Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Insiden #4

PLUK
Aku melihat dompet Bang Zaki terjatuh.
Kuambil dompet hitamnya dengan perasaan gugup. Ternyata dompet itu terbuka, membuatku urung untuk langsung memberikannya kepada Bang Zaki. Di dalam dompet itu, aku melihat foto Bang Zaki sedang mengacak-ngacak rambutku. Ah, aku ingat. Foto ini adalah foto ketika Bang Zaki mengajakku kemping di gunung Putri. Senyum bang Zaki begitu mengembang dan aku sedang melihatnya dengan tampang jengkel.
Bagaimana ini?
Di saat ikatanku padanya akan kuakhiri, aku malah melihat kenyataan pahit ini. Aku tak tahu bagaimana cara memaknai hidup yang mengedepankan perasaan orang lain. Aku bukan orang altruis. Mungkin belum, karena esensinya aku masih menjalahi tahap pencarian jati diri dengan mengambil jalan cinta sebagai jembatannya. Aku tak peduli dengan perkataan orang lain yang menyebutkan jati diri itu dibentuk, bukan dicari. What? Kalau tidak ada bahannya mau membentuk apa? Intinya aku bingung. Perlakuan Bang Zaki padaku begitu ... manis? Ah, kurasa lebih dari itu.
Lalu setelah kubuka, di belakangnya ada foto kami berdua saling berangkulan. Dia mencetak semuanya dan menyimpannya sendirian di dalam dompet. Ketika Bang Zaki memanggilku, aku langsung buru-buru menutup dompetnya.
"Bang, ini dompet kamu jatuh!" seruku. Aku menghampiri Bang Zaki yang sedang menatap kota. Tangannya bersedekap, lalu aku melihat dia sigap menolong seseorang yang tersandung batu. Dia adalah pria baik. Dan pria baik tak sepantasnya mendapatkanku yang pemikirannya masih labil.
Aku menyerahkan dompet Bang Zaki. Dia menerimanya sambil mengembuskan rokok di mulutnya. "Mau menyepi di atas?" tawarnya.
Aku menggeleng. "Di sini saja, Bang."
Kami terdiam cukup lama. Bahkan jika aku tak salah hitung, Bang Zaki telah menghabiskan 5 batang rokok di sakunya. Di batang ke-6 aku melarangnya. Aku ingin dia berhenti merokok. Cara dia merokok sangat tidak sehat. Berapa bungkus dia habiskan sehari? Tetapi aku tak bisa. Yang kulakukan sedari tadi hanya diam.
"Bicara saja Theo kalau ada yang ingin kamu utarakan. Saya akan mendengar." Aku merenggut. Selama 10 menit aku tak kunjung bicara. Rasanya suaraku lenyap tertelan suara jam di tanganku.
Ketika aku memutuskan untuk bicara, ada seseorang yang memintaku untuk memotret dirinya bersama kekasihnya. Hal itu berlangsung selama 15 menit. Perempuan itu manja sekali, membuatku iri. Bukan berarti aku ingin bermanja ria pada Reno! Bukan, aku hanya iri sama status mereka.
Setelah selesai, aku kembali duduk di samping Bang Zaki. Dia sedang menyulut rokoknya namun kesusahan karena angin malam kencang sekali menerpa. "Kamu aneh hari ini. Kalau kamu mau pulang, saya antar sekarang."
"Bicaranya di atas saja deh, Bang."
Hatiku dag dig dug seperti genderang mau perang. Rasanya aku ingin mengubur diriku sekarang juga.
Kami berdua berjalan menuju atas gunung. Di sisi paling ujing ada makam yang aku sendiri tak tahu makam siapa itu. Tetapi karena rasa takutku lebih besar kepada Bang Zaki, jadi aku biasa saja ketika berada di sini meskipun aku bingung apa yang harus kutakutkan.
Sebelum aku berbicara, Bang Zaki berkata, "Gunung di kota ini membentuk deret melingkar. Tetapi jika kamu perhatikan, ada dua gunung paling besar yang saling berhadapan. Di setiap sisinya dibatasi bukit, lereng dan gunung-gunung kecil. Menurutmu, apakah kedua gunung besar itu bisa dikatakan menyatu?"
Aku menggeleng. Bang Zaki menaikkan alisnya. "Karena di sisi gunung besar itu ada gunung lagi. Mungkin bisa aku katakan menyatu kalau nggak ada gunung kecil karena bisa saja sekat itu adalah kakinya."
"Kamu benar. Mereka berdua tidak menyatu meskipun sama-sama saling mencintai." Hening. Angin menerpa rambutku.
"Apakah karena hanya ada dua gunung jadi kamu anggap mereka saling mencintai?"
Bang Zaki mengangguk. "Hanya ada dua gunung besar. Dan mereka tidak bisa bersatu, karena memang jalannya sudah begitu." Aku tak bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini, jadi aku hanya diam menyimak. "Ironi bukan? Meskipun tidak bisa bersatu, mereka diam saling memperhatikan. Tetapi kalau kamu perhatikan dengan saksama," Bang Zaki menunjuk satu gunung yang terlihat ... sedang membelakangi?
"Membelakangi?"
"Tepat!" Bang Zaki terkekeh. "Kebenaran akan terlihat jika kita mampu memilih sudut pandang mana yang akan kita lihat. Dan sudut pandang yang menurut saya benar adalah, gunung itu sedang membelakangi gunung di belakangnya. That mean, mereka tidak bersatu bukan karena mereka tidak saling mencintai, tetapi karena hanya ada satu gunung yang sedang mencintai." Bang Zaki menarikku pelan ke samping. "Kemudian jika kamu melihat lagi dari sudut pandang berbeda, kamu akan melihat tiga gunung besar, dua saling berhadapan dan satu sendirian. Menyedihkan bukan? Dia hanya bisa melihat punggung gunung yang sedang dicintainya."
"Pengibaratan yang sangat ... madness," kataku.
"No. Untungnya hanya terjadi pada gunung, tidak terjadi pada manusia. Sekarang, ayo kita pulang."
"Tu-tunggu aku belum bi--"
"Kapan-kapan saja," potongnya.
Kami pun pergi. Meninggalkan malam indah di atas gunung ini. Padahal kalau bisa, aku ingin menikmati malam ini dengan berkemah di sini. Pemandangannya sangat bagus dan sayang sekali untuk diakhiri.
Di depan gerbang, Bang Zaki memegang bahuku. Dia menatapku lekat lalu memajukan kepalanya perlahan. Dia ... mencium keningku. Jantungku rasanya tak terkendali. "Ciuman perpisahan," ucapnya sambil nyengir. "Tadi saya ketemu sama si jalang. Katanya, dia sudah memilikimu. Melihat reaksimu tadi, sepertinya ucapan si jalang itu benar. Emmmm ... oh iya ... jangan lupa bahagia, Theo."
DEG.
Kenapa dia terlihat baik-baik saja? Apakah dia tidak benar-benar mencintaiku? Mungkinkah?
Aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa melihat punggung Bang Zaki perlahan menjauh.
😥
Bagi saya sendiri, sosok Zaki begitu misterius. Serius, ketika menulisnya tak ada kerangka khusus. Mengalir begitu saja, jadi apa yang akan dilakukan Zaki saya masih belum tahu.
Berbanding terbalik dengan Reno atau Grey, saya sudah tahu di chapter berikutnya mereka akan seperti apa karena saya sudah memikirkannya. Tapi untuk Zaki? Saya nggak bisa.
Btw, part 'Insiden' akan berakhir di part selanjutnya dan akan dilanjut dengan part 'Richard.'
Menurut kalian, bagaimana si Zaki ini?

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

â–º

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -