Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Reno

Maaf kalau part ini terlalu panjang. Suasana hati saya sedang buruk.
Di rumah, ketika aku berpapasan dengan Ayah, aku selalu melihat senyum Ayah mengembang. Tentu saja maksud senyuman itu adalah untuk mengejak. Kukira, Ayah tidak ada di lapangan waktu itu. Sialnya, Ayah ada di sana dan dia adalah orang yang sangat puas mentertawakan belalai gajahku yang melambai-lambai di atas tiang. Hanya Reno yang tidak mentertawakanku, malah justru dia memarahiku. Katanya aku kurang hati-hari dan dia takut kalau si Zaki telah melihatnya. Well, Reno tak tahu bahwa Bang Zaki tak hanya pernah melihatnya, melainkan juga mencicipinya. Bagaimana kalau dia tahu ya? Apakah dia merasa iri dan ingin ikut merasakannya?
Aku ingin meminjam alat cukur punya Ayah. Jambang di pipiku sudah mulai tumbuh lebat. Hal itu membuatku nampak jantan, tetapi Reno bersikeras menyuruhku untuk mencukurnya. Namun diluar dugaan, Ayah menyentakku ketika aku hendak masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya sedikit menegang dan aku bingung kenapa Ayah bersikap seperti itu. Sebenarnya, Ayah mulai bersikap aneh ketika Richard datang di kehidupan kami. Aku tak tahu apakah hanya firasatku saja atau memang Ayah takut kepada Richard. Dan hal itu menjadi penyelidikanku dan juga ... Reno. Aku bercerita soal keanehan yang dilakukan Ayah akhir-akhir ini.
"Maaf, ada kancut Ayah di mana-mana. Belum Ayah bereskan." Lihat? Padahal aku setiap hari melihat kancutnya di kamar mandi.
Lalu besoknya Ayah bertingkah aneh lagi. Aku penasaran apakah dugaanku benar atau tidak hingga akhirnya aku mengetes dengan berkata, "Yah, kemarin malam aku teleponan sama Richard. Katanya dia ingin menginap di sini. Apakah boleh?"
"Tidak!" jawabnya cepat. "Maksud Ayah, dia orang asing. Ayah nggak tahu sifat dia kayak gimana. Yang boleh menginap di rumah ini hanya Reno. Teman-teman kamu juga nggak boleh menginap di sini."
"Kenapa?"
"Karena di rumah kita hanya ada dua kamar. Orang kayak Richard mana mungkin mau berdesak-desakan tidur di kamar kamu yang kecil itu."
Baiklah, aku hanya bercanda soal Richard akan menginap di rumah ini.
Mengenai panjat pinang, Reno memenangkan pertandingan sehingga aku harus mentraktir dia makan gado-gado. Setelah itu dia menghilang, dalam artian Reno tidak datang ke rumahku. Aku curiga dia main sama Enok dan ternyata benar. Sial! Aku cemburu tentu saja. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam di rumah pohon sambil bermain gitar pemberian Bang Zaki. Aku bukannya tak ingin berusaha memperjuangkan cintaku pada Reno. Aku hanya merasa, mereka berdua adalah pasangan yang serasi dan juga baik. Aku hanya mengikuti perintah Reno, bahwa dia akan memilikiku. Entah apa artinya, yang jelas dia menyuruhku untuk tidak bersama Bang Zaki. Aku hanya harus menunggu. Dia pasti memberiku kepastian. Namun yang menjadi pertanyaan ... sampai kapan? Aku masih sering melihat Reno berjalan bersama Enok baik setelah dia jalan bersamaku atau tidak.
Aku kesal. Lagi, aku hanya bisa diam di kamar. Hal ini terus berlanjut sampai akhir tahun. Selama lima bulan status aku dan Reno tidak ada kemajuan. Sekarang dia jarang ke kamarku. Aku bahkan bisa mengingat dia hadir di hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu. Selain hari itu dia tak ada di rumah. Jadi, karena bosan keseharianku diam di kamar setelah bekerja, atau mungkin bermain bola bersama teman-teman di kampung, akhirnya aku diam-diam mengunjungi Richard. Dia tinggal di kawasan Maribaya. Bukan tinggal lebih tepatnya, tetapi ngekos.
Selama seharian ini aku bulak-balik menemui Ayah untuk menanyai di mana keberadaan Reno. Hasilnya nihil. Reno sepertinya hilang ditelan bumi.
Hal yang membuatku sedih, kukira menghilangnya Reno dari pagi akan mengajakku jalan-jalan di malam hari. Ini tahun baru dan hari ini biasanya muda-mudi akan pergi ke tempat-tempat tertentu untuk menikmati kebersamaan di akhir tahun 1998. Ternyata selama 14 jam aku menunggu, Reno tak datang juga. Aku kesal, sangat kesal. Kalau begini jadinya, aku ingin pergi ke tempat Bang Zaki. Ngomong-ngomong soal Bang Zaki, kini aku jarang melihatnya baik di pasar ataupun di kampung ini. Aku masih berhubungan dengan anggotanya. Mereka selalu bertanya kenapa aku jarang ke sana. Kukatakan aku harus bekerja dan syukurlah mereka mengerti.
"Halo," kataku sedikit kesal. Aku sedang menelepon Richard.
"Ya," katanya.
"Di mana? Aku bosan di rumah, jadi kalau boleh--"
"Aku sedang di Meksiko."
"Fuck!"
"Sorry aku sedang ada urusan. Sampai jumpa."
Kadang aku bingung. Kenapa Richard bisa sesibuk itu? Maksudku, setiap aku meneleponnya, dia selalu membicarakan pekerjaan. Sudah pasti kalau dia yang meleponku, tujuannya tak lain adalah untuk membicarakan pekerjaan. Aku benci sama orang perfeksionis. Kebanyakan dari mereka tak mengerti bahwa hidup itu bukan hanya tentang mencari uang. Hidup adalah tentang orang-orang yang ada di sekelilingmu.
"Grey," kata Ayah membuatku tersentak. "Kenapa kamu mengurung diri di rumah pohon? Sedang ada masalah?"
"Nggak kok, Yah. Memangnya kenapa?"
"Ya maksud Ayah teman-teman kamu pada bikin acara bakar-bakar jagung dan ikan di pos ronda. Masa kamu nggak ikut."
Benarkah? Aku tak tahu itu. "Serius!?" tanyaku penuh semangat.
"Ya, memangnya kamu nggak tahu?"
"Nggak. Kalau begitu aku pergi ke sana ya, Yah! Ayah kalau mau pergi tinggal saja kuncinya di bawah pot."
Sebelum pergi, aku mengganti pakaianku dengan kaos polos dan celana pendek selutut. Jaket hitam berbahan katun hanya kubawa, tidak kupakai. Hatiku sedang gerah. Mungkin itulah penyebab badanku ikut gerah padahal sore tadi gerimis mengundang.
Sesampainya di sana aku melihat Ayu. Dia memberiku senyum dan menawariku sosis panjang yang ukurannya segede belalai gajahku. Ketika melihatku hendak memakan sosis ini, mereka langsung tertawa. "Kamu tega memakan belalai gajah punyamu sendiri?"
"Argh!"
Bersama mereka, akhirnya aku bisa melupakan rasa kesalku terhadap Reno. Kami tertawa membicarakan cinta, kami ketakutan membicarakan hantu. Jika tadi aku berkata hidup itu bukan hanya tentang uang, maka sekarang aku akan berkata hidup itu bukan hanya tentang cinta. Nyatanya aku merasa bahagia bercanda dan tertawa bersama mereka. Lupakan sejenak Reno dan nikmati hari ini dengan senyuman. Sialnya, senyumku langsung memudar ketika mereka berkata, "Kok nggak ada si Reno?" tanya Rizky.
"Tadi pagi aku lihat dia sama Enok naik motor entah ke mana. Mungkin mereka jalan-jalan terus kejebak macet, jadi ya nggak bisa gabung sama kita."
Perasaanku kembali anjlok. Dasar Reno! Menghilang dari pagi ternyata sedang asik-asiknya jalan-jalan sama Enok.
Aku merasa kecewa, aku merasa sedih, aku merasa ... apa lagi? Aku tak bisa mendikte bagaimana perasaanku sekarang ini. Aku hanya merasa kesal dan ingin marah. Untungnya mereka mampu menaikkan kembali perasaanku ke titik bahagia. Namun percuma saja. Ketika waktu terus bergulir, hingga jam di tanganku menunjuk pukul 12 kurang, hatiku merasa kosong dan hampa.
"Yuk, kira pergi ke kapling sekarang," ajak Ayu.
"Kapling? Ngapain ke sana?" tanyaku.
"Kapling adalah area terbuka. Di sana kota Bandung terekspos dengan jelas, jadi sudah pasti tempat terbaik untuk melihat kembang api adalah di sana."
Lalu di sinilah aku berada. Berdiri di tengah lautan manusia yang ingin melihat kembang api kota. Sejujurnya aku ingin pulang saja dan ingin cepat-cepat memejamkan mata. Sayangnya Ayu memaksaku untuk ikut dan melihat berapa indahnya kembang jika dilihat dari sana. Baiklah tak masalah. Karena ternyata memang seru dan cukup meriah.
"1 menit lagi ..."
"Ya, satu menit lagi."
Di detik-detik terakhir kami semua menghitung mundur. "10 ... 9 ... 8 ... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1 ... selamat tahun baru!"
Suara terompet dan kembang api saling bersahutan. Jika di Jakarta, aku menikmati tahun baru dengan teman-temanku di sana. Biasanya kami naik motor pergi ke suatu tempat dan menikmati detik-detik pergantian tahun di tengah jalan karena macet. Tetapi di sini terasa beda. Aku baru menyadari, bahwa tidak adanya Reno membuat keadaan ini tercipta. Mungkin jika ada Reno pikiranku akan terfokus padanya, bahkan mungkin selangkangannya. Demi apapun, sampai saat ini aku selalu memikirkan selangkangan Reno. Jadi, kurasa aku harus berterima kasih pada Enok karena telah membawa Reno pergi jauh di kampung ini!
***
Jam 5 subuh aku terbangun.
Aku melihat kepala Reno menyembul di balik pintu. Dia memakai sarung dan peci yang nampak kekecilan di kepalanya. Bibirnya tersenyum lebar yang artinya : maafkan aku. Aku sudah menduga dia akan berekspresi seperti itu. Aku kan bulak-balik menanyai dia pada Ayah jadi pasti Ayah memberi tahunya bahwa aku mencarinya kemarin. Aku tak akan bertanya ke mana saja dia pergi, aku hanya senang dia datang dan duduk di sampingku.
Mungkin seseorang akan sukar untuk mempercayai. Tetapi bagiku, semarah apapun aku pada Reno, ketika melihatnya duduk di sampingku sambil memberingan senyu terhangatnya, aku tak bisa marah padanya. Malah aku ingin memeluknya erat dan kuat. Mengatakan padanya bahwa aku rindu sehingga membuat dia berpikir bahwa ada seseorang yang menunggunya dengan penuh kasih sayang. Terdengar murahan? Aku tahu. Sayang sekali aku tak peduli.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Reno. Dia menatapku lekat sambil ngupil. Aku ingin menjitak kepalanya dan telah kulakukan. "AW! Kebiasaan!" Aku nyengir.
"Aku sayang kamu. Kamu tahu itu kan?" Entah kenapa aku mengatakan itu. Aku bingung. Aku lega mengatakannya. Aku hanya ingin tahu betapa aku mencintainya. Hanya itu.
"Ya, saya tahu." Dia tidak menatapku ketika mengatakan itu. Aku hanya bisa menghela nafas.
"Ingin kubuatkan kopi? Atau teh?"
"Kopi saja."
"Baiklah! Tunggu sebentar, Ren." Sebelum pergi aku tersenyum padanya. Dia membalas senyumku.
Sisi lain dalam hatiku berkata, harusnya aku marah. Seharusnya aku menuntut. Seharusnya aku bertanya kenapa dia menghilang seharian kemarin. Namun sisi lain dalam diriku berkata jangan. Jika aku banyak menuntut, ada kemungkinan Reno akan meninggalkanku. Pergumulan batin itu berlangsung selama ketika aku membuat kopi. Seakan ada sisi hati yang menyuruhku untuk tetap tinggal dan meninggalkan.
'Kamu mengetahui, di dalam mata Reno masih ada Enok.'
'Kamu pun mengetahui, di mata Reno ada kamu. Jadi jangan dengarkan dia.'
'Memang ada. Tapi hanya sekian persen.'
'Seiring berjalannya waktu akan meningkat.'
'Diam! Kenapa tidak memilih Bang Zaki saja? Dia sudah pasti. Dia akan mencintaimu lebih besar dari siapapun di dunia ini.'
'Zaki? Mungkin benar, tetapi itu dulu. Sekarang dia sudah tak terlihat dan mungkin raga dan hatinya sudah ada yang punya.'
'Tinggalkan Reno. Kamu akan terluka.'
'Kamu tahu bersamanya kamu akan merasa bahagia.'
'Oh ayolah! Lihat sikapnya padamu sekarang!'
'Lalu, ketika kamu meninggalkan, apakah kamu akan merasa bahagia? Tentu tidak, bukan? Kebahagiaanmu sederhana. Hanya ketika berada di sisi Reno dan melihat senyum hangatnya ditunjukkan untukmu, kamu merasa cukup. Jadi jangan tinggalkan dia. Jangan pernah.'
Pada akhirnya, pergumulan hati itu dimenangkan oleh sisi hati yang menyuruhku untuk tetap tinggal. Aku tak tahu. Sekali lagi aku merasa bingung. Tapi aku hanya ingin mengatakan, betapa puasnya aku melihat dia tersenyum.
"Ini kopinya, Ren." Aku sedikit gemetaran ketika mengantarnya. Mungkin aku karena dingin, makanya aku gemetar.
Aku melihat bibirnya yang sedikit kemerahan itu terbuka. Perlahan dia meminum kopi buatanku kemudian berkata, "Kopinya enak. Pas. Tidak terlalu manis, tidak juga terlalu pahit."
"Terima kasih."
"Kamu sudah salat?" Aku mengeleng.
"Kalau begitu aku salat dulu." Aku berdiri kemudian berjalan pelan menuju pintu. "Boleh pinjam pecinya?"
"Oh tentu."
"Terima kasih."
***
Hari ini, aku berjanji tidak akan pernah melupakannya. Hari di mana untuk pertama kalinya Reno mencium bibirku. Saat itu aku sedang membasmi ulat bulu di kebun. Ayah sedang pergi entah ke mana, dan gerakan cepat dia menciumku sambil tersenyum. "Saya pulang dulu."
***
Aku sakit. Aku demam tinggi. Setiap kali aku terbangun, aku melihat ada Reno di sampingku. Dia selalu berkata aku akan baik-baik saja. Nyatanya aku tidak baik-baik saja. Hati ketujuh ketika aku sakit aku dibawa ke rumah sakit. He? Aku terkena penyakit maag tinggkat akut. Kebingungan semakin melanda kehidupanku. Bagaimana aku bisa terserang penyakit ini? Aku makan dua hari sekali meskipun selalu tidak habis. Tetapi tetap saja bukan? Asupan makananku terjaga.
***
Selama satu minggu aku di rumah sakit. Ketika pulang, aku merasa sehat dan baik-baik saja. Aku mencoba menjalani keseharianku dengan memberi makan kuda, sapi, mengambil daun kuning di kebun, dan ketika melihatku begitu Reno langsung memarahiku. "Kamu belum sehat, Rey. Tidur saja di kamar."
"Aku bosan, Ren. Aku tak punya teman bicara."
***
1 bulan berlalu. Aku mendapat surat dari Reyhan. Katanya dia sudah pindah ke Bandung dan saat ini dia sedang bekerja di perusahaan swasta dekat dengan alun-alun. Dalam suratnya, dia tak menjelaskan apapun soal teman-temanku di Jakarta. Mungkin kah mereka sudah melupakanku? Jika tidak, kurasa Reyhan akan menulisnya.
Satu hari setelah surat Reyhan kubaca, aku langsung pergi ke tempat kosannya. Wajahnya nampak berubah dan lebih dewasa. Dia terkejut ketika melihatku. "Dari mana kamu mendapatkan luka ini?" tanyanya.
"Digebukin preman. Aku hampir mati lho. Untung ada orang yang menemukanku jadi ya aku baik-baik saja."
"Setan! Kamu hampir mati dan kamu enteng-enteng saja mengucapkannya?"
"Hahahahaha."
"Grey."
"Ya?"
"Maaf soal waktu itu. Aku emosi. Begitu pun dengan Dewi dan teman-temanmu yang lain. Kami yang salah karena telah memaksamu untuk pacaran dengan Aura padahal jelas-jelas kamu tidak menyukainya. Sekarang dia sudah pacaran dengan pengusaha kaya. Sebentar lagi mereka menikah. Kali ini aku sedang tidak bercanda. Jadi, kuharap kamu tidak menyesal telah menelantarkan dia."
Aku terkekeh. "Menelantarkan? Kayak anak kucing saja ditelantarkan." Reyhan meminum kopi di tangannya dengan sekali teguk. "Lagian aku sudah bahagia. Aku sudah punya seseorang. Hmmm kuharap begitu."
"Siapa? Sial, kamu tidak pernah cerita padaku soal kisah asmaramu, Grey."
"Andai aku bisa. Sayangnya tak mungkin kulakukan hahahahaha."
"Kenapa? Apakah karena pacarmu pria?"
"What!?"
"Aku tahu, Grey. Aku tahu."
***
Aku hampir lupa kapan terakhir kali aku menangis. Bahkan aku lupa bagaimana caranya. Hari ini Reno menangis. Apakah kamu pernah melihat? Cowok penuh otot seperti Reno menangis hanya karena ... dia kehilangan uang belasan juta untuk biaya pernikahannya dengan Enok? Oke, aku tak tahu apakah Reno jadi menikah atau tidak. Yang dia katakan dulu adalah untuk membuktikan pada Ayah Enok bahwa dia bisa mengumpulkan uang dan bisa membiayai kehidupan anaknya kelak.
Jika kalian membayangkan Reno menangis tersedu-sedu, tentu saja bayangan kalian terlalu berlebihan. Reno menangis dalam diam. Dan ketika menangis aku hanya bisa memeluknya erat. Bagi Reno dan semua orang di kampung ini, uang belasan juta harganya sangat besar bagi kami. Jika harga nasi goreng adalah 200 rupiah, bayangkan sebanyak apa Reno bisa membeli nasi goreng dengan uang belasan juta?
"Pasti si Zaki yang mengambil uang saya!"
"Eh? Kok ke Bang Zaki?"
"Karena dari dulu dia senang melihat saya sengsara!"
"Salahmu sendiri tidak menyimpan uangmu di bank."
"Jadi kamu lebih membela si Zaki dibandingkan saya!?"
"Yos yos yos. Maafkan aku Reno sayang."
"Sudah ah, saya mau pulang dulu." Aku mengikuti langkah Reno. "Ngapain kamu ngikutin saya?"
"Aku mau menginap di rumah kamu toh sudah 2 bulan aku tidak ke rumah kamu."
Mata Reno menyipit. "Awas saja kalau bikin ulah. Orang tua saya nggak boleh mengetahuinya."
Ketika sampai di rumah Reno, aku malah membantu Ibunya memasak untuk dijual di warungnya. Reno sendiri entah pergi ke mana. Baiklah tak masalah. Jarang sekali aku mengobrol dengan sesosok wanita bernama Ibu. Andai Ibuku masih hidup. Mungkin aku tidak akan merasa melodrama seperti ini.
"Kamu sudah punya pacar, Grey?"
"Belum, Bu."
"Lah kok bisa? Masa nggak ada yang mau sama kamu. Kamu kan ganteng, nggak kayak si Reno tuh."
Anak Ibu juga ganteng kok. Ganteng banget malah. Ingin rasanya aku menjawab seperti itu, sayangnya mustahil kulakukan. Reno sudah mewanti-wanti diriku untuk tidak bersikap aneh. "Jangan kayak si Reno, Grey. Dia belum juga mengenalkan pada Ibu calon istrinya padahal kan Ibu ingin segera menimang cucu." Belum juga mengenalkan? Ah, pasti Reno tidak pernah menceritakan masalah asmara pada Ibunya.
"Haha masa sih, Bu? Bukannya si Reno jadi idola ya di kampung ini?"
"Hush mana ada. Kamu tuh yang jadi idola. Setiap ada pembeli dari kampung sebelah, orang pertama yang ditanyai adalah kamu lho, Grey. Aneh-aneh pertanyaannya mulai dari, apakah kamu menyukai wanita yang giginya tonggos, yang rambutnya ikal, yang pahanya montok, bahkan ada yang bertanya apakah kamu rela punya istri dua." Mustahil. "Aneh kan?"
"Hahahaha."
"Jadi kamu menyukai wanita yang seperti apa? Biar Ibu jawabnya nggak bingung kalau ada yang tanya lagi."
Yang ada bukit dan burungnya! Itu lho, seperti anak Ibu.
"Yang baik dan cantik hehe." Jawaban klise.
"Sip sudah beres. Kalau kamu mau istirahat langsung saja ke kamar si Reno, Grey. Jangan sungkan. Kalau lapar tinggal makan saja."
Lama aku menunggu Reno. 1 jam, 2 jam, 3 jam dia belum juga kembali hingga aku pun ketiduran. Jam 12 malam aku terbangun. Di sampingku sudah ada Reno. Dia tertidur sembari mendengkur halus. Belalai gajahku tiba-tiba berdiri ketika melihat wajah Reno dari dekat. Aku ingin menciumnya. Mumpung dia sedang tertidur pulas, aku memberanikan diri untuk mengganyang mulutnya. Tiba-tiba ketika aku sudah merasakan nikmat, Reno memukul wajahku, membuatku mengaduh kesakitan.
"ARGH!"
"Maaf, Rey. Saya teh kaget. Lagian sudah saya bilang kan jangan melakukan hal yang aneh-aneh! Kalau ketahuan gimana?"
Sial. Aku merasa nyeri yang sungguh luar bisanya di daerah hidung. "Gak harus mukul juga kali!" Rasa sakit itu menghilang setelah waktu berjalan selama 30 menit.
"Saya ngantuk. Kita tidur lagi." Kali ini Reno tidur membelakangiku. Aku masih tidak puas. Aku merasa libidoku sedang ada di puncak paling tinggi. Aku harus menuntaskan apa yang aku mulai.
Perlahan tanganku bergerak untuk memeluk pinggang Reno. Tubuhku beringsut setelah aku berhasil mengunci pinggangnya. Aku membenamkan hidungku di tengkuk Reno. Dia berdeham dan menyuruhku untuk melepaskan pinggangnya. Aku menolak. Aku ingin menghirup aroma tubuh Reno sepuas mungkin. Rambutnya wangi sekali. Dan ketika kuturankan hidungku menuju bahunya, aku memberanikan diri menjilat area sana. Reno menggeram, tetapi masih tak kulepaskan.
"Hmm."
"Rey saya ingin tidur! Lepaskan atau saya pukul lagi."
"Pukul saja kalau berani." Aku berhenti menjilat bahunya. Tubuh Reno berhenti berontak. Setelah dia sudah tenang, aku semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Kutempelkan belalai gajahku di pantatnya, kutekan pelan dan kupekuk dia dengan erat.
"Rey menjauh sana!"
"Nggak."
"Saya nggak bisa tidur kalau benda itu menempel di pantat saya."
"Tak apa, kamu akan terbiasa."
Nafasku semakin memburu. Sepertinya nafsu sudah menguasai diriku. Aku tahu seharusnya aku menghentikan aksi ini, karena jika terus dibiarkan, mungkin akan kelepasan untuk memaksa Reno melakukannya. Aku tak ingin kejadian waktu itu terulang kembali. Kejadian ketika Reno menatapku dengan tatapan takut seakan aku adalah penjahat kelamin yang akan memperkosa dirinya. Menit selanjutnya nafasku semakin memburu. Aku kembali menjilat bahu Reno sambil mengocok belalai gajahku. Satu-satunya jalan untukku menahan hasrat menggebu ini adalah dengan menuntaskannya. Selama lima menit aku mencoba dan syukurlah keluar juga.
Mataku melihat bahu Reno yang lebar lekat. Aku menarik nafas panjang kemudian mengembuskannya cepat. Aku melepaskan pekukanku dan ikut memunggungi dia. Aku tidak serta-merta memejamkan mata. Penglihatanku masih terbuka dan kini sedang asik memandang kaki meja yang sudah keropos itu. Tubuhku merasa kasur berguncang. Sesaat aku mengira sedang terjadi gempa. Ternyata guncangan itu diakibatkan oleh Reno. Dia memelukku kemudian berkata lirih, "Maaf." Selalu saja seperti ini. Ketika aku merasa sedih dia akan memelukku dari belakang dan meminta maaf. Selalu juga, aku tak mengatakan apa-apa. Aku tetap memandang ke depan dengan pandangan kosong hingga lelah dan terlelap sampai besok pagi.
Kali ini aku bangun lebih cepat darinya. Jam menunjukan pukul 4.30. Jam segini di kampung sudah ramai. Aku memutuskan untuk pulang, entah kenapa. Oh mungkin aku takut kemalingan, kalau tidak salah rumah pohon tidak sempat kukunci. Aku tidak ingin kehilangan satu-satunya gitar yang aku punya.
Reno ... perasaan ini semakin kuat dan mengekal. Tolong ajari aku bagaimana cara meringankan perasaan ini.
***
Bandung, 6 Januari 2018
23.16

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -