Terlihat membukit dan mengkilat. Jantungku langsung berdegup dengan
kencang. Jujur saja baru kali ini aku melihat hampir keseluruhan lekuk tubuh
Bang Zaki. Jika aku melihatnya dari dulu, sudah pasti aku akan langsung memilih
Bang Zaki daripada Reno. Sial. Bagaimana ini? Nafsuku padanya sudah diluar
kendaliku. Ditambah ketika aku menyentuh roti sobek di perutnya, aku merasakan
aliran listrik langsung menyerangku.
Fix. Roti sobek miliknya adalah sebuah
bencana.
Lucu
bukan? Bagian itu lho. Bagian ketika si Theo berkata tidak akan menyakiti Bang
Zaki padahal dia sendiri yang menyakitinya. Kadang saya sendiri sebagai penulis
suka kesel sendiri kalau lihat orang yang nggak peka kayak si Theo. Tapi saya
nggak menampik bahwa orang kayak dia itu berlesiweran di mana-mana.
Saya
punya teman. Dia disukai oleh teman dekatnya sendiri. Nahasnya, dia gak
peka-peka :D
Preman Pasar : TOOM #11
Preman Pasar : The Outside of Madness
Drama
Drama
Selalu ada kali pertama dalam hidup. Entah itu
berjalan, menangis, bahkan mencintai. Kali pertama itu biasanya tak terlupakan.
Kenapa? Karena biasanya impresif dan membekas di hati.
Aku tak bisa melupakan kali
pertama ketika aku mencintai seseorang. Dalam hal ini adalah Reno. Rasanya aku
rela mengemis cinta jika dengan hal itu dia bisa menjadi milikku. Bahkan aku
rela menyerahkan satu ginjalku padanya. Tentu saja jika keadaannya mendesak.
Misalnya Reno membutuhkan satu ginjal dan aku akan dengan senang hati
memberikannya. Hal ini membuktikan bahwa saking aku mencintai makhluk Tuhan
bernama Reno.
Ketika mencintai, aku sadar
penuh bahwa aku harus siap untuk terluka. Namun aku tak menampik bahwa ketika mencintai
pula aku harus siap untuk bahagia. Karena cinta itu adalah bentuk tak pasti
dalam hidup, maka aku tak tahu akan berakhir seperti apa kisah cintaku pada
Reno. Apakah terluka atau bahagia. Entah mengapa, firasatku kali ini aku akan
merasa bahagia. Reno masih enggan bersetubuh denganku. Tapi mata itu, mata
ketika memandangku, taku tahu terasa lain dan bukan hanya sekadar tatapan
biasa. Maka dari itu aku memutuskan menunggu, tak peduli selama apapu itu.
"Pupuknya habis,
Rey," kata Reno. Jika Ayah sedang tidak membaca koran di depan pekarangan
rumah, rasanya aku ingin mencium dia saat ini juga. Sepertinya Reno sudah tahu
gelagatku jika ingin menerkam bibirnya. Maka dari itu dia membuat jarak dan
menatap tajam diriku.
"Kalau begitu biar aku
yang beli ke pasar," kataku.
"Boleh kah?"
"Oh tentu. Sekalian aku
ingin membeli makanan kucing."
Aku malas mengambil jaket di
kamar, jadi kuputuskan untuk memakai jaket Reno yang dia simpan di atas teras.
Ah nyamannya. Aku suka aroma tubuh Reno. Terasa wangi dan manis. Jika bisa, aku
ingin mendekap aroma ini selamanya. Tetapi mungkin kah?
"Yah, aku mau pamit ke
pasar dulu beli pupuk." Ayah mengangguk kemudian menyerahkan kunci motor
yang telah dia beli satu bulan yang lalu. Ternyata Ayah tidak membual ketika
mengatakan akan membeli motor. Motor mirip Bang Zaki hanya bedanya motor ini
berwarna putih sedangkan Bang Zaki hitam.
Selama perjalanan, tak
henti-hentinya aku membaui aroma yang ada di jaket ini. Terlihat gila, tetapi
aku yakin semua orang akan melakukan ini, terlebih jika jaket ini adalah jaket
orang tercinta. Sial sekali, bukan? Maksudku terdengar menyedihkan. Tetapi
terkadang, hanya dengan membaui aroma tak langsung ini bisa membuat seseorang
bahagia. Bahagia paling sederhana selain bisa melihat senyum dan kehadirannya.
Ketika sampai di pasar, aku
melihat orang-orang berkumpul di tengah jalan. Setelah kulihat, ternyata ada
Bang Zaki di sana. Aku sedikit tertegun. Rambutnya kini memanjang, namun
terlihat rapi dan terawat. Mukanya semakin bersih dan bibirnya sedikit
kemerahan. "Bangsat!" teriak Bang Zaki. Ternyata dia sedang memukuli
pria berbadan kekar sepertinya. Aku menghela nafas panjang melihat kejadian
ini. Orang-orang sudah melerai tetapi tenaga Bang Zaki cukup kuat untuk menepis
semua tangan yang mencoba menghentikannya.
Perlahan aku masuk ke dalam
kerumunan itu. Tanganku memegang bahunya kemudian berkata, "Bang Zaki,
cukup. Dia tak akan mampu melawan." Kepala Bang Zaki memutar. Nafasnya
terengah-engah. Namun bukan itu yang kuperhatikan, tetapi matanya ketika
melihatku. Aku bisa merasakan ada kerinduan yang tersimpan dan terpendam. Bang
Zaki bangkit kemudian pergi meninggalkan kerumunan ini. Dia tak sedikit pun
melihatku ketika pergi.
"Syukurlah dia
pergi," kata Bapak-bapak bertopi ungu.
"Apa yang terjadi,
Pak?" tanyaku.
"Orang ini mencoba
mencopet dompet si Zaki. Mungkin dia orang baru jadi nggak tahu kalau si Zaki
itu preman di pasar ini. Namun yang Bapak nggak habis pikir, di dompet si Zaki
nggak ada uang sepeser pun. Hanya ada foto laki-laki mirip mas, tapi kenapa dia
bisa semarah itu? Haha, pikiran preman itu memang dangkal ya."
Foto mirip diriku? Ah mana
mungkin.
Di dalam pasar aku bertemu lagi
dengan Bang Zaki. Entah perasaanku atau Bang Zaki memang lagi sibuk, aku merasa
dia menghindariku. Biarlah. Dia punya urusan dan aku juga punya urusan. Aku
harus bergegas membeli pupuk. Jika tidak, Reno pasti marah.
***
Hari ini hari Sabtu. Jika
perkiraanku benar, Reno tidak akan bekerja dan tugas dialihkan ke Pak Aji. Hari
yang sungguh melelahkan. Seharusnya Reno bekerja setiap hari seperti dulu.
Dasar Ayah! Kenapa dia mempekerjakan Pak Warno? Padahal kami berdua sudah
cukup. Aku sudah menguasai dasar-dasar berkebun. Jadi bertambahnya Pak Warno
tentu saja menghambat ... waktuku bersama Reno.
Bosan dengan aktivitas
monotonku, aku memutuskan jalan-jalan mengelilingi kampung. Di lapang desa aku
berhenti untuk melihat bola. Sebenarnya aku melihat pemainnya, bukan bolanya.
Nahasnya permainan hampir selesai dan mau tak mau aku harus menemukan
kesenangan lain. Ah, mungkin aku akan mengajak teman-temanku main kasti.
Rasanya sudah lama kami tidak memainkan permainan bola kecil itu. Lagi,
nahasnya aku teringat bola kasti yang kami miliki hilang entah ke mana. Aku
terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya perutku berbunyi. Kuputuskan untuk
makan di rumah makan Ibunya Reno. Tanpa kuduga, Reno sedang ada di rumahnya.
Dia sedang menjaga warung sambil ngemut lolipop. Ketika melihatku, Reno
tersenyum namun kali ini terlihat dipaksakan. Huh, dia pasti takut aku akan
bertingkah aneh-aneh. Baiklah, jangan khawatir, Ren. Terakhir kali aku
menyentuhmu adalah ketika aku menginap di kamarmu tempo hari. Selebihnya aku
tak akan melakukannya kecuali kamu yang meminta.
"Grey? Sini masuk, si Reno
sedang jaga warung tuh."
"Iya, Bu. Grey mau makan
sih ke sini, kangen sama kupat tahu buatan Ibu."
"Lah makan saja di dalam,
Grey, jangan sungkan."
"Nggak, Bu. Masa setiap ke
sini Grey makan gratis terus? Kali ini Grey mau bayar."
Sudut mataku melihat Reno
sedang memperhatikanku namun kuabaikan. Seperti katanya, aku tidak akan
bersikap aneh-aneh. Aku harus menahan pikiran mesumku yang kada suka tak
terkendali.
Maka, selama satu bulan ini aku
berhasil menahannya. Tanpa kuduga, Reno jadi sering menginap di rumahku.
Entahlah. Seakan dia jadi tidak takut, bahkan sekarang berani membuka celana
dalamnya di hadapanku. Kalau Reno berpikiran aku bisa menahannya, mungkin dia
benar, mungkin juga tidak. Maksudku, entah dia bermaksud mengetesku, tetapi aku
yang melihatnya di atas kasur sontak menahan nafas. Belalaiku gajahku langsung
berdiri tegak.
Nafsuku semakin besar ketika
dia berjongkok mengambil celana di lantai. Aku bisa melihat lingkaran hitam
itu. Sialnya, pemandangan indah ini hanya berlangsung beberapa detik. Reno
langsung melihatku dan tersenyum lebar. "Apa yang kamu lihat tadi?"
tanyanya sambil menaik-turunkan alis, bermaksud menggodaku.
"Lihat gua yang tertutup
rapat." Reno tertawa renyah. Dia naik ke atas kasur, ikut bersandar sambil
menutupi bagian bawahnya dengan selimut.
"Kamu ingin masuk ke
sana?" tanyanya, menggodaku.
"I-iya."
"Hahaha. Belum saatnya,
Rey. Belum saatnya."
Reno memeluk diriku. Aku
menjatuhkan kepalaku ke bahunya yang lebar. Dia tak pernah tahu, betapa aku
ingin memilikinya. Kuhirup aroma tubuhnya sembari memejam. Reno mengelus
rambutku, mencoba menenangkanku yang sedang menahan nafsu yang kurasa. Selama
satu bulan ini, syukurlah aku semakin dekat dengan Reno. Dia tak pernah ragu
untuk menciumku, meskipun hanya di kening.
Aku bangkit kemudian naik di
atas paha Reno. Dia sedikit tersentak namun tak kubiarkan dia mendorongku lagi.
Aku memang ingin segera menerkamnya, tetapi tak kulakukan itu. Aku hanya
mencoba memeluk dirinya dari depan. Membenamkan wajahku di dadanya seperti anak
kecil. Merasakan begitu hangat tubuhnya yang penuh otot itu. Kenyamanan yang
kurasa begitu membuatku bahagia. Rasanya aku ingin selamanya ada di posisi ini.
Hangat, tenang, nyaman.
"Rey."
"Sttttt." Kubungkam
mulut Reno dengan tanganku. "Aku mencintaimu, Ren. Sangat mencintaimu.
Akan aku lakukan apapun untukmu. Akan aku lakukan. Aku mencintaimu."
Hening. Hanya suara jangkrik yang menemani malam kelam ini.
"Tapi--"
"Sttttt. Kali ini saja.
Aku tak tahu apakah ini kesempatan terakhirku untuk memelukmu seperti
ini."
"Maksudmu?"
"Bisa saja besok aku mati,
kan?"
"Kamu teh bicara apa!"
"Jadi apa salahnya?
Sebentar saja, sebentar saja." Aku semakin mengeratkan pelukanku sampai
... aku tertidur.
1 minggu kemudian aku merasa
hampa. Sejak kejadian malam itu, Reno kembali jarang menginap di rumahku.
Bahkan aku merasa dia mencoba menghindariku. Entahlah. Aku merasa frustasi dan
marah. Betapa teganya dia membiarkan perasaan rindu ini semakin berat. Betapa teganya
dia membiarkanku berharap. Lalu, betapa teganya dia membiarkanku menunggu.
Aku bertanya pada temanku,
apakah dia melihat Reno? Dia menjawab, ya dia melihatnya. Reno sedang berjalan
bersama Enok entah ke mana. Lihat? Betapa teganya dia melakukan itu. Aku masih
setia menunggu. Di tengah aktivitas berkebunku, di tengah aktivitas bermain
kastiku. Oh ya, kamu sudah membeli bola kasti yang baru. Dan betapa dia jahat
pada teman-temannya. Dia lebih memilih jalan bersama Enok daripada main kasti
bersama kami. Reno jahat! Tapi bagaimana lagi? Aku cinta. Bagaimana lagi ...
aku sayang.
"Grey awas!"
Tak!
Wajahku tiba-tiba terasa nyeri
dan perih. Ternyata bola kasti itu mendarat di pelipisku. "Rizky! Kalau
mukul itu hati-hati dong. Ya ampun! Sampai ungu begini!" ucap Ayu.
"Mau ke puskesmas?"
tanya Rizky khawatir.
"Tidak, aku baik-baik
saja. Aku masih bisa melanjutkan."
Sebenarnya tidak. Aku merasakan
perih yang sangat luar biasa. Aku merasakan nyeri. Tetapi aku sudah terbiasa
menahan sakit dan menyimpannya hanya untuk diriku. Aku terbiasa menyembunyikan
perasaanku. Karena jika aku menunjukannya, Reno akan memandangku seperti
penjahat kelamin. Aku tak mau seperti itu.
"Yakin?"
"Ya, aku masih bisa main.
Yo yo yo, kita jangan sampai kalah, Ayu!"
Mereka tertawa, aku pun begitu.
Apakah mereka tak mampu menyadari bahwa mataku tak bernyawa lagi? Kurasa
terlalu berlebihan menyebutnya dengan kata itu. Mungkin lebih tepat jika aku
menyebutnya mataku tak bercahaya lagi. Tu-tunggu? Haha apa-apaan.
"Grey awas!"
"Eh?"
Sial! Aku malah berlari dengan
mata menengadah ke atas sehingga aku tak melihat di depan sana ada Ayu. Kami
bertubrukan. Untungnya tidak terlalu keras, jadi baik Ayu maupun diriku masih
kuat melanjutkan permainan.
"Sepertinya aku harus
pulang. Aku kurang tidur."
Di saat yang bersamaan ketika
aku berjalan ke rumah, aku mendengar suara motor Reno. Dia memanggilku tetapi
aku abaikan. Aku pura-pura tidak mendengarnya.
Di rumah, tepat jam 7 malam,
Reno datang ke rumah pohon, menggangguku yang sedang bermain-main dengan ikan
cupang. "Ikan cupangnya sudah gede, Ren. Hehehehe."
"Kenapa kamu tadi pergi
pas saya datang?" tanyanya.
"Eh? Di mana?"
"Itu di lapang."
"Kapan kamu ke sana?"
"Jangan pura-pura!"
"Kamu bicara apa sih, Ren?
Oh kamu datang pas aku pulang? Mungkin tadi aku capek jadi gak mendengar
panggilanmu. Kalau gak percaya tanya saja sama Ayu."
Reno memandangku lekat kemudian
tersenyum. Lihat? Betapa pintarnya aku memainkan drama. Dia memelukku dari
belakang kemudian mengecup keningku pelan. "Maaf, mulai sekarang Enok
sedang membuka usaha bisnis batik. Jadi tadi aku mengantar dia beli bahan di Bandung."
"Ya, tak masalah."
Seketika hatiku terasa remuk
dari dalam. Tetapi, percuma. Aku tak berani menunjukannya. Aku takut Reno balik
marah dan kesal. "Kira-kira umur cupang berapa tahun ya?"
"Ingin kubuatkan
kopi?"
"Boleh kah?"
"Tentu saja. Kalau begitu
tunggu sebentar." Emosi sesaat hanya akan memperburuk suasana. Jadi,
kuputuskan untuk membuat kopi, berharap hatiku menjadi tenang dan pikiranku
bisa berpikir jernih. Terima kasih, Tuhan. Ternyata berhasil.
"Oh iya Rey ada yang mau
saya bicarakan. Eh? Tubuhmu panas, Rey. Sudah beli obat?" Aku menggeleng.
"Kalau begitu tunggu, saya mau beli obat."
***
Akhir-akhir ini aku jarang
lari. Itu sebabnya sekarang aku lari sore ke rumah pohon tempat persembunyian
Bang Zaki. Sialnya, Bang Zaki ada di sana, sedang merokok sambil duduk
bersandar di lantai dua. Ketika melihatku, dia tersenyum tipis kemudian
menyesap rokoknya kembali. Perasaanku sedang buruk, jadi aku tidak menyapa Bang
Zaki.
Aku memutuskan untuk terus
berlari menuju daerah Sindang Waas. Tiba-tiba Bang Zaki berkata,
"Tangkap."
Bang Zaki melempar satu botol
air mineral. "Terima kasih, Bang."
Ini aneh. Kenapa suasana hatiku
semakin tidak membaik? Dua minggu Reno menghilang. Kami bertemu hanya ketika
dia bekerja di rumahku. Setelah itu dia pergi ke rumahnya untuk membantu Ibunya
jaga warung. Benarkah? Sontak kakiku berbalik arah. Aku ingin melihat aktivitas
Reno. Aku ingin melihat wajahnya.
30 menit kemudian aku sampai di
rumah Reno. Dia tak ada di sana. Dasar pembual! "Bu, Renonya ke
mana?" tanyaku sedikit emosi.
"Dia pergi. Tunggu saja di
kamarnya, sebentar lagi dia bakal balik."
Aku pun menunggu. Kata sebentar
yang diucapkan Ibunya ternyata 3 jam. Dia pulang, memanggil-manggil Ibunya,
sayangnya Ibunya sedang pergi ke pasar. "Pak,
Reno rek ameng heula. Konci di candaknya, Reno paling mulih jam
sapuluhan."
(Pak,
Reno mau main. Kunci diambil ya, Reno pulang sekitar jam 10-an.)
Dia bahkan tidak mengecek
kamarnya. Lihat? Betapa teganya dia membuatku menunggu lagi dan lagi. Haruskah
aku menunggu di kamar Reno sampai jam 10 malam? Tidak, aku akan mengikutinya.
Dia pergi naik motor belok ke
kanan. Di lapang desa, seorang perempuan yang kuyakini adalah Enok naik
tergesa-gesa kemudian memeluk pinggang Reno. Hanya ada dua kemungkinan jika dia
belok ke kanan. Pertama, mereka akan pergi ke kavling. Dan kedua, mereka akan
pergi ke Maribaya. Aku bertaruh Reno akan pergi ke kavling, jadi aku
mengikutinya dengan berlari. Dan ternyata benar.
Lama mereka diam memandang
kota. Aku bersembunyi di balik semak-semak hingga akhirnya mereka berbicara.
"Dia mirip sekali dengan Adikmu, Nok."
"Ya, setelah aku
perhatikan, mirip sekali."
Dia? Dia siapa?
"Saya tak ingin kehilangan
dia lagi. Tapi saya bingung bagaimana mengatasinya. Yang bisa saya lakukan
sekarang adalah mencegah. Syukurlah, dia terlihat bahagia. Dia sering tersenyum
ketika melihat saya." Dia siapa!? Apakah Reno diam-diam menyukai orang lain?
"Tak hanya mukanya,
ternyata sifatnya pun sama seperti dia. Mungkin dia pengganti sahabatmu, Ren.
Dia pengganti sahabatmu, sekaligus pengganti Adikku."
Hening. Aku tak mengerti arah
pembicaraan mereka. Tetapi mendapati fakta Reno sering keluar malam bersama
Enok membuat hatiku terluka. Rupanya Reno belum bisa melupakan Enok.
"Saya khawatir. Bisakah
kita pulang sekarang? Saya ingin mengecek bagaimana keadaannya."
"Sebelum itu ada yang
ingin aku bicarakan." Meskipun aku hanya bisa melihat siluet tubuh mereka,
aku bisa melihat Enok menggenggam tangan Reno kuat. "Sebentar lagi kamu
akan menjadi Ayah."
DEG.
Bahuku menegang seketika.
"Ma-maksud kamu?"
tanya Reno. Lalu tangan Reno pun dia tuntun ke perutnya. "Tidak mungkin!
Bukankah kita sudah pakai pengaman!?"
"Apakah menjadi 100 %
aman? Tidak, Ren. Dengan begini, Ayahku pasti akan menyetujui rencana
pernilahan ... ta ... ja ... senang ... kan?"
Aku tak bisa mendengar kalimat
Enok dengan jelas karena aku berjalan menjauhi mereka dengan tatapan kosong.
Hatiku remuk seremuk-remuknya
Aku belum belum pernah mengalami bagaimana rasanya mencintai tetapi dikhianati. Sekali pun belum pernah. Lalu kali ini aku merasakannya. Merasakan bagaimana aku mencintai seseorang tanpa tapi, kemudian dibalas dengan kalimat manis yang sebenarnya adalah tahi. Kini aku merasakan lelahnya berjuang tetapi tak bermakna apa-apa. Kini aku merasakan lelahnya kepura-puraan sehingga aku ingin berteriak dan melolong seperti anjing kelaparan. Aku yang belum pernah merasakan itu kini merasakannya. Jadi aku harus bagaimana? Apakah aku harus melupakan semua fakta itu dan berpura-pura lagi tidak terjadi apa-apa?
Sepertinya aku tidak sekuat
itu.
Sejujurnya aku tak tahu harus
ke mana. Mata, hati dan pikiranku kosong.
Angin pun mengembus pelan,
menyadarkanku bahwa mimpi yang selama ini aku bangun telah hancur dalam satu
hembusan nafas dan kedipan mata. Mimpi yang selama ini aku indam-idamkan kini
telah pergi tertawa angin malam. Malam berselimut dingin. Seketika aku benci
malam, karena dingin yang dia berikan tidak serta-merta membuat hatiku kembali
utuh, malah membuat hatiku runtuh.
Kulihat tangan dan bahuku yang
gemetar. Heeee? Ada apa ini? Yang bisa kulakukan sekarang adalah tertawa.
Betapa lucunya takdir membawaku pada harapan di ujung jalan. Betapa baiknya dia
memberiku pengalaman sakitnya terabaikan. Betapa murah hatinya dia memberiku
pengalaman dibodohi dan ditelanjangi.
Kakiku pelan berjalan menembus
malam. Aku lelah bertanya kenapa dan bagaimana. Aku hanya ingin segera terlelap
dalam gelap mimpi yang tak akan pernah mengkhianatiku sekeji ini. Aku ingin
tidur, berharap ketika bangun nanti aku tak lagi melihat matahari, tetapi
melihat pohon besar tempat peristirahatan. Mendadak anganku ingin mencapai
nirwana. Paling tidak, aku ingin mencapai moksa. Ah, pikiranku semakin
melantur. Aku tak siap mati, tidak sebelum melihat Reno menjadi Ayah.
Dari arah belakang aku
mendengar suara motor dan suara Reno. Dia melewatiku begitu saja, mungkin
berpikir bahwa aku adalah orang asing yang dengan bodohnya berlari di malam
hari. Jika itu yang dia pikirkan, dia benar. Aku adalah orang asing dihidupnya.
Aku adalah orang asing yang mengganggu kenyamanan hidupnya. Seharusnya aku
sadar ketika Reno memandangku dengan penuh rasa takut. Dia hanya berusaha
menjauhkanku dengan Bang Zaki, orang yang sangat dia benci.
Lagi, aku tertawa. Aku tak tahu
kenapa aku tidak menangis padahal normalnya seseorang akan menangis jika
mengetahui orang yang dia cintai akan segera menikah. Berhenti
berpikir dan cepat kembali ke rumah! Kamu hanya harus pergi ke kamar, tidur,
lalu ... lalu setelahnya apa?
Aku mulai berlari. Sekuat
tenaga aku berlari. Akhirnya sampai juga di rumah. Aku langsung pergi ke rumah
pohon, mematikan lampu dan beranjak tidur. Sial. Aku merasa ada yang meremas
hatiku, mengeluarkan semua sari pati rasa sakit hingga tersebar ke seluruh
tubuhku. Percuma, mataku tak bisa terpejam. Kesal dengan usaha yang kulakukan
sia-sia, aku menggeragap bangun kemudian pergi memandang bintang. Saat aku
membuka jendela, tak sengaja tanganku menumpahkan ikan cupang di dalam botol.
Botol itu menggelinding ke bawah kemudian terjun ke tanah hingga botol itu
tercerai berai. Dari atas aku melihat ikan itu menggelepar-gelepar. Dan aku
hanya memandangnya datar tanpa ekspreasi hingga ikan itu berhenti berkelejatan.
"Maaf ikan, aku bukan tuan yang baik."
DEG.
Entah yang ke berapa kalinya,
aku merasakan hatiku kembali diremas. Aku baru menyadari, kalau ternyata hatiku
hancur sehancur-hancurnya. "Kenapa kamu tega, Ren?" lirihku pelan.
Emosiku memuncak. Kali ini aku benar-benar marah. Aku harus pergi dari rumah
ini, setidaknya sampai suasana hatiku membaik.
Aku pun berlari ke dalam rumah,
mengambil secarik kertas kemudian menulis surat untuk Ayah. "Yah, Grey mau
kemping sama temen-temen Grey ke Bukit Tunggul selama 3-5 hari. Maaf tiba-tiba,
maaf juga tidak membangunkan Ayah. Grey nggak tega."
Baiklah sekarang aku harus ke
mana? Aku tak tahu. Kurasa aku harus pergi ke tempat Bang Zaki walaupun
sebenarnya aku malu. Tetapi apa boleh buat? Tidak mungkin aku pergi ke tempat
Richard. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi terpaksa aku pergi ke tempat
Bang Zaki. Aku hanya harus bersikap tenang seakan tidak terjadi apa-apa.
Sesampainya di sana, Bombom
menyambutku. Tidak hanya dia, Feri dan juga anak buah Bang Zaki yang lain
menyambutku antusias. "Si Zaki tidak ada di sini. Dia sedang ada ... ada
di mana dia, Fer?"
"Aku nggak tahu."
"Maaf kami nggak
tahu."
Aku tahu Bang Zaki ada di mana.
Ya, dia sedang ada di rumah pohon. Seharusnya tujuanku adalah mencari tempat
tinggal sementara. Tetapi kenapa ketika mendengar Bang Zaki tidak ada di sini,
aku pergi? Aku kembali menaiki motorku kemudian pergi ke rumah pohon untuk
menemuinya? Kenapa? Aku tak tahu. Sungguh aku tak tahu.
Laju motorku mencapai 100
km/jam. Biasanya aku tak berani ada di kecepatan seperti ini. Tapi kali ini aku
tidak merasa takut sama sekali. "Bang," ketukku pelan setelah sampai
di sana. "Bang," ucapku nyaris tak terdengar. "Bang Zaki,"
ucapku parau. Rasanya tenggorokanku tersumbat. "Bang Za-" Kalimatku
terhenti ketika dia membukakan pintu. Dia memandangku dari atas sampai bawah.
Sejujurnya aku malu, tetapi pikiranku sedang tidak sehat dan aku tak memikirkan
hal lain selain ingin menumpahkan semuanya.
Perlahan kakiku mendekati Bang
Zaki. Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku celana. Lalu setelah jarak di
antara kami terpaut beberapa senti meter saja, aku menjatuhkan kepalaku di
dadanya. "Bang Zaki," ucapku parau, nyaris terisak. Tangan Bang Zaki
langsung mendekap kepalaku. Di saat itulah pertahananku pun runtuh. Selama ini
aku menahan untuk tidak menangis, kini tertumpah ruah.
"Jangan menangis,"
katanya pelan. "Pria gagah, tampan seperti kamu tidak boleh
menangis." Aku masih menangis. Rasanya sulit untuk menahan rasa sakit di
dadaku saat ini. "Sudah saya katakan jangan." Sial sial sial! Air
mataku tak mau berhenti untuk keluar. "Tetapi, untuk kali ini saja saya
izinkan kamu menangis. Selanjutnya, akan saya buat hari-harimu penuh
tawa."