Senin, 15 Januari 2018
Penolakan Zaki
Oke, ini part bonus. Sudut pandangnya bukan si Grey
tetapi si Zaki. Semoga kalian suka.
Ps. Ini si Theo masa lalu si
Zaki ya, bukan si Theo (Grey).
POV's
Zaki
1994...
"Bang, ayo kita naik ke
puncak."
"Saya masih mengantuk,
Theo."
"Pokoknya aku mau ke puncak
sekarang!"
"Kenapa harus ke
puncak?"
"Supaya aku bisa em em
sama Abang."
Aku menjitak kepala Theo
sedikit keras. Dia mengaduh kesakitan. Bukannya merasa bersalah, aku malah
menjauhkan dia dari sampingku. "Pergi sana, saya masih ngantuk."
"Dasar kebo!"
Aku mengambil bantal lalu
kebenamkan di atas wajahku. Beberapa detik kemudian aku merasakan tubuhku
terguncang.
"Argh! Besok kan bisa
Theo!"
"Tapi aku maunya sekarang.
Kalau besok aku takut si Enok menyuruhku cari rumput buat pakan sapinya si
Abah. Lagi pula kan aku ingin em em! Abang ngerti gak sih? Kalau di kamarmu
pasti nanti ketahuan lagi sama si Feri kan bisa berabe. Kemarin saja untungnya
aku keburu sembunyi."
Aku merasa ada yang meraba
pantatku. Setelah kulihat, "ARGH! KAMU LAGI NGAPAIN!?" Aku melihat Theo
dengan pandangan berang, sedikit takut.
Melihat reaksiku mata Theo
memutar satu kali. "Kamu kayak perawan yang ketahuan telanjang dan dilihat
oleh kakek-kakek mesum, Bang."
"PERGI! SAYA MAU
TIDUR!"
"NGGAK!"
"Kamu sudah satu minggu
menginap di sini, kamu nggak bosen hah?"
"NGGAK! Abangnya sih nolak
mulu."
"Sudah kubilang aku nggak
akan pernah menyetubuhi kamu, Theo. Kenapa kamu nggak pernah paham?"
"Kenapa?"
"Kenapa kamu tanya
kenapa?"
"Oh aku tahu! Pasti karena
Abang suka pantat si Reno kan!? Hayo ngaku!"
"Bukan! Pergi sekarang
atau aku masukan kamu ke gudang!" Theo memandangku tak percaya.
"Apa kamu bilang?"
jawabnya. "Sudah aku duga, kamu tidak mencintaiku, Bang." Theo
memandangku dengan tatapan bayi kucingnya. Mungkin jika aku baru mengenalnya
aku akan luluh, tetapi karena dia sering menatapku dengan tatapan itu, maaf
saja Theo, aku tak akan berpengaruh!
"Dari mana kamu
mendapatkan kesimpulan itu?"
"Kamu tidak mau
menyentuhku, Bang!"
"Kenapa kamu kayak anak
kecil? Cinta bukan hanya tentang sex, Theo.
Kamu terlalu sempit memandang cinta. Kau tahu? Itu menyebalkan." Lagi,
Theo memandangku tak percaya.
"Oke sekarang aku tahu.
Wajah kamu sempurna, banyak yang menyukaimu di kampung ini, sudah pasti sisi
logika manusia tak akan pernah mengerti persoalan kamu mencintaiku Bang karena
semua hal itu tahi. Apa yang aku punya? Titit pun sebesar cabe kayak si Reno!
Mukaku biasa-biasa saja gak kayak si Reno! Kalau begini caranya oke aku akan
pergi."
"Ya Tuhan Theo, kenapa
kamu kayak anak kecil?" tanyaku tak terima. Bagaimanapun persoalan aku
mencintainya tetaplah sama, cinta yang ingin kudekap secara utuh hati, fisik
dan semua partikel yang melekat pada dirinya.
"Aku membicarakan fakta,
Bang. Dan juga membicarakan logika."
Aku mengembuskan nafas panjang.
"Baiklah jika kamu ingin membicarakan logika. Lalu menurut kamu sendiri,
apakah cinta itu masuk dalam logika?" Theo terdiam. "Tidak, Theo.
Cinta laki-laki terhadap laki-laki tidak dapat masuk dan mendobrak sisi logika
manusia tetapi hal itu ada dan sekarang terjadi sama kamu." Ada jeda
beberapa detik sebelum aku melanjutkan. "Lalu sekarang kamu membicarakan
logika bentuk fisik diriku? Oh yang benar saja. Apakah kamu pernah mendengar
kisah pria kurang tampan menikahi putri cantik jelita?" Sebenarnya aku
sendiri belum pernah mendengar kisah itu.
"Bang, maaf saja, aku tak
ingin mendengar dongeng panjang kamu. Yang aku inginkan hanya--"
"ARGGGHHH THEO!"
Bukannya menyerah, tanpa kuduga
dia melompat ke arahku dan memelukku erat. "Ayo kita lakukan sekarang,
Bang."
"Lepaskan saya,
Theo!" bentakku marah.
"Nggak!"
"Lepaskan!"
"NGGAK!"
"Hey jangan ribut di jam
segini!" teriak Feri. "Kalian sedang apa sih!?"
Impulsif Theo melepaskan
pelukannya kemudian duduk menjauh di sudut ruangan. Beberapa detik kemudian
gedoran pintu terdengar. "Ki buka pintunya! Suruh si Theo pulang supaya
nggak berisik!"
"Iya Fer! Aku nggak akan
berisik lagi! Tadi si Zaki ketakutan ada kecoa!"
"Tapi kok kamu yang
teriak-teriak?" Hening tak ada jawaban. "Argh terserah, aku mau tidur
lagi."
"Tuh kan kita hampir
ketahuan lagi, Bang. Theo berjalan langsam dari tempat duduknya menghampiriku.
"Tenang saja, Bang. Jangan takut. Kali ini aku menyerah, aku hanya ingin
duduk di samping kamu."
Kantuk perlahan kembali
menjalar. Aku menguap beberapa kali hingga akhirnya memutuskan untuk tidur
kembali. Sebelum tidur, kuperingati Theo untuk tidak macam-macam padaku. Dia
mengangguk penuh rasa jengkel. Aku membiarkannya mendumel sendiri. Yang aku
butuhkan seakarang adalah tidur.
Satu menit berlalu, tidak ada
hal yang terjadi. Mungkin kali ini Theo benar-benar menyerah. Syukurlah kalau
begitu. Selang waktu 10 menit, aku merasakan mulutku basah. Ada benda kasar
yang memaksa menelusuk masuk dan setelah mataku terbuka, aku melihat mata Theo
dekat sekali dengan mataku. Langsung kudorong tubuh Theo dan memandangnya
murka. Kali ini aku benar-benar marah. "THEO! KELUAR!"
"Kamu yakin, Bang?"
jawabnya enteng. "Gimana kalau tiba-tiba aku mati? Kamu nggak akan merasa
menyesal, gitu?"
"KE-LU-AR
SE-KA-RANG!"
"Oke oke, aku benci kamu,
Bang!"
Akhirnya dia pergi dan aku bisa
melanjutkan tidur siangku.
Double
ps.
Ini bukan part lanjutan ya. Ini masa lalu
sebelum si Grey datang ke Bandung. Ini menceritakan sedikit kisah asmara Zaki X
Theo yang sudah meninggal. Cuma selingan saja.