Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Di Atas Awan
Semesta tahu, betapa egoisnya aku.
Malam ini kami semua berkumpul
di ruang tengah—kecuali Bang Zaki dan pacarnya. Apa sebenarnya yang terjadi
padaku? Kenapa aku merasa marah dan kesal ketika mereka berdua bermesraan di
kamar? Ah ... semesta tahu, bahwa perasaan marah dan kesal itu muncul karena
hati menolak untuk terluka, menolak untuk mengingat kembali sosok Reno, dengan
begitu harapan untuk tidak larut dalam kesedihan perlahan terobati karena ada
sosok yang menggantikan.
Kehilangan harus digantikan
dengan yang baru. Jika memang begitu, harus kepada siapa aku berharap? Bang
Zaki? Tidak tidak tidak! Aku tidak ingin dibodohi lagi. Feri? Haruskah? Kurasa
juga bukan. Pada akhirnya kini aku benar-benar sendiri. Satu-satu cara untuk
melupakan kesedihan ini adalah dengan menjadi diriku yang dulu. Aku yang apatis
terhadap perasaan. Aku yang hanya memikirkan pertemanan dan pekerjaan. Cinta
itu adalah pengekang. Padahal tanpanya, manusia bisa hidup sampai akhir hayat
yang dia punya.
"Theo, sekarang giliran
kamu."
Bersama mereka, teman-teman
baruku, sedikitnya aku bisa melupakan kesedihan soal hamilnya Enok. Tidak buruk
juga. Rasanya terlalu berlebihan jika aku menanggapi masalah percintaanku
dengan drama yang berlarut-larut. Sialnya aku masih saja merasa sedih. Untuk
itulah aku ingin segera pergi ke gunung. Lagian, aku penasaran kenapa Bang Zaki
selalu mengajakku ke gunung? Mungkin baginya naik ke puncak adalah hobi yang
sangat jantan. Entahlah.
Ngomong-ngomong sekarang kami
sedang main catur. "Skak," kataku. Dan aku sudah memenangkan
pertandingan sebanyak 10 kali.
Jam 1 dini hari kami semua
tertidur. Aku tidur di sofa dengan Feri. Hmmm sebenarnya sengaja haha. Aku
melihat kursi itu cukup untuk tiga orang jadi aku memintanya untuk bergeser.
Sambil menyelam minum air. Sambil tidur, bisa peluk-peluk Feri. Ternyata niat
mesumku itu membuat mata Bang Zaki melotot. Dia mempergokiku mencoba memeluk
Feri. "Hmmm ternyata kamu Theo jalang sebenarnya," desisnya pelan di
telingaku.
Bang Zaki benar. Aku jalang
sebenarnya. Mungkin otakku memang sudah nggak waras. Sudahlah. Aku menyerah.
Aku akan mencoba mengenyahkan cinta dan nafsu di kehidupanku.
***
Ternyata mereka berdua memang
pacaran. Buktinya, perjalanan menuju gunung Burangrang Bang Zaki satu motor
dengan Keke sedangkan aku dengan Bombom. Padahal kan aku sudah mengajak Bang
Zaki untuk satu motor denganku. Argh! Sudah Theo, fokus saja menikmati alam sekitar.
"Si Bos meni kayak anak kecil."
"Anak kecil? Siapa?"
"Hahaha nggak."
Perjalanan dari Lembang menuju
gunung Burangrang cukup jauh. Dari sini kami harus naik motor selama 1 jam
menuju daerah Parongpong kemudian terus ke bawah. Suhu kurasa tidak berubah.
Masih dingin dan sejuk. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku adalah ... awan
di atas sana sedikit mendung. Semoga saja tidak hujan. Aku—tidak tetapi
kami—sudah menantikan hari ini sejak kemarin. Aku tidak mau gagal hanya karena
hujan turun.
"Bom," kataku.
"Ya?" jawabnya.
"Sejak kapan mereka
pacaran?"
"Maksudmu si Bos?"
Aku mengangguk. Kulihat Bombom
di kaca spion. Sial, kenapa dia malah tersenyum? "Duh saya teh nggak ngerti ah sama kalian."
"Maksudnya?"
"Tidak. Ya mereka pacaran
sejak kamu memutuskan untuk selingkuh sama si Reno." Aku menyikut tubuh
gempalnya sedikit keras. "Sakit kampret!"
"Hmmm." Bang Zaki
melewati motorku. Dia tak melihatku sedikit pun meskipun aku sudah
memanggilnya. "Dia lagi marah?" tanyaku.
"Positif saja. Mungkin
tidak kedengeran. Kamu kan tahu kalau di motor itu suara orang-orang terdengar
kecil."
"Oh iya ya."
Lagi pula kenapa aku harus
sedih? Bukankah sudah kuputuskan akan kujadikan Bang Zaki sebagai sosok Abang?
Abang yang sesungguhnya. Dia pun sepertinya sudah menganggapku sebagai Adik.
Entah kenapa memikirkannya membuatku bahagia. Kata Ayah sih aku punya seorang
Kakak. Nahasnya, Kakakku telah meninggal bersamaan dengan Ibu dan Ayah saat
kecelakaan mobil beruntun puluhan tahun silam. Aku tidak pernah diberi tahu
lebih lanjut soal kecelakaan itu. Ayah hanya menjelaskan sebatas kecelakaan
mobil. Sudah itu saja. Ayah tidak menjelaskan bagaimana aku bisa selamat dan
bisa ada di tangannya.
Kami pun sudah sampai.
Sebenarnya aku merasa ragu, apakah tempat ini parkiran atau bukan, ternyata
jawaban Bombom sedikit membuatku tercengang. "Tempat ini sudah jadi milik
kopasus. Jadi hati-hati terhadap peluru nyasar, bisa-bisa si Bos nangis kalau
kamu mati la ..." Kalimatnya terhenti. Aku tidak bertanya lebih jauh
karena aku kaget ternyata lahan luas ini adalah tempat latihan kopasus.
"Serius!?"
"Ya," sahut Bombom.
"Jadi kenapa harus parkir
di sini?"
"Oh kita akan parkir di
mesjid. Semacam pesantren gitu, tapi nggak terlalu besar. Sekarang si Bos
sedang ngecek apakah ada orang di sana atau tidak."
Kami semua menunggu sementara
Bang Zaki pergi. 5 menit kemudian Bang Zaki mengacungkan jempolnya. "Tapi
gerbangnya ditutup. Hmm kita angkat saja motornya," sahutnya.
"Gila! Gimana kalau kena
marah?" sahutku. "Kita masuknya ilegal?"
Bang Zaki berbisik di
telingaku. "Sudah deh nurut aja, jalang."
Aku memandang Bang Zaki dengan
tatapan nista. "Heh, Bang. Aku bukan jalang ya," kataku.
"Terus apa namanya kalau
bukan jalang? Pake acara ngedeketin si
Feri segala."
"Lho hak dong. Kan biar
aku cepat move
on-nya."
Bang Zaki mengibaskan tangan
tidak peduli. "Jalang tetap jalang. Kalau kamu nggak tahu artinya ...
jalang itu lonte!"
Bang Zaki menyebalkan hari ini!
Dia kenapa sih? Oh aku tahu, mungkin karena Bang Zaki sedang datang bulan.
Sial! Harusnya dia jadi mood booster, bukan mood
broker! Atau ... ah benar.
Akunya yang terlalu sensi. Kalimat seperti itu seharusnya wajar diucapkan.
Bang Zaki menghampiri Keke
kemudian tertawa bersamanya. Sial! Aku merasa gak rela. Aku ingin Bang Zaki
yang dulu, Bang Zaki yang selalu memprioritaskan diriku. Huhuhuhu. Sungguh aku
nyesel deh. Kenapa aku gak milih laki kayak dia sih? Udah ganteng, baik, tapi
nggak deh! Sifatnya udah menyebalkan.
"Woi ayo kumpul!"
seru Bang Zaki. Kami semua berkumpul membentuk deret melingkar. "Nah
sebentar lagi kita akan pergi. Sebelum itu, ayo kita berdoa semoga kita semua
diberi keselamatan baik perjalanan menuju puncak atau setelah kembali nanti.
Berdoa dimulai." Ketika mengucapkan kalimat itu, mata Bang Zaki menatapku
cukup lama. Tatapan itu sulit kuartikan, yang jelas, kok aku merasa takut?
"Ini pertama kalian naik
ke gunung?" tanyaku ke Feri. Si jangkung ini menoleh kemudian menggeleng.
"Sudah beberapa kali ke
gunung Putri, tapi baru kali ini kita mau ke gunung yang lebih tinggi dengan
medan yang cukup ekstrem." Aku manggut-manggut. "Malahan si Bos ada
niatan buat naik gunung Semeru dan Bromo. Sayangnya, kami semua gak berani.
Terlalu jauh, ditambah karena kebanyakan pekerjaan kami dagang dan burung tani,
jadi gak nentu liburnya."
Hmmm aku baru tahu kalau
ternyata Bang Zaki maniak gunung.
"Nah ayo kita pergi.
Perempuan di tengah, saya di depan dan kamu Feri, kamu jaga di belakang."
Dug
dug dug ...
Aku tidak pernah sesemangat
ini. Rasanya aku mulai bisa menikmati. Hanya saja yang menjadi kekhawatiranku, mendung
menggelayut manja di atas sana. Seakan jika angin bertiup, hujan itu akan
langsung turun di celah-celah langit yang terbuka.
Aku memutuskan untuk menemani
Feri. Bukan karena aku ingin berduaan dengannya, tetapi dia orangnya cukup
asik.
Awal-awal, aku masih bisa
menikmati perjalanan ini. Aku masih bisa bercanda dan tertawa. Baru ketika 30
menit berlalu, nafasku sudah mulai ngos-ngosan. Tentu saja! Aku disuruh bawa
tas besar dan kayu dua jinjing sama Bang Zaki! Hmm mereka juga bawa
barang-barang sih. Tapi kan tidak terlalu berat.
"Jadi, Fer. Boleh minta
minum gak? Air punyaku ada di dalam tas, susah lagi kalau musti aku buka
sekarang."
Feri mengambil air mineral di
tas luarnya kemudian membukakan tutup botolnya. "Kamu lihat ke atas
saja," kata Feri. Aku tak mengerti. "Tangan kamu penuh, biar saya
saja." Oh sekarang aku mengerti. Aku menengadah ke atas kemudian membuka
mulut. Detik berikutnya Feri menumpahkan air mineral ke mulutku sedikit demi
sedikit. Romantis sekali, bukan? Haha.
"FER CEPAT! KAMU KETINGGALAN
JAUH!" teriak Bang Zaki membahana.
Aku melihat Bang Zaki menatapku
kemudian dia berpaling lagi sambil menggeleng. "Dia kenapa sih?
Akhir-akhir ini kok sering marah?"
"Masih kuat?" Sial.
Dia malah menanyakan keadaanku.
"Masih, Fer. Kalau nggak
kuat gendong sama kamu aja haha."
"Gila saya juga penuh
kali. Sudah yuk, kalau si Bos malah hutan ini bisa jadi lautan darah
haha."
"Haha mana bisa."
10 menit berlalu. Kami semua
istirahat di tanah luas dekat dengan pohon kayu putih. Bang Zaki menghampiriku.
"Gimana? Ada masalah nggak?" Huh, sok baik!
"Aku baik-baik aja, Bang.
Cuma ini jariku gak tahu kenapa tiba-tiba berdarah. Tapi udah men—"
"Mana?"
Bang Zaki langsung memeriksa
jariku. Dia membersihkan darah di jariku dengan kain yang ada di sakunya
kemudian tanpa kuduga Bang Zaki langsung mengulum jariku. Rasanya kasar, lembab
dan hangat. Aku bisa merasakan permukaan lidah Bang Zaki. "Gila kamu,
Bang!"
Bang Zaki memandangku.
"Kenapa?"
"Gimana kalau ada yang
lihat!?"
"Saya hanya mengobati. Air
liur bisa membunuh bakteri dan menyembuhkan luka dengan cepat." Bang Zaki
pun pergi ke depan. Aku mengejarnya.
"Maaf, Bang. Aku nggak
bermaksud ...," ucapku.
"Tidak masalah. Yuk
berangkat lagi!"
Kami semua berdiri, lalu mulai
berjalan penuh semangat. Aku kembali ke belakang, menemani Feri yang kini
sedang kesusahan menyalakan rokok. Dasar. Disaat seperti ini bisa-bisa dia
merokok. Padahal kalau mau, aku akan dengan senang hati memberikan 'rokokku'
padanya.
"Shit! Tanjakannya cukup curam,"
desis Feri.
"Gila! Mana jalannya licin
lagi," kataku.
"Hati-hati barudak!"
seru Bang Zaki yang artinya hati-hati kawan-kawan!
Baru saja Bang Zaki mengucapkan
itu, ketika aku naik, aku sudah terjatuh ke bawah karena licin. Untungnya
mereka tidak melihat karena sebisa mungkin aku tidak teriak. Hanya saja Feri
melihatnya dan dia langsung turun untuk membantuku.
"Tangan kamu berdasar,
Theo. Duh pasti kena ranting. Masih kuat jalan?"
"Iya masih kuat kok.
Tolong jangan kasih tahu mereka ya. Aku gak mau jadi penghambat."
"Tapi—"
"Aku mohon, Fer. Aku masih
kuat." Padahal nyatanya, anjrit anjrit anjrit! Kakiku perih, mungkin keseleo, dan
pundakku sedikit ngilu. Jari jemariku mencengkram tali yang mengikat kayu,
bahkan rasanya aku ingin meninju awan saking sakitnya. Anehnya, di saat seperti
ini aku malah bisa naik ke atas dan tidak terjatuh. Argh!
"Mereka sudah nggak
kekihatan," lirihku.
"Iya karena jalan di
gunung kan biasanya kayak labirin. Dibatasi pohon dan tumbuhan yang menghalangi
pemandangan. Jarak 10 meter saja mereka bisa langsung menghilang."
"Kalau gitu kamu duluan
saja deh."
"Haha ucapan macam apa
itu? Yang ada saya dibunuh sama si Zaki."
"FERI KAMU JANGAN
LAMBAT!"
"Tuh kan? Dia udah
teriak-teriak," ucap Feri sambil tertawa.
"Baiklah." Kami
berdua pun berjalan sedikit cepat, mencoba menyusul Bang Zaki dan
teman-temannya. Sayangnya kami tidak menemukan mereka. Mungkin karena jalannya
berkelok-kelok, ditambah dengan keadaanku saat ini.
"Argh!" Aku meringgis
ketika kakiku tak sengaja terbentur kayu tumbang. Sial sial sial! Aku menaruh
kayu dan tenda di bawah kemudian meninju angin sampai aku merasa puas.
"Apa yang kamu lakukan?
Hahahaha."
"Eh? Haha jangan lihat.
Aku sedang kesal."
"Dengan meninju
angin?"
"Iya."
"Hahahaha kamu mengingatkan
saya pada seseorang Theo. Oh iya, muka kalian juga mirip," ucapnya.
"Tidak hanya mukanya, nama kalian juga mirip.
"Oh ya? Nama dia Theo
juga?"
"Ya, dia mantan geng kita,
hanya saja dia suday nggak a—"
"FERI! DALAM 5 MENIT KAMU
NGGAK KE SINI, AKU BANTING KAMU!" teriak Bang Zaki kencang. Gaung? Sial!
Itu berarti jarak kami dan Bang Zaki lumayan jauh!
"Sepertinya kita harus
cepat."
"Kamu benar."
Kami berjalan—nyaris
berlari—mengikuti jalan setapak. Kakiku melangkah takik demi takik, belokan
demi belokan, hingga di belokan itu akhirnya jalan lurus. Ternyata mereka
sedang duduk di tanah sedikit terbuka sambil melihat ke arah kami. Sebisa
mungkin aku berjalan normal, dan menyembunyikan langkah pincangku. Kukira
aktingku berhasil. Nahasnya, ketika aku akan berteriak menyapa mereka, Bang
Zaki langsung berdiri kemudian melesat pergi ke arahku. Aku kebingungan.
Akhirnya aku berhenti sambil memandangnya yang tengah berlari.
"Bang kamu ke—"
"SUDAH SAYA BILANG! KALAU KAMU
KENAPA-KENAPA BILANG!" Aku tak pernah melihat Bang Zaki semarah ini. Aku
takut. Bahuku gemetar. Tanpa sadar, teman-temanku yang lain sudag
mengerubungiku. "SIMPAN!" serunya sambil menunjuk tas, kayu bakar dan
tenda.
Bang Zaki menaikan celana training-ku,
membuat mereka—termasuk aku—terkejut ketika melihat lebam biru dengan darah
yang sudah mengering. Hal itu membiat tatapan Bang Zaki semakin ganas. Dia
menggeram lalu menatap Feri yang sedang garuk-garuk kepala. "FER APA
MAKSUDNYA INI!?"
"Jangan salah dia, Bang.
Aku yang memerintahkan Feri buat—"
"Kamu diam saja,
Theo!"
Bang Zaki marah! Ya Tuhan ya
Tuhan ya Tuhan. Aku takut aku takut aku takut. Gimana ini? Rasanya aku ingin
menangis.
"Errrrrr ... maaf, Bos.
Saya—"
"Saya apa!? Kamu sengaja
hah!? Apa karena dia baru di sini!? Bedebah!" Aku bisa melihat semua orang
di sini ketakutan. Argh! Rasanya aku ingin menangis, tapi aku malu. Harga
diriku mau ditaruh di mana?
"Maaf, Bang," ucapku
dengan nada gemetar. "Maaf sudah jadi penghambat—"
"APA!? KAMU BILANG APA!?"
Bombom langsung menghampiriku.
"Hush jangan bilang gitu. Bisa-bisa dia semakin marah," bisik Bombom.
"Penghambat."
"Theo! Jangan bilang
gitu!" Bombom mengguncang-guncangkan bahuku.
"UCAPKAN SEKALI LAGI, KAMU
BILANG APA!?"
Aku ketakutan. Serius. Mata Bang
Zaki tajam menatapku. Lebay nggak sih kalau aku ingin pingsan saja?
"Sudah Ki, daripada
mempermasalahkan itu, lebih baik kita obati saja dia," ucap Keke. Dia
tersenyum padaku kemudian memapahku ke arena luas tadi.
Arrrghhhhh
Keke, aku akan mentraktir kamu!!!
Aku gak mau bertemu Bang Zaki!
Apa-apaan dia itu? Marahnya lebih menakutkan daripada setan!
Di sana, aku disuruh duduk
kemudian minum air mineral. Mereka semua masih mengerubungiku, termasuk Bang
Zaki. Kucoba untuk menatap matanya. Sial. Aku tak kuasa. "Arrghh!"
erangku ketika Keke membersihkan luka di tanganku dengan air.
"ARGHHH!" teriakku ketika Keke meneteskan betadine cukup banyak.
"Lukanya cukup
dalam," ucapnya.
"Anjrit," balasku.
"Bakal ninggalin bekas gak?"
"Lho? Kok kamu malah
mengkhawatirkan hal itu? Kamu nggak takut kamu akan mati?"
"Lho!? Jadi luka ini bisa
membuatku mati!?"
Sontak mereka semua tertawa,
tetapi tidak dengan Bang Zaki.
"Hahahahaha kamu ini lucu,
Theo. Sudah ah sekarang tinggal kaki."
"Hmmm bisa diskip?"
"Kenapa?"
Aku malu menjawab perih jadi
aku tidak menjawab. Lagi, tanpa kuduga Bang Zaki menumpahkan air mineral di
kakiku kemudian dia pegang kakiku kuat. Sontak aku berontak. "Bang, Bang,
kamu mau apa?"
"Diam!"
"Bom tolong! Bom!"
Tangan Bang Zaki semakin kuat mencengkram kakiku. "BANG ZAKI JANGAN! FER!
TOLONG AKU, SIAPAPUN, BANG HENTIKAN," racauku takut. Mereka semua semakin
tertawa terbahak-bahak. "BANG ZAKI HENTI—AAAARRGGGGHHHHH!" teriakku
membelah angkasa. Bahkan Bang Zaki sempat menutup telinganya.
"Sakit?"
"Gila sakit! Mending aku
dihantam balok lagi daripada ..." Aku tak melanjutkan kalimatku ketika
tatapan tajam itu muncul lagi. Hasilnya, syukurlah tidak terlalu perih. Tinggal
rasa nyeri yang diakibatkan lebam biru di kakiku, selebihnya aku baik-baik saja.
"Yuk kita berangkat, aku
sudah tidak kenapa-kenapa."
"Ayo kita lanjut, takut
keburu hujan," ucap Bang Zaki. Dia memindahkan tasnya jadi depan kemudian
memasukkan 10 botol air mineral ke dalam tas. "Sekarang ... kamu
naik."
"He? Maksudnya?"
"Cepat naik!"
"Serius? Nggak ah aku
masih kuat."
Bombom lagi-lagi berlari ke
arahku. "Cepat naik Theo, atau dia akan marah lagi."
"Tapi kan ..."
"Ayo buruan. Tuh matanya
udah mulai mau keluar."
"NAIK!"
"I-iya." Aku pun
digendong Bang Zaki. Sebenarnya aku merasa malu, tapi karena tidak ada yang
mentertawakan kami, akhirnya aku bisa merasa lega.
"Ayo kita pergi,"
kata Bang Zaki.
Bombom, Feri dan Toni
menghampiri kami. "Tasnya biar kami saja yang bawa."
"Iya bener, Bos. Saya
yakin Bos kuat, tapi buat berjaga-jaga saja. Jalanan kan licin, kalau bos
terluka, nggak ada yang sanggup buat gendong Bos."
"HAHAHAHAHAHA." Kali
ini aku yang tertawa. Hmmm ... hanya aku.
"Bener Bos."
Jadinya tas Bang Zaki diambil
Bombom, tenda diambil Feri, dan kayu bakar yang dipegang olehku diambil Toni.
"Yo yo yo kita
lanjut."
Bang Zaki memilih ada di urutan
paling belakang. Meskipun tadi ketakutan, entah kenapa sekarang aku tersenyum.
Betapa baiknya Bang Zaki ini. Ditambah rasanya aku betah ada di gendongannya.
Bagaimana tidak? Bang Zaki memakai kaos sangsang, semacam
kaus tipis tak berlengan, topi hitam, celana tentara pendek selutut, dan jaket
yang dia sampirkan di pinggang. Pakaian yang dia kenakan membuatnya lebih
tampan 1000 kali lipat! Serius lho. Wajahnya menurutku terlalu sempurna. Lalu
sekarang aku ada di gendongannya? Dengan tangan dan mata leluasa menjajahi
punggung lebar penuh ototnya?
"Bang," ucapku.
"Hmmm."
"Maaf."
"Iya, jangan diulangi
lagi. Kalau ada masalah bilang saja."
"Iya, Bang."
Kami mulai berjalan. Lagi ...
lagi ... dan selalu lagi ... semesta sepertinya tahu bahwa aku sangat bahagia
detik ini.
"Theo."
"Ya?"
"Lupakan."
"Tubuh kamu bau,
Bang," kataku. "Tapi aku menyukainya. Bau laki-laki hehe."
"Benarkah?"
"Kok bau tubuh kamu kayak
parfum, Bang?"
"Cium saja kalau kamu
menyukainya."
DUG.
Hi
BalasHapusHi juga
Hapustheo yang sekarang itu, sama dengan theo yang sering dibicarakan sama reno, enok, dan zaki bukan ?
BalasHapusIni cuman sampe bab 12 saja thor..? Apakah tidak ada lanjutannya lagi
BalasHapus.?