Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Zaki #2
Zaki. Tak ada satu
kata yang bisa menggambarkan perasaanku padanya kecuali kata 'benci.'
Untungnya area jalan yang
kulalui tidak ramai dilalui oleh orang yang berlalu lalang jadi aku tidak
merasa malu mengenakan jaket kulit pinjaman dari bang Zaki. Jalan ini menembus
kampung Pasir Malang, saudara Reno tinggal di daerah sana, jadi aku tahu tempat
itu. Reno pernah mengajakku ke sana satu kali.
"Wangi," lirihku
ketika angin bertiup dari arah barat, aku bisa mencium aroma jaket bang Zaki.
Begitu khas, kental dan sedikit aneh. Baiklah, aku sekarang tahu aroma tubuh
bang Zaki. Setiap orang punya aroma dan ciri khas masing-masing, aku mengetahui
fakta itu dari ayah. Dan ternyata memang benar. Ketika ayah meminjam jaket
punyaku selama beberapa hari, lalu aku membaui aromanya, aroma itu berubah jadi
aroma tubuh ayah.
Kalau boleh jujur, aku lebih
menyukai aroma tubuh Reno. Tidak kental, tetapi terasa oleh hidungku yang
bangir ini. Sementara punya bang Zaki kurasa aroma pekatnya yang sedikit
mengganggu, meskipun begitu aku tetap menyukainya. Aromanya begitu lelaki.
Akhirnya aku sampai di rumah.
Aku melihat Reno lari tergopoh-gopoh ke arahku dengan tampang belohnya.
"Kamu teh habis dari mana!? Saya nyari-nyari
kamu tapi nggak ketemu. Lho? Kamu habis lari? Kok lari pakai jaket kulit? Kamu
pasti sudah gila ya!" Aku memutar bola mata. Bola mataku memang suka
memutar hanya ketika melihat tingkah Reno yang cerewet itu.
"Memangnya mau apa
nyari-nyari aku?" Aku berjalan menuju kursi panjang yang terbuat dari
kayu. Kayu panjang yang belum dipotong. Letaknya ada di samping kebun dan
mengarah ke pemandangan gunung dan bukit di depan sana.
"Pembuatan rumah pohon,
lah." Tangan Reno bersedekap, mulutnya mencebik lalu sejurus kemudian
tangan panjang itu menarikku pergi masuk ke dalam rumah.
Kulihat ayah sedang membuat
kerajinan terbuat dari kayu tua. Sebenarnya, tiga bulan yang lalu keadaan di
rumah ini sangat mengkhawatirkan. Maksudku, ayah sudah kehabisan uang sementara
keperluan untuk membeli obat-obatan dan pupuk tak mungkin ayah abaikan. Kami
melewati hari selama 2 bulan hanya dengan makan singkong dan daunnya. Kadang
juga makan pemberian dari ibu Reno. Untungnya setelah waktu berjalan 3 bulan
sejak penanaman, cabe gondol siap di panen dan harga di pasar sedang ada di
puncak tertinggi. Jadilah kami mendulang uang cukup banyak. Setidaknya cukup
untuk membeli ayam dan kayu. Oh, dan juga bahan membuat kerajinan. Aku baru
tahu kalau ternyata ayah terambil membuat barang dari kayu.
"Nah dia sudah
datang," kata ayah. "Kamu sama Reno pergi ke rumah mang Beno, dia
teman dekat ayah dulu, dan dia menawarkan kayu dengan harga murah. Selagi kamu
lari ayah tak sengaja ketemu sama dia di jalan dan dia menjualnya. Katanya bisa
langsung diambil sekarang."
Mataku berbinar seketika. Ayah
tidak main-main dengan ucapannya. "Baiklah. Hmm bagaimana dengan mobilnya?
Apakah akan langsung dikirim dari sana atau kita yang harus bawa?"
"Kita yang harus bawa.
Sewa saja mobil mang Ujang. Reno tahu rumahnya ada di mana." Aku
mengangguk.
Sejurus kemudian, aku langsung
pergi ke kamar, bermaksud ganti baju. Kubuka jaket kulit bang Zaki lalu
melemparnya ke atas kasur. Sebelum memakai baju, aku membaui ketiakku sekali.
Hmmm tidak ada aroma. Kubaui sekali lagi. Hmm masih sama. Kubaui 5 kali,
akhirnya aku berkesimpulan tubuhku masih wangi. Sip. Aku tidak harus mandi.
Aku memakai kaus putih dan
celana hitam panjang. Sialnya perhatianku tertuju pada jaket kulit yang
tergeletak di atas kasur. Pasti aku akan nampak cakep kalau memakai jaket itu.
Dan, benar saja. Meskipun kedodoran, aku terlihat tampan dan bersih. Kurasa aku
akan memakainya seharian ini.
Reno menungguku di luar dengan
tampang cemberut. "Meni lama pisan!" Reno melihatku dari atas sampai
bawah. "Ih ngapain pakai baju begitu. Kayak yang mau pacaran saja."
"Kamu kan pacar aku, Reno
sayang," candaku. Muka Reno memerah. "Yuk, Yank." Inilah tabiat
baruku. Aku jadi sering mengerjai dia. Ketika muka Reno nampak malu-malu dan
salah tingkah, aku selalu ingin tertawa terbahak-bahak.
"Ih saya teh bukan
homo!"
"Memang bukan."
Mulutku mendengus. "Yuk ah pergi, bawel amat jadi cowok."
Pertama-tama kami pergi menuju
rumah mang Ujang. Setelah negosiasi harga dan waktu pemakakan mobil, akhirnya
kami pergi dengan diriku yang menyetir mobil. "Sekarang belok ke
mana?" tanyaku.
"Di perempatan sana belok
ke kanan," jawabnya. "Eh eh eh saya teh inget mau ngomong sama kamu.
Itu jaket punya siapa? Saya tahu kamu teh nggak punya jaket kulit. Hayo ngaku
pasti nyuri di kampung sebelah kan?"
"Ini jaket bang
Za--maksudku ..." haruskah aku katakan pada Reno jaket ini pinjaman dari
bang Zaki? Dia pasti akan langsung memarahiku.
"Za? Zaki?" Aku
sedikit tersentak.
"Bu-bukan kok."
"Terus dari siapa?"
"Errr ... bang
Zakar," ucapku spontan. Aku tidak tahu nama yang awalan katanya huruf 'Za'
dan sialnya nama yang keluar membuat mata Reno memicing sambil terus menatapku.
"Kamu sekarang sudah
pintar membohongi saya." Mata Reno beranih menatap jalan raya, membuatku
menarik nafas panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk jujur kepadanya.
"Iya ini emang jaket bang
Zaki."
"Itu pasti jaket bang
Zaka. Kami berdua berucap berbarengan, membuat mata kami saling berpandangan.
Sial! Reno jadi mengira jaket kulit ini milik bang Zaka? Kok ada nama Zaka sih!
"Jadi itu teh beneran jaket si Zaki!? Kenapa bisa!? Bukankah dia pindah
rumah ke Jawa Tengah!? GREY!? JAWAB PERTANYAAN SAYA." Oke telingaku hampir
pecah. Teriakan dia membuat kakiku impulsif menginjak rem. Bandung kan banyak
gawir, jadi aku jatuh ke bawah.
"Jadi itu yang kamu
lakukan terhadap pacar kamu? Berteriak? Yang benar saja! Berisik kampret!"
jawabku ikut kesal.
"Jawab pertanyaan saya!
Dan saya bukan pacar kamu!" Oke, dia nggak akan berhenti ssbelum aku
menjawab pertanyaannya.
"Iya ini memang beneran
jaket bang Zaki." Mata Reno membelalak. "Dia masih ada di sini. Dan
aku nggak sengaja bertemu dengannya."
"Terus kenapa kamu bisa
pakai jaket dia?"
"Errr ... bajuku robek.
Dia meminjamkan jaketnya." Mata Reno memicing pertanda dia tidak percaya
padaku. "Oke dia yang merobeknya."
"Sudah saya duga! Dia
orangnya memang rada sinting." Hidung Reno mendengus sangar. Ternyata
kalau sudah berurusan dengan Zaki, Reno akan menjelma menjadi cowok menyeramkan
juga. "Jadi sekarang dia ada di mana?"
Kali ini aku tidak menjawab
pertanyaannya. Bang Zaki sudah memperingatkanku untuk tidak memberitahukan
keberadaannya pada siapapun kan? Jika aku melakukannya sudah pasti aku akan
dapat masalah. Bisa jadi, dia beneran akan langsung membunuhku. Aksi diamku
membuat Reno marah ternyata.
"Jawab, Rey. Saya bertanya
sama kamu."
"Memangnya penting ya,
Ren? Sudah ah nanti saja bahasnya."
"Ya penting atuh. Kamu
sudah berurusan dengan dia padahal sudah saya larang berkali-kali. Dia itu ...
argh! Kamu tahu? Dia itu pembuat onar yang sedang punya masalah sama geng motor
di daerah Subang. Kalau kamu ketahuan sama orang-orang dekat sama dia,
bisa-bisa kamu diincar. Ngerti kan? Jadi di mana dia sekarang?"
"Terus apa
hubungannya?" kataku.
"Ih jadi kamu teh lebih
memilih dia?"
Aku tersenyum. "Ya.
Puas?"
"Oke terserah kamu
saja," balasnya. Hahahaha. Dia marah beneran. Biasanya, ketika dia marah
senyumku selalu mengembang. Aku suka sikapnya yang kayak anak kecil itu. Yang
terkesan merajuk namun hanya bisa diam tanpa berkata-kata. Namun juga kalau
sikap menyebalkannya sudah muncul, kadang malah aku yang balik marah. Rumit.
"Baiklah."
"Hmmm!"
"Hahahaha."
Kami melanjutkan perjalanan.
Ketika Reno menjelaskan tempatnya belok ke kanan, sebenarnya aku sedikit
was-was karena jalan yang Reno tuju mengarah ke rumah kayu tempat persembunyian
bang Zaki. Nahasnya memang melewati rumah itu. Tapi apa yang harus
kukhawatirkan? Bang Zaki akan selalu bersenyembunyi di sana jadi tidak mungkin
kami bertemu.
Mobil terus melaju menuju area
S*nd*ng W**s. Setelah jalanan menurun cukup tajam, akhirnya kami sampai juga.
Seseorang yang kuyakini adalah mang Beno berjalan ke arahku langsam sembari
tersenyum tipis.
"Kai
na tos mang siapkeun, kari angkut we ka mobil," katanya menyuruhku untuk mengangkut
kayu ke mobil.
"Nuhun nya,
mang," sahut Reno.
Aku dan Reno membantu mang Beno
mengangkut kayu. Setelah selesai, aku menyerahkan uang sesuai kesepakatan yang
telah ayah dan mang Beno sepakati.
Sebelum pergi mang Beno
mengajakku bicara. Katanya mukaku nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan
ayah. Well, dalam darahku tidak mengalir darah
ayah jadi sudah pasti kami tidak ada mirip-miripnya. Tapi kujawab saja dengan
senyuman tipis dan kekehan panjang.
Pulangnya aku masih mengemudi.
Sialnya, Reno masih saja penasaran soal keberadaan bang Zaki. "Pasti dia
ada di daerah Sukamaju."
"Hmm."
"Pokoknya kamu jangan
ketemu lagi sama dia. Kalau perlu bakar saja jaketnya. Dia itu seorang
pembunuh, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Janji? Rey jawab! Kamu sudah tahu
bukan, apa yang saya sebutkan teh benar adanya, dia--"
"REN STOP!"
teriakku.
"Kok kamu malah balik
marah ke saya!"
Dan terjadi lagi. Reno marah,
aku pun marah. Entah kenapa meskipun ucapan Reno benar, aku nggak suka
mendengar dia berkata buruk. Bukan karena aku nggak tega kepada bang Zaki,
tetapi aku merasa mulut Reno nggak sepantasnya berucap seperti itu. Renoku
adalah pria baik-baik yang selalu membuatku tertawa, bukan orang yang suka
menyebar kebencian dan membuatku ikut untuk membecinya. Oke, aku memang benci.
Tetapi, haruskah dia melabeli seseorang dengan begitu mudahnya?
Semoga kalian
suka.
Kalau ada typo
komen ya. Biar saya perbaiki. Thanks.