Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Belalai Gajah
***
"Kamu ngapain hah, ke
sini!? Pergi sana!"
"Minggir."
"Saya bilang pergi! Kamu
tahu hah dia begini gara-gara kamu?"
" ... "
"Sudah, Ren. Jangan bikin
ribut di rumah sakit."
"Terus saja kamu bela si
Zaki!"
"Benar kata Enok, kamu
harus tenang, Ren."
"Bagaimana saya bisa
tenang? Penyebab dia babak belur kayak gini ada di sini! Kamu itu pembawa sial,
pembawa onar, harusnya kamu mati saja sana! Apa hah? Silakan pukul saya, saya
nggak takut."
"Ren! Ini di rumah
sakit!"
"Saya tahu!"
"Kamu nggak kasihan hah
sama si Grey? Dia pasti terganggu sama suara kamu!"
" ... "
"Sudah, Bos. Kita pergi
saja, biarkan si Theo istirahat "
"Theo? Siapa Theo?"
"Theo itu--"
"Nama panjang Grey adalah
Theo Greyson."
"Eh!? Tu-tunggu, kenapa
namanya mirip sama--"
"Ki, sudah saya katangan
jangan pernah dekati dia, saya capek berdebat terus sama kamu."
"Kenapa saya harus
menuruti perkataan kamu?"
"Ya Tuhan! Si Grey mukanya
mirip Theo! Kenapa saya baru menyadari--"
"Jangan bahas itu!"
"Kamu menyebalkan,
Reno!"
"Hei hei hei ada apa ini!?
Kalian semua keluar! Termasuk kamu, Reno!"
***
"Kenapa kamu ke sini lagi!?"
"Saya mau bertemu dengan
dia, bangsat!"
"Ki, kita pulang lagi
saja. Tubuh kamu panas."
"Kamu minggir, bangsat.
Atau saya pukul kamu sekarang juga."
"Siapa takut!"
"Argh! Kita pulang lagi
saja, Bom."
***
"Terima kasih Richard.
Berkat kamu, anak saya bisa terselamatkan."
"Bukan masalah, Om. Dia
anak Om?"
"Maksud kamu?"
"Ma-maksud saya tentu saja
anak Om, tetapi wajah dia dan Om jauh sekali."
"Dia mirip sama
Ibunya."
"Kalau begitu saya
permisi, Om. Masih ada urusan."
***
"Grey kamu sudah
sadar?"
Mataku mengerjap-ngerjap.
Rasanya aku mendengar suara Reno, Enok, Zaki dan banyak orang entah siapa.
Tetapi ketika kulihat, hanya ada Ayah di ruangan serba putih ini.
"Aku ada di mana?"
"Kamu ada di rumah sakit,
Nak."
Aku melihat kantung mata di
mata Ayah. Rasanya aku mulai paham apa yang terjadi padaku. Saat itu aku pulang
dari rumah Bang Zaki dan aku dicegat oleh anak buahnya Sanga.
"Ayah pulang saja."
"Haha kamu kejam sekali,
Nak. Ayah khawatir sama kamu malah disuruh pulang, tho?"
Ayah mengucap rambutku pelan, penuh kasih sayang.
"Ayah kurang tidur, aku
tahu itu. Pulang saja, aku baik-baik saja di sini." Ayah menggeleng kuat.
"Ayah bisa tidur di sini, kamu istirahat saja, lagian sebentar lagi si
Reno akan datang." Entah bagainana ketika mendengar nama itu hatiku
berbunga-bunga.
"Apakah aku baik-baik
saja?" tanyaku sedikit kesusahan.
"Ya, kamu baik-baik saja.
Hanya saja tulang tangan kiri kamu sedikit retak, tetapi tidak terlalu
parah." Ah, pasti gara-gara tangan kiriku melindungi kepalaku dari balok
kayu itu.
"Bukan itu, Ayah. Maksudku
gimana wajahku? Aku takut Reno--maksudku Reni tidak menyukaiku lagi,"
sahutku cepat. Sial. Aku hampir saja keceplosan menyebutkan nama Reno. Eh? Sial
sial sial! Aku telah menyebutkan namanya.
"Kamu tetep ganteng, tapi
lebih ganteng yang dulu sih."
"Argghh."
Hening. Lama pikiranku dan Ayah
larut dalam lamunan.
"Kenapa kamu bisa ada di
sana, Nak?" ucapnya tiba-tiba. "Ayah nggak suka kamu gaul sama anak
belangsak kayak mereka. Bukankah di kampung ini kamu sudah mempunyai banyak
teman?" Mataku terpejam, tak mau membahas soal Bang Zaki. Kenapa Ayah juga
ikut-ikutan menjelek-jelekkan bang Zaki? "Jawab Ayah, kamu nggak akan
dekat-dekat dengan mereka lagi, kan?" Aku masih diam tak menjawab.
"Ya sudah, terserah kamu. Kalau begitu kamu jangan pernah mendekati
Richard."
Lho kenapa jadi ke Richard?
"Dari mana Ayah tahu soal Richard?"
"Ayah kemarin sempat
mengobrol dengannya. Dia bukan orang baik-baik, dia orang asing, pokoknya kamu
jangan gaul sama dia."
"Tapi--"
"Kalau kamu membantah kamu
gak boleh gaul sama si Zaki dan Ayah nggak akan kasih uang bulanan,"
potongnya cepat.
"Ayah kenapa sih?"
"Ayah lihat dia gituan
sama wanita di dalam mobil. Dia bukan teman yang baik untuk kamu gauli."
Entah kenapa kata gauli yang
diucapkan Ayah membuat pipiku bersemu merah. Menggauli Richard? Sial, dadaku naik turun dengan cepat
jika memikirkannya. Bagaimanapun, aku bisa membayangkan wajah tampan Richard
dibalik kacamata hitamnya itu. Tidak, tidak, aku sudah punya Reno. Aku tidak
boleh berpikiran mesum selain padanya.
"Tapi aku ada urusan
bisnis sama Richard, Ayah. Aku ingin beli motor dan aku tahu Ayah sedang
kekurangan biaya untuk--"
"Akan Ayah belikan
sekarang juga."
"Gak gitu juga kali,
Yah."
"Nggak masalah. Lagian Ayah
juga pengen punya motor, biar bisa jalan-jalan, Ayah bosen di rumah
terus."
Aku manggut-manggut meskipun
hatiku tak menyetujuinya. Aku takut Ayah kenapa-kenapa, dia kan punya masalah
dengan kakinya. "Oh iya, Bang Zaki ada ke sini?"
Lama Ayah menatapku kemudian
menjawab. "Tidak, dia tidak datang ke sini." Jawaban Ayah membuatku
sedih. Mungkin Bang Zaki masih sakit kali, ya.
Reno datang tepat ketika Azan
Magrib berkumandang. Dia memakai baju kasual, paduan antara kaus putih dan
celana pendek selutut. Melihatnya tersenyum padaku, entah kenapa kesedihan yang
tadi kurasakan menguap seperti kepulan asap. Rasanya aku rindu padanya. Apakah
ada yang pernah merasakan? Jatuh cinta pada orang yang kita cintai dan orang
yang kita cintai itu membalas perasaan kita, rasanya ... menakjubkan?
"Syukurlah kamu sudah
sadar, Rey." Aku tersenyum membalas kalimatnya. "Bagian mana yang
sakit?" Aku menunjuk bagian lengan kiriku. Tentu saja, lengan itu adalah
bagian tulang yang retak. "Mulai sekarang saya ngelarang kamu dekat dengan
orang-orang barbar kayak mereka. Kamu jadi dipukuli, kan?"
Aku memandang Reno dengan
tatapan bosan. Semua orang berpikiran sama, meskipun aku mengerti mereka
berkata seperti itu bermaksud baik. Jika aku ada di posisi Reno, kurasa aku
akan berucap demikian.
Di saat kami bertiga asik
mengobrol membicarakan bola, tiba-tiba suster datang memberiku surat yang entah
dari siapa. Mungkinkah dari Reyhan? Kurasa surat ini dari dia. Ah, bagaimana
kabar dia sekarang ya? Apakah dia masih membenciku? Kemudian Aura, aku tak tahu
keadaan dia. Angga, Rizky, Dewi, semuanya. Kuharap mereka tidak membenciku
karena aku sudah mempermainkan perasaan Aura.
Bagaimana
keadaanmu, Grey? Aku harap baik-baik saja. Oh iya, mengenai proyek itu,
sepertinya aku sudah menemukan tempat yang tepat di daerah Padalarang. Jadi
maaf, sepertinya kerja sama kita batal toh kamu harus istirahat untuk
memulihkan kesehatan kamu. Ambil saja HP itu, jika aku membutuhkan bantuanmu
lagi, akan aku hubungi, oke?
Semoga
lekas sembuh.
Richard
Mataku membelalak tak percaya.
Kenapa tulisan Richard ... begitu bagus sekali!? Dibandingkan dengan isi
suratnya, aku malah fokus dengan keindahan tulisan tangannya.
"Apa isinya?" tanya
Reno.
"Rahasia," jawabku.
"Dari si Zaki?"
"Iya. Katanya dia
menyesal," sahutku. Aku melihat rahang tegas Reno mengeras. Rupanya dia
sangat tidak menyukai Bang Zaki. Bang Zaki pun sepertinya sama, hanya saja dia
tak pernah menunjukan kebencian lewat ekspresinya, melainkan dengan kalimatnya.
"Terserah. Saya teh sudah capek nasehatin kamu buat nggak deket sama dia. Saya
mau pergi dulu, cepat sembuh ya Grey." Reno celingak-celinguk kemudian
membisikan kalimat penuh ajaib yang membuat hatiku dipenuhi kupu-kupu.
"Saya ... sayang kamu."
***
Selama satu minggu di rumah
sakit, orang yang menemaniku dari sore sampai malam adalah Reno. Hal yang
membuatku kesal, dia sering membawa Enok yang sialnya sekarang dia jadi sering
mempethatikanku. Misalnya ketika aku makan apel, sudut mataku melihat mata Enok
memperhatikan wajahku dan ketika kulihat balik, dia memalingkan wajah. Mungkin
hanya perasaanku saja, tetapi, apakah mungkin Enok menyukaiku? Tidak, tidak,
tidak. Eh tapi bukankah bagus? Kuharap dengan begitu, Enok jadi putus dengan
Bang Reno. Jahat sekali, bukan?
Setelah satu bulan berlalu, aku
merasa hubunganku dengan Reno datar-datar saja. Dia tidak pernah menyatakan
cinta atau bahkan berkata romantis. Sekarang tanggal 17 Agustus, hari
kemerdekaan Republik Indonesia, dan dia masih datar-datar saja. Dia hanya
mengajakku mengikuti perlombaan yang dilaksanakan di lapang desa padahal
sebelum-sebelumnya dia selalu bersikap romantis.
Mengenai lukaku, aku merasa
baik-baik saja. Memang lengan kiriku sudah bisa digerakan, tetapi rasanya masih
ngilu jika dipakai aktivitas berat seperti menimba air di sumur. Yang tidak
baik-baik saja adalah luka parut di pelipisku. Luka itu tidak menghilang dan
membekas permanen. "Kamu mau ikut lomba balap kerupuk?" Aku
menggeleng. Alasannya satu : aku tak suka kecap.
Reno mengedikkan bahu. Dasar
cowok aneh. Dia hampir mengikuti semua cabang perlombaan dan selalu kalah sama
anak kecil bernama Farhan. Satu-satunya perlombaan yang bisa dia menangkan
adalah lomba joget balon. Dan hal itu membuat diriku marah karena Reno jogetnya
sama Enok. Harusnya dia joget sama diriku, tetapi ... andai saja kalau aku
punya gunung. Panitia pasti akan mengijinkan Reno berpasangan denganku.
Lalu diriku?
Aku menantikan satu perlombaan
yang sebenarnya bukan perlombaan. Yap. Panjat pinang. Bergumul dengan pria
berlumurkan oli membuat adrenalinku terpacu dan hatiku meletup-letup
kegirangan. Ayah sempat melarangku, tetapi kan ada niat terselubung yang ingin
aku lakukan pada Reno.
Ketika aku mendaftar, sialnya
aku tak setim dengan Reno karena ternyata kami beda RT. Argh! Padahal rumah
kami hanya beberapa meter jaraknya. Niat terselubungku sirna sudah. Aku tak
mungkin membatalkan begitu saja, lagi pula Reno membuat permainan ini menjadi
taruhan. "Tim yang paling cepat sampai ke atas yang menang. Yang kalah
harus mentraktir makan gado-gado di buntut kapal."
Pria tak akan menolak sebuah
tantangan. Maka, aku pun menerima tantangan Reno.
Awalnya aku bingung kenapa
semua peserta melepaskan baju mereka satu per satu dan melepaskan celana jeans
mereka. Rupanya maksud mereka melakukan itu adalah supaya baju mereka tidak
kotor kena oli. Baiklah, terpaksa aku pun ikut membuka baju dan menyisakan
celana pendek selutut yang nampak kekecilan ini.
"Rey! Pakai celana
kamu!" desis Reno.
"Kenapa?"
"Errrrr ..." Reno
memandang celana pendekku lama kemudian menggeleng. "Itu banyak yang
memperhatikan kamu." Benarkah?
"Kamu juga pakai lagi
celana levis kamu." Sebenarnya aku gak rela pantat besar Reno dilihat sama
orang-orang di sini.
"Err gak mungkin. Nanti
susah buat menang."
"Kalau begitu aku juga
sama."
"Halah terserah. Ya sudah,
ingat yang kalah harus--"
"Iya iya! Sudah sana
pergi."
Pantat pinang--maksudku panjat
pinang sebentar lagi akan dimulai. Bersamaan dengan musik dangdut dimainkan,
kami pun mulai memanjat. Sebelumnya aku tak pernah bermain pantat pinang. Ini
kali pertama, maka yang kukakukan ketika permainan dimulai adalah menunggu
intruksi dari mereka.
"Grey kamu naik jadi
punggung kedua." Aku mengangguk. Sial sekali, tiba-tiba oli muncrat dari
dalam kayu ketika tanganku mematahkan sesuatu--sepertinya penutup lubang--yang
sialnya membuat semua tubuhku lengket.
"Tak masalah, akan banyak
oli di atas sana," kata aki-aki berbadan ceking. Aku mengangguk.
Aku merasa punggungku ditarik,
ternyata ada seseorang yang berusaha menaiki punggungku dan ... berhasil! Kalau
begini terus kurasa aku bisa memenangkan pertandingan in--sial! Pantat pinang
tim Reno sudah 5 orang. "Ayo ayo cepat!" seruku. Aku bisa melihat
senyum mencemeeh Reno tersungging ke arahku.
"Argghhh ...," teriak
seseorang di atasku. Oli semakin muncrat dan membasahi seluruh permukaan
batang, membuat timku satu per satu jatuh ke bawah termasuk diriku. Beberapa
saat kemudian aku mendengar suara teriakan Reno. Mereka juga ternyata sama,
jatuh karena oli yang tiba-tiba keluar di dalam batang.
Kami mencoba lagi dan lagi.
Kegagalan pun kami terima lagi dan lagi. Oli batang ini begitu licin. Sudah
berbagai cara kami lakukan supaya kami bisa naik ke atas, nahasnya masih juga
gagal. Rasanya mustahil timku bisa sampai ke atas. Bagaimana tidak? Di bawah
hadiah yang menggantung itu terdapat oli yang begitu banyaknya.
"Gimana kalau kita
bersihkan terlebih dahulu olinya menggunakan celana kita?" usulku.
"Waduh, bagus juga tuh, Jang."
Selama beberapa kali putaran
yang timku lakukan adalah membersihkan oli supaya kami bisa memanjat tanpa
mengandalkan tumpuan bahu. Tim Reno juga melakukan hal yang sama. Kini aku
kebagian memanjat putaran terakhir. Setelah aku ada di atas, aku kesusahan
untuk meneruskan panjatan karena oli di atas sana masih terlihat hitam dan
licin.
Kami mengulanginya dari awal.
Posisiku ada di tengah, sementara kondisi oli sudah mulai menipis. Sudut mataku
entah kenapa melihat Bang Zaki sedang merokok di sudut lapangan. Entah benar
Bang Zaki atau bukan, aku merasa orang itu tersenyum padaku. "Ayo Ton,
dikit lagi! Ayo ayo ayo ayo!" sorak sorai kini terdengar ketika timku
sedikit lagi mencapai puncak. "Ayo dikit lagi, yah yah yah, tahan, ya
bagus, sekarang naik lagi, ayo ayo ayo! Yah yah yah yah." Penonton mulai
berteriak ketika Tonton merosot.
Di detik-detik terakhir Tonton
berhasil menahannya karena riuh penonton yang berusaha menyemangatinya.
Sayangnya, karena oli di kayu ini masih sedikit berlumuran, tubuh Tonton tetap
merosot ke bawah, membuat tangannya spontan meraba-raba apapun yang bisa dia
temukan untuk pegangan. Sayangnya oli tetap membuatnya terperosot ke bawah.
Ketika melewati tubuhku, tangan Tonton kembali meraba-raba mencari pegangan dan
berhasil memegang celanaku.
"Ton jangan pegang
celanaku!" teriakku histeris.
"Ayo, Ton! Semangat!
Hahahaha."
"Kenapa jangan!?
Ahhhhhh!"
"Eh eh eh itu celanaku
ketarik!" lolongku membahana. Orang-orang mulai tertawa.
"Ya ampun! Itu sudah mulai
kebuka sedikit. Hihihihi."
"Ton, jangan pegang
celanaku! Aku gak pake kancut!" Aku masih berteriak histeris.
"Apa? Kamu bilang apa?
Maaf terlalu banyak suara aku jadi nggak bisa mendengarnya."
Orang-orang mulai riuh melihat
ke arahku mulai dari Ibu-ibu, Bapak-bapak, Adek-adek, Om-om, Kakek-kakek,
Nenek-nenek, dewasa dan tentu saja remaja. Rasanya aku ingin melompat saat ini
juga, tetapi mustahil karena posisiku ada di tengah. Tonton sialan! Dia malah
semangat memanjat ke atas, membuat celanaku ketarik semakin ke bawah. "Ya
Tuhan! Semak belukarnya sudah mulai kelihatan hahahaha. Ayo Ton semangat!"
"KYAAAAA! Batang pisangnya
sudah mulai kelihatan!"
"Ya ampun! Itu leher
burung elangnya sudah mulai--KYA!"
"TONTON STOP MENARIK CELANAKU!"
"HAHAHAHAHA AKHIRNYA
KEBUKA!"
Aku bisa mendengar suara riuh
orang-orang tertawa. "Ya ampun! Itu mah bukan
pisang ambon, tapi tangan bayi! Ya ampun gedenya!"
"Bukan, Neng! Itu mah belalai gajah versi
gemuknya."
"Anjir
gede pisan euy. Grey gimana cara biar punya otong gede?"
"Kya! Ada yang bawa
kamera!?"
"Ish anak kecil jangan
lihat! Anak kecil jangan lihat! Anak kecil jangan lihat!"
"Mama mama, itu apa yang
menggantung kayak belalai gajah?"
"Ya ampun kamu jangan
lihat, Nak!"
"Aku mau lihat aku mau
lihat! Belalainya kayak titit kuda, Ma!"
"Grey cepat kamu
turun!" teriak Reno.
Aku semakin gelagapan. Perlahan
aku turun melewati mereka yang berusaha mempertahankan posisi. "Alah eta naon panjang, gede, genyal, haneut,
buluan?"
(Aduh
itu apa panjang, besar, kenyal, hangat, berbulu?)
Fuck, umpatku dalam hati. Mukaku merah
padam, rasanya aku ingin mengubur diriku sendiri, tetapi pertama-tama aku harus
turun dan menaikkan kembali celanaku. Lagi, sudut mataku melihat Bang Zaki
tertawa terpingkal-pingkal. Aku menggeram karenanya. "Eh kamu mau ke mana!
Ke atas lagi, kalau kamu turun nanti saja ikut tu--"
"Bodo!" potongku.
"Mama, belalai gajahnya
bergoyang-goyang."
"Ya ampun Nak sudah Mama
katangan jangan lihat! Belalai gajah itu jahat, dia bisa memuntahkan cairan
berwarna putih yang bisa membuat perut kamu membesar! Hiiiiii Mama saja takut!
Sudah ayo kita pergi."
Ketika sampai di bawah, aku
langsung menaikkan celanaku dengan sekali hentakan. Suara tawa orang-orang
masih terdengar, membuatku menunduk saking malunya. "Halah bro, saya nggak
bisa membayangkan akan segede apa kalau belalaimu itu berdiri hahaha,"
ucap seseorang sembari menepuk bahuku.
"Sudah sudah sudah ayo
kita lanjutkan."
"Hahahahahahaha."
"Haha."
"Hahahahaha."
"Hahaha."
"Haha."
Meskipun panitia berkata sudah,
tawa mereka belum juga selesai. Bahkan remaja belasan tahun di belakangku
tertawa terbahak-bahak. "HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA."
Aku bersumpah, aku tak akan
pernah mengikuti permainan panjat pinang--tidak, tetapi pantat pinang ini lagi!
Ps.
Bagi yang belum paham, si Grey itu orangnya mesum
ya dan juga nggak peka. Kubuat si Grey itu mesum biar greget.