Senin, 15 Januari 2018


Preman Pasar : The Outside of Madness

Zaki #5

Warning! Part ini berisi sex konten, kekerasan dan umpatan kasar! Jadi yang belum cukup umur atau tidak suka hal yang berbau ketiga hal di atas, hush hush, menjauh ya! Tidak membaca part ini tidak akan membuat kalian bingung. Jadi saya mohon dengan sangat.
Terutama yang umurnya masih di bawah 17 ya. Serius, saya nggak rido kalau kalian baca part ini. Kenapa? Trust me. Pokoknya jangan. Awas kalau kalian bandel. So, ini adalah part yang membuat diri saya gamang sebenarnya. Mungkin suatu saat akan saya hapus bagian ini. Lol. Atau saya pindahkan ke blog pribadi saya.
Terakhir jangan aneh sama typo ya. Juga sama kalimat yang nggak nyambung.
Vote ya. Supaya si Zaki nggak sedih.
👬
Pedang yang terpancang kuat di atas semak-semak itu kian membesar. Berdiri tangguh, menjulang tinggi, berkedut-kedut pasti.

"Dan juga akan melakukan ...."
Bang Zaki mengangkat tanganku. Detik berikutnya aku merasakan permukaan kasar di ketiakku yang kutahu itu adalah lidah bang Zaki. Aku berontak. Nahas, sekeras apapun aku berusaha, aku hanya akan melukai diriku sendiri. "Hmmm!"
"Kamu tahu, Boy? Saya selalu ingin melakukan ini. Sejak pertama kali kita bertemu, saya ingin menelanjangi kamu." Bang Zaki semakin buas menjilat ketiakku. Dia gila! Otaknya sudah tidak waras. Hal yang dia lakukan adalah hal paling menjijikan yang pernah kupikirkan. "Tubuh kamu wangi," lanjutnya. "Hingga akhirnya saya tahu, ternyata kamu sama seperti abang. Jadi kenapa musti berontak? Bukannya kamu juga menikmatinya?"
Laki-laki barbar! Siapa pula yang menginginkan dia! "HMMM!"
"Tong sok ngabohong. Saya nggak suka. Jujur saja pada diri kamu sendiri. Buktinya, waktu itu ***t** kamu tegang, kan?" Waktu itu? Aku ingat. Memang benar benda keramatku tegang, tetapi aku yakin penyebabnya bukan laki-laki sialan di depanku ini. "Saya sebenarnya ingin mencium mulut kamu tetapi ... takut ah hahahaha. Takut digigit." Bang Zaki tersenyum tipis. Dia menaikkan alisnya beberapa kali hingga akhirnya melepaskan baju dan celananya. Melihatnya seperti itu, sesuatu di dalam celanaku menegang. Sial sial sial!
Be-berati benar? ***t**ku tegang gara-gara bang Zaki? Belegug siah! Jangan panggil dia dengan sebutan 'bang' tetapi setan saja. Aku tak sudi menyebut namanya lagi sekarang. "Emmmm," erangku tiba-tiba ketika mulut bang Zaki menjilati putingku. Dia melakukannya sambil menatap ke arahku, dengan tatapan mencemeeh tentunya, sedangkan aku menatapnya dengan tatapan hina.
Kini aku bisa merasakan lembab di dadaku. Lidahnya yang kasar itu membuat tubuhku menggelinjang beberapa kali. "Saya bisa merasakan pedangmu menusuk-nusuk pedangku, Boy," lirihnya pelan. Tiba-tiba dia menghentikan aksi tak bermoralnya, berganti memandangku intens dengan nafas sedikit terengah-engah. "Saya nggak kuat. Kalau kamu berteriak atau menggigit bibir saya, akan saya patahkan pedang kamu jadi dua." Mataku membelalak. A-apa yang akan dia lakukan?
Ternyata bang Zaki membuka isolasi di mulutku dengan sekali hentakan, membuatku merintih seketika karena rasanya sungguh menyakitkan. "Kumohon bang, hentikan," ucapku parau. "Kumohon, bang. Kumo--hmmm." Bang Zaki melumat mulutku buas. Dia memasukan lidahnya ke dalam mulutku, menyapu bersih semua rongga di sana, membuat tubuhku lagi dan lagi menggelinjang hebat. Sebisa mungkin aku berusaha menutupnya. Tetapi lidah bang Zaki memaksa masuk, kuat dan ... menakjubkan. "Ahhh."
Mulutnya memang bau rokok. Tetapi ini adalah ciuman pertamaku--mungkin kedua, ciuman pertama dicuri oleh Reno, yang sayangnya membuat gairah dalam tubuhku naik.
Sekarang aku membayangkan, jika ciuman dengan sesama pria bisa sedasyat ini, bagaimana kalau aku ciuman dengan pria? Anehnya aku malah bergidik ngeri dan tak mampu membayangkannya.
Lidah bang Zaki semakin liar. Aku terkejut tatkala bang Zaki mengumpulkan air liurnya kemudian memasukannya ke dalam mulutku. Dia tertawa.
Bang Zaki menghentikan aksi ciumannya. "Lihat? Kamu mendesah." Sontak aku menggeram. Kenapa aku bisa mengeluarkan erangan kenikmatan?
"CUIH!" aku meludahi mukanya. Dia tertawa terbahak-bahak. Bang Zaki mengusap alir liurku di mukanya kemudian dia masukan ke dalam mulutnya. Aku memandangnya jijik.
"Jangan begitu, Boy." Tangannya yang besar perlahan mengusap daguku. "Sikapmu tadi membuat saya sedih."
"Bang kumohon, lepaskan aku!" geramku marah. Aku tak berani menghardiknya, takut dia mematahkan ***t**ku tanpa pikir panjang.
"Dengan satu syarat," katanya.
"Apa? Cepat katakan, bang. Apapun permintaannya akan aku penuhi," ucapku antusias.
"Kamu ... harus jadi milik saya."
"A-apa maksud abang--eugh! Bang tanganku sakit bang!" spontan aku berteriak ketika tak sengaja aku memutar tanganku, membuat tali itu menekan pergelangan tanganku.
"Kamu ... harus jadi milik saya. Masa gitu saja nggak ngerti, tho?"
"Gila! Dasar sundal, jalang, lacur, liar, tak punya etika, pembunuh, sialan--" tubuhku bergetar, tak berani melanjutkan ucapanku setelah melihat bang Zaki memandangku dengan tatapan datar, tak berekspresi sama sekali. Aku yakin mukaku pucat seperti kolam susu. Pandangannya kepadaku sekarang lebih menyeramkan dibandingkan dengan semua hantu yang ada di bayanganku saat ini. "Bang--hmmm!" bang Zaki kembali melumat mulutku. Awalnya dia bersikap lembut hingga akhirnya dia menggigit bibirku sampai berdarah. "ARGH!" teriakku cukup keras. Teriakan tadi serta-merta membuat bang Zaki kembali membekap mulutku. Kuat. Dingin. Emosi.
Penderitaanku tak selesai sampai di situ. Perlahan bang Zaki menanggalkan semua kain yang melekat di tubuhku, lalu setelah melihat ***t**ku tegak menantang langit-langit, dia mengulumnya kuat. Rasa nikmat perlahan menjalar. Aku bisa merasakan kehangatan yang memabukan. Bagai candu, aku ingin merasakan hal yang lebih hebat dari itu. Sekarang mataku terpejam. Percuma berontak. Sampai kapanpun bang Zaki tidak akan pernah melepasku.
Ujung lidahnya memainkan kepala k*nt*lku yang besar. Dia masukan semua batang itu ke mulutnya, membuatku lagi dan lagi mendesah kenikmatan.
Kenikmatan itu berlangsung selama 2 menit. Setelah itu, ketika mata kami bertabrakan dan perangai bang Zaki masih dingin menusuk, kepalanya naik turun dengan irama cepat. Aku mengerang kesakitan! Jika tadi aku tidak bisa merasakan giginya, sekarang aku bisa merasakannya tanpa tapi! Laksana jarum, aku tak kuasa untuk menahan rasa sakit yang kurasa. "HMMMM! HMMMM! HMMMM!"
Akankah hari ini akan menjadi akhir dari hidupku? Jika iya, tiba-tiba saja aku teringat dengan wajah Reno dan ayah. Mungkin, aku tidak bisa melihat kembali muka mereka atau tertawa bersama mereka di tengah kebun sambil membasmi hama. Semua pikiran itu membuat air mataku keluar. Aku yakin bang Zaki menyadarinya, tetapi dia tetap memandangku datar, tak berbicara 1 patah kata sekalipun. Apa salah yang telah kulakukan? Kenapa bang Zaki bisa semarah itu? Apakah karena aku mencaci maki dirinya dengan perkataan--ah aku tahu. Dia marah setelah kukatakan padanya dia seorang pembunuh. Dan sekarang dia akan membunuhku. Pasti.
Hal mengerikan itu pun terjadi. Aku melihat bang Zaki bangkit. Dia menurunkan celana dalamnya pelan, mencoba mengeluarkan ular anak kondanya yang menggunung itu. Mataku kian membelalak. ***t** dia lebih besar dari ***t**ku. Belum dengan jembutnya yang lebat itu. Ini mimpi buruk. Ini mimpi buruk!
"HMMMMM!"
Bang Zaki menarik kakiku ke atas, mencoba membuat kakiku mengangkang lebar. Aku tahu dia akan melakukan apa. Sangat tahu. Itu sebababnya sekarang aku berontak dengan keras. Setelah arena itu terbuka lebar, hidung bang Zaki mendekat lalu mengendusnya sebentar. Kukira dia akan menjilatnya, tetapi bukan itu yang terjadi. Anak konda itu menerobos masuk tanpa membuat dirinya licin terlebih dahulu. Perih! Aku merasa anusku robek!
"HMMMM! HMMMM! HMMMMM!" aku berontak semakin keras. Bang Zaki semakin memaksa ***t**nya masuk. Dasar laki-laki tolol! ***t** sebesar itu mana bisa masuk!? Yang ada anusku akan langsung robek dan-argh! Ingin rasanya aku berteriak dan meminta tolong, tetapi tak mungkin kulakukan mengingat bisa saja bang Zaki akan langsung membunuhku sekarang juga.
Selama 1 menit bang Zaki memaksakan ***t**nya masuk, selama itu pun aku mengerang kesakitan. Hingga akhirnya ... ***t**nya pun masuk. Aku bisa melihat keringatnya banyak keluar. Cahaya di tempat ini memang minim, tetapi karena bang Zaki telah menyibak gordennya, aku bisa melihat mukanya dengan jelas. Muka lelah. Muka putus asa. Muka ... seseorang yang telah kehilangan. Entah kenapa sekarang aku bisa merasakan semua kesedihan yang telah alami di wajahnya.
Pinggul bang Zaki maju mundur menggenj*t p*nt*tku. Meskipun terasa sakit, aku lelah berontak. Rasanya tenagaku untuk melawan telah terkuras habis. Aku pasrah dengan keadaan ini. Lagi pula, 1 menit setelah rasa sakit itu datang bertubi-tubi, mendadak semua rasa sakit itu menghilang berubah menjadi rasa nikmat yang sulit untuk kujelaskan. Air mataku masih mengalir deras dan dia tidak peduli sama sekali. Hahaha. Lagi pula sekarang aku tak sudi meminta belas kasih darinya.
"Saya ... tidak ... membunuhnya ...," katanya pelan. Nadanya terdengar hampa dan putus asa. 10 menit berlalu. Kukira bang Zaki kan bersuara lagi, tetapi mulutnya tak kunjung berbicara. Hingga ketika ***t**ku memuncratkan sp*rma, bang Zaki semakin mempercepat g*nj*t*nny*, dan satu nama yang tidak aku kenal pun terdengar pelan. "Theo."
Theo?
"Arghhh!" aku bisa merasakan cairan kental mengalir di dalam an*sku. Tubuhnya terkulas lemas di atas tubuhku hingga akhirnya dia bangkit kemudian memakai baju dan celananya dengan gerakan cepat. Inilah saatnya. Dia akan membunuhku. Selamat tinggal Reno, ayah--"Saya kasih waktu dua menit buat kamu meninggalkan tempat ini." Isolasi dan tali di tubuhku sekarang terlepas. Dengan langkah lunglai aku mengambil celana dan bajuku. "SAYA BILANG DUA MENIT B*NGS*T!" aku tersentak. Bang Zaki memegang pelipisnya kuat-kuat lalu berjalan sempoyongan menuju jendela.
Aku memakai celana dan bajuku ngasal. Rasa takutku padanya kini tak terbendung lagi. Sialnya sepatuku tidak ada lantai atas. Aku mencari di lantai dua tidak ada. Hingga akhirnya aku menemukannya di lantai satu. Setelah memakainya aku berlari meninggalkan tempat sialan ini. Di tengah jalan aku berhenti. Rasanya persendianku tak mampu menyokong tubuhku. Aku sangat lelah. Lelah sekali.
Ini aneh. Kenapa bang Zaki membiarkanku lolos? Tidak takutkah dia aku akan melaporkannya ke polisi atau ketua RT? Supaya dia di arak oleh semua orang di desa. "HAHAHAHAHA!" aku tertawa keras ketika memikirkan pertanyaan itu. Melaporkan? Melaporkannya supaya semua masyarakat tahu aku telah diperkosa oleh seorang laki-laki dan mencemarkan nama baik ayahku? Yang benar saja!
Namun satu hal pasti yang terjadi saat ini, nafasku masih menggebu-gebu dan k*nt*lku masih tegak berdiri. Kamu dengar? Masih ... tegak berdiri.
Selama aku hidup, sepertinya aku belum pernah mengalami rasa benci sebesar ini. Membuatku bertanya, apa yang bisa dilakukan seseorang ketika dirinya diselimuti kebencian? Ah, aku tak tahu. Lihat saja nanti.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -