Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Rumah Hantu #4


Berbicara mengenai perasaan, kurasa satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah kerumitan yang mendekati kemustahilan jika aku ingin tahu apa maknanya.
"Kamu kenapa?" tanya Aura. Aku masih ada di atas pagar, kakiku sedikit berjinjit, berusaha melihat kembali bayangan hitam yang tadi kulihat.
"Dia pasti lihat hantu di rumah ini," kata Dewi seakan tidak punya beban ketika mengatakannya. Aku memandangnya tak suka. Di manapun kita berada bukankah kita harus menjaga ucapan? Apalagi ini di tempat antah berantah--baiklah aku terlalu berlebihan.
Aura memukul bahu Dewi pelan. "Hush kalau ngomong itu disaring. Gimana kalau ada hantu beneran dan dia merasa keganggu? Hiii kok aku jadi takut gini ya. Mendingan balik lagi, yuk. Tempat ini sepertinya berbahaya."
Baiklah karena aku tidak terlalu percaya dengan hal yang berbau mistis dan astral, jadi aku menolak ide Aura. Lagi pula hanya dia yang ingin kembali, sisanya ingin melihat-lihat ada apa saja di rumah ini. Aku berkacak pinggang sambil memandang ke langit. Tumben cuaca cerah. Aku yakin hari ini pasti tidak akan terjadi hujan.
Gawat. Entah kenapa jika mengingat hujan seberkas bayangan Reno langsung terpatri kuat di dalam kepalaku. Esensinya semua momen menyenangkan bersamanya diawali ketika hujan tiba. Jadi haruskah aku berterimakasih pada hujan? Semoga saja demamnya cepat turun supaya tanganku bisa kembali memukul bahu, perut bahkan kepalanya.
"Grey kok kalung kamu liontinnya kunci?" tanya Aura.
"Ini kunci kamarku," balasku.
"Kok dibawa? Memang di sini banyak maling ya?"
"Nggak kok. Pengen bawa saja." Oke, sebenarnya alasan aku membawa kunci adalah aku takut ayah nyelonong masuk ke kamarku yang seringnya berantakan sama sampah makanan. Kalau sudah diomeli ayah rasanya malas sekali, bisa bertahan sampai berpuluh-puluh menit.
"Gila pemandangannya indah banget, Grey!"
Memang indah. Bahkan aku ragu akan mengalami kebosanan jika terus memandangnya. Bagaimana tidak, deretan kebun, pohon, bukit dan gunung itu seakan dilukis oleh kuas keajaiban. Ditambah dengan suasana sejuk ini. Membuatku ingin kembali mencium mulut Reno supaya tubuhku jadi ha--kampret! Aku sedang berpikir apa tadi? Mending aku berbaur dengan mereka yang sedang mencari spot menarik untuk dijadikan latar. Setelah menemukannya, sesi foto pun dimulai.
"Sekarang giliranku!" seru Aura. "Grey sini kita foto berdua. Bim tolong fotoin kita ya."
"Ya ampun, kita sudah di foto puluhan kali, Ra. Kamu nggak bosen?" keluhku.
"Ya tapi kan akunya jelek, Grey. Malahan yang terakhir tadi mulutku kelihatan bengkak, mendekati dower. Sudah deh kamu diam saja. Memangnya kamu nggak malu kalau anak kita lihat foto mamanya kayak pantat kebo?" Aura menarikku kuat-kuat. Melihatku berontak bukannya menyerah dia malah mengencangkan pegangannya. "Ih jawab malu nggak!?" lanjutnya membuatku nafasku mengembus berkali-kali.
"Terserah kamu saja," sahutku.
"Grey ternyata pintunya nggak dikunci!" teriak Dewi. "Ayo kita masuk!"
"Serius!?" Mendengar kalimat Dewi serta-merta aku langsung meninggalkan Aura dan Bima. Aura menjerit-jerit kayak kerasukam setan menyuruhku untuk kembali. Aku baru tahu ternyata Aura bisa bersikap menjengkellan juga.
Dewi dan beberapa temanku yang lain sudah masuk ke dalam. Aku pun sama. Aku ragu di rumah ini ada hantunya, pasti yang kulihat tadi adalah kucing hitam yang sedang melompat menangkap bayi tikus. Bisa saja kan tikus di kampung ini kerjaannya melompat dari satu atap ke atap lain.
Ketika masuk ke dalam, aroma yang pertama kali kuhirup adalah bau tempat tak terjamah. Tidak mengganggu memang, malah kesannya wangi serat kayu seperti tubuh Reno. Kenapa rumah ini ditinggalkan ya? Seakan menjawab monolog dalam diriku, Dewi berkata, "Mungkin karena rumah ini terpencil dan hanya ada satu-satunya di wilayah ini, pemiliknya memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Toh kalau ada pencuri pada siapa dia akan berteriak?" Alasan yang logis.
"Kenapa tidak dijual atau dijadikan lahan kebun?" sahutku.
"Dia bukan seorang petani?" Aku manggut-manggut. "Terus mungkin dia sedang investasi tanah. Bisa saja kan di tahun 2017 harga jual tanah naik pesat."
Aku melihat lukisan wanita di samping tungku api dekat dengan jendela. Hiiii. Wanita itu matanya mendelik ke arahku. Maksudku, ekspresinya memang seperti itu.
Kami semua sudah ada di dalam dan sekarang sedang memandang lukisan wanita yang menurut kami sangat bagus sekali. Latar tempatnya kurasa di Lembang, bahkan tepat ada di belakang rumah.
"Apakah aku boleh berteori?" tanya Dewi pelan, nyaris mendesah. Kalimat itu membuat Aura, Bima, Angga dan Sasa merenggut takut.
"Silakan," sahutku.
"Kamu lihat? Tidak ada kursi, barang-barang, perabotan, bukankah terlihat aneh?" kata Dewi.
"Mungkin diambil pemiliknya," sahut Aura.
"Mungkin juga dicuri," kataku.
"Hmm kita asumsikan rumah ini dicuri atau dibawa sama pemiliknya. Jadi, kenapa hanya foto ini yang dibiarkan begitu saja? Ditinggal sendirian di sini, dan lihatlah matanya yang begitu marah, pasti dia selama ini merasa kesepian. Artinya apa? Artinya ... baik pencuri atau pemilik ... merasa ada kejanggalan dengan foto ini sehingga di antara mereka berdua tidak ada yang berani mengambilnya."
Aku bisa merasakan tubuh Aura menegang di tempat. Penjelasan Dewi memang masuk akal. Tapi masa iya sih? "Lalu bagaimana jika mereka lupa mengambil foto ini?"
"Serius? Di tempat yang mudah dijangkau? Bahkan pas kita masuk ke dalam, foto itu sudah bisa kita lihat." Oke teori Dewi cukup masuk akal.
Sekarang aku tersenyum lebar, membuat alis teman-temanku naik ke atas. "Aku juga punya teori ...," desisku pelan. "Bagaimana ... jika ... pemilik rumah ini merasa ada kejanggalan dengan foto ini sehingga dia berusaha membuang foto ini ke tempat sampah. Nahasnya setelah foto ini dibuang, foto ini kembali lagi dan lagi. Hantu dalam foto ini pun marah. Dia membunuh pemilik rumah ini dari mulai sang ayah, sang ibu, sang anak, dan sekarang kalian--"
BUGH!
"NGGAK LUCU, GREY!" jerit Aura. "Teori kamu nggak lucu dan nggak masuk akal!" Aku mengusap-ngusap bahuku yang kenal jontosnya. Sakit sekali ternyata.
"Jadi teori seperti apa yang menurutmu logis?" tanya Sasa.
"Foto ini sengaja ditinggalkan supaya kalau ada maling mereka jadi takut." Mata kami semua memutar 2 kali putaran.
"Eh eh eh tunggu! Seriusan fotonya bergerak!" teriak Dewi membahana. Kami memandang foto itu lekat. Benar, bergerak!
Kami semua sontak mundur satu langkah. Foto ini ada hantunya! Tubuhku menegang seketika, bahkan kurasa lututku bergetar saking takutnya. Kami semua saling pandang, bermaksud memberi aba-aba untuk berlari, namun tidak ada yang bersuara di antara kami.
Tu-tunggu? Kok lampu di atas juga ikut bergerak? "INI GEMPA BUMI BUKAN HANTU!" teriakku. Mereka tersentak kemudian lari tunggang-langgang ke luar.
Tanah masih bergoyang, membuat kami