Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Insiden #5
Kenapa dia terlihat baik-baik saja? Apakah dia tidak
benar-benar mencintaiku? Mungkinkah?
Aku tak bisa berkata-kata. Aku
hanya bisa melihat punggung Bang Zaki perlahan menjauh.
Mungkin benar. Bang Zaki tidak
benar-benar mencintaiku. Normalnya, seseorang akan merasa sedih apabila orang
yang dicintainya lebih memilih orang lain. Haruskah aku merasa lega? Sial.
Entahlah. Aku merasa ada sesuatu bergerak di dalam hatiku dan aku tak tahu apa
itu. Oh aku tahu! Pasti karena malam ini mataku ingin segera terpejam dan
berharap malam akan segera usai supaya besok aku bisa bertemu dengan Reno. Jika
kata Bang Zaki Reno sudah menemuinya dan menceritakan semuanya, sudah pasti
hanya ada satu arti : Reno mulai menerimaku.
Meskipun begitu, sudut terjauh
dalam hatiku, aku merasa tak enak pada Bang Zaki. Memilih Reno otomatis
memutuskan ikatanku dengannya—tidak tetapi juga dengan anggota geng yang lain.
Tetapi, aku sudah memutusman. Ada banyak orang yang tak bisa mengejar
cinta sejatinya dan aku tak mau seperti itu.
***
Langit mendung, mungkin air di
bawah samudra awan sana akan tertumpah ruah.
Di bangku taman ini aku melihat
para yumana berlari tertatih-tatih menuju angkutan umum. Mereka tertawa,
giginya yang hitam itu seakan menyapaku dalam diam. Ketika kutengokan kepalaku
ke kiri, ah, aku melihat Reno. Dia ikut berjalan tertatih-tatih sembari
tersenyum lebar. Senyumnya itu entah mengapa lebih sejuk dibandingkan dengan
kanopi pohon yang menaungiku saat ini.
"Pergi sekarang?" Aku
mengangguk. "Ini es krimnya," kata Reno.
Hari ini kami sedang ada di
pasar Minggu, tempat yang belum pernah aku kunjungi selama tinggal di sini.
Sejak kemarin, tepatnya ketika Reno berkata ingin memilikiku, sikap Reno
berubah drastis. Dia jadi lebih perhatian dan bersikap lebih konyol dari
biasanya. Seperti saat ini. Di dekat lapang besar ada pesulap yang sedang
beraksi, dan dengan entengnya dia berkata, "Mas Mas Mas, saya bantu
ya." Dia pun membantu pesulap itu yang sialnya malah membuat dia terkejut
karena ternyata penyusap itu sedang mengerjai dia.
Setelah puas mentertawakan
Reno, aku mengajaknya lari di lapangan TNI yang sering dipakai menjadi pasar
ahad ini dari ujung jalan ke ujung jalan. "Siapa yang sampai sana duluan,
yang kalah harus melakukan apapun permintaan pemenang," kataku. Reno
mengangguk. "Siap? Mulai!"
Aku dan Reno berlari di dalam
trek. Siapa sangka? Ternyata aku menang telak. Ternyata Reno hanya bagus di
stamina sedangkan dikecepatan dia payah sekali. Tentu saja hal itu membuatku
senang. Permintaanku kan suka aneh-aneh dan dia harus melakukan apapun yang
kuminta. Inginnya aku mengikat dia di atas ranjang, kemudian dia harus pasrah
terhadap apapun yang akan kulakukan padanya, tetapi rasanya tidak mungkin.
Fantasi itu hanya ada di dalam mimpiku saja.
"Kita duduk di atas sana
saja."
Dari atas sini, aku bisa
melihat keriapan manusia di sepanjang jalan dan trek lari. Ada yang saling
bergandengan tangan, ada yang menuntun anaknya, ada yang nangis, ada juga yang
sedang mencak-mencak. Lalu ketika kulihat awan yang terlihat mabul seperti kapuk
kasur, detik itu pula aku merasa bahagia karena di sisiku ada Reno.
Reno menyusut keringat di
dahinya. Matanya sedikit kosong, tetapi mungkin penyebabnya karena dia
kecapean. Ketika kuserukan namanya, Reno sedikit tersentak. "Iya ada apa,
Rey?"
"Kamu harus melakukan
apapun permintaanku." Aku tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Reno
mengangguk sembari menggaruk kepalanya.
"Apa permintaan
kamu?"
"Cium aku di sini,
sekarang juga." Oke, sebenarnya aku sedang bercanda. Bagaimana mungkin aku
memintanya—shit! Reno benar-benar menciumku? Ciumam
singkat, tetapi tetap saja membuat hatiku dipenuhi kupu-kupu.
Kami berdua terdiam cukup lama.
Suasana canggung ini membuatku terganggu. Maka dari itu, kuputuskan untuk
mencari topik pembicaraan. Tetapi sepertinya Reno pun sama berpikiran
sepertiku. Dia berkata, "Kenapa kamu menyukai saya, Rey?" Obrolan
yang ingin kuhindari. Aku malas membicarakan perasaan karena menurutku perasaan
manusia itu begitu kompleks, tak bisa begitu saja dicerna oleh akal sehat manusia.
"Karena ... kamu
tampan." Entah Reno puas atau tidak, lagi pula aku tak memiliko jawaban
lain.
"Itu saja?"
"Kamu itu cowok tertampan
yang pernah aku temukan, Reno. Aku juga menyukai sifat kamu." Reno
terdiam.
"Tetapi si Zaki juga
tampan," jawabnya.
"Jadi kamu mengakui Bang
Zaki tampan?" tanyaku.
"Sebenarnya nggak mau.
Tapi banyak yang bilang dia tampan, bahkan si Enok rela jadi istri keduanya
andai saja si Zaki sifatnya nggak bengal kayak sekarang." Aku menelan
ludah beberapa kali. Memang wajah Bang Zaki itu di atas rata-rata. Tetapi aku
lebih menyukai Reno. Dia itu punya kharisma seperti pria tampan khas Indonesia
sedangkan Bang Zaki lebih ke barat-baratan.
"Pokoknya aku suka kamu.
Aku ... ingin jadi suami kamu." Aku sudah gila telah berkata seperti itu,
tetapi itulah keinginan terbesarku saat ini. Bagaimana mungkin aku dan Reno
jadi suami suami?
"Tapi itu mustahil. Nggak
bakal ada yang setuju." Aku memandang Reno yang sepertinya sedang
menerawang. "Apalagi Ayah kamu. Dia pasti akan sedih melihat kita begini.
Ini nggak wajar, Rey. Ini salah." Mulutku kelu. Aku ikut menerawang ke
depan seperti Reno. "Ayah dan Ibu saya juga pasti sedih. Siapapun yang
dekat dengan kita akan merasa sedih dan ... malu." Apa katanya? Malu?
Lihat? Aku tak mau membicarakan
perasaan karena akhirnya pasti seperti ini. Aku tidak mau menjadi pria
melodrama, tetapi bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah mendengar
perkataan Reno? "Hmmm," dehamku pelan.
"Perasaanmu salah, Rey.
Tidak pada tempatnya." Perasaanmu katanya? Jadi hanya aku saja dan dia
tidak? Sontak aku bangkit kemudian berjalan turun ke bawah.
"Aku ingin ke air,"
kataku dengan pandangan kosong. Reno segera menahanku. Aku menatapnya datar
penuh kekesalan, tetapi aku tak bisa marah padanya karena apa yang dia ucapkan
benar. Dia mendorongku ke pohon, mencoba menyembunyikan tubuhku yang tidak
terlalu besar ini dari keramaian.
"Tu-tunggu. Maafkan saya,
nggak seharusnya saya bilang gitu. Maaf. Lupakan apa yang saya katakan, saya
sayang kamu Rey, maaf. Saya nggak bermaksud bilang gitu, sekarang kita jalani
saja semuanya, apa yang akan terjadi nanti kita pikirkan nanti." Aku masih
memandangnya dengan tatapan datar. Jujur saja sekarang perasaanku menjadi
buruk. "Saya nggak mau kehilangan kamu lagi, Rey. Saya nggak mau."
Kehilanganku lagi? Apa maksudnya? Oh mungkin dia merasa kehilangan ketika aku
lebih memusatkan perhatianku pada Bang Zaki. Mungkin itu. "Saya sayang
kamu, please jangan pergi lagi."
Senyumku sontak mengembang.
"Aku juga sayang kamu, Ren. Jangan pernah pergi," kataku.
Reno tersenyum. Dia mengangguk
lalu mengajakku untuk pulang ke rumah. Aku mengiyakan karena memang ada kerjaan
yang harus aku urus. Jam 3 sore aku harus bertemu dengan Richard. Reno dan Ayah
masih belum mengetahui soal bisnis yang akan kulakoni. Biarlah nanti mereka
tahu setelah aku mendapatkan uangnya. Aku akan mengejutkan Ayah bahwa aku juga
bisa menghasilkan uang tanpa harus bergantung padanya.
Tanpa sengaja, di persimpangan
dekat dengan tukang bengkel, aku bertemu Bombom dan Feri. Kulihat Bombom
memandangku dengan tatapan kecewa. "Si Bos kecelakaan motor, Theo."
Aku tersentak. "Tapi tak apa, dia baik-baik saja. Kalau kamu punya waktu
luang, datang saja ke rumah. Si Bos pasti bakal senang." Bombom pun pergi.
"Jangan dengarkan
dia," kata Reno cepat. "Pasti jatuh karena balapan liar." Aku
mengembuskan nafas panjang.
"Bisa nggak Ren kamu baik
sama Bang Zaki? Dia bukan pria jahat kok, malah dia—"
"Kamu nggak tahu apa-apa,
Rey. Kamu nggak tahu apa-apa." Huh, dia yang nggak tahu apa-apa! Aku kan
sering bertemu dengan Bang Zaki.
***
Hari ini aku bertemu Richard.
Aku mengajaknya keliling kampung menunjukan tanah yang akan dilual di kota ini.
Seperti biasa, dia selalu membawa pengawal yang pakaiannya serba hitam—termasuk
kacamata mereka. Sebenarnya aku sedikit takut. Kenapa mereka selalu memakai
kacamata hitam? Tak tahukah mereka gayanya itu membuat mereka semakin
tampan—lupakan.
"Jadi dari tadi kita
keliling kota, kamu tertarik dengan tanah yang kita jumpai pertama kali? Oh
bagus sekali," kataku kesal. "Kalau begitu, aku akan mengurus sisanya.
Kalau ada apa-apa pasti akan aku hubungi." Richard mengangguk kemudian
tersenyum aneh padaku.
"Kita makan malam
dulu."
"Tidak, aku langsung
pulang saja." Richard menggeleng. "Aku benar-benar tidak bisa,
Richard."
"Kamu harus ikut. Ayo kita
pergi, Her."
"Tapi jangan lama-lama,
aku harus menjenguk temanku. Dia jatuh dari motor."
"Teman?"
"Ya, teman."
Kami makan di alun-alun kota.
Di pinggir jalan banyak sekali pedagang kaki lima, sementara di setiap sisi
alun-alun diisi oleh muda-mudi yang lagi kasmaran. Kami makan di antara
muda-mudi itu. Sudah pasti kami jadi pusat perhatian, selain karena wajah kami
bukan wajah pribumi, jas hitam dan kacamata yang dipakai Richard begitu
mencolok. Bahkan beberapa di antara mereka meminta foto Richard yang sialnya dia
tolak secara mentah-mentah. Dasar cowok tak berperasaan! Pantas saja ketika dia
menabrakku dia lempeng-lempeng saja.
"Aku mau pipis dulu,"
kataku.
Aku buang air kecil di mesjid
alun-alun. Di sana aku melihat Ayu dan kami sempat berbincang sebentar membicarakan
keadaan masing-masing. Tatapan Ayu masih terasa lain ketika memandangku dan aku
tidak menyukainya. Maka dari itu, kuputuskan untuk segera pergi dari sini dan
menemui Richard.
"Sebaiknya kita cek
sekarang, Bos. Siapa tahu memang dia orangnya," kata Hery, asisten
Richard.
"Tunggu seben—eh sudah
datang?"
"Kalian sedang
membicarakan apa?" tanyaku.
"Ah tidak, kami sedang
membicarakan kafe yang akan kami bangun." Aku manggut-manggut. "Mau
pulang sekarang? Saya antar sampai rumah."
"Antar aku ke rumah teman saja,
Chard."
Richard mengangguk. Dia
mengantarku hanya sampai gang, selebihnya dia langsung pulang entah ke mana.
Di depan rumah Bang Zaki aku
diam membatu, ragu apakah aku harus masuk atau kembali ke rumah. Sialnya di
saat aku berpikir keras, Bombom mengejutkanku dan sepertinya aku pun
mengejutkan dia. Benerapa detik kemudian tatapan kagetnya berubah jadi
sumringah. Dia langsung menarikku ke atas dan melolong seperti anjing
kelaparan.
"Malam, Theo," kata
mereka.
"Ke mana aja kamu? Sibuk
berkebun?"
"Kalau datang kirim
jengkol atuh."
"Eh kamu bawa duit
nggak?"
"Hush nanti si Bos marah.
Jangan pinjam uang sama anggota baru."
"Mau jenguk si Bos?"
"Dia ada di kamar."
Saking banyaknya pertanyaan,
aku bingung harus menjawab yang mana. Pada akhirnya aku hanya tersenyum dan
membuat isyarat aku akan pergi ke kamar Bang Zaki terlebih dahulu.
Di sana, aku melihat perempuan
cantik sedang mengelus-ngelus kening Bang Zaki. Tatapan perempuan itu terlihat
khawatir. Mungkinkah dia pacar Bang Zaki? Sudah pasti tebakanku benar. Aku bisa
melihat tatapan sayang dari wanita cantik itu. Kalau tidak salah, aku pernah
melihat Bang Zaki membonceng wanita itu ketika aku membeli rokok dulu. Melihat
fakta ini entah kenapa membuatku senang tetapi di sisi lain membuatku sedih.
Senang karena Bang Zaki tidak akan sakit hati melihatku dengan Reno dan sedih
... entah apa penyebabnya.
Wanita cantik itu berhenti
mengelus kening Bang Zaki ketika melihatku. "Siapa kamu?"
"Aku Theo." Aku
berjalan menghampiri mereka. Bombom tidak ikut masuk denganku. "Kita
pernah bertemu dulu, tengah malam di jalan raya."
"Oh ya ya, saya ingat.
Kalau begitu salam kenal, saya Keke, Zaki banyak bercerita soal kamu. Katanya,
kamu banyak membantu dia." Dasar Bang Zaki. Sejak kapan aku sering
membantu dia? "Kamu ke sini pasti mengkhawatirkan keadaan Zaki ya?"
Aku mengangguk. "Jangan khawatir. Dia baik-baik saja, lukanya tidak parah,
sekarang dia sedang istirahat."
"Kenapa Bang Zaki bisa
jatuh dari motor?"
Keke mengembuskan nafas
panjang. Dia menatap Bang Zaki lekat kemudian menggeleng. "Entahlah. Dia
sedang sakit, tetapi dia memaksakan diri naik motor, katanya ingin pergi ke
gunung. Lukanya tidak parah karena untungnya dia sempat menginjak rem, tetapi
tetap saja saya merasa khawatir. Zaki, akhir-akhir ini dia bertingkah aneh. Dia
jadi sering pergi ke gunung, mungkin ada teman-temannya di sana."
"Ya, dia memang punya
banyak teman di gunung." Aku menatap Bang Zaki yang sedang terlelap.
"Berarti sejauh ini dia baik-baik saja?" Keke mengangguk. "Luka
jatuh dari motornya tidak serius tetapi sakitnya yang serius?" Lagi, Kekek
mengangguk. "Sudah ke rumah sakit?"
"Zaki menolak pergi ke
sana. Katanya dia akan mendingan sebentar lagi."
"Syukurlah kalau begitu.
Kukira luka luar Bang Zaki parah. Kalau begitu aku pulang ya, ada kerjaan di
rumah." Kekek mengangguk. Sebelum pergi, aku melihat Keke mengusap rambut
Bang Zaki. Ada perasaan aneh menyergap hatiku. Kurasa perasaan itu bentuk tak
enak hati karena tidak bisa ada di samping dia di saat Bang Zaki sakit.
Bagaimanapun Bang Zaki begitu baik padaku, kecuali saat dia memperkosaku.
Sebelum menutup pintu aku
tersenyum tipis. Jangan lupa bahagia, Bang. Kamu pantas
mendapatkan wanita cantik seperti dia.
Aku pulang ke rumah jalan kaki.
Di belokan pertama, entah kenapa aku merasa ada yang mengikutiku. Sialnya
ketika kubalikan badan, aku tak melihat siapapun di belakang sana. Hal itu
berlangsung selama belasan menit, hingga akhirnya di gang sempit, aku mendengar
suara tawa menggema seperti gaung. Suara itu ada di depan dan di belakang.
Kuhitung, sepertinya ada 5 orang. Orang-orang itu mulai mendekat sembari
memegang balok kayu. Fix. Aku
sedang dalam bahaya.
"Maaf, Mas, aku sedang
buru-buru."
"Eits, mau ke mana
kamu?"
"Jangan terburu-buru atuh, kan kita bisa ngopi dulu sambil
ngerokok."
"Maaf saya—"
"Hei! Jangan lari!"
Impuls aku berlari ketika
mereka membuka celah. Nahas sekali, kaki pria sialan itu sengaja dia silangkan,
membuatku tersungkur dan terjerembab ke tanah. Mereka semua tertawa keras.
Rasanya aku merasakan perih dan setelah kulihat tanganku berdarah entah
tergores apa.
"Mau apa kalian!"
seruku keras.
"Mau main," jawab
salah satu dari mereka. "Main pukul-pukulan."
Jantungku berdetak dengan
cepat, terutama ketika melihat kayu di tangan mereka berpurar-putar.
"Langsung sikat saja, Sat, keburu banyak orang yang lewat."
Mereka berempat memegang tangan
dan kakiku, membuat mataku membelalak takut. "A-apa yang akan kalian
lakukan?"
"Jawab pertanyaan saya, di
mana tempat persembunyian si Zaki!" sentaknya. Zaki? Ah, mereka pasti anak
buah si Sanga. Mendadak aku marah dan ingin memakan mereka satu-satu, sayangnya
aku terlalu takut untuk menghadapi mereka semua.
"Aku gak tahu."
"Cuih." Sial! Merela
meludahiku. "Di mana tempat persembunyian si Zaki!"
"Aku nggak tahu."
"Cuih." Dia
meludahiku lagi. Aku menatapnya berang. "Di mana tempat persenyembunyian
si Zaki!"
"Aku nggak tahu!"
BUGH!
Dia memukul perutku sedikit
keras, membuatku melenguh kesakitan. "Gede
latuk! Aing nempo sia abus ka imah si Zaki! Buru kehed bejaan aing, di mana
tempat persembunyian si Zaki!"
(Bohong
besar! Saya lihat kamu (kasar) masuk ke rumah si Zaki! Cepat beri tahu saya, di
mana tempat persembunyian si Zaki!)
"AKU NGGAK TAHU!" teriakku.
Aku tak tahu kenapa aku tidak memberi tahu mereka, yang jelas aku tak mau Bang
Zaki terlibat masalah. Jika dipikir kembali, mereka pasti sedang mencari
sesuatu dan bukan mencari Bang Zaki karena dia ada di rumahnya sekarang. Mereka
tak mungkin tak tahu itu. Yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka menanyakan
tempat persembunyian Bang Zaki? Jawabannya bukankah jelas? Mereka tahu Bang
Zaki menyembunyikan sesuatu di sana.
"Kehed
siah!"
BUGH. Pria barbar di depanku memukulku
lagi. Langkah kakiku mundur beberapa langkah, membuatku emosi dan langsung
kuambil balok kayu di tangan temannya dan kupukul dia yang sialnya meleset ke
bahunya. Melihat perlawananku, aku langsung dipukuli oleh mereka berempat. Aku
melawan, sialnya aku kalah jumlah. Aku merasakan sakit di sekukur tubuhku.
Rasanya perih dan membuatku berteriak beberapa kali.
"Bangsat!"
"An*ing!"
"Mampus sana!"
Aku tak lagi melawan. Tanganku
impulsif menutup area kepalaku namun percuma, pukulan mereka terlalu keras. Aku
merasakan cairan hangat mengalir di pelipisku. Perlahan aku merasakan pusing
dan sakit yang tak tertahankan. Tanganku mulai terkulai lemas dan meskipun aku
merasakan sakit, di sisi lain aku merasa mati rasa.
"Sudah Sat, kalau dia mati
kita akan kena masalah."
"Heh bego!" Aku
merasa mereka mengguncangkan tubuhku.
"Sial! Dia pingsan!"
"Ayo kita kabur!"
Sakit ... sakit sekali. Tetapi
tanganku tak bisa bergerak, suaraku tercekat dan rasa perih seakan merajam
semua tubuhku tanpa henti. Perlahan mataku mulai mengatup dan di dalam gelap
sana aku melihat ... Zaki?
Aku pasti akan mati.
Di dalam gelap sana pula aku
mendengar derap langkah, ranting terinjak, desau air, derak pohon ... aku tak
sadarkan diri.
Zaki zaki zaki.