Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Rumah Hantu #7
Jika perasaan
berwuwud kurasa akan lebih mudah untuk memahaminya.
Sesampainya di lapang desa, kami melihat panggung cukup besar yang di depannya banyak sekali kerumunan orang-orang. Tak hanya di sana, di setiap penjuru lapangan pun dipenuhi dengan penjual makanan mulai dari makanan berat dan juga makanan ringan. Aku bertanya pada Reno kenapa acara belum dimulai, katanya sedang istirahat salat Isya jadi pasti sebentar lagi akan dimulai.
Penerangan di lapang ini ada
dua. Pertama menggunakan lampu sorot besar di sudut lapang dan kedua
menggunakan lampu petromaks yang menggunakan batre sebagai daya
listriknya—lampu ini digunakan pedagang kaki lima. Oh, sepertinya menggunakan
obor juga. “Kok di sana banyak obor?” tunjukku.
“Oh itu ... eh? Saya teh baru
lihat, ayo kita ke sana,” ajak Reno.
“Kalian mau ke mana?” tanya
Ayah.
“Ke sana dulu sebentar, yah.”
Ayah mengangguk.
Ketika sampai di sana mata Reno
menyipit kesal. “Ternyata cuma penjual ikan cupang. Yuk ah balik lagi.” Reno
balik lagi ke tempat orang tuanya. “Eh malah diam di situ hayu balik lagi.”
Bahuku merasa tangan Reno menempel, hingga akhirnya mengalung. Aku suka ini.
Suka ketika tubuh kita berdua berdekatan dan bersentuhan. Aku merasa aman dan
terlindungi.
“Lihat ikan cupang yang di situ
gagah sekali, Ren.” Aku menunjuk ikan cupang yang sedang menggeliat menggerakan
tubuhnya. Sementara di sisi lain, aku melihat ikan cupang membuka pipinya. Eh?
Itu pipi bukan sih aku nggak tahu. “Kok tubuhnya goyang terus?”
Reno mendecak. “Jangan bilang
kamu belum pernah lihat ikan cupang berantem?” aku menggeleng. “Dasar orang
kota. Mereka tuh lagi berantem. Keduanya sedang mempertahankan diri,” jelas
Reno.
“Kok nggak dipisahin? Kasian
atuh ikannya.”
“Ya ampun, Rei. Kan sudah
dipisah pakai botol, jadi mereka nggak akan terluka.”
“Oh ....”
“Sok
atuh jang pilih, sararae da laukna. Ujang hoyongna cupang adu atau cupang
hias?” Aku memandang Reno,
bermaksud meminta apa maksudnya.
“Cupang itu ada beberapa jenis,
salah satunya cupang adu dan cupang hias. Keduanya sama-sama bisa diadu, sih.
Jadi kamu teh mau beli?” Aku manggut-manggut.
“Kalau begitu aku ingin beli
yang itu,” tunjukku pada botol yang cupangnya sedang bergoyang-goyang. “Dia
gagah, warnanya hitam kebiru-biruan dan besar.” Si Emang cupang sigap mengambil
plastik dan memasukan botol itu ke dalamnya.
“Sakantenan
sareng parabna?”
Lagi aku melihat ke arah Reno.
“Mau sekalian sama makannya?” Aku mengangguk.
“Iya, mang.”
“Kamu juga beli gih,” kataku
pada Reno. Reno menggeleng kuat-kuat. “Mang tolong cari satu lagi cupang yang
gagah ya buat dia.” Mata Reno melotot.
“Rei saya teh nggak mau! Lagian
kenapa kamu teh beli ikan segala, kan kita bisa cari di balong, ada banyak ikan
cupang di sana.”
“Karena ... dia bisa bergoyang?
Jarang-jarang lho ada ikan yang bisa goyang.” Reno menyemburkan tawanya.
“Cuma karena bisa bergoyang? Ih
kamu teh meni lucu saya jadi ingin ngecupang kamu.” Alisku naik seketika.
Ngecupang? Apa maksudnya coba. Ketika mengucapkan kalimat itu wajah Reno
berubah jadi merah semerah tomat. Matanya menunduk tak berani menatapku. “Saya
cuma bercanda,” katanya pelan.
“Bercanda apa? Aku nggak ngerti
ah apa maksud kamu. Ayo kita balik lagi ke sana, acaranya sepertinya akan
segera dimulai.”
Rampak sekar pun dimulai. Aku
melihat Ayu dan Enok menggunakan kebaya khas daerah Sunda. Tak hanya mereka
berdua, kulihat perempuan yang hidungnya pesek itu sangat cantik. Tidak
semuanya cantik memang, tapi aku suka sama suara mereka yang merdu. Sungguh.
Kalau Reno bernyanyi suaranya akan seperti apa ya? Pasti enak didengar soalnya
ketika bicara saja suaranya nyaring dan ngebass. Kalau begitu aku akan
menyuruhnya bernyanyi nanti.
Mataku dan mata Ayu bertemu. Di
sela tarikan nafasnya dia tersenyum padaku. Aku mengacungkan jempol untuknya.
Ternyata rampak sekar adalah menyanyikan lagu berbahasa Sunda secara
berkelompok. Bila bernyanyi sendirian disebut anggara sekar. Reno yang
menjelaskan itu padaku.
“Jadi kapan acara dangdutnya?”
tanyaku.
“Habis ini,” jawabnya. “Nanti
joged ya sama saya.”
“Gila!” aku memandang Reno
horor. Joget di depan banyak orang adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan
di dunia ini. Itu pun sepetinya akan kupikir terlebih dahulu ribuan kali.
“Payah.”
Rampak sekar pun selesai. Reno
mengajakku keliling mencari makanan. “Traktirnya sekarang saja, saya sudah
lapar.” Begitu katanya.
“Enok pasti mencari kamu.” Reno
mendengus. Sepertinya kalau urusannya soal perut tidak bisa dia kompromi lagi.
Baiklah lagi pula aku juga belum makan sejak siang tadi.
Kami berhenti di salah satu
warung penjual soto. Letaknya ada di pinggir jalan, bukan di lapang. Tempat ini
ramai sekali pengunjung. Bahkan sekarang kami bingung akan makan di mana.
Setelah kami mencari tempat, akhirnya kami memutuskan makan di atas rumput,
membawa makanan ini ke lapang. Reno menyandarkan punggungnya di batang gawang.
Tempat ini gelap sekali. Untungnya segelap apapun tempatnya, manusia hebat
memilih mana lubang hidung dan mana lubang mulut jadi tidak akan salah masuk.
Bintang di atas langit
berpendar terang. Cahayanya membuat tanah dan kegelapan sisi lapang ini
berwarna biru keungu-unguan. Semilir angin menerpa rambutku, juga rambutnya. Di
tengah keheningan ini, aku memandang Reno yang sedang menatap bintang sambil
makan. Mulutnya berceloteh soal keindahan dunia yang tak pernah bisa dia
jangkau dengan tangannya. Aku hanya bisa tersenyum mendengar semua celoteh itu.
Andai bisa, aku juga ingin memetik satu bintang paling terang di dunia ini,
lalu akan kuberikan pada seseorang yang sangat kucintai. Pertanyaannya ...
siapa sosok yang kucintai itu?
Mencintai seseorang bagiku
adalah prahara yang meluluhlantakan isi hatiku. Sampai saat ini aku belum
pernah mengatakan satu kali pun bahwa aku mencintai Aura. Hubungan kami sedikit
rumit. Aku pacaran dengannya karena Dewi dan Bima memaksaku untuk kenalan
dengannya. Sepertinya mereka sudah tahu bahwa Aura menyukaiku, jadi mereka
mencoba menyatukan kami berdua dengan segala cara. Awalnya aku menolak, tetapi
karena aku merasa tak tega, akhirnya aku mencoba. Artinya hubunganku dengan
Aura bukan dilandasi atas dasar cinta melainkan paksaan yang entah kenapa
membautku tertekan, apalagi sejak kemarin sore Aura mengajakku menikah.
Dadaku entah kenapa merasa
sesak ketika melihat Reno. Kini senyumnya mengembang lebar. Dia terlihat
bahagia sekali. Pasti karena ketika melihat bintang di atas sana, dia sedang
memikirkan Enok. Mungkinkah aku merasa iri karena Reno mempunyai seseorang yang
amat dicintainya? Ataukah aku iri terhadap hal lain yang aku sendiri tidak tahu
itu apa?
“Rei? Kok nggak di makan? Nggak
enak ya sotonya,” kata Reno. Aku terkesiap. Tubuhku merenggut sebelum akhirnya
aku mengakhiri monologku.
“Enak kok enak.”
“Kalau nggak akan habis sama
saya dibantuin makannya.” Aku memandang soto ayamku yang masih menggunung.
“Baiklah. Nasinya terlalu
banyak.” Reno beringsut dari tempatnya duduk menjadi di sampingku. Wajahnya
sumringah seperti anak kecil yang mendapati permen berwarna merah terang di
kamarnya.
“Saya teh bersyukur banget ada
kamu di sini.”
“Kamu sudah mengucapkan kalimat
itu, Reno.” Kukira Reno akan memindahkan nasi dan soto ini ke mangkuknya,
tetapi dia malah makan di mangkukku. Jadinya kami makan satu piring berdua.
Hmmm. Tanganku rasanya kesemutan. Perasaan seperti ini muncul hanya saat jika
aku merasa bahagia. Tapi masa iya sih sekarang aku bahagia hanya karena makan
soto ayam bersama Reno di pinggir lapang, ditemani cahaya bintang dan angin
malam yang menyejukan?
“Kamu terlalu baik sih jadinya
saya bersyukur banget. Lain kali saya yang akan traktir kamu,” katanya.
Selama lima menit kami
menghabiskan soto ini. Setelahnya, kami menyandarkan punggung kami ke dinding
besar yang menjadi pembatas jalan raya. Suara hingar-bingar dangdut perlahan
terdengar. Oh dan juga suara tepuk tangan ketika seorang perempuan berkata,
‘Siap digoyang!?’
“Mau ke sana?” tanyaku.
“Di sini saja, deh. Lagian
acaranya sampai jam sembilan, habis itu dilanjut dengan wayang golek.”
Suara kendang mulai terdengar.
Rupanya dangdut sudah dimulai.
Selama satu lagu berjalan tidak
ada yang berbicara di antara kami. Entah sedang menikmati lagu atau larut dalam
pikiran kami masing-masing. Yang jelas, aku merasa ada di antara keduanya.
Antara sedang menikmati dan sedang melamun. Hal ini berlanjut sampai lagi ke-5.
Kami masih diam membatu. Baru di lagu ke-6 Reno bangkit kemudian mengajakku
berjoged.
“Hayu kita joged.”
“Aku nggak bisa joged,”
jawabku.
“Gampang kok tinggal gerakin
tubuh kamu kayak gini.” Aku melihat tubuh Reno bergoyang lembut sesuai hentakan.
Pinggul dan tangannya bergerak-gerak, matanya terpejam—sesekali terbuka—dan
kakinya bergerak konstan. Ketika ketukan lagu mulai cepat, gerakan Reno pun
ikut cepat. Aku bisa melihat keringatnya meskipun di sini gelap. “Lihatkan?
Gampang banget. Ayo kita joget, Rei.”
Apakah aku pernah menyangka
bahwa joget seorang pria ternyata bisa membuatku tertegun, terpana, dan
menggairahkan?
Pinggul Reno semakin luwes
bergerak ke sana ke mari. Kakinya, tangannya, pinggulnya, bahkan bahunya
bergerak. Aku tertawa melihatnya berjoget. Demi apapun di dunia ini aku sangat
menikmati moment ini. Kenapa bisa!? Ah, Reno. Kau membuatku sulit untuk
berpaling. Yang ada, saat ini aku hanya ingin melihatmu bergerak lincah seperti
ini.
“Eh aku nggak mau, Re! Aku
malu!”Aku gelagapan ketika Reno menghampiriku kemudian menyuruhku untuk
berdiri. “A-aku nggak bisa joged.”
“Sudah santai saja. Lagian kan
di sini teh poek, nggak bakal ada yang melihat kita. Orang-orang pada di sana
jadi kamu bisa leluasa menggerakan tubuhmu.” Akhirnya aku berdiri. Tangan Reno
menarikku untuk beranjak menuju tempatnya tadi. “Jangan kaku gitu dong, kamu
hanya perlu menggoyangkan kaki, tangan dan pinggul kamu.” Aku mencoba menuruti
apa yang Reno katakan. Sialnya, hal itu membuat Reno tertawa terbahak-bahak.
“Ya ampun, Rei. Joged kamu mirip monyet yang lagi sebelit—AW! ARGH SAKIT!
SERIUS ITU SAKIT!” aku mencubit lengannya keras sekali.
“Sudah ah aku duduk lagi sa—”
“Nggak bisa. Kamu ikutin saya
saja, saya janji nggak bakal tertawa.”
“Beneran?” Reno mengangguk.
Akhirnya aku menuruti gerak tubuh Reno. “Gitu?”
“Yap. Terus terus, nah pinggul
kamu sudah mulai nggak kaku, sekarang tinggal tangan kamu.” Lagi, aku mengikuti
gerak tubuh Reno. Setelah gerakan itu aku hafal, aku mulai mempraktekannya.
Reno tersenyum lebar melihatku. Dia semakin merapatkan tubuhnya, bahkan kini
keningnya dia tempelkan ke keningku. Adrenalinku entah kenapa terpacu saat ini
juga. Antara takut ada orang yang melihat dan senang menikmati aksi kami, aku
pun dibuat bimbang.
“Ini adalah hal gila yang
pernah aku lakukan,” kataku pelan.
“Kamu harus terbiasa, karena
...”
“Karena?”
“Tidak. Lupakan saja.”
Aku tersenyum. “Nafas kamu
bau,” kataku sambil terkekeh.
“Serius?” Reno menjauhkan
kepalanya.
“Bau soto hahaha.”
“Ih kiran teh apaan.”
Beberapa detik kemudian lagu
selesai dimainkan. Kami berdua masih berdiri berhadap-hadapan. Atmosfer di
tempat ini rasanya sedikit aneh. Tapi tak masalah. Aku menyukainya. Aku
menikmatinya. Hingga akhirnya aktivitas berjoget kami terganggu ketika kami
mendengar suara Ayu dan Enok. Sontak Reno langsung menunduk entah apa
alasannya. “Kenapa malah sembunyi?”
“Kemarin teh saya telah membuat
dia marah. Kalau ketemu sekarang, bisa-bisa saya kena marah lagi.” Oh aku tidak
tahu soalnya aku pulang ke rumah bersama Ayu.
“Kenapa?”
“Lagi datang bulan kali. Atau
mungkin dia marah karena saya belum bisa ngumpulin uang sebanyak 15 juta.” Aku
memandangnya tak percaya. “Uang itu buat biaya pernikahan dan rumah tangga saya
nanti.” Mendengar penuturan Reno mendadak aku jadi semakin tidak menyukai Enok.
Dia termasuk cewek matre ternyata.
“Itu terlalu berlebihan, Ren.”
“Iya tapi saya teh nggak bisa
menyalahkan dia.”
“Kok bisa? Seharusnya kamu teh
bilang atuh ke dia kalau kamu—”
“Uang 15 juta adalah syarat
yang diberikan ayahnya kalau saya ingin menikahi dia. Saya tahu syarat itu teh
hanya akal-akalan ayahnya supaya saya tidak bisa menikahi Enok. Ayahnya seorang
tentara dan sangat terpandang di kampung ini. Hampir semua warga di sini segan
padanya.”
“Kalau ayahnya terpandang,
bukankah kamu tinggal menyebar kenyataan ayahnya telah memberi syarat tak masuk
akal demi—”
“Saya tidak bisa,” potongnya.
“Hal itu akan membuat Enok sedih. Nama baik keluarga dia akan langsung
tercoreng.”
Aku memandang Reno lekat. “Lalu
apakah kamu mencintai Enok?”
Lama Reno tidak menjawab,
hingga akhirnya kebahagiaan yang kurasakan tadi pun lenyap tak membekas bagai
kepulan asap. “Ya, saya teh mencintainya.”
“Ja-jadi kalau kamu sudah punya
uang sebesar 15 juta kamu akan segera menikahi dia?” Sial, apa yang telah
terjadi dengan diriku? Kenapa aku merasakan sesak yang tak terkira?
“Ya, Rei. Saya akan
menikahinya.”
“Semoga bisa terlaksana.” Reno
tersenyum lebar, yang entah kenapa membuat mataku berkaca-kaca. Pasti aku sedih
karena Reno sudah menemukan cinta sejati dalam hidupnya sementara aku belum.
Sial sial sial! Desakan di dadaku kian kentara terasa. “Aku mau mengembalikan
piring dan mangkuk itu. Sekalian membayar juga. Kamu tunggu di sini ya, Ren.”
DEG.
Aku merasakan hatiku diremas.
Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus mengobatinya. Namun, apa yang harus aku
obati sementara penyebabnya saja aku tidak tahu?
Selama satu jam ke depan pun
aku banyak diamnya. Jam setengah sembilan malam aku dan Reno bertemu dengan
Enok, sedangkan Ayu katanya dia sudah pulang ke rumah. Sementara Reno masih
bertingkah seperti yang selalu dia lakukan. Bertingkah aktif yang kerap membuat
orang lain terawa. Tapi untuk kali ini tidak denganku. Aku merasa tidak sedang
berselera untuk tertawa.
“Rei kamu sakit?” tanya Reno.
“Aku baik-baik saja kok. Hanya
sedikit pusing saja,” kataku berbohong. Aku ingin segera pulang ke rumah untuk
mengistirahatkan tubuh dan pikiranku. “Duh kayaknya aku pulang sekarang deh.
Maaf ya, Ren.”
“Eh eh eh kan kamu mau nginap
di rumah saya. Kalau begitu saya juga mau pulang sekarang.” Menginap di rumah
Reno? Entah kenapa aku jadi tidak tertarik.
“Nanti saja. Aku—”
“Nggak! Pokoknya sekarang kamu
harus menginap di—”
“Aku pulang ya. Lagian kasian
Enok, kamu masih ingin di sini kan?” Enok mengangguk.
“Iya, Ren. Kan bisa besok lag,”
sahut Enok.
“Pokoknya—”
“Aku pulang.”
Aku berjalan pelan melewati
kerumunan orang-orang. Dadaku masih terasa sakit. Padahal, Reno kan hanya
mengucapkan kata pernikahan, kenapa aku harus merasa sedih? Bukankah seharusnya
aku merasa bahagia? Seharusnya begitu. Nahas, pertanyaan muskil di kepalaku tak
kunjung tertawab. Malam semakin larut, mata masih terjaga dan pikiran masih
berkecamuk. Aku semakin mengeratkan selimbutku. Dingin memang membuat tubuhku
menggigil, tapi rasa sepi di hatiku rasanya lebih dingin dari itu.
Malam
aku ingin bercerita sedikit padamu. Kenapa perasaan manusia tidak berwujud
saja? Supaya aku bisa memahaminya karena sungguh, saat ini aku merasa bingung
dengan perasaan abstrak yang selalu datang tiba-tiba layaknya hantu. Dan, jika
kau sudi memberiku sedikit angin saat ini aku akan berterima kasih, karena aku
ingin segera terlelap supaya perasaanku bisa membaik.