Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Rumah Hantu #6
Laksana cemeti
dewa, keringatnya yang memabukan itu melesat kuat masuk ke dalam hidungku,
untuk kemudian turun ke dalam perasaanku.
"Bukan ke sana, Grey, tapi
belok ke sana," kata Ayu. Kini posisinya ada di depan mendahuluiku.
Aku mengembuskan nafas panjang.
Niatnya kan aku pergi ke warung untuk memisahkan Enok dan Reno, tapi jadinya
malah aku membiarkan dia berduaan di depan rumahnya. Sudahlah. Toh aku memang
sedikit haus dan ingin mendinginkan kepalaku yang mulai korslet.
Sesampainya di warung jadinya
aku malah membeli susu, bukan soda. "Jadi, perempuan cantik tadi adalah
pacar kamu, kang?" Ya ampun. Ayu memanggilku dengan sebutan akang?
"I-iya," kataku.
Beberapa detik kemudian raut
wajah Ayu berubah. "Ma-maaf sa-ya ti-tidak sopan."
"Nyantai saja kali, Yu.
Aku nggak masalah kok."
Ayu menundukan kepalanya.
"Yuk kita kemba--KYA!" Mataku melongo. Kaki Ayu tak sengaja menginjak
kotoran ayam yang baru keluar, yang warnanya bening di luar dan hijau di dalam,
membuat kakinya tergelincir hingga dia bergedebukan di lantai. Aku sebenarnya
ingin tertawa, tapi karena orang di depanku adalah Ayu, jadi sekuat mungkin aku
menahannya.
"Kamu nggak
kenapa-kenapa?" Pertanyaan bodoh sekaligus retoris. Sudah pasti dia tidak
baik-baik saja. "Pasti sakit ya."
"Iya sakit." Dia
merintih kesakitan. "Aku nggak mau kembali lagi ke sana! Aku malu, Grey.
Jadi antar aku pulang saja kamu mau kan?" Ketika mengucapkannya pandangan
Ayu tertunduk. Dia tak berani menatapku. Lho? Kok aku merasa ada yang aneh.
Sebenarnya aku ingin segera
pergi ke rumah Reno, tapi aku merasa kasihan pada Ayu, jadi aku mengiyakan
ajakannya. Lagi-lagi kami berjalan dalam diam. Berbicara dengan orang pendiam
membuatku jadi orang pendiam. Aku bingung harus berkata apa.
Sesampainya di rumah Ayu, dia
tersenyum padaku hingga akhirnya berbalik menuju rumahnya. "Kalau Enok
bertanya ke mana aku, kasih tahu saja aku sudah pulang ke rumah. Jangan kasih
tahu alasannya ya, Grey." Aku mengangguk.
***
Jam 5 subuh aku bangun. Aku
pergi ke dapur untuk membuat teh hangat. Di sana ada ayah yang sedang menyeduh
kopi sambil bernyanyi lagu khas daerah sini kurasa. Mojang Priangan? Kurasa
judulnya itu karena katanya sering diulang-ulang di bait terakhir.
Sembari menunggu matahari
terbit di ufuk timur, aku diam di teras depan rumah sambil minum teh hangat.
Ngomong-ngomong, hari ini aku tidur di kursi ruang tengah karena aku kehilangan
kunci pintu kamarku. Ya Tuhan, aku ingin ssgera kunci kamarku kembali karena
tidur di sana sangat dingin sekali.
Saat pikiranku melanglang
buana, aku melihat Reno sedang berjalan ke arahku. Kukira sosok itu adalah bias
cahaya bayanganku, tetapi ternyata dia beneran Reno. Dengan senyum lebarnya,
pikiranku yang sedang melanglang buana pun terhempas. Ah, Reno. Aku gatal ingin
segeram memukulmu.
"Bukannya kamu lagi
sakit?" tanyaku.
"Iya saya teh masih
sedikit pusing, tapi saya kuat kok, masih kuat kerja di--AW! Kok saya
dipukul!?" Aku tertawa terbahak-bahak. Reaksinya sungguh lucu menurutku.
"Pengen saja. Nggak
masalah kan? Toh pelan juga." Reno mengusap bahu yang kena pukul tanganku.
Ups. Sepertinya dia beneran kesakitan.
"Sakit, Rei! Di situ ada
bisul, adududuh sakit, kamu teh ya
kalau mau mukul bilang-bilang!" sungut Reno membiat tawaku kian
menggelegar.
"Mana coba lihat?"
Reno menaikan lengan bajunya ke atas. "Bisul apaan hahaha kecil gitu. Itu mah jerawat kampret. Sudah ah, hari
ini kita ngapain?"
"Jangan dulu!" Reno
bersedekap menggemaskan. "Karena kamu sudah mukul bisul saya, nanti malam
harus traktir saya lagi. Gimana?" Aku memutar bola mata sebal. Reno
melepaskan sedekapnya karena, mungkin, dihidungnya banyak kuman jadi dia garuk
dengan kekuatan super.
"Kalau aku nggak
mau?"
Mata Reno melotot memandangku.
"Ya harus mau atuh. Kalau
nggak mau saya kasih ke Mak Erot biar tahu rasa."
"Mak Erot?"
"Eh iya ya pasti kamu
nggak tahu dia. Mak Erot itu adalah Nenek-nenek yang sudah janda 3 kali, tapi
katanya sekarang masih ingin nikah."
"BAHAHAHAHAHA, SERIOUSLY?"
Kepala Reno mengangguk-ngangguk cepat. "Kalau begitu iya deh aku traktir
nanti malam. Eh bukannya nanti malam ada rampak sekar ya di lapang desa? Kamu
nggak ingin nonton pacar kamu tampil?"
"Kan bisa pulangnya Rei
sayang."
Sontak aku merasakan desiran
aneh ketika Reno mengucapkan kalimat tadi. Setelah kupikirkan baik-baik, aku
tidak merasakan apa-apa selain ingin memukul kepalanya sedikit berkeringat itu.
"Hayu ah kita kerja. Kamu
bawa obat di gudang terus campur dengan air sesuai takaran. Kamu masih ingat
kan?" Aku mengangguk. "Nah saya mau ee dulu, kamu tunggu, awas kalau
kamu ngintip nanti saya--eh eh eh ampun."
Alislu terangkat. Baiklah
memangnya siapa yang mau mukul? Aku hanya ingin mengambil daun yang hinggap di
kepalanya. Ketika menyadari maksudku, Reno nyengir sambil berlalu.
***
"Kunci kamar kamu ke
mana?" tanya Reno. "Saya pengen ikut simpan jaket," lanjutnya.
"Hilang," jawabku.
"Di mana?"
"Mungkin di rumah hantu
yang kemarin aku masuki sama teman-temanku." Reno melihatku sekilas
kemudian fokus melahap pisang goreng buatanku.
"Eh eh eh tunggu, jadi
kemarin teman kamu ke sini!? Kok kamu nggak bangunin saya!?
Saya teh penasaran pisan sama pacar kamu! Pasti
cantik, ya kan?" Tangan Reno mengambil pisang goreng ukuran jumbo. "Puahahal kuamalin suaya teh syudah suadal."
"Kalau bicara itu habiskan
dulu makannya! Nanti keselek baru tahu rasa," kataku. "Sudah ah ayo
kita pergi. Acara rampak sekarnya sebentar lagi dimulai." Kami pun
berdiri. Tak hanya ada aku dan Reno, di rumahku ada juga Ayah dan Ibunya Reno.
Kami semua berkumpul bermaksud menonton barengan.
"Oh iya, Rei. Terus kamu
tidur di mana kalau kamar kamu ke kunci?" tanyanya.
"Di ruang tamu. Mungkin besok
akan aku cari kuncinya, soalnya dingin banget kalau tidur di ruang tamu.
Niatnya sih mau hari ini, tetapi ternyata banyak kerjaan. Aku bahkan hampir
lupa kalau ayah punya ayam peliharaan di kandang sapi." Ayah ternyata bisa
nggak normal juga ternyata. Masa ayam di simpan di kandang sapi?
"Kalau kuncinya nggak
ketemu?"
"Akan aku dobrak."
Reno bangkit sambil memakai jaket hitamnya.
"Kalau begitu akan saya
antar."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
"Woke." Kami berempat
berjalan menuju lapang desa. "Oh ya, kamu menginap saja di kamar saya.
Pasti seru. Saya teh punya
panggal sama yoyo. Mau kan?"
Aku menelan ludah kuat-kuat.
Menginap di rumah Reno? Mendadak hatiku berdesir-desir. "Ogah! Kamar kamu
jorok, kancut di mana-mana, terus kasurnya sempit."
"Ish ya sudah kalau nggak
mau." Dasar tidak peka. Kukira dia akan terus memaksa, eh malah bilang 'ya
sudah?' Fix. Dia cowok menyebalkan.
Sebenarnya aku nggak mau
menarik kata-kataku, tetapi karena aku yakin tidur di kamar Reno yang sempit
itu akan membuat tubuhku hangat--tentu saja lebih hangat daripada tidur di
ruang tamu--akhirnya aku mengiyakan ajakan Reno.
"Okelah asalkan kamu teh jangan lupa sama traktirnya."