Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Zaki #6

Angin malam mencumbu semua partikel tubuhku. Lamat-lamat, dingin dan membuai. Dialah angin malamku. Yang senantiasa hadir dalam mimpiku.
Aku melihat Reno sedang menyemprotkan obat. Senyumnya tak lagi muncul di bingkai bibirnya. Entah merasa bersalah, atau dia kesal dengan sikap dinginku akhir-akhir ini. Entahlah. Aku juga berperilaku sama kayak dia. Diam ... seakan aku sedang mendiamkannya, padahal faktanya tidak begitu. Aku hanya merasa ... kotor?
Yang aku tahu kejadian kemarin bukan mimpi. Buktinya, aku merasakan sakit di bagian belakang ketika aku berjalan.
Melihat ada yang salah dengan tingkah kami, Ayah menegurku beberapa kali. Kujelaskan padanya di antara aku dan Reno tidak sedang terjadi apa-apa. Namun begitulah Ayah. Dia selalu tidak percaya jika matanya sendiri berkata demikian. Memangnya apa yang salah denganku? Aku hanya tidak ingin berbicara dengan siapapun.
Sisa hari ini aku habiskan dengan bekerja di kebun kemudian bermain kasti di lapang desa. Sudah pasti aku mengalami kekalahan telak. Reno bermain bagus seperti biasanya. Bukan berarti aku kalah dikarenakan suasana hatiku sedang kacau. Bukan, bukan begitu. Jawabannya : selangkanganku sakit! Anak konda bang Zaki sepertinya menaruh bisa di dalam anusku.
"Kamu kenapa?" tanya Ayu.
"Kamu adalah orang ke-1000 yang bertanyaku begitu." Ups. Aku melontarkan nada sinis padanya.
"Oh maaf." Dia pun pergi.
Beberapa menit kemudian Enok berkata, "Kamu kenapa sih, Grey? Nggak biasanya kamu--"
"Kamu adalah orang ke-1001 yang berkata seperti itu." Dia memutar bola mata.
"Terserah." Dia pun pergi.
Kulihat Reno sedang memperhatikanku dari kejauhan. Ketika mata kami bertemu, dia langsung memalingkan wajah. Huh, bukannya merasa kasihan, aku malah balik marah padanya. Sudah kukatakan aku tidak sedang marah, eh dia tidak percaya.
"Teman-teman, kayaknya aku kurang sehat deh! Jadi aku pulang duluan ya!" teriakku sedikit keras. Semua orang di lapang memandangku.
"Pantas saja kamu aneh hari ini, Grey!" kata Dadan.
"Sip."
"Besok kita main bola di kampung sebelah! Itu pun kalau kamu sudah sehat!"
"Sana pergi!"
Sesampainya di rumah, aku langsung naik ke rumah pohon sembari membawa satu gelas es teh manis. Di dalam rumah  pohon ini hanya ada kasur, karpet, ikan cupang dan walk man. Alat musik sederhana yang sering membuatku sedih.
Sore ini lembayung senja nampak berwarna kuning keemasan. Tempat ini sungguh menakjubkan. Mungkin besok aku akan membeli kanvas. Aku memang tidak bisa melukis, tapi aku bisa belajar menggambar, toh aku punya banyak waktu luang. Atau aku beli sekarang saja? Kurasa ide bagus. Mumpung uangku masih ada.
Aku menghampiri Ayah yang sedang mengarau nasi di dapur. "Yah, Grey ingin beli alat melukis. Boleh kan?"
"Boleh."
"Oke."
"Pergi sama Reno?"
"Sendiri."
Ayah memicingkan matanya. "Sudah Ayah katakan, Grey. Ayah nggak suka kamu bertingkah seperti anak kecil. Apa susahnya kamu baikan sama dia? Ayah juga dulu suka berantem sama Ayah Reno, tetapi beberapa menit kemudian baikan lagi. Kamu nggak malu apa sama titit kamu yang gede itu."
"Ayah dari mana tahu titit Grey gede!?" kataku rikuh.
