Senin, 15 Januari 2018


Preman Pasar : The Outside of Madness

Rumah Hantu #5


Aku teringat ketika tempias hujan masuk ke celah jendela kamarku. Saat itu ... perasaanku sedang tak menentu.
Langkahku semakin cepat pergi menuju rumah Reno. Aku bisa mendengar semua warga kampung di sini masih membicarakan gempa bumi. Ketika melihatku mereka tersenyum sambil bertanya mau ke mana. Aku menjawabnya dengan suara sedikit parau antara takut dan khawatir. Sungguh, aku tidak pernah setakut ini sebelumnya.
Rumah Reno tinggal beberapa meter lagi. Setelah ada di area rumahnya langkahku lamat-lamat melambat. Nafasku masih ngos-ngosan, kurasa staminaku benar-benar buruk. Mulai sekarang aku harus lari pagi atau lari sore. Harus.
Di rumah Reno sepertinya tidak ada aktivitas. Terbukti saat aku memanggil-manggil nama Reno tak kunjung ada jawaban. Aku tahu masuk ke dalam rumah seseorang tanpa permisi itu tidak sopan, tetapi karena ibunya Reno telah memberi pesan menyuruhku untuk menjaganya, maka aku terpaksa masuk ke dalam. Kurasa Reno baik-baik saja karena tidak ada bangunan roboh kecuali-ya Tuhan! Tubuhku membatu tatkala melihat dapur rumah ini berantakan dengan puing-puing atap rumah ini. Rasanya lututku tak mampu menyangga tubuhku.
"Ren?" ucapku. Ternyata lututku masih bisa bergerak. Kok bisa ya? Padahal tadi aku merasa tidak bisa. Oh sugestiku cukup berlebihan ternyata.
Akhirnya langkahku sampai di depan kamarnya. Aku mengetuk pintu kamarnya tiga kali. Masih tidak ada jawaban. Tiba-tiba aku mendengar suara NGORRRK yang sangat keras. Mendadak mataku menyipit, rasa gemetarku hilang seketika, malah yang ada amarahku langsung menyerabar ke seluruh sel dalam tubuhku.
Pintu terbuka, aku berjalan ke arahnya dengan tangan bersedekap menahan marah. AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMPERCAYAI INI! Di saat orang lain lari ketakutan keluar rumah, dia malah enak-enaknya tidur sambil ngorok? Tidak tahukah dia sebagian rumahnya telah rontok!?
"Dasar--"
"NGORRRK."
"Ren kamu--"
"NGORRK."
"What the-"
"NGORRK."
"RENO BANGUN!" teriakku membahana. Percaya atau tidak, mata dia masih terpejam. "DASAR COWOK KEBLUK, MENYEBALKAN, ANEH!" teriakku lagi. Tubuhnya menggeliat kayak cacing. Aku benar-benar marah. Kusatukan jaru jempol dan telunjukku lalu kuarahkan pada hidung Reno. Setelah bulu hidungnya ada di antara kedua jariku, aku menariknya. Sudah kuduga. Dia bangun.
"Jurig baseh siah! Aya naon ieu aya naon ieu!? Eh Grey? Tolong saya, Rei! Saya mimpi ada yang nyabutin bulu hidung saya!" Mataku membelalak makin tak percaya. Tanganku mengepal, nafasku tertahan, hingga akhirnya aku tak bisa menahan pukulanku padanya. "Terus aja pukul saya! Sakit tahu! Sini kalau berani!" Reno menarik tanganku kuat, membuat tubuhku langsung menindih tubuhnya. Setelah dia mengunci tubuhku, dia langsung menggelitiki tubuhku tanpa ampun.
"Ampun, Ren ampun hahahaha!" aku berkelijatan tak karuan. Karena Reno masih mengunci tubuhku, aku tidak bisa menjauh, bahkan melawan balik. "Ampun, Ren hahahaha. Nggak akan mukul kamu lagi. Eh eh eh jangan di sana! HAHAHAHAHAHAHA. GELI, REN HAHAHAHA."
"Ampun? Oh tidak bisa. Ini adalah harga yang harus kamu bayar karena telah memukul saya."
"Ampun, Ren! Geli geli geli. Iya-iya aku nyerah!" akhirnya Reno menghentikan aksi bodohnya. Nafasku masih terengah-engah, juga nafasnya. Lama kami ada di posisi seperti ini hingga akhirnya aku tersadar, posisi ini adalah posisi seseorang sedang berpelukan. Wajahku memerah seketika.
Tanganku berusaha menyingkirkan tangannya namun Reno tak mau melepaskan pegangannya. Dia masih memelukku dengan kepalanya ada di tengkukku. Aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya yang sedikit cepat di sana. Juga ... ah mungkin hanya perasaanku saja. Aku bisa merasakan sesuatu telah bergerak di area pantatku. Hanya sekilas.
"Aku ngantuk," kataku.
"Tidur saja di sini," jawabnya.
"Ih nggak mau. Kamar kamu jorok."
"Tapi tempat tidur saya teh bersih."
"Hmm."
Reno semakin menguatkan pelukannya. "Dingin. Jangan bergerak dulu, saya masih kedinginan."
Suara detik jam pun mengusik keheningan yang ada di kamar ini. Tak sadarkah dia? Bunyinya sangat mengganggu. Tapi tetap saja entah kenapa aku merasa terlena. Kehangatan yang menjalar di tubuhku, lamat-lamat merasuk dan membuat onar di dalam hati. Pun dengan suara angin yang mendayu-dayu, derap langkah, suara knalpot motor, sepertinya mereka ingin mengganggu kedamaian singkat yang ada di sini. Tak apa. Sungguh tak apa. Karena esensinya tak ada suara yang bisa membuatku merasa terganggu. Aku ... terlalu nyaman dengan keadaan ini, membuat mataku terpejam hingga akhirnya aku tak merasakan apa-apa.
Tahu-tahu jam sudah menunjukan pukul 7 malam. Aku berusaha memulihkan kesadaranku. Di mana ini? Ah, sepertinya aku ketiduran di kamar Reno.
Aku mendengar suara keriburan di luar dinding kamar ini, salah satunya suara ayah. "Reno kamu sudah bangun? Karena kamu nggak pulang ke rumah, ayah yakin sedang terjadi apa-apa di sini, makanya ayah nyusul. Eh tahunya memang benar."
"Teman-temanku gimana, yah?" kataku.
"Teman-teman?" jawab Reno.
"Mereka sudah pulang beberapa jam yang lalu. Mereka juga punya seseorang yang dikhawatirkan di Jakarta, jadi mereka pulang." Aku manggut-manggut.
Reno berjalan ke arahku lalu menyampirkan tangannya di bahuku. "Teman-teman kamu dari Jakarta teh datang ke sini?" aku mengangguk. "Kenapa kamu nggak bilang-bilang! Saya teh penasaran pisan sama pacar kamu, dia pasti datang juga kan?" lagi aku mengangguk. "Lain kali kenalkan saya pada mereka ya?" lagi, lagi dan lagi aku mengangguk.
Tiba-tiba kami semua dikagetkan dengan keramaian yang ada di luar rumah. Setelah kami lihat ternyata banyak orang datang ke sini sambil membawa beras, sayuran dan dan buah-buahan. Ternyata mereka bermaksud memberikan semua makanan itu pada keluarga Reno. "Kenapa bisa?" tanyaku ada Reno.
"Sudah jadi kebiasaan di kampung ini, Rei. Kalau ada seseorang ketimpa musibah, mereka suka membantu entah dengan dukungan moral atau makanan. Seringnya sih keduanya. Nanti juga kalai rumah kamu kebakaran mereka akan datang ke rumah kamu membawa makanan-AW! Kamu teh mukul saya lagi!?"
"Suruh siapa bicara yang aneh-aneh? Hiii amit-amit deh kalau rumahku kebakaran."
Lalu perhatian kami pun teralih pada suara cempreng Enok dari kejauhan sana. Dia datang bersama Ayu sambil menenteng satu sikat pisang panjang berukuran t*tit kuda. Sesampainya di depan kami, Enok langsung menyimpan pisang itu lalu mengalungkan tangannya ke leher Reno. Mendadak aku jadi tidak suka melihat Enok terlalu dekat dengan Reno.
"Ren aku mau beli soda," kataku. "Antar aku ke warung."
"Warung? Dekat kok ada di sana." Enok menunjuk gang sempit dekat dengan pohon berkanopi lebar.
"Hayu atuh sama saya diantar," ucap Reno.
"Eh eh eh kamu tetap di sini," kata Enok cepat. "Lagian kan tempatnya juga dekat, jadi kenapa musti diantar? Benar kan Grey?"
"Errrrr ...."
"Ya nggak bisa gitu juga. Gimana kalau dia tersesat lagi? Sudah ah saya mau ngantar dulu dia jadi kamu diam dulu di sini."
"Kalau gitu, Yu, kamu antar Grey ya. Mau kan?" kulihat Ayu mengangguk. "Lagian ada yang mau saya obrolin sama kamu, Ren." Aku menatap Enok lekat. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin dia katakan pada Reno. Akhirnya aku pergi ke warung bersama Ayu. Karena dia banyak diamnya, kami pergi tanpa berbicara satu sama lain. Lagi pula, pikiran anehku langsung berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Enok mengucapkan hal yang sama seperti Aura? Yakni meminta Reno untuk segera menikahinya.


Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -