Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Zaki #3
Perasaan dan
perasaan. Aku bosan membahasnya.
👬
"Harusnya saya yang marah
bukan kamu." Aku mendiamkannya. "Rey! Kebiasaan buruk kamu itu
membuat saya kesel. Sudah ah, saya mau turun saja." Kakiku menginjak rem
lalu menyuruh Reno keluar dari mobil dengan isyarat tangan. Reno memandangku
tak percaya. Sekali-sekali aku harus bercanda super parah yang bagusnya membuat
diriku bahagia nggak ketulungan. Lihatlah muka dia yang syok itu. "Kamu
teh serius?"
"Ya serius, lah. Kan kamu
bilang pengen keluar dari mobil." Reno menarik nafas panjang lalu
memgembuskannya secara perlahan.
"Iya iya saya minta
maaf." Gitu doang? Yah nggak seru. Kukira dia bakalan keluar beneran terus
jalan kaki sampai rumah. Eh malah dia meminra maaf.
"Maaf? Kok duduknya
menjauh gitu?" kataku.
"Saya takut virus di jaket
itu nempel ke tubuh saya."
"Bahahahahaha. Ada-ada
saja kamu, Yank."
"Ih saya teh bukan
homo!" Aku tergelak. Homo? Mendadak aku memikirkan kata itu. Apakah aku
homo? Kurasa bukan. Aku nyaman-nyaman saja pacaran dengan Aura meskipun tidak
se-luar biasa yang kukira. Jadi, kenapa saat ini aku terus memikirkannya? Aku
sudah mendapatkan jawaban, seharusnya aku tenang. Nahasnya, hatiku masih
bimbang. Kurasa aku harus berhenti bercanda seperti tadi.
***
Pembuatan rumah pohon
berlangsung besoknya. Tebak siapa yang membuat? Yap. Reno. Dia ternyata punya
bakat kontruksi. Katanya dia terbiasa kerja sebagai buruh harian lepas.
Tipe-tipe pria seperti Reno adalah tipe-tipe pria idaman semua orang. Maksudku,
dia tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. Menurutku orang seperti Reno itu cukup
... menarik.
Sementara diriku? Aku membantu
ala kadarnya.
"Rey, tolong ambilkan
paku!" teriak Reno dari atas.
"Aku sedang sibuk! Ambil
saja sendiri!"
"Dasar boloho
(1), buruan bisi
dibaledog ayena keneh geura!"
Aku terpaksa menghentikan
aktivitasku menulis surat kepada Reyhan.
"Nih, kalau ambil itu
sekalian yang banyak biar nggak nyusahin orang!"
"Eh eh eh kamu teh
meni kasar gitu. Pasti si
Zaki yang ngajarin!"
Aku memutar bola mata sebal.
Pasti ujung-ujungnya Zaki, Zaki dan Zaki. "Terserah."
Baru saja aku ingin menulis
surat kembali, seruan Reno membuat tanganku berhenti kemudian memandangnya
marah. "Rey pakunya jatuh!" Lihat? Dia menjatuhkan paku di dalam
wadah hingga berserakan di rumput. Aku mengambilnya satu lalu melempar tepat di
belakang pantatnya berharap paku yang panjangnya hampir sepanjang jari telunjuk
ini menancap di pantatnya yang kenyal itu.
"Pasti itu juga si Zaki
yang ngajarin! Kalau paku itu masuk ke dalam pantat saya kamu mau tanggung
jawab, hah!?"
"Oh tentu. Akan
kukeluarkan paku itu dengan tanganku, lalu kumasukan lagi, kukeluarkan,
kumasukan lagi, kukeluarkan, hingga--"
"Jurig
garing siah! Jijik saya
dengernya!"
"Huh," dengusku.
Aku kembali. Syukurlah sekarang
Reno tidak mengangguku.
Bandung, 11 April 1998
Teruntuk Reyhan,
Bagaimana kabarmu saat ini, teman? Membaca surat
darimu beberapa menit yang lalu sudah pasti kamu sedang tidak baik-baik saja.
Tapi semoga apapun yang terjadi di sana, kamu bisa menjalani semua masalah yang
kamu alami dengan hati yang lapang. Namun asal kamu tahu, aku mengerti
bagaimana perasaanmu saat ini. Aku juga pernah kehilangan kedua orang tuaku.
Jadi jangan sungkan jika kamu ingin bercerita soal apapun itu, terutama soal
perceraian kedua orang tuamu.
Dan, aku akan senang jika keputusanmu untuk
pindah ke Bandung sudah bulat. Hanya saja jika aku boleh memohon, selesaikan
terlebih dahulu kuliahmu di sana. Oke? Yang paling penting kamu harus mendapat
izin dari kedua orang tuamu, atau paling tidak salah satu dari mereka.
Baiklah aku tunggu di Bandung ya.
Ngomong-ngomong saat ini aku sedang membuat rumah pohon. Hebat, bukan? Hehehe.
Jangan ngiri! Sampaikan salamku pada mereka, teman-temanku.
Grey
Setelah menulis surat kepada
Reyhan, aku tercecung cukup lama. Broken home di
keluarga Rehyan sedikit membuatku khawatir. Pasalnya, kedua orang tua dia kerap
melampiaskan rasa marahnya dengan kekerasan. Jika itu yang terbaik, kurasa aku
hanya bisa mendoakan.
1 minggu pun berlalu. Diluar
perkiraanku, rumah pohon yang kami buat belum jadi. Bukan karena Reno tidak
telaten atau lelet kerjanya, tetapi hujan yang membuat Reno beberapa kali
turun-naik. Maju di minggu kedua, akhirnya rumah pohon impianku jadi. Tinggal
dicat dengan warna coklat, maka jadilah rumah pohon ini.
"Sini aku bantu,"
kataku.
"Memangnya kamu teh bisa?"
"Ya bisa atuh. Ngecat tembok mah gampang."
"Ambil rolling-nya
di gudang. Ada satu lagi yang nggak kepake."
Aku mengangguk. Cuaca hari ini
cerah. Tapi jangan tertipu sama cuaca di kampung ini karena sering kali angin
meniup awan mendung menuju ke sini.
"Pelan-pelan ya, awas
kalau ucrat-acret ke mana-mana!" Aku
mengangguk. Tanganku mulai bergerak ke atas ke bawah. Ketika Reno melihatku,
dia berkata, "Saya bilang pelan-pelan! Lihat tuh muka kamu penuh dengan
cat! Sini biar saja ajarin."
Reno menyimpat rolling miliknya kemudian berjalan
menghampiriku dan berhenti tepat di belakangku. Beberapa detik kemudian
tangannya yang hangat itu memegang pergelangan tanganku sementara tangan
kirinya memegang bahuku. Hatiku belingsatan seketika. Hatiku deg-degan, yang
nahasnya semua pertanyaan muskil itu kembali menyergap. Kenapa aku selalu
merasa deg-degan kalau tubuhku dan tubuh Reno saling bersentuhan?
Apakah aku ho--tidak mungkin.
Memangnya ada di dunia ini cowok suka sama cowok? Aku belum pernah mendengarnya
dan belum pernah melihatnya.
"Aku sudah paham, sekarang
kamu minggir sana!"
Reno masih ada di belakangku.
"Nggak mau. Kamu masih kaku tangannya."
Penyebabnya
kareba kamu ada di belakangku, kampret!
"Nah sudah nggak kaku,
kan? Sekarang pergi sana! Tubuh kamu bau," ucapku mengada-ngada.
"Serius? Kalau begitu nih
nih nih," Reno semakin merapatkan tubuhnya. "Kamu sudah buat saya
jengkel kemarin. Sudah saya bilang jangan bertemu lagi dengan si Zaki, eh
kamunya bandel." Sial. Perlakuan Reno malah membuat burungku terbang
mengawang-ngawang.
"Sudah aku jelaskan, Ren.
Dia kembali bekerja sebagai pengangkut beras di pasar jadi otomatis dia yang
mengantar berasnya ke rumah, lah," jelasku berkali-kali.
"Saya juga bisa ngantar
tuh beras."
"Kamu kan nggak ada di
sana."
"Kamu nggak ngajak!"
"For
cileuh sake!"
"Kamu bilang apa? Cileuh?""
"Sudah pergi sana. Biar
cepet kelar!"
Reno akhirnya pergi. Dasar
aneh! Memangnya ada apa dengan bang Zaki? Oke, kata Reno dia pernah membunuh
seseorang. Tapi haruskah rasa khawatirnya berlebihan seperti itu?
Tepat jam 7 malam kami berdua
selesai mengecat rumah kayu ini. Lantainya sudah kami pasang karpet berwarna
hitam.
Aku tahu aroma di rumah kecil
ini masih pekat dengan bau cat. Tetapi, aku masih betah berlama-lama diam di
sini. Sengaja jendelanya Reno buat lebar supaya aku bisa memandang deret gunung
melingkar yang begitu indah dipandang mata. Sayang sekali, awan di atas sana
bertebaran seperti kapuk kasur sehingga menyebabkan bintang tak bisa terlihat,
kecuali satu bintang dari arah barat. Dia satu-satunya bintang yang bersinar
terang.
"Indah ya, Rey."
Sekarang Reno ikutan memandang bintang di sampingku. "Andai saya bisa
metik tuh bintang, akan saya kasih ke kamu." Hatiku sedikit tersentuh.
"Terus Enok gimana?"
"Eh iya ya ngapain saya
kasih ke kamu." Sial! Hatiku anjlok seketika. "Oh iya, tadi saya
pulang teh ngambil ini." Reno menarih
botol yang isinya ikan cupang. Ikan itu adalah ikan yang aku beli sewaktu ada
pesta rakyat di lapang desa. "Punya kamu juga kayaknya lebih bagus
disimpan di sini deh, Rey."
Aku setuju. Akhirnya aku
mengambil ikan cupang di kamarku kemudian menyimpannya di jendela rumah pohon
ini. Kakiku mundur satu langkah. Kini aku bisa melihat Reno yang sedang bermain
dengan ikan cupangnya. Muka Reno nampak bercahaya kebiru-buruan, mungkin akibat
cahaya malam yang dingin ini. Lama aku memandangnya hingga ... aku pun
tersadar, aku menyayanginya.