"Kok yang kamu jawab malah tititnya?"
"Karena itu poin menariknya?"
"Hush! Pokoknya kamu harus baikan sama Reno!"
"Aku nggak berantem sama dia, Ayah!"
"Bohong! Buktinya sekarang kamu nggak ngajak dia!"
"Karena dia lagi main kasti!"
"Saya ada di sini." Kami berdua sontak melihat ke arah sumber suara. Di sana Reno sedang bersandar di pintu dapur sembari menggaruk pantatnya.
"Nah tuh dia ada."
Aku mengembuskan nafas panjang. "Hayu, sama saya diantar." Aku tak kunjung menjawab. Bukannya aku tidak ingin pergi bersama Reno, tetapi niatnya aku ingin meminjam sepeda onthelnya. Kalau dia ikut aku merasa malu.
"Grey," desis Ayah tajam.
"Apa?"
"Mau Ayah bumi hanguskan rumah pohon kamu, hah?"
Aku bergidik ngeri. Kalimat terakhir Ayah barusan terdengar menakutkan. "Yah, Grey mohon--"
"Tidak!"
Baiklah, tidak ada pilihan lain. "Yuk, Ren."
Aku berjalan ke luar rumah sambil mendumel. "Eh eh eh kamu mau ke mana? Hayu naik sepeda saya."
"Nggak."
"Hayu!"
"Naik angkot saja, Ren. Aku malu naik--"
"Malu karena sepeda saya teh jelek?" Tangan Reno berkacak pinggang. "Ya ya ya, maaf saja kalau sepeda ini membuat kamu malu."
"Ren, please. Aku nggak mau berdebat."
"Plis? Kamu mau pipis?"
"Pokoknya kita naik angkot saja."
"Kenapa kamu teh meni--"
"Ren, kalau naik sepeda gimana cara bawa barangnya?"
"Eh iya ya kamu teh pinter." Akhirnya aku dan Reno pergi membeli kanvas, kuas dan cat.
Langitnya berwarna merah, ucap hatiku. Warna keemasan tadi berubah jadi warna kemerah-merahan.
Kami pergi ke pusat kota menggunakan angkutan umum. Letaknya dekat dengan pasar, hmmm cukup dekat juga ternyata. "Dari mana kamu tahu tempat ini menjual kanvas?"
"Saya nggak tahu. Emang ini tempatnya?" Aku memejamkan mata menahan amarah. Lagian aku malas berdebat dengan siapapun.
Reno mendesah. Dia mungkin kecewa aku tidak membalas kalimat menyebalkannya.
Ternyata Reno datang ke tempat ini karena dulu dia pernah membelikan buku cerita bergambar untuk saudaranya. Cerita tentang dongeng Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Dongeng tanah kelahirannya.
Hal yang membuatku lebih kesal padanya adalah : Reno menunjukan padaku toko ke toko yang sialnya tidak ada yang menjual kanvas atau cat. Hal ini berlangsung sampai jam menunjukan pukul 8 malam. "Kamu tahu nggak sih di mana tempatnya!?" kataku. "Kalau nggak tahu bilang sa--ARGH!" Tak sengaja aku berteriak ketika pantatku menabrak baliho. Sepertinya rasa sakit di pantatku masih terasa.
"Dari tadi kamu ngebentak saya terus," ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
Aku tak memedulikan ucapan Reno. Sekarang aku ingin pulang dan mendamaikan perasaanku.
👬
Hari kedua aku masih bisa merasakan rasa sakit di daerah pantatku. Diperparah lagi ketika aku memutuskan untuk melihat tanding futsal di kampung sebelah, aku melihat bang Zaki, yang sialnya dia juga telah melihatku. Mending kalau dia hanya melihat saja. Tapi ... dasar bebal! Dia malah menghampiriku dan mengajakku ngobrol, membuat mata Reno tak bisa berhenti untuk memandangku tajam dan sukses membuat anak-anak bertanya-tanya.
Bang Zaki mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Gimana? Masih sakit?" ucapnya pelan.
"Sa-sakit, bang." Aku gugup bukan karena aku merasa takut, tetapi aku risih dengan pandangan teman-temanku yang selalu memperhatikanku dan bang Zaki. Oke, mereka wajar melakukannya, karena pria di depanku ini memang benar-benar barbar. "Mau lagi?"
Kalimat terakhirnya sukses membuatku murka. "Sebelum itu terjadi, akan aku patahkan leher kamu jadi dua, bang!"
"Yakin? Kalau begitu bagaimana kalau kita taruhan? Kalau kamu gagal melakukannya, kamu harus siap-siap main sama saya 10 ronde." Sontak tubuhku merenggut. Ucapan tadi adalah ucapan paling tidak lucu yang pernah kudengar. 1 ronde saja aku merasa tersiksa, apalagi jika dia melakukannya sebanyak 10 kali?
Mendadak hati kecilku berbisik, bukankah kamu menikmatinya, Boy?
Tidak! Siapa bilang aku menikmatinya? Aku hanya merasa keenakan sedikit. Sedikit ya nggak banyak. Namun, apakah benar begitu? Jujur saja sampai saat ini aku masih memikirkan bagaimana rasanya. Pasti kalau Reno yang melakukannya akan terasa nikmat. Tapi titit punya dia kecil sedangkan punya bang Zaki gede. Tunggu ... bukannya kalau kecil tidak akan terasa sakit? Apa!? Enyahlah! Kenapa aku bisa berpikir seperti itu?
Bang Zaki mendekatkan bibirnya lagi ke telingaku. "Tenang saja, Boy. Saya tidak akan memperkosamu lagi. Saya cuma mau bilang, kalau kamu bingung, kamu bisa datang kepada saya. Saya bisa membantumu untuk memahaminya." Bang Zaki pun pergi. Aku tahu apa maksud bang Zaki soal kata 'memahaminya.' Dia tahu kegamanganku. Dan seharusnya aku tahu, aku bukanlah anak kecil yang asing sekali dengan istilah 'gay.' Di kampus, kami sering mengejek orang-orang seperti itu, terutama pria yang tingkahnya kemayu dan berdandan seperti perempuan. Selama ini kurasa aku hanya berusaha menyangkalnya. Tidak, tentu saja aku normal. Aku masih menyayangi Aura. Jadi, aku pria normal kan? 5 nggak kayak perempuan. Jadi mana mungkin aku menyukai Reno apalagi bang Zaki.
Selepas kepergian bang Zaki, Reno langsung datang menghampiriku. Dia tidak berbicara, sebaliknya dia menggeram kayak kucing liar yang takut makanannya direbut paksa. “Apa?” kataku.
“Sudahlah. Kamu hanya belum tahu gimana belangsaknya dia. Silakan kamu ngobrol sama dia, saya teh nggak peduli.” Dia balik lagi main futsal. Ngomong-ngomong, kami bermain di lapangan terbuka. Itu sebabnya bang Zaki bisa melihatku dan berani menghampiriku.
Tak tahukan dia? Aku sangat tahu bagaimana bobroknya kelakuan bang Zaki. Jadi, kamu tidak perlu lagi menasehatiku lagi, Ren. Sangat tidak perlu.
Selama mereka istirahat, aku lebih sering mengobrol dengan Dadan dan Enok. Ternyata hal itu membuat Reno cemburu padahal kan aku tidak bermaksud begitu. Tunggu, kurasa cemburu bukan kata yang tepat. Hmmm apa ya? Intinya dia merasa aku masih marah padanya sehingga aku lebih memilih untuk tidak mengobrol dengannya. Haruskah kukatakan pada Reno aku baik-baik saja? Atau ... haruskah aku katakan pada Reno aku habis diperkosa oleh bang Zaki? Yang ada dia kalap dan mungkin akan membunuhku karena aku tidak menuruti perkataannya.
Di tribun penonton hanya ada aku dan Enok. Kebetulan saat bang Zaki datang Enok sedang beli cilok dan colenak. Ayu tidak ikut nonton karena dia sedang ikut kursus menjahit. Jadilah kami berdua menonton mereka sambil makan cilok yang rasanya enak sekali.
Jam empat sore permainan selesai. Kami beramai-ramai berjalan mencari angkutan umum yang biasanya nangkring di depan stadion bola kota ini. Stadion? Aku malas melabeli lapang penuh tanah dan kotor itu dengan stadion. Maksudku, tanahnya tidak ada rumput sama sekali. Mending kalau tanahnya keras, lah ini bentuknya kayak padang pasir. Jika hujan turun, tanahnya gembur siap untuk ditanam terong-terongan.
“Jadi besok kita ngapain?” kata Dadan.
“Gimana kalau pergi ke kavling?” tanya Enok. Oke, tempat itu adalah tempat yang ingin Enok kunjungi.
“Ada apa di sana?” tanya Toni.
“Ada ... apa saja? Kalian bisa mencari undur-undur, kalian bisa mencari benceuh, kalian bisa menangkap capung, kalian bisa menangkap—”
Hoream teuing!” kata Reno cepat yang artinya malas sekali.
“Aku belum selesai, monyet!” Tangan Enok langsung bersedekap marah. “Kalian bisa menangkap burung. Lihat? Seru bukan? Di sana kan banyak pohon, terus terakhir kulihat banyak sarangnya. Dan dengar-dengar,” Enok mendekatkan bibirnya ke arah kami. “kata Ayahku di sana ada burung Anis Merah dan burung Kenari. Harga kedua burung itu di pasar bukankah—”
“Besok jam empat sore kita pergi ke sana,” kata Dadan cepat. Aku mendesah. Dilihat dari segi apapun, sudah jelas perkataan Enok tidak ada benarnya sekali.
Di angkot, Reno duduk di sebelahku. Padahal tadinya yang akan duduk di situ adalah Dadan. Tetapi dengan tingkah menyebalkannya Reno berkata, ‘Eh eh eh saya yang duduk di situ kamu minggir sana.’ Selalu, kalau situasi diluar jangkauannya dia selalu berkata ‘eh eh eh’ yang terdengar menyebalkan sekali.
Bukannya pulang, Reno malah menguntilku sampai rumah. “Makan, Ren?” kata Ayah.
“Tidak, Om. Terimakasih.”
“Tapi Om sudah masak banyak.”
“Beneran? Kalau begitu saya makan di sini saja.” Aku memutar bola mata sebal.
“Kalian sudah baikan?” tanya Ayah. Inginnya sekarang aku tersedak tetapi anehnya makananku aman-aman saja masuk ke dalam tenggorokanku.
“Ya kamu sudah bai—”
“Saya teh sudah minta maaf Om sama dia. Tapi dianya nggak mau memaafkan saya. Tadi saja dia nggak mau bicara sama saya.” Mata Ayah melotot memandangku. Baiklah, jika tadi pagi kilat matanya masih bisa aku terima, kali ini tidak. Ayah ... marah. Demi Tuhan, apakah aku harus berkata pada mereka bahwa aku tidak marah pada siapapun di ruang makan ini? Kurasa aku harus menahannya sendiri.
Aku ... harus menahan kegamanganku sendiri, rasa sakit di area pantatku sendiri, rasa kesalku sendiri, rasa benciku sendiri, rasa marahku sendiri. Aku menunduk lama hingga akhirnya mengembuskan nafas panjang. Jika pria hebat adalah pria yang mampu menyembunyikan semua masalahnya tanpa diketahui oleh orang lain, kurasa aku akan mencobanya. Mencoba menjadi pria hebat seperti itu. Meskipun ... aku harus membodohi orang-orang yang aku sayang.
“Iya saya kesal sama dia,” tunjukku tepat di depan mukanya. Mata Reno langsung membelalak seketika. “Tapi sekarang sudah tidak.”
“Kesal kenapa?” tanya Ayah.
“Yah, masa aku harus—”
“Ke-sal ke-na-pa.”
Aku harus menjawab apa? Oh yang benar saja. “Eng ... kesal karena dia menghilangkan jaket abu-abuku.”
“Benar kamu menghilangkannya, Ren?” tanya Ayah.
“Iya, Om. Maaf Rey, saya sudah menghilangkan jaket kamu.”
“Nah dia sudah minta maaf berkali-kali. Ya ampun, Ayah nggak nyangka punya anak yang gampang marah kayak kamu. Cepat baikan sana, terus selesaikan makannya. Kalau Ayah lihat kalian berdua tidak berbicara lagi, yang pertama kali Ayah bela adalah Reno, Grey. Camkan itu.”
Baiklah. Aku benar sudah melakukannya.
Setelah makan aku tidak pergi ke kamar, tetapi pergi ke rumah pohon. Reno masih menguntilku padahal sudah kukatakan padanya untuk segera pulang. “Ren, kamu pulang saja. Ayah sama Ibu kamu pasti khawatir.”
“Dan sekarang kamu ngusir saya? Setelah akhir-akhir ini kamu ngebentak saya?”
Aku mengernyitkan alis. Sejak kapan Reno jadi orang sensian? Dia memandangku dengan tampang penuh luka, membuatku bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Reno? Dia seakan ingin mengatakan sesuatu namun tidak ada satu kalimat pun yang meluncur di mulutnya. Hingga akhirnya dia berjalan menuju ikan cupang yang ada di jendela. Memainkan ikan cupang itu sembari melihat layung yang berwarna kuning kemerah-merahan di langit pada saat matahari akan terbenam. Dia terlihat tampan sekali. Sangat lelaki sekali. Sangat jantan sekali. Dadaku kembali bergemuruh melihatnya seperti itu.
“Saya tahu kamu marah kepada saya bukan karena saya menghilangkan jaket kamu,” katanya setelah ada jeda sekian lama. Kalimat itu sukses membuat tubuhku gemetar. Apakah dia tahu soal apa yang telah bang Zaki lakukan padaku? Jika iya, apa yang harus aku katakan padanya? “Kamu pasti marah gara-gara saya marah.” Alisku semakin terangkat setinggi-tingginya. “Tidak, bukan marah sebenarnya. Tetapi karena saya ngebentak kamu pas kamu menggigit dada saya. Atau mungkin gara-gara kamu penasaran gimana rasanya ciuman, terus kamu memintanya pas malam itu, tapi saya tolak. Benar kan?”
Rasa takutku menghilang seketika. Ingin rasanya aku memukul kepada Reno bertubi-tubi atas pemikiran bodohnya. Dasar bodoh! Dasar Bodoh! Dasar bodoh! Kenapa dia bisa berpikiran ke arah sana?
“Ren—”
“Kalau begitu ... kamu bisa melakukannya sama saya. Saya tahu nggak mungkin kamu melakukannya sama pacar kamu karena dia ada di Jakarta, jadi, kita boleh mencobanya.” Nafasku rasanya berhenti seketika. Tubuhku menegang, kakiku kaku, tetapi tidak dengan jantungku. Deg deg deg. Aku bisa merasakan denyutnya. “Ayo sini,” kata Reno. Mataku tak kuasa untuk memandangnya. Kujatuhkan pandanganku ke lantai, membuatku tak sadar kalau ternyata Reno mengalungkan tangannya di pundakku.”
“Ren—”
“Stttt.”
Kini Reno memegang kepalaku. Di balik lembayung senja sore ini, aku bisa melihat wajahnya bersinar. Aku memanggilnya beberapa kali. Tetapi dengan sigap Reno menyuruhku untuk tidak bersuara. Hingga akhirnya, kepala Reno perlahan mendekat. Sontak aku menahan nafas. Ketika bibirnya yang ranum itu menempel di bibirku, aku pun mengalami sengatan listrik yang tidak bisa kuutarakan bagaimana bentuknya.
Aku masih enggan membuka mulut meskipun ingin. Namun ketika lidar Reno keluar menyapu bibirku, aku tak bisa menahannya. Mataku sontak terpejam. Aku merapatkan tubuhku untuk mendekat ke rubuhnya. Reno masih memegang kepalaku. Itu berarti, dia yang akan bertingkah aktif.
Ciuman kami semakin dalam. Beberapa kali nafasku tertahan. Ini gila. Aku tidak bisa menghentikan ini. Aku suka mulut Reno, aromanya, rasanya, dan sensasinya. Ciuman ini lebih hebat daripada ciuman bang Zaki. Aku bisa merasakan semua indra tubuhku terpacu, darahku berdesir-desir dan pikiranku yang kacau.
Tangan Reno semakin kuat menahan kepalaku supaya aku tidak lepas dari jangkauan bibirnya. Lidah kami saling bersentuhan, menyesap apapun cairan yang menempel, juga mengambil apapun yang ada di sana. Ciuman kami semakin liar. Semakin dalam dan dalam. Hingga akhirnya kepalaku bisa berpikir jernih meskipun hanya sedikit. Hal dipicu oleh reaksi pen*sku yang kian menegang. Reaksi itu menjawab semuanya. Rasa nikmat ini, rasa mendamba ini, rasa ingin memiliki ini, kegamangan ini, apa namanya kalau bukan gay?
Seharusnya aku tahu ketika aku tak bisa mengalihkan pikiranku dari sosok Reno. Seharusnya aku tahu ketika di malam pertama kami menginap, tanpa sadar aku menciumnya. Seharusnya aku tahu ketika Aura memintaku untuk segera menikahinya, aku merasa tertekan. Seharusnya aku tahu ketika Reno berkata dia akan segera menikahi Enok setelah uangnya terkumpul, aku merasa tidak rela. Seharusnya aku tahu ketika di hari itu aku berkata aku menyayanginya. Seharusnya aku tahu ketika bang Zaki memperkosaku, reaksi tubuhku malah ada yang menikmatinya. Seharusnya aku tahu ... ketika saat ini kami berciuman ... aku tidak ingin menghentikannya. Entah kenapa semua itu membuat hatiku sakit.
“Rey, kamu menangis?” Reno berusaha menghentikan ciuman yang sedang kami lakukan. “Maaf, kamu pasti merasa jijik.” Reno langsung memelukku kuat. “Maaf, maaf, maaf.” Mendengar kalimat itu tangisku semakin membuncah. Kubenamkan kepalaku di dada Reno. Di sana aku menangis sejadi-jadinya. Kupeluk tubuhnya kuat-kuat, karena aku tahu, aku tidak akan pernah bisa memeluknya seerat ini suatu hari nanti. Dia milik Enok. Mungkin hal itulah yang membuatku sedih.
Apa yang harus kulakukan atas perasaan ini?
Halo, bagaimana menurut kalian soal konflik batin si Grey?
Saya hanya ingin berkata, bagi kalian yang merasakan konflik batin seperti Grey, atau ada di posisi denial dan mempertanyakan, saya harap segeralah kalian menjauhi dunia seperti ini atau tutup semua rasa penasaran kalian. Karena ketika kalian penasaran, perasaan itu kian mendalam dan akhirnya you know about your self.
Kalian boleh meninggalkan cerita ini kalau dirasa kurang bermanfaat. Lol. Well, nih cerita memang nggak ada manfaatnya sih L jadi saya usahakan ada faedahnya meskipun sejumput wkwkwk. Dan bagi kalian yang sudah terlanjur coba-coba dan ada di posisi menerima secara penuh, mungkin kalian bisa membacanya sampai akhir, berharap kita bisa berdiskusi soal dunia seperti ini di cerita saya. Saya open minded sama pandangan kalian. Duh, ngomong opo tho?
Meskipun saya open minded, saya menolak perdebatan soal apakah menjadi gay itu benar atau salah.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -