Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Zaki #1
Perasaan takut
terkadang menjelma menjadi perasaan marah yang sulit untuk diutarakan.
Bang Zaki memandangku dari atas
sampai ke bawah. Nafasku masih terengah-engah, membuatku beberapa kali menyusut
keringatku dengan kaus oblong tanpa lengan ini.
"Ngapain abang ada di
sini? Bukannya abang kabur ke--"
"Kata siapa kabur!?"
sentaknya. Aku merenggut.
"Kata teman abang waktu
itu."
"Aku nggak kabur."
"Terus ngapain abang di
sini?"
Bang Zaki memutar-mutar pematik
di tangannya sembari mendengus beberapa kali. "Kamu kenapa masuk rumah ini
tanpa ijin?" Dia balik bertanya.
"Lah abang juga kenapa
masuk? Sudah ke dalam lagi, ah aku tahu, pasti lagi nyuri barang-barang yang
ada di sana kan?" Sial. Aku salah berucap. Mata bang Zaki menyalang marah,
dia menghampiriku, kemudian melakukan hal yang selalu dia lakukan, yakni
mengembuskan rokok di mulutnya!
"Lebih baik kamu pergi.
Pura-pura saja kamu nggak melihatku." Langkahnya mundur, bermaksud masuk
ke dalam rumah itu lagi.
Tiba-tiba saat aku ingin berbalik, tangan bang Zaki kuat menarikku masuk ke dalam. Pintu rumah ini sudah dia kunci, membuatku berontak dan berusaha berteriak, tetapi dengan sigap tangannya membungkam mulutku.
Aku semakin keras berontak.
Pikiran aku akan dibunuh di tempat seperti membuat adrenalinku terpacu sangat
cepat. Tidak, aku tidak boleh mati di tempat seperti ini. Aku harus lolos.
Harus. Tapi bagaimana caranya? Sementara tangan dan tubuh bang Zaki lebih besar
dari tubuhku. Otomatis tenaga dia jauh lebih kuat.
"Hmmm ... hmmm!" Mata
bang Zaki kembali menyalang marah.
"Diam!" desisnya.
"Hmmm!"
"Aku bilang diam!"
ucapnya pelan, namun bisa terdengar jelas kalimat singkat itu penuh ancaman.
Lututku rasanya lemas. Aku
masih tetap berontak, sialnya hal itu membuat tubuh bang Zaki semakin menempel
ke arah diriku. Di saat yang bersamaan aku mendengar suara orang-orang
berbicara di luar. Aku harus mengeluarkan suaraku! Argh! Kenapa kekuatan bang
Zaki kuat sekali, sih?
"Diam atau aku bungkam
hidung kamu sama bulu ketek saya!" Aku semakin berontak lagi dan lagi.
Rasa takut ini membuatku hilang kendali. Ditambah di luar aku mendengar suara
orang-orang sedang berbincang, tepatnya di depan pagar rumah ini. Mataku
membelalak tatkala bang Zaki mdnggerakan lengannya kemudian menempelkan bulu
keteknya di hidungku. Sial! Asem! Baunya asem! Tapi, kok aku tidak merasa
terganggu? Apa yang kupikirkan!? Tentu saja itu sangat mengganggu!
"Gimana? Kalau kamu masih nggam mau diam aku sumpal hidung kamu pakai jari
bekas upil aku!?"
Akhirnya aku diam. Sungguh,
selain karena capek, aku takut bang Zaki melakukan hal aneh lainnya. Lima menit
kemudian, bang Zaki mengendurkan kekuatannya. Sebelum membuka mulutku dia
berkata, "Aku sedang bersembunyi." Bang Zaki melepaskan tangannya di
mulutku. "Kalau mereka lihat kita, sudah pasti berita soal aku masih ada
di sini akan langsung tersebar luas."
"Fuck!"
Tangan bang Zaki sigap menutup mulutku kembali.
"Sudah aku bilang jangan
berteriak! Kalau orang yang lewat tahu ada seseorang di rumah ini pasti mereka
akan langsung meriksa!" Aku benar-benar takut, tapi juga merasa marah.
Namun satu hal pasti yang saat
ini aku lakukan adalah memandangnya tajam dengan tatapan murka. "Jadi bang
Zaki sedang bersembunyi di sini?" Dia mengangguk. "Sejak dulu? Tiga
bulan yang lalu?" Dia mengangguk lagi. "Kampret! Pantesan waktu itu
aku melihat bayangan hitam di lantai dua, pasti itu kamu, bang."
"Itu memang aku."
Bang Zaki berjalan ke arah
tangga yang nahasnya kuikuti dia sampai atas. Ketika sampai di sana, aku
melihat berbagai sampah plastik makanan, minuman dan juga pakaian yang
tersimpan rapi di kursi panjang berwarna putih yang sudah memudar.
"Aku kira kamu akan
membunuhku, bang."
Bang Zaki berbalik dan dia
berkata, "Tidak, tetapi aku akan memperkosa kamu sampai pantat kamu penuh
sperma--"
"Fuck!"
potongku."Bercandanya nggak lucu, bang!" Dia tertawa renyah.
"Ingin pembuktian?"
Bang Zaki menghampiriku sembari
menyeringai. Aku masih diam membatu karena tahu dia pasti sedang bercanda.
Malah sebaliknya, bukannya takut, aku malah menantangnya balik dengan
memandangnya penuh seringaian.
Kini tubuh kami saling
berhadapan. Mata tajam berwarna hitam pekat itu lagi-lagi membuatku merinding,
seakan mata itu sedang menelanjangiku dari atas sampai bawah.
"Lihat? Mana mungkin abang
mampu memperkosaku, pasti abang merasa jijik kan--ARGH!" Bang Zaki
tiba-tiba menerjangku, membuat punggungku langsung bergedebukan di lantai.
Ketika dia berhasil menindihku, tangannya sontak menutup mulutku, membuat mata
yang tadinya menantang berubah menjadi mata seekor kelinci yang sedang
dicengkram kuat oleh sang elang.
"Bagaimana?" desisnya
pelan. Meskipun begitu, suaranya yang serak tetap tidak berubah.
Aku berontak lagi. Orang ini
berbahaya! Harusnya tadi aku pulang saja. Harusnya aku memegang kuat perkataan
Reno bahwa dia telah membunuh seseorang. Harusnya ... sedari awal aku tidak
mengobrol dengannya. Lalu apa yang bisa kulalukan dengan kata 'seharusnya' itu?
Aku sudah terlambat!
Karena posisiku sedikit
menguntungkan, aku sedikit bisa membuat bang Zaki kewalahan. Dia hampir
melepasku jika dia tidak sigap mengunci kakiku yang sedang menendang-nendang.
Lelah dengan usaha sia-siaku,
yang kulakukan sekarang hanya memandangnya dengan tatapan horor. Aku yakin
mukaku sudah pucat seputih susu.
Detik berikutnya tiba-tiba bang
Zaki merobek kaus oblongku. Dia tertawa pelan, membuatku semakin merinding
terhadap apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Setelah dia melempar kaus
oblongnya, bang Zaki menggesek-gesekan celananya di atas pen*sku. Dia tidak
sedang membual. Dia beneran akan memperkosaku!
Gerakan pinggul bang Zaki
membuat pen*sku sakit. Dia masih memakai celana levis berwarna hitam. Dan hal
yang tak terduga pun terjadi. Aku ... ereksi? Kenapa bisa? Demi apapun di dunia
ini, aku merasa bingung sekarang.
Lalu perlahan wajah bang Zaki
mendekat, yang ternyata bermaksud mengendus leherku. Hanya 3 detik, selanjutnya
kulihat matanya sedikit sayu, perangainya berubah, dari yang asalnya menakutkan
berubah menjadi perangai yang kini sulit kutebak. Di dalam bola mata itu,
seakan ada suatu tendensi yang aku sendiri tidak tahu apa.
Akhirnya bang Zaki melepasku.
Dia tertawa hambar yang menurutku sedikit dipaksakan. "Aku suka lihat muka
kamu tadi, Boy." Boy? Lagi-lagi seseorang memanggilku dengan sebutan aneh.
Reno memanggilku Rei, dan bang Zaki Boy? Setidaknya nama Boy membuatku nampak
seperti laki-laki tulen, berbeda sekali dengan panggilan Rei yang nampak
seperti nama perempuan.
"Nggak lucu, bang. Aku
kira kamu bakalan ..." aku tak berani melanjutkan kalimatku.
"Memperkosa kamu?"
"Aku mau pulang
saja." Aku sudah malas berurusan dengan orang ini. Sudah kuputuskan, kalau
melihatnya aku akan langsung pergi menjauh.
"Tunggu." Aku tetap
pergi. "Aku bilang tunggu, bangsat!" teriaknya kasar. Langkahku impulsif
terhenti. "Nih pakai." Bang Zaki melemparkan jaket kulit yang ada di
kursi itu kepadaku.
"Oh." Aku tersadar,
ternyata bajuku telah dia robek jadk dua. "Baju biasa saja, ada?"
Sial. Bukannya aku tidak akan berurusan lagi dengan dia? Dengan meminjam baju
darinya, sudah pasti aku punya kewajiban untuk mengembalikannya.
"Ada. Tapi kotor
semua."
Baiklah tidak ada pilihan lain.
"Aku nggak pake baju saja, bang."
Geraman bang Zaki terdengar
ketika aku kembali melangkah. "Pakai atau saya patahkan tangan kamu sekarang
juga, Boy."
"Kenapa?"
"Tidak ada yang boleh
melihat tubuh kamu, Boy."
"Kenapa?"
"Laki-laki sejati tidak
akan membiarkan tubuhnya dipertontonkan layaknya lacur sialan yang kerjaannya
nongkrong di tempat gelap." Aku tertawa. Namun pada akhirnya, aku memakai
jaket kulit bang Zaki yang terlihat kedodoran dipakai olehku.
Sesampainya di depan gerbang,
aku memandang rumah kayu ini dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Kenapa
bang Zaki bersembunyi di tempat seperti ini? Jawabannya pasti karena rumah ini
dianggap angker dan ada hantunya. Lalu di mana teman-teman bang Zaki? Dilihat
dari situasinya, mungkin bersembunyi di markas atau benar-benar pergi ke luar
kota memanggil teman-temannya. Aku tidak terlalu mengerti dengan perseteruan
antar geng, tapi yang jelas sebisa mungkin aku harus menghindarinya.
Sore kian menjemput. Sepertinya
aku harus segera kembali. Reno pasti sedang uring-uringan mencariku dengan
tingkah bodohnya.
*
Saya beneran
lari ke rumah itu lho. #Berharap ketemu Zaki. Eh malah turun hujan. Ya sudah
pulang lagi saja.
#ada yang
kangan Bandung?