Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Reno
Maaf kalau part ini
terlalu panjang. Suasana hati saya sedang buruk.
Di rumah, ketika aku berpapasan
dengan Ayah, aku selalu melihat senyum Ayah mengembang. Tentu saja maksud
senyuman itu adalah untuk mengejak. Kukira, Ayah tidak ada di lapangan waktu
itu. Sialnya, Ayah ada di sana dan dia adalah orang yang sangat puas mentertawakan
belalai gajahku yang melambai-lambai di atas tiang. Hanya Reno yang tidak
mentertawakanku, malah justru dia memarahiku. Katanya aku kurang hati-hari dan
dia takut kalau si Zaki telah melihatnya. Well, Reno
tak tahu bahwa Bang Zaki tak hanya pernah melihatnya, melainkan juga
mencicipinya. Bagaimana kalau dia tahu ya? Apakah dia merasa iri dan ingin ikut
merasakannya?
Aku ingin meminjam alat cukur
punya Ayah. Jambang di pipiku sudah mulai tumbuh lebat. Hal itu membuatku
nampak jantan, tetapi Reno bersikeras menyuruhku untuk mencukurnya. Namun
diluar dugaan, Ayah menyentakku ketika aku hendak masuk ke dalam kamarnya.
Tubuhnya sedikit menegang dan aku bingung kenapa Ayah bersikap seperti itu.
Sebenarnya, Ayah mulai bersikap aneh ketika Richard datang di kehidupan kami.
Aku tak tahu apakah hanya firasatku saja atau memang Ayah takut kepada Richard.
Dan hal itu menjadi penyelidikanku dan juga ... Reno. Aku bercerita soal
keanehan yang dilakukan Ayah akhir-akhir ini.
"Maaf, ada kancut Ayah di
mana-mana. Belum Ayah bereskan." Lihat? Padahal aku setiap hari melihat
kancutnya di kamar mandi.
Lalu besoknya Ayah bertingkah
aneh lagi. Aku penasaran apakah dugaanku benar atau tidak hingga akhirnya aku
mengetes dengan berkata, "Yah, kemarin malam aku teleponan sama Richard.
Katanya dia ingin menginap di sini. Apakah boleh?"
"Tidak!" jawabnya
cepat. "Maksud Ayah, dia orang asing. Ayah nggak tahu sifat dia kayak
gimana. Yang boleh menginap di rumah ini hanya Reno. Teman-teman kamu juga
nggak boleh menginap di sini."
"Kenapa?"
"Karena di rumah kita
hanya ada dua kamar. Orang kayak Richard mana mungkin mau berdesak-desakan
tidur di kamar kamu yang kecil itu."
Baiklah, aku hanya bercanda
soal Richard akan menginap di rumah ini.
Mengenai panjat pinang, Reno
memenangkan pertandingan sehingga aku harus mentraktir dia makan gado-gado.
Setelah itu dia menghilang, dalam artian Reno tidak datang ke rumahku. Aku
curiga dia main sama Enok dan ternyata benar. Sial! Aku cemburu tentu saja.
Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam di rumah pohon sambil bermain
gitar pemberian Bang Zaki. Aku bukannya tak ingin berusaha memperjuangkan
cintaku pada Reno. Aku hanya merasa, mereka berdua adalah pasangan yang serasi
dan juga baik. Aku hanya mengikuti perintah Reno, bahwa dia akan memilikiku.
Entah apa artinya, yang jelas dia menyuruhku untuk tidak bersama Bang Zaki. Aku
hanya harus menunggu. Dia pasti memberiku kepastian. Namun yang menjadi
pertanyaan ... sampai kapan? Aku masih sering melihat Reno berjalan bersama
Enok baik setelah dia jalan bersamaku atau tidak.
Aku kesal. Lagi, aku hanya bisa
diam di kamar. Hal ini terus berlanjut sampai akhir tahun. Selama lima bulan
status aku dan Reno tidak ada kemajuan. Sekarang dia jarang ke kamarku. Aku
bahkan bisa mengingat dia hadir di hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu. Selain
hari itu dia tak ada di rumah. Jadi, karena bosan keseharianku diam di kamar
setelah bekerja, atau mungkin bermain bola bersama teman-teman di kampung,
akhirnya aku diam-diam mengunjungi Richard. Dia tinggal di kawasan Maribaya.
Bukan tinggal lebih tepatnya, tetapi ngekos.
Selama seharian ini aku
bulak-balik menemui Ayah untuk menanyai di mana keberadaan Reno. Hasilnya
nihil. Reno sepertinya hilang ditelan bumi.
Hal yang membuatku sedih,
kukira menghilangnya Reno dari pagi akan mengajakku jalan-jalan di malam hari.
Ini tahun baru dan hari ini biasanya muda-mudi akan pergi ke tempat-tempat
tertentu untuk menikmati kebersamaan di akhir tahun 1998. Ternyata selama 14
jam aku menunggu, Reno tak datang juga. Aku kesal, sangat kesal. Kalau begini
jadinya, aku ingin pergi ke tempat Bang Zaki. Ngomong-ngomong soal Bang Zaki,
kini aku jarang melihatnya baik di pasar ataupun di kampung ini. Aku masih
berhubungan dengan anggotanya. Mereka selalu bertanya kenapa aku jarang ke
sana. Kukatakan aku harus bekerja dan syukurlah mereka mengerti.
"Halo," kataku
sedikit kesal. Aku sedang menelepon Richard.
"Ya," katanya.
"Di mana? Aku bosan di
rumah, jadi kalau boleh--"
"Aku sedang di
Meksiko."
"Fuck!"
"Sorry aku sedang ada urusan. Sampai jumpa."
Kadang aku bingung. Kenapa
Richard bisa sesibuk itu? Maksudku, setiap aku meneleponnya, dia selalu
membicarakan pekerjaan. Sudah pasti kalau dia yang meleponku, tujuannya tak
lain adalah untuk membicarakan pekerjaan. Aku benci sama orang perfeksionis. Kebanyakan
dari mereka tak mengerti bahwa hidup itu bukan hanya tentang mencari uang.
Hidup adalah tentang orang-orang yang ada di sekelilingmu.
"Grey," kata Ayah
membuatku tersentak. "Kenapa kamu mengurung diri di rumah pohon? Sedang
ada masalah?"
"Nggak kok, Yah. Memangnya
kenapa?"
"Ya maksud Ayah
teman-teman kamu pada bikin acara bakar-bakar jagung dan ikan di pos ronda.
Masa kamu nggak ikut."
Benarkah? Aku tak tahu itu.
"Serius!?" tanyaku penuh semangat.
"Ya, memangnya kamu nggak
tahu?"
"Nggak. Kalau begitu aku
pergi ke sana ya, Yah! Ayah kalau mau pergi tinggal saja kuncinya di bawah
pot."
Sebelum pergi, aku mengganti
pakaianku dengan kaos polos dan celana pendek selutut. Jaket hitam berbahan
katun hanya kubawa, tidak kupakai. Hatiku sedang gerah. Mungkin itulah penyebab
badanku ikut gerah padahal sore tadi gerimis mengundang.
Sesampainya di sana aku melihat
Ayu. Dia memberiku senyum dan menawariku sosis panjang yang ukurannya segede
belalai gajahku. Ketika melihatku hendak memakan sosis ini, mereka langsung
tertawa. "Kamu tega memakan belalai gajah punyamu sendiri?"
"Argh!"
Bersama mereka, akhirnya aku
bisa melupakan rasa kesalku terhadap Reno. Kami tertawa membicarakan cinta,
kami ketakutan membicarakan hantu. Jika tadi aku berkata hidup itu bukan hanya
tentang uang, maka sekarang aku akan berkata hidup itu bukan hanya tentang
cinta. Nyatanya aku merasa bahagia bercanda dan tertawa bersama mereka. Lupakan
sejenak Reno dan nikmati hari ini dengan senyuman. Sialnya, senyumku langsung
memudar ketika mereka berkata, "Kok nggak ada si Reno?" tanya Rizky.
"Tadi pagi aku lihat dia
sama Enok naik motor entah ke mana. Mungkin mereka jalan-jalan terus kejebak
macet, jadi ya nggak bisa gabung sama kita."
Perasaanku kembali anjlok.
Dasar Reno! Menghilang dari pagi ternyata sedang asik-asiknya jalan-jalan sama
Enok.
Aku merasa kecewa, aku merasa
sedih, aku merasa ... apa lagi? Aku tak bisa mendikte bagaimana perasaanku
sekarang ini. Aku hanya merasa kesal dan ingin marah. Untungnya mereka mampu
menaikkan kembali perasaanku ke titik bahagia. Namun percuma saja. Ketika waktu
terus bergulir, hingga jam di tanganku menunjuk pukul 12 kurang, hatiku merasa
kosong dan hampa.
"Yuk, kira pergi ke
kapling sekarang," ajak Ayu.
"Kapling? Ngapain ke
sana?" tanyaku.
"Kapling adalah area
terbuka. Di sana kota Bandung terekspos dengan jelas, jadi sudah pasti tempat
terbaik untuk melihat kembang api adalah di sana."
Lalu di sinilah aku berada.
Berdiri di tengah lautan manusia yang ingin melihat kembang api kota. Sejujurnya
aku ingin pulang saja dan ingin cepat-cepat memejamkan mata. Sayangnya Ayu
memaksaku untuk ikut dan melihat berapa indahnya kembang jika dilihat dari
sana. Baiklah tak masalah. Karena ternyata memang seru dan cukup meriah.
"1 menit lagi ..."
"Ya, satu menit
lagi."
Di detik-detik terakhir kami
semua menghitung mundur. "10 ... 9 ... 8 ... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ... 3 ...
2 ... 1 ... selamat tahun baru!"
Suara terompet dan kembang api
saling bersahutan. Jika di Jakarta, aku menikmati tahun baru dengan teman-temanku
di sana. Biasanya kami naik motor pergi ke suatu tempat dan menikmati
detik-detik pergantian tahun di tengah jalan karena macet. Tetapi di sini
terasa beda. Aku baru menyadari, bahwa tidak adanya Reno membuat keadaan ini
tercipta. Mungkin jika ada Reno pikiranku akan terfokus padanya, bahkan mungkin
selangkangannya. Demi apapun, sampai saat ini aku selalu memikirkan
selangkangan Reno. Jadi, kurasa aku harus berterima kasih pada Enok karena
telah membawa Reno pergi jauh di kampung ini!
***
Jam 5 subuh aku terbangun.
Aku melihat kepala Reno
menyembul di balik pintu. Dia memakai sarung dan peci yang nampak kekecilan di
kepalanya. Bibirnya tersenyum lebar yang artinya : maafkan aku. Aku sudah
menduga dia akan berekspresi seperti itu. Aku kan bulak-balik menanyai dia pada
Ayah jadi pasti Ayah memberi tahunya bahwa aku mencarinya kemarin. Aku tak akan
bertanya ke mana saja dia pergi, aku hanya senang dia datang dan duduk di
sampingku.
Mungkin seseorang akan sukar
untuk mempercayai. Tetapi bagiku, semarah apapun aku pada Reno, ketika
melihatnya duduk di sampingku sambil memberingan senyu terhangatnya, aku tak
bisa marah padanya. Malah aku ingin memeluknya erat dan kuat. Mengatakan
padanya bahwa aku rindu sehingga membuat dia berpikir bahwa ada seseorang yang
menunggunya dengan penuh kasih sayang. Terdengar murahan? Aku tahu. Sayang
sekali aku tak peduli.
"Kamu baik-baik
saja?" tanya Reno. Dia menatapku lekat sambil ngupil. Aku ingin menjitak
kepalanya dan telah kulakukan. "AW! Kebiasaan!" Aku nyengir.
"Aku sayang kamu. Kamu
tahu itu kan?" Entah kenapa aku mengatakan itu. Aku bingung. Aku lega
mengatakannya. Aku hanya ingin tahu betapa aku mencintainya. Hanya itu.
"Ya, saya tahu." Dia
tidak menatapku ketika mengatakan itu. Aku hanya bisa menghela nafas.
"Ingin kubuatkan kopi?
Atau teh?"
"Kopi saja."
"Baiklah! Tunggu sebentar,
Ren." Sebelum pergi aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku.
Sisi lain dalam hatiku berkata,
harusnya aku marah. Seharusnya aku menuntut. Seharusnya aku bertanya kenapa dia
menghilang seharian kemarin. Namun sisi lain dalam diriku berkata jangan. Jika
aku banyak menuntut, ada kemungkinan Reno akan meninggalkanku. Pergumulan batin
itu berlangsung selama ketika aku membuat kopi. Seakan ada sisi hati yang
menyuruhku untuk tetap tinggal dan meninggalkan.
'Kamu
mengetahui, di dalam mata Reno masih ada Enok.'
'Kamu
pun mengetahui, di mata Reno ada kamu. Jadi jangan dengarkan dia.'
'Memang
ada. Tapi hanya sekian persen.'
'Seiring
berjalannya waktu akan meningkat.'
'Diam!
Kenapa tidak memilih Bang Zaki saja? Dia sudah pasti. Dia akan mencintaimu
lebih besar dari siapapun di dunia ini.'
'Zaki?
Mungkin benar, tetapi itu dulu. Sekarang dia sudah tak terlihat dan mungkin
raga dan hatinya sudah ada yang punya.'
'Tinggalkan
Reno. Kamu akan terluka.'
'Kamu
tahu bersamanya kamu akan merasa bahagia.'
'Oh
ayolah! Lihat sikapnya padamu sekarang!'
'Lalu,
ketika kamu meninggalkan, apakah kamu akan merasa bahagia? Tentu tidak, bukan?
Kebahagiaanmu sederhana. Hanya ketika berada di sisi Reno dan melihat senyum
hangatnya ditunjukkan untukmu, kamu merasa cukup. Jadi jangan tinggalkan dia.
Jangan pernah.'
Pada akhirnya, pergumulan hati
itu dimenangkan oleh sisi hati yang menyuruhku untuk tetap tinggal. Aku tak
tahu. Sekali lagi aku merasa bingung. Tapi aku hanya ingin mengatakan, betapa
puasnya aku melihat dia tersenyum.
"Ini kopinya, Ren."
Aku sedikit gemetaran ketika mengantarnya. Mungkin aku karena dingin, makanya
aku gemetar.
Aku melihat bibirnya yang
sedikit kemerahan itu terbuka. Perlahan dia meminum kopi buatanku kemudian
berkata, "Kopinya enak. Pas. Tidak terlalu manis, tidak juga terlalu
pahit."
"Terima kasih."
"Kamu sudah salat?"
Aku mengeleng.
"Kalau begitu aku salat
dulu." Aku berdiri kemudian berjalan pelan menuju pintu. "Boleh
pinjam pecinya?"
"Oh tentu."
"Terima kasih."
***
Hari ini, aku berjanji tidak
akan pernah melupakannya. Hari di mana untuk pertama kalinya Reno mencium
bibirku. Saat itu aku sedang membasmi ulat bulu di kebun. Ayah sedang pergi
entah ke mana, dan gerakan cepat dia menciumku sambil tersenyum. "Saya
pulang dulu."
***
Aku sakit. Aku demam tinggi.
Setiap kali aku terbangun, aku melihat ada Reno di sampingku. Dia selalu
berkata aku akan baik-baik saja. Nyatanya aku tidak baik-baik saja. Hati
ketujuh ketika aku sakit aku dibawa ke rumah sakit. He? Aku terkena penyakit
maag tinggkat akut. Kebingungan semakin melanda kehidupanku. Bagaimana aku bisa
terserang penyakit ini? Aku makan dua hari sekali meskipun selalu tidak habis.
Tetapi tetap saja bukan? Asupan makananku terjaga.
***
Selama satu minggu aku di rumah
sakit. Ketika pulang, aku merasa sehat dan baik-baik saja. Aku mencoba
menjalani keseharianku dengan memberi makan kuda, sapi, mengambil daun kuning
di kebun, dan ketika melihatku begitu Reno langsung memarahiku. "Kamu
belum sehat, Rey. Tidur saja di kamar."
"Aku bosan, Ren. Aku tak
punya teman bicara."
***
1 bulan berlalu. Aku mendapat
surat dari Reyhan. Katanya dia sudah pindah ke Bandung dan saat ini dia sedang
bekerja di perusahaan swasta dekat dengan alun-alun. Dalam suratnya, dia tak
menjelaskan apapun soal teman-temanku di Jakarta. Mungkin kah mereka sudah
melupakanku? Jika tidak, kurasa Reyhan akan menulisnya.
Satu hari setelah surat Reyhan
kubaca, aku langsung pergi ke tempat kosannya. Wajahnya nampak berubah dan
lebih dewasa. Dia terkejut ketika melihatku. "Dari mana kamu mendapatkan
luka ini?" tanyanya.
"Digebukin preman. Aku
hampir mati lho. Untung ada orang yang menemukanku jadi ya aku baik-baik
saja."
"Setan! Kamu hampir mati
dan kamu enteng-enteng saja mengucapkannya?"
"Hahahahaha."
"Grey."
"Ya?"
"Maaf soal waktu itu. Aku
emosi. Begitu pun dengan Dewi dan teman-temanmu yang lain. Kami yang salah
karena telah memaksamu untuk pacaran dengan Aura padahal jelas-jelas kamu tidak
menyukainya. Sekarang dia sudah pacaran dengan pengusaha kaya. Sebentar lagi
mereka menikah. Kali ini aku sedang tidak bercanda. Jadi, kuharap kamu tidak
menyesal telah menelantarkan dia."
Aku terkekeh.
"Menelantarkan? Kayak anak kucing saja ditelantarkan." Reyhan meminum
kopi di tangannya dengan sekali teguk. "Lagian aku sudah bahagia. Aku
sudah punya seseorang. Hmmm kuharap begitu."
"Siapa? Sial, kamu tidak
pernah cerita padaku soal kisah asmaramu, Grey."
"Andai aku bisa. Sayangnya
tak mungkin kulakukan hahahahaha."
"Kenapa? Apakah karena
pacarmu pria?"
"What!?"
"Aku tahu, Grey. Aku
tahu."
***
Aku hampir lupa kapan terakhir
kali aku menangis. Bahkan aku lupa bagaimana caranya. Hari ini Reno menangis.
Apakah kamu pernah melihat? Cowok penuh otot seperti Reno menangis hanya karena
... dia kehilangan uang belasan juta untuk biaya pernikahannya dengan Enok?
Oke, aku tak tahu apakah Reno jadi menikah atau tidak. Yang dia katakan dulu
adalah untuk membuktikan pada Ayah Enok bahwa dia bisa mengumpulkan uang dan
bisa membiayai kehidupan anaknya kelak.
Jika kalian membayangkan Reno
menangis tersedu-sedu, tentu saja bayangan kalian terlalu berlebihan. Reno
menangis dalam diam. Dan ketika menangis aku hanya bisa memeluknya erat. Bagi
Reno dan semua orang di kampung ini, uang belasan juta harganya sangat besar
bagi kami. Jika harga nasi goreng adalah 200 rupiah, bayangkan sebanyak apa
Reno bisa membeli nasi goreng dengan uang belasan juta?
"Pasti si Zaki yang
mengambil uang saya!"
"Eh? Kok ke Bang
Zaki?"
"Karena dari dulu dia
senang melihat saya sengsara!"
"Salahmu sendiri tidak
menyimpan uangmu di bank."
"Jadi kamu lebih membela
si Zaki dibandingkan saya!?"
"Yos yos yos. Maafkan aku
Reno sayang."
"Sudah ah, saya mau pulang
dulu." Aku mengikuti langkah Reno. "Ngapain kamu ngikutin saya?"
"Aku mau menginap di rumah
kamu toh sudah 2 bulan aku tidak ke rumah kamu."
Mata Reno menyipit. "Awas
saja kalau bikin ulah. Orang tua saya nggak boleh mengetahuinya."
Ketika sampai di rumah Reno,
aku malah membantu Ibunya memasak untuk dijual di warungnya. Reno sendiri entah
pergi ke mana. Baiklah tak masalah. Jarang sekali aku mengobrol dengan sesosok
wanita bernama Ibu. Andai Ibuku masih hidup. Mungkin aku tidak akan merasa
melodrama seperti ini.
"Kamu sudah punya pacar,
Grey?"
"Belum, Bu."
"Lah kok bisa? Masa nggak
ada yang mau sama kamu. Kamu kan ganteng, nggak kayak si Reno tuh."
Anak
Ibu juga ganteng kok. Ganteng banget malah. Ingin
rasanya aku menjawab seperti itu, sayangnya mustahil kulakukan. Reno sudah
mewanti-wanti diriku untuk tidak bersikap aneh. "Jangan kayak si Reno,
Grey. Dia belum juga mengenalkan pada Ibu calon istrinya padahal kan Ibu ingin
segera menimang cucu." Belum juga mengenalkan? Ah, pasti Reno tidak pernah
menceritakan masalah asmara pada Ibunya.
"Haha masa sih, Bu?
Bukannya si Reno jadi idola ya di kampung ini?"
"Hush mana ada. Kamu tuh
yang jadi idola. Setiap ada pembeli dari kampung sebelah, orang pertama yang
ditanyai adalah kamu lho, Grey. Aneh-aneh pertanyaannya mulai dari, apakah kamu
menyukai wanita yang giginya tonggos, yang rambutnya ikal, yang pahanya montok,
bahkan ada yang bertanya apakah kamu rela punya istri dua." Mustahil.
"Aneh kan?"
"Hahahaha."
"Jadi kamu menyukai wanita
yang seperti apa? Biar Ibu jawabnya nggak bingung kalau ada yang tanya
lagi."
Yang
ada bukit dan burungnya! Itu lho, seperti anak Ibu.
"Yang baik dan cantik
hehe." Jawaban klise.
"Sip sudah beres. Kalau
kamu mau istirahat langsung saja ke kamar si Reno, Grey. Jangan sungkan. Kalau
lapar tinggal makan saja."
Lama aku menunggu Reno. 1 jam,
2 jam, 3 jam dia belum juga kembali hingga aku pun ketiduran. Jam 12 malam aku
terbangun. Di sampingku sudah ada Reno. Dia tertidur sembari mendengkur halus.
Belalai gajahku tiba-tiba berdiri ketika melihat wajah Reno dari dekat. Aku
ingin menciumnya. Mumpung dia sedang tertidur pulas, aku memberanikan diri
untuk mengganyang mulutnya. Tiba-tiba ketika aku sudah merasakan nikmat, Reno
memukul wajahku, membuatku mengaduh kesakitan.
"ARGH!"
"Maaf, Rey. Saya teh kaget. Lagian sudah saya bilang
kan jangan melakukan hal yang aneh-aneh! Kalau ketahuan gimana?"
Sial. Aku merasa nyeri yang
sungguh luar bisanya di daerah hidung. "Gak harus mukul juga kali!"
Rasa sakit itu menghilang setelah waktu berjalan selama 30 menit.
"Saya ngantuk. Kita tidur
lagi." Kali ini Reno tidur membelakangiku. Aku masih tidak puas. Aku
merasa libidoku sedang ada di puncak paling tinggi. Aku harus menuntaskan apa
yang aku mulai.
Perlahan tanganku bergerak
untuk memeluk pinggang Reno. Tubuhku beringsut setelah aku berhasil mengunci
pinggangnya. Aku membenamkan hidungku di tengkuk Reno. Dia berdeham dan
menyuruhku untuk melepaskan pinggangnya. Aku menolak. Aku ingin menghirup aroma
tubuh Reno sepuas mungkin. Rambutnya wangi sekali. Dan ketika kuturankan
hidungku menuju bahunya, aku memberanikan diri menjilat area sana. Reno menggeram,
tetapi masih tak kulepaskan.
"Hmm."
"Rey saya ingin tidur!
Lepaskan atau saya pukul lagi."
"Pukul saja kalau
berani." Aku berhenti menjilat bahunya. Tubuh Reno berhenti berontak.
Setelah dia sudah tenang, aku semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya.
Kutempelkan belalai gajahku di pantatnya, kutekan pelan dan kupekuk dia dengan
erat.
"Rey menjauh sana!"
"Nggak."
"Saya nggak bisa tidur
kalau benda itu menempel di pantat saya."
"Tak apa, kamu akan
terbiasa."
Nafasku semakin memburu.
Sepertinya nafsu sudah menguasai diriku. Aku tahu seharusnya aku menghentikan
aksi ini, karena jika terus dibiarkan, mungkin akan kelepasan untuk memaksa
Reno melakukannya. Aku tak ingin kejadian waktu itu terulang kembali. Kejadian
ketika Reno menatapku dengan tatapan takut seakan aku adalah penjahat kelamin
yang akan memperkosa dirinya. Menit selanjutnya nafasku semakin memburu. Aku
kembali menjilat bahu Reno sambil mengocok belalai gajahku. Satu-satunya jalan
untukku menahan hasrat menggebu ini adalah dengan menuntaskannya. Selama lima
menit aku mencoba dan syukurlah keluar juga.
Mataku melihat bahu Reno yang
lebar lekat. Aku menarik nafas panjang kemudian mengembuskannya cepat. Aku
melepaskan pekukanku dan ikut memunggungi dia. Aku tidak serta-merta memejamkan
mata. Penglihatanku masih terbuka dan kini sedang asik memandang kaki meja yang
sudah keropos itu. Tubuhku merasa kasur berguncang. Sesaat aku mengira sedang
terjadi gempa. Ternyata guncangan itu diakibatkan oleh Reno. Dia memelukku
kemudian berkata lirih, "Maaf." Selalu saja seperti ini. Ketika aku
merasa sedih dia akan memelukku dari belakang dan meminta maaf. Selalu juga,
aku tak mengatakan apa-apa. Aku tetap memandang ke depan dengan pandangan
kosong hingga lelah dan terlelap sampai besok pagi.
Kali ini aku bangun lebih cepat
darinya. Jam menunjukan pukul 4.30. Jam segini di kampung sudah ramai. Aku
memutuskan untuk pulang, entah kenapa. Oh mungkin aku takut kemalingan, kalau
tidak salah rumah pohon tidak sempat kukunci. Aku tidak ingin kehilangan
satu-satunya gitar yang aku punya.
Reno
... perasaan ini semakin kuat dan mengekal. Tolong ajari aku bagaimana cara meringankan
perasaan ini.
***
Bandung, 6
Januari 2018
23.16
23.16