Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Rumah Hantu #8


Perasaan adalah entitas tak berwujud.
Jam 6 pagi aku bangun. Rupanya ... aku baik-baik saja. Perasaanku kembali normal, tak ada rasa sedih ataupun perasaan sesak yang kualami kemarin. Kuharap akan selalu seperti itu karena bersikap melodrama seperti kemarin cukup membuat energi terkuras.
Hingga tak terasa aku menikmati hari-hari di sini sudah 3 bulan lamanya. Aku semakin dekat dengan Reno, dengan Enok dan Ayu. Kami tak segan lagi meminta tolong atau menolak. Tak hanya dengan mereka, aku juga dekat dengan anak-anak lain di kampung ini. Setiap sore kami suka kumpul di lapang desa untuk sekadar bermain kasti, boy-boyan, ucing sumput, galah, dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, kadang juga kami main layang-layang di lapang desa, moro (1) layang-layang, berburu belut di balong hingga jalan sejauh 2 km untuk mencari anjing yang hilang.
Aku mulai berbaur dengan mereka, anak-anak di kampung ini. Kami biasa bermain secara berkelompok, tidak terpisah. Tentu saja ada Enok, Ayu dan perempuan lainnya.
Reno datang ke rumahku jam 8 pagi, di saat ayah dan aku sedang membuat penyangga untuk sayuran waluh. "Kok ayah punya tanah seluas ini?" kataku.
"Tanah ini tanah warisan pemberian dari almarhum ayah. Oh iya Ren, kamu kasih makan ayam saja di kandang, biar pekerjaan ini kami bereskan." Tangan Reno membentuk semacam hormat yang artinya siap akan saya laksanakan!
Hari ini aku sama ayah berjibaku membuat penyangga sayuran waluh sementara Reno berjibaku dengan hewan ternak yang kini nambah satu yakni anak kuda berwarna hitam. Hmmm. Awal-awal kuda ini datang aku sudah berusaha menaikinya. Sialnya ketahuan ayah jadi aku dimarahi habis-habisan karena menurutnya kuda pemberian ini masih keropos tulangnya. Yap. Kemarin seorang bandar sapi memberi ayah kuda sebagai hadiah selamat datang telah kembali tinggal lagi di kampung ini.
"Ngomong-ngomong, Ren. Ayah sepertinya setuju membuat rumah pohon di sana. Tempatnya strategis, jauh dari kandang ayam dan kuda, terus pemandangannya indah sekali. Tapi mungkin ayah nggak bakal bisa naik karena kaki ayah ini. Tapi nggak masalah, selama rumah pohon itu bisa membuatmu senang, akan ayah buat."
Mendengar ayah berucap seperti itu wajahku berubah sumringah saat ini juga. Rumah pohon adalah hal yang ingin kudapatkan sejak pertama kali aku menginjakan kaki di desa ini. Sungguh.
***
Sorenya aku memutuskan untuk lari. Hari ini aku malas bertemu dengan Reno. Bukan karena aku membencinya, melainkan karena aku takut, jika aku terus ada di sisinya, perasaanku jadi semakin tidak menentu.
Selama tiga bulan ini pula wajah Reno berubah menjadi tampan. Ototnya masih sama seperti dulu, juga sifat beloonnya, tapi perubahan yang kumaksudkan adalah garis wajah yang semakin tajam dan kuat. Sementara diriku? Jambang di wajahku semakin tebal dan menyebar di daerah pipi dan dagu. Aku sering mencukurnya. Tapi baru saja sudah berjalan 2 minggu, bulu ini sudah tumbuh kembali.
Oh ya, sekarang aku tahu fakta mengejutkan soal Ayu menyukaiku. Enok yang bilang. Sejujurnya aku tidak mempunyai perasaan terhadap Ayu tapi kalau boleh memilih aku ingin menikahi dia dibandingkan dengan Aura. Sayangnya tidak mungkin aku lakukan karena aku tahu Aura akan membunuhku jika dia tahu aku selingkuh dengan perempuan cantik seperti Ayu.
Mengenai kamarku ternyata ayah mempunyai kunci cadangannya. Ternyata kunci yang tidak ada cadangannya adalah kunci belakang rumah. Dasar.
"Jangan terlalu larut pulangnya," seru ayah ketika aku mulai berlari.
"Siap, yah!"
Tempat favoritku adalah daerah sindang waas. Pemandangannya bagus, jalannya selalu sepi, bahkan aku ragu mobil atau motor akan lewat sini.
Aku malah jadi teringat tiga bulan yang lalu ketika terjadi gempa. Yap. Saat itu aku dan teman-temanku sedang ada di rumah kayu sedang memperhatikan lukisan yang kini entah pergi ke maa lukisannya. Aku tahu karena aku sering pergi ke sana saat berlari.
Beberapa warga setempat sempat melarangku untuk pergi ke sana. Kata mereka rumah itu berhantu. Apa? Rumah hantu? Itu hanya rumah yang ditinggalkan. Jika pun dulu aku sempat melihat bayangan hitam, itu adalah kucing hitam yang sekarang kupanggil dengan nama Keti. Sebenarnya kucing itu laki-laki, aku baru tahu seminggu yang lalu karena di belakang ekornya ada dua butir telur yang menggantung, tapi karena aku sudah terlanjur memanggil kucing itu Keti jadi tidak kuubah.
Aku berlari dengan nafas terengah-engah. Rupanya aku masih belum bisa untuk tidak istirahat dengan titik pemberhentian di rumah kayu yang katanya berhantu itu.
Sesampainya di sana, kali ini aku benar-benar melihat bayangan hitam sebenar gorila di dalam rumah kayu itu. Demi apapun yang terjadi, aku benar-benar melihatnya. Hatiku berkata untuk tidak pergi ke rumah itu, tetapi kan manusia itu semakin dilarang malah semakin penasaran. Apakah warga di kampung ini benar bahwa sanya di runah ini ada hantunya?
Untuk memastikannya aku harus masuk ke dalam.
Aku meloncat menaiki pagar. Benar! Aku melihat bayangan hitam! Haruskah aku berteriak meminta tolong? Kurasa percuma karena pasti tidak akan ada orang datang.
Akhirnya dengan langkah gemetar aku mendendap-ngendap berusaha menjangkau meja. Kali ini aku benar-benar takut. Sialnya aku tidak berhasil menemukan bayangan itu, padahal kini aku sudah mengintip di beberapa jendela. Mungkinkah bayangan yang kulihat adalah maling dan di menyadari kehadiranku lalu dia lari ke belakang?
Kalau begitu aku harus pergi. Tetapi bagaimana kalau bayangan itu adalah hantu? Itu berarti aku telah melewatkan moment untuk menguaknya. Persetan dengan apa yang akan terjadi nanti, aku penasarab dengan apa yang kulihat barusan.
Kakiku berjinjit sembari mengendap-ngendap. Setelah sampai di pintu belakang aku tidak bisa bergerak lagi. Persendianku rasanya kaku. Hingga akhirnya aku mendengar suara derap langkah dari dalam. Sepertinya dia sedang mengendap-ngendap, tetapi karena lantai di dalam terbuat dari kayu, jadi suaranya bisa kudengar.
Aku harus lari! Pasti dia maling. Mana bisa kan hantu mengeluarkan bunyi suara? Tapi bagaimana jika hantu ternyata mempunyai kaki? Sialnya tanpa sadar tanganku sudah memegang knop pintu. Terkunci. Bulu kudukku meremang seketika. Beberapa detik kemudian pintu terbuka lebar, membuatku sontak berteriak lantang sekali. "ARRRGHHHH! HANTU!"
"GOB**K!"
Tu-tunggu ... sepertinya aku kenal dengan suara itu. Ketika berbalik mataku membelalak tak percaya. Tubuh laki-laki di depanku semakin berisi, kulitnya bersih, jambangnya semakin banyak dan demi apapun otot lengannya lebih besar dua kali lipat dari lengan Reno. Selain itu mukanya lebih sangar dua kali lipat! Sekarang di lehetnya ada tato berbentuk naga, juga di lengannya.
"Bang Zaki?" kataku memastikan.
"Grey?" katanya dengan suara berat.
Aku memandangnya takut. Dalam bayanganku, kampung tempatku tinggal sebentar lagi akan berlumuran darah.
#
Moro : Berburu.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -