Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Zaki #4
“Ren?” panggilku. Reno berbalik, matanya menatapku
lekat hingga akhirnya kembali memperhatikan ikan cupang yang sedang dia
genggam.
“Apa?” katanya setelah ada jeda
cukup lama.
“Tidak.”
“Kamu lapar?” Aku mengangguk.
“Kalau begitu ayo kita ke bawah. Ayah kamu pasti sudah masak.”
Mendadak aku malas berbicara.
Aku makan dalam diam, menyimak obrolan Ayah dan Reno, sesekali menjawab jika
perlu dan kembali fokus makan.
Malamnya Reno berkata ingin
menginap di kamarku. Sekarang memang Reno sering tidur di kamarku yang sempit
itu. Mungkin karena dia sudah tidak canggung lagi keluar masuk di rumah ini.
Hal yang sama terjadi juga padaku. Jika Reno sedang ada urusan pergi ke daerah
lain beserta keluarganya, terkadang Ibu Reno kerap menyuruhku untuk menjaga.
Sepenuhnya baik aku dan Reno
mulai terbiasa hidup bersama di kampung ini. Setiap malam Jumat kami sering
siskamling dan ngeronda di pos bersama hansip yang tubuhnya kebanyakan tambun.
Dab, ada satu kebiasaan di kampung ini yang sulit untuk kulakukan yaitu obsih
di hari minggu. Sialnya orang yang paling semangat dalam hal ini adalah Reno.
Jam 7 pagi dia sudah ada di depan rumah dengan pakaian lusuhnya. Maka dari itu,
hari minggu adalah hari di mana aku kabur darinya.
Biasanya aku kabur dengan cara
berlari ke rumah kayu tempat persembunyian bang Zaki dulu. Karena dia sudah
bekerja lagi di pasar, itu berarti bang Zaki tidak lagi bersembunyi di sana.
Aku tidak terlalu peduli. Tetapi setiap aku membeli beras, kios milik bang Zaki
dipenuhi dengan orang-orang sangar bertato. Aku berasumsi teman-temannya sudah
datang jadi dia berani keluar. Biarlah. Dia punya urusan masing-masing dan aku
pun punya. Ngapain aku memikirkan dia telah keluar dari persembunyiannya atau
tidak?
Ngomong-ngomong hujan mulai
turun. Mungkin itu sebabnya Reno ingin menginap di rumahku sekarang. “Kalau
hujan enaknya tidur di kamar kamu. Hangat.” Jelas hangat, lah! Kamarku kan
kecil.
“Aku mau tidur sekarang,”
kataku. “Tapi sebelum itu, aku ingin makan beuleum pisang.
Buatin dua ya?” kataku merajuk. Reno mengangguk. Dia tidak pernah menolak
permintaanku, kecuali jika permintaan itu berhubungan dengan bang Zaki.
Aku tiduran di atas kasur
sembari menatap langit-langit. 10 menit berlalu, Reno belum juga kembali. Aku
menggeragap bangkit kemudian menanggalkan pakaianku tanpa sisa. Baju yang
kupakai penuh dengan cat. Aku harus menggantinya. “Ini beuleum pisangnya sudah ja—gedenya.” Aku
memandang Reno horor sembari menutupi pedang keramatku dengan tangan. Tetapi
karena memang ukurannya hampir menyerupai tangan bayi, tak sepenuhnya bisa aku
tutupi. “Santai saja kali. Saya sering lihat titit kamu kalau kamu lagi tidur.”
“SERIUS!?”
“YA SERIUS LAH.” Aku menggeram
marah. Jadi setiap aku tidur Reno selalu mengintip apa yang ada di balik
celanaku? “Eh eh eh kamu teh mau ngapain? Saya teh bercanda masa iya serius. Rey?” Reno
berjalan mundur. Nampaknya dia tahu apa yang ingin aku lakukan jadi dia keluar
seraya membanting pintu dan berteriak-teriak mengadu kepada Ayah. “Om! Dia mau
menggelitiki saya dengan janggutnya Om!” Aku mendengus. Sial. Pisangnya jatuh
di lantai. Pasti jatuh karena Reno berusaha menghindar sergapanku tadi.
Biasanya aku suka mengejar.
Sayangnya aku sedang tidak ingin untuk bercanda, jadi aku memutuskan rebahan di
atas kasur sambil menutup separuh tubuhku dengan selimbut. Beberapa detik
kemudian kepala Reno menyembul di balik pintu. Aku melemparinya dengan bantal.
Pintu tertutup. Beberapa detik kemudian terbuka lagi. “Kalian berdua hentikan!
Tingkah kalian kayak anak kecil saja.” Aku mendengar suara Ayah. Reno nyengir
kemudian berjalan was-was menuju tempat tidurku.
“Kata Ayah kamu hentikan. Awas
ya kalau kamu—eh eh eh eh.” Alisku mengernyit. “Saya kira kamu mau—eh eh eh
ampun! Hahahahaha ampun!” Aku langsung menarik tubuhnya lalu mulai melepaskan
bajunya. Aku suka melakukan ini. Sangat suka. Terlihat tidak wajar memang,
tetapi karena Reno tidak mempermasalahkannya, timbul lah kebiasaan baru.
Tubuhnya berontak. Kali ini
tenaganya cukup keras, membuat sikunya beberapa kali memukul telak pinggangku.
Setelah aku berhasil mengunci tangannya dan menindihnya, langsung kuarahkan
janggutku di dada dan pinggangnya. Tubuh Reno menggelinjang.
“Rey! Hentikan! Om tolongin
saya Om!”
“Grey! Ini sudah malam!”
Aku tetap menggelitiki tubuh
Reno. Satu-satunya hal yang membuatku berhenti adalah ... penisku menegang. Aku
menatap Reno lekat. Pertama dari matanya, turun ke hidungnya, turun lagi ke
bibirnya, membuat lidahku meneguk beberapa kali. Jantungku lagi-lagi berdetak
dengan kencang.
“Aku ngantuk,” kataku lalu
melepaskan cengkramanku. “Selamat tidur, Ren.” Setelah kumatikan lampu, aku
tidur memunggungi Reno. Kini yang kulihat adalah gelap yang mendamaikan. Di
dalam gelap ini, aku bisa mendengar suara resleting terbuka. “Ren kamu sedang
apa?” tanyaku.
“Saya besok ada urusan ke
Subang sama Ayah kamu. Pasti nggak bakal sempet buat ngambil baju ke rumah jadi
saya melepas celana dan baju saya.” Aku kebali meneguk air liurku. Sejurus
kemudian Reno masuk ke dalam selibut yang sepertinya ikut membelakangiku.
Jantungku masih berdetak dengan cepat. Perlahan aku mulai berbalik dan bisa
kulihat bayangan wajah Reno sedang berusaha terlelap.
“Ren?”
“Hmm.”
Kujadikan dada Reno sebagai
bantal. Bisa kudengar jantungnya berdetak dengan cepat, sama sepertiku. Aku
tersenyum lebar. “Rasa ciuman itu kayak gimana?”
“Saya nggak tahu. Belum pernah
nyoba soalnya.”
“Aku juga belum.”
“Hmmm.”
“Mau coba denganku?” ucapku tanpa
pikir panjang.
“Boleh,” kata Reno sambil
terkekeh. Dia pasti berpikir aku sedang bercanda. Hening. Hanya suara jangkrik
yang bisa aku dengar. “Mana katanya mau cium?” Entah dapat pikiran dari mana,
sontak aku menggigit kulit dada Reno pelan, membuatnya berontak, marah. “Kamu
teh apa-apaan! Ih jijik, Rey! Sudah ah saya mau tidur.”
Reno berbalik. Jijik katanya?
Entah kenapa perkataan dia membuat dadaku sesak. Tubuhku ikut berbalik
membelakanginya. “Maaf bercandanya kelewatan,” kataku sedikit parau. Rasanya
aku ingin menangis. Tapi menangis karena apa? Entahlah. Aku hanya merasa ada
lubang di hatiku. Lubang yang sangat dalam. Lubang pertanyaan yang tak bisa aku
temukan jawabannya.
“Maaf saya teh nggak bermaksud
ngebentak kamu.” Reno berbalik lagi. Aku diam tidak menjawab karena jika
kulakukan, pasti suaraku akan terdengar seperti suara hewan yang sedang
melahirkan. “Kamu sudah tidur, Rey?” Aku masih diam. “Kalau begitu selamat
malam.”
“Selamat malam.”
Situasinya tidak tepat sasaran.
Aku seharusnya tahu, ketika melihat Reno di rumah pohon itu, suasana hatiku
sedang melodrama. Seharusnya aku tahu. Karena jika aku tetap membiarkannya,
kurasa perasaan aneh yang ada di hatiku perlahan membuat tingkahku semakin
gila.
Besoknya ketika aku bangun, aku
tidak mendapati Reno di sampingku. Ah, dia pasti pergi ke Subang bersama Ayah.
Utungnya ayah sudah masak goreng ayam dan sambal terasi yang menggugah selera.
Apa yang seharusnya aku lakukan sekarang? Tentu saja merawat kebun,
menghilangkan daun yang mulai menguning dan membersihkan daun yang mulai
meranggas.
Hingga akhirnya aku bingung
harus melakukan apa. Suasana sepi tidak selamanya membuatku damai. Justru, aku
merasa ingin berinteraksi dengan seseorang tetapi pada siapa? Mungkin aku harus
pergi ke lapang desa, siapa tahu anak-anak sedang bermain kasti.
Sesampainya di sana, ternyata
mereka memang sedang bermain bola kecil kasti. Ketika melihatku mereka langsung
mengajakku main dan dengan antusias aku mengiyakan ajakan mereka.
"Kamu masuk tim Ayu,
Grey," kata Enok. Aku mengangguk.
Hal yang tidak pernah aku duga,
ternyata Ayu seorang picher perempuan
yang handal. Sekarang kulihat dia sedang ada di posisi siap melempar, hingga
bola kecil itu pun terlempar kuat menutu catcher. Timku
masih mendapatkan momentum, jadi jika bola Ayu terpukul pun, bisa kamk tangkap
dengan mudah dan melemparnya pada penjaga base.
"Yes!" pekik Ayu ketika kami berhasil
mendapatkan 6 poin di inning keenam.
"Kamu hebat sekali,
Yu." Ayu tersenyum malu-malu. Dia mengangguk kemudian berjalan menuju ke
sisi.
Seharusnya kami bisa mencetak
lebih banyak angka, tetapi karena tim lawan juga mempunyai Pret, cewek tambun
yang jago memukul home run, lemparan
Ayu pun bisa dia hentikan. Oh, kalau ada Reno pasti kedudukan akan imbang.
Stamina dia kuat dan larinya cepat. Pukulannya pun keras sekali. Lalu apa
kelebihanku? Memukul? Tidak sama sekali. Aku sangat payah. Catcher? Terakhir kali aku menangkap, bola
sialan itu malah menghantam pelipisku.
Short
stop. Itulah kehebatanku.
Ketika pemukul memukul bola tak terlalu keras, tanganku impuls bergerak untuk
menangkap bola dan melemparnya ke base satu
atau dua untuk mematikan lawan. Kelebihannya, jika pemukul tidak bisa
melemparkan bola sebesar kepalan tangan ini cukup jauh, pertahanan kami sulit
diterobos. Kelemahannya, jika pemukul bisa melemparlan bola jauh ke belakang,
aku tidak akan berguna dalam permainan ini.
Kurasa kesimpulannya sederhana.
Reno jago memukul dan aku wilayahku ada di depannya, sudah pasti aku tidak bisa
menangkap pukulannya! Setiap kali dia berhasil memukul jauh, hal yang membuatku
kesal adalah dia selalu memcemeehku tanpa henti.
Karena tim berat sebelah dan
tidak ada yang mau menukarkan anggotanya, kami pun bubar. Padahal kan aku masih
ingin main. Tapi ya sudahlah. Tidak adanya sosok Reno membuat permainan tidak
menarik.
Mungkin
sebaiknya aku lari saja.
Sebelum lari aku pergi ke rumah
terlebih dahulu untuk ganti pakaian dan memakai sepatu. Setiap lari aku suka
memakai kaus oblong tak berlengan. Baju itu membuat kulitku nyaman sehingga
bisa merasakan kesejukan alam kota Bandung Barat.
Sudah
panjang, ucapku dalam hati
ketika melihat bulu ketiakku cukup lebat. Besok aku akan bercukur. Tapi
bukankah bulu ini membuatku nampak lebih seksi? Hahaha. Yang benae saja. Yang
ada ketika melihatnya, Aura akan berteriak-teriak histeris.
Rute yang aku lalui masih sama
seperti dulu. Belok ke kanan di perempatan, melewati jalan yang berkelok-kelok
dan jurang yang sangat dalam, hingga tibalah aku di rumah kayu. Kali ini aku
mampu berlari tanpa henti dari rumah meskipun aku sangat kesulitan untuk
bernafas.
"Bang Zaki?" lirihku
ketika melihat kembali bayangan hitam. Pasti dia. Dengan susah payah aku naik
pagar lalu ketika ada di atas aku meloncat. Kini tanganku memegang knop. Ku
arahkan ke bawah, tidak bisa terbuka. "Bang, itu jaket kamu ada di rumah!
Ambil saja kalau mau abang pakai!" ucapku.
Beberapa detik kemudian aku
mendengar suara derap langkah. Pintu terbuka, di sana bang Zaki sedang
menatapku dengan pandangan datar yang sulit kutebak. Ini aneh. Biasanya dia
suka tersenyum ketika melihatku, tetapi kali ini tidak. Hal itu membuat bulu
kudukku meremang. Pasti suasana hatinya sedang tidak bagus dan aku salah telah
menghampirinya di tempat sepi seperti ini.
Bang Zaki melihatku dari atas
sampai bawah kemudian menyeringai. Kakiku mundur satu langkah. Aku tidak
menyukai ini. Seringaian itu adalah seringaian yang aku lihat ketika pertama
kali melihatnya di dalam pasar. "Masuk," titahnya pelan namun begitu
penuh penekanan.
"Errr aku lupa, Bang.
Kompor di rumah belum aku matikan," kilahku.
"Masuk!" kali ini
dengan nada cukup tinggi. Sentakan itu membuat tubuhku berbalik, bermaksud
melangkahkan kakiku untuk berlari, sialnya tangan bang Zaki keburu menangkap
lenganku. Aku di gusur masuk ke dalam. Sudah pasti aku berteriak meminta
tolong. Malang nasibku, ternyata bang Zaki mempunyai isolasi dan menempelkannya
ke mulutku supaya aku tidak bisa berteriak.
"Hmmm! Hmmm!"
"Saya sudah menunggu
saat-saat seperti ini sayang." Kini bang Zaki sedang mengikatkan tali di
tangan dan kakiku. "Awalnya mau saya lalukan waktu itu, ketika kamu
berhasil menemukan tempat persembunyian saya. Tetapi ... stttt ... saya nggak
punya alat untuk menyumpal mulut kamu." Mataku membelalak ketika
mendengarnya. Dia pasti akan membunuhku!
"Hmmm!"
"Dan sekarang ... akhirnya
waktu abang untuk merasakan tubuhmu telah tiba." Bang Zaki tertawa seperti
kerasukan setan. Aku benar-benar takut. Kini aku di pangku olehnya menuju
lantai tiga.
Di sana tidak ada kasur ataupun
kursi. Yang ada hanyalah lantai kosong yang tidak berisi apapun.
Reno benar. Aku seharusnya tidak
mendekati orang barbar kayak dia. Reno benar. Seharusnya aku tahu dia seorang
pembunuh. Dan sekarang diam akan membunuhku!
"Kamu tahu? Abang tidak
pernah mengingkari omongan abang." Bang Zaki berkata sambil menyibakan
gorden. "Ketika dulu saya meminta uang kamu buat beli rokok, saya memang
membeli rokok. Lalu ..." Bang Zaki kini menindih tubuhku yang sedang
terbaring ini dengan senyum mengembang. "ketika abang akan memperkosa
kamu, ya abang akan melakukannya."
DEG!
Aku memandang laki-laki di
depanku dengan pandangan sehoror-horornya.
"Kamu berkeringat
banyak," kata Bang Zaki. "Ingin abang bersihkan?" Aku menggeleng
kuat. Bang Zaki ikutan menggeleng. "Tidak, bukan itu jawabannya, karena
jika kamu menolak abang akan melakukan ini." Bang Zaki menjilati keringatku
dari mulai pelipis sampai ... dagu!
"Hmmm! Hmmm!"
"Dan juga akan melakukan
..."
Bersambung ...
How to Make Money in Casino | How to make money in casino
BalasHapusIf you are งานออนไลน์ looking for the best online casinos, you 메리트카지노 should choose one of the options, the one septcasino that will come first. You may find an easy to navigate