Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Insiden #3

Aku marah sekali. Aku marah sekali. Aku marah sekali.
Apa maksudnya Reno berperilaku seperti itu? Apakah karena dia bodoh tidak menyadari penyimpangan perasaanku? Jika iya, aku juga ikutan bodoh karena menyukai pria bodoh macam dia! Dasar. Dan sekarang dia memelukku dari belakang? Erat? Kuat? Apa maksudnya! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada di pikirannya.
Semakin lama aku semakin tak bisa mengendalikan perasaanku. Kusingkirkan tangan Reno di perutku, kemudian ku simpan di sisi tubuhnya. Dia memelukku kembali. Kusingkirkan kembali dan dia memelukku kembali hingga akhirnya aku membiarkan tangannya melingkar di tubuhku setelah dia berkata, "Saya minta maaf. Beri saya waktu, tapi saya mohon kamu jangan dekat-dekat sama si Zaki. Dia akan membawa pengaruh buruk buat kamu."
Pengaruh buruk?
Jika dipikirkan kembali, kurasa ucapan Reno benar. Sisi kehidupan Bang Zaki lekat dengan kehidupan malam dan gengster. Jika aku terus-terusan ada di dekatnya, sudah pasti aku akan ikut terbawa. Tetapi hal yang membuatku ragu, kenapa aku malah nyaman dan aman setiap ada di sisi Bang Zaki? Jika pun aku terluka, entah kenapa aku berpikiran tidak akan menyalahkannya.
"Hmm."
"Ayo kita tidur." Reno memelukku sudah pasti dan aku merasakan embus nafasnya di tengkukku. "Beri saya waktu, saya mohon. Setelah saya siap, kamu bebas melakukan apapun, asalkan jangan kamu dekati si Zaki."
Besoknya, aku terbangun jam 5 subuh. Ketika aku bangun, aku langsung pergi ke rumah pohon untuk mengambil jaket yang kemarin lupa kubawa. Ketika sampai di atas, aku melihat gitar tergeletak di atas kasur. Aku berjalan pelan untuk menyentuh gitar itu dan sejurus kemudian aku merasa sedih. Ucapan Reno kemarin membuatku memutuskan untuk tidak akan mendekati Bang Zaki lagi. Bukan karena dia menjadi pengaruh buruk buatku, tetapi lebih kepada aku masih berharap hati pada Reno. Cinta memang gila. Segila aku yang jelas-jelas membuang yang pasti dan mengejar-ngejar yang masih abu-abu.
Aku menyadari pilihanku ini terburu-buru. Aku masih belum memikirkan status Enok dan Reno yang akan menikah, dan juga aku belum memikirkan betapa teganya aku menjerumuskan Reno ke lembah hitam tak bertepi. Seharusnya aku mencegah Reno untuk terjun ke dunia yang telah kumasuki. Seharusnya begitu. Sial sekali, rasanya aku tak mampu.
Orang-orang boleh memandangku bobrok dan tak tahu malu. Mereka yang mencaciku, aku tak akan pernah menyalahkan. Bagaimanapun, pembenaran yang kuutarakan esensinya tetap salah dan akan selalu salah. Aku tak mau menjadi orang yang suka membenarkan segala hal. Satu-satu hal yang membuatku seperti ini adalah : aku hanya ingin menjalani hidup seperti yang kuingini. Dan aku pasti akan menyesalinya entah di waktu kapan.
Jreng.
Aku belum bisa menguasi alat musik ini. Dasar Bang Zaki, seharusnya dia membelikanku panduan buku chord-nya. Ah? Tidak, kurasa aku harus mengembalikan gitar ini. Aku akan memberi Reno waktu untuk berpikir.
"Pagi ini lari yuk?" Kepalaku menengadah. Reno dengan wajah ngantuknya menatapku sambil mengucek mata.
"Boleh."
"Rutenya jangan ke sana terus ya," katanya. Ke sana? Oh pasti ke rumah kayu itu. "Kita keliling kota terus istirahat di gunung batu. Kamu belum pernah ke sana, kan?" Aku mengangguk.
"Kalau begitu aku siap-siap dulu." Aku bangkit kemudian bergegas pergi. "Hari ini nggak ada kerjaan di kebun?"
Reno menggeleng. "Nggak, Ayah kamu narik satu orang lagi buat ngurus kebun."
"Siapa?"
"Pak Haryanto."
"Baiklah."
Kadang aku merasa aneh sama Ayah. Dapat uang dari mana Ayah sampai bisa menarik satu orang lagi buat bekerja di kebun kecilnya. Lagian, aku sempat mendengar perbincangan Reno sama Ayah bahwa dia akan membeli 1 ekor sapi. Apakah bisnis Ayah dan Reno di Subang mendapatkan untung yang sangat banyak? Mungkinkah Ayah dan Reno jadi gigolo!? Shit! Aku tak berani membayangkannya. Apalagi jika mereka berdua jadi gigolo khusus melayani Om-om mesum yang uangnya setebel perutnya. Demi apapun aku nggak rela. Renoku dimiliki oleh Om-om mesum yang—memangnya aku nggak mesum?
Jam 5 subuh kami mulai berlari. Aku melihat para pedagang mulai membuka warungnya, ada juga yang sudah beres, dan ketika mata kami bersitatap, senyum mengembang mereka selalu terlontar. Kota yang sangat ramah.
Di perempatan, kami belok ke kanan, kemudian lurus dan setelahnya belok ke kiri. Kali ini Reno meminjam sepatu dan bajuku. Nampaknya sedikit kekecilan, tetapi justru menjadi pemandangan bagus untukku.
Setiap kami berjalan, kami selalu menemukan keretek dan kusirnya. Alat transportasi masyarakat satu ini sangat digemari, selain karena harganya murah, suasana kota yang dikelilingi oleh gunung ini membuat mata betah untuk memandang.
"Sudah capek?" tanya Reno. Aku menggeleng padahal posisiku ada di belakang dia. "Larinya rada ceperan ya, Rey." Aku mengangguk.
Reno berlari cepat menembus kabut pagi. Kabut itu menembus baju putihku dan membuat bulir-bulir kecil berwarna bening. Huh, aku tak boleh kalah. Aku sering lari dibandingkan dengan dia. Nahasnya, stamina Reno sangat kuat sekali padahal kami sudah ada di pasar yang jaraknya dari rumah kisaran 2-3 km.
10 menit kami berlari, aku menyerah. Ditambah di depan sana ada tanjakan curam. Tidak hanya diriku, kulihat nafas Reno ngos-ngosan namun bedanya dia masih kuat berlari sementara diriku rasanya akan pingsan. "Kok stamina kamu—hoh hoh hoh." Hmmm. Bahkan untuk berbicara pun rasanya sulit.
"Yuk ah lari lagi." Sial! Reno pasti sengaja! Awas saja nanti, akan kucium dia sampai ngos-ngosan sepertiku. Eh?
Reno terus berlari menembus kabut. Rupanya kabut masih betah berada di bawah. 1 jam pun berlalu dan akuntak tahu di mana rimbanya Reno. Dia telah meninggalkanku sendirian di jalan sunyi ini. Untungnya bagian atas kabut sudah menghilang jadi aku bisa melihat gunung batu yang akan menjadi tempat tujuan kami. Selama aku punya kaki dan mulut, aku pasti tidak akan tersesat. Aku akan bertanya pada orang yang kutemui di jalan.
5 menit ...
Aku masih belum menemukan seseorang.
10 menit ...
Aku bertemu ... seekor kucing.
15 menit ...
Kabut perlahan mulai menghilang. Aku bisa melihat kebun dan pepohonan di setiap kiri kanan lajur.
20 menit ...
Dadaku mulai bergemuruh menahan amarah.
25 menit ...
Akhirnya aku menemukan seseorang naik mo—fuck! Motor itu kencang sekali sehingga aku tak sempat menghentikannya.
1 jam ...
Aku mulai ketakutan. Fix. Aku tersesat. Bagaimana ini? Daripada semakin jauh, kuputuskan untuk duduk selonjoran di sisi jalan berharap Reno akan menemukanku. 5 menit aku menunggu—bingo! Aku bertemu Pak Kupu-kupu sedang terbang menghampiriku. Sedang Bu Kupu-kupu terbang mencium pipiku. Dasar Ibu-ibu mesum! Baiklah, tersesat sepertinya membuatku jadi gila jadi gila jadi gila.
Baiklah, aku seperti orang gila saja diam di sisi jalan. Kuputuskan untuk berlari kembali, mengikuti jalan yang perlahan menutupi gunung batu yang tadi kulihat hingga akhirnya aku bertemu juga dengan seseorang dan orang itu adalah ... what the hell! Dia adalah orang yang menabrakku waktu itu ketika aku ada di Jakarta.
Ketika mata kami berdua bersitatap, langsung kutunjukan tatapan permusuhan diiringi dengusan pelan. Bukannya memandangku jengkel, orang itu malah tersenyum lebar sambil menjabat tanganku.
"Dunia memang sempit ya," katanya. Aku mendengus. "Oh maaf, saya Richard, anda sendiri?"
"Aku Grey."
Pria ini masih memakai kacamata hitamnya. Demi apapun, seharusnya dia tak perlu malu memperlihatkan wajah anehnya. Dan juga apa-apaan pakaiannya ini. Blazer abu-abu dan kameja biru nevy melekat sempurna di tubuhnya yang tegap.
"Baiklah, Grey. Saya sedang mencari tanah di daerah sini untuk proyek pembangunan restoran, jadi, bisakah kamu membantu saya mencari tanahnya?" Aku diam mematung. "Tentu saja kamu akan mendapatkan komisi yang sangat besar. Bagaimana?"
"Komisi?" Entah kenapa aku melupakan masalah tabrak-menabrak yang dia lakukan dan tertarik terhadap komisi yang akan dia berikan. Aku butuh uang untuk membeli motor. Tidak mungkin aku meminta uang pada Ayah. Selain akan memberatkannya—meskipun sekarang aku merasa skeptis—aku takut Ayah akan menolak. Kalau aku punya uang sendiri kan aku bebas membelikan uangku untuk apa saja.
Sial. Aku malu tapi aku memang ingin membeli motor. Jadi kuiyakan ajakannya dan tentu saja dengan ekspresi datar. "Bagus, ada nomor telepon?" Aku menggeleng.
"Aku nggak punya telepon genggam."
"Serius?"
"Ya."
"Kalau begitu ... tunggu sebentar." Aku melihat Richard pergi ke mobilnya. "Saya punya telepon genggam tiga. Pakai saja." Alisku terangkat kemudian menggeleng. Tanpa kuduga, Richard melempar telepon itu padaku, membuatku mau tak mau harus menangkapnya.
"Bisakah kau membuka kacamata itu?" tanyaku kemudian.
"Kenapa?"
"Aku ingin melihat wajahmu. Tak adil rasanya jika kamu mengenal seluruh wajahku sedangkan aku hanya sebagian saja."
"Oh kamu akan melihatnya. Sampai jumpa, Grey. Nanti akan saya telepon."
Lihat? Aku memang tidak bisa benar-benar marah pada seseorang. Entah kelemahan atau kelebihan, semoga saja tidak akan merugikanku.
1 jam telah berlalu. Kini aku merasa lapar. Mungkin aku harus kembali. Di tanjakan sebelah kiri, aku melihat Reno celingukan seakan sedang mencari sesuatu. Dia berlari dari satu titik ke titik lain, hingga akhirnya berhenti sambil memegang dadanya. Dari sini aku memperhatikan Reno sambil tersenyum. Sialnya Reno malah melihatku, membuatku sontak merenggut.
Reno berlari sembari matanya menyalang tajam. Aku diam membatu menunggu Reno datang. Kukira, dia akan marah tetapi ternyata tidak. Dia langsung memelukku kuat dan merapalkan kalimat soal keadaanku.
"Bau asem," kataku ketika membaui tubuhnya. Dia masih tidak melepaskan pelukannya, padahal seharusnya Reno tak perlu berlebihan.
"Saya takut kamu kenapa-kenapa. Area sini memang jarang ada penduduk, saya cuma takut kamu diculik, wajah kamu kan kalau dijual bakal laku." Aku meninju bahunya. Apa katanya? Yang benar saja!
"Gunungnya sebelah mana?" Reno menunjuk jalan sempit yang terhalang pepohonan yang rimbun. "Aku mau ke sana," kataku. Reno mengangguk lalu melepaskan pelukannya.
Sebenarnya ... ucapanku tadi adalah pengalihan suasana. Aku takut hilang kendali lagi kalau Reno memelukku erat di mana kedekatan tubuh kami sangatlah erat dan hanya terhalang oleh baju saja. Aku tak mampu melihat Reno memandang takut diriku. Sungguh, rasanya sangat menyakitkan sekali.
Setelah aku melewati jalan sempit ini, aku melihat gunung batu dengan hijaunya terpancang kuat di dataran ini. Gunung yang sangat indah. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi aku bisa merasakan betapa sejuknya tempat ini.
Aku ingin segera naik ke sana   

Aku ingin segera naik ke sana. Tanpa pikir panjang, aku berlari menyusuri jalan, mencoba mencari rute dan akhirnya aku menemukan rute untuk menuju ke puncak. Reno berteriak memanggilku menyerukan untuk menunggunya. Aku tak peduli. Yang aku inginkan adalah segera sampai di atas dan ketika kakiku menginjak di atas punggung gunung, aku terkesiap. Di sini aku bisa melihat kota kecil di bagian Bandung ini tanpa sekat.
  Di sini aku bisa melihat kota kecil di bagian Bandung ini tanpa sekat
   


Reno segera menyusulku. Dia ikut terpana melihat pemandangan alam yang begitu indah ini. Semua gunung yang ada di sini membentuk deret melingkar dan kota Lembang ada di tengahnya.
"Indah ya," kata Reno.
"Sangat indah."
Aku merasa Reno sedang menatapku dan kubiarkan saja dia begitu. Perlahan kaki Reno beringsut mendekatiku kemudian menempelkan lengannya dengan lenganku. "Abi teh nyaah pisan kan kamu, Rey." Aku terhenyak.
(Saya sayang banget sama kamu, Rey.)
"Hahaha maenya?" ucapku ikut menggunakan bahasa Sunda. Jantungku mulai berdetak dengan cepat.
(Haha masa?)
"Sumuhun. Nyaah pisan. Abi teu terang iraha perasaan ieu nyangkem. Nu jelas mah datang ujug-ujug, teu disangka-sangka, jeung abi teh bingung kumaha ngajalankeunna. Abi terang Rey oge gaduh perasaan nu sami ka abi. Abi terang ..."
(Iya. Sayang banget. Saya nggak tahu kapam perasaan ini masuk. Yang jelas datang tiba-tiba, nggak disangka-sangka, dan saya bingung harus gimana menjalankannya. Saya tahu Rey juga punya perasaan yang sama ke saua. Saya tahu ...)
Bla bla bla!
Ini terlalu tiba-tiba. Kenapa Reno berucap seperti itu? Aku tak lagi mendengar kalimatnya, aku terlalu fokus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Dasar cowok aneh! Kemarin-kemarin dia menghindar, kemudian menyuruhku untuk menjauhi Bang Zaki dan menyuruhku untuk memberinya waktu. Sekarang? Dia meluapkan semua perasaannya? Haruskah aku senang? Tentu saja aku senang. Tetapi kenapa jantungku tak bisa berdetak dengan normal.
" ... abi belum siap. Kumaha? Sagala kahoyong Rey ku abi bakal dilakukeun, asal ulah menta nukamari."
( ... saya belum siap. Gimana? Semua permintaan Rey sama saya bakal dilakukan asalkan jangan minta kayak kemarin.)
"Eh?" Sial. Aku tak mendengar semua kalimatnya. Apakah Reno menyatakan cintanya padaku?
"Tapi kalau sebatas ini," Reno mendekatkan bibirnya ke bibirku. "saya bisa melakukannya."
***
Aku merasa ada yang mengguncangkan tubuhku. "Reno?" kataku serak.
"Si jalang itu tak ada di sini."
"What the hell Bang Zaki? Kenapa ada di sini?" Sontak aku bangkit dan menyalakan lampu.
"Kamu sudah janji akan bertemu saya hari ini. Kenapa tidak ada?" Aku melihat tatapan tajam Bang Zaki begitu menghunus. "Oh pasti jalan-jalan sama si jalang itu." Tebakannya benar. Aku takut membohongi Bang Zaki jadi aku hanya diam saja. "Ke mana kalian pergi?"
"Gunung batu, Bang." Bang Zaki tertawa. "Kenapa?"
"Tidak. Niatnya saya mau mengajak kamu ke sana malam ini. Tapi rupanya si jalang itu ambil start duluan." Bang Zaki menyulut rokok di tangannya. "Tapi tak apa, ayo kita pergi sekarang." Awalnya aku ingin menolak, tetapi ketika melihat tatapan tajamnya aku tak berani.
Oh kalau aku beralasan kurasa tidak akan terjadi apa-apa. "Siang saja sepi apalagi malam, Bang. Jadi besok saja, lagian aku takut kalau malam-malam begini."
"Kata siapa?"
"Kataku."
Bang Zaki berjalan, bermaksud mengambil jaketku kemudian dia lempar padaku. "Kita lihat sekarang. Kalau sepi kita pulang lagi."
Bagaimana ini? Aku sudah janji tidak akan mendekati Bang Zaki mulai sekarang. Jika Reno mengetahui hal semacam ini, sudah pasti dia akan marah. Sial. Untuk kali ini saja kurasa tidaklah masalah.
Aku berjalan mengendap-ngendap menuju motor Bang Zaki. Setelah di sana, kami langsung pergi. Dan sesampainya di sana, what the fuck. Banyak sekali orang-orang di sini.
 Untuk pertama kalinya, aku melihat Bang Zaki tersenyum lebar sembari melingkarkan tangannya di leherku
   


Untuk pertama kalinya, aku melihat Bang Zaki tersenyum lebar sembari melingkarkan tangannya di leherku. Perasaan bersalah perlaham menyergap. Kurasa, aku harus mengakhiri semuanya di sini sebelum terlambat.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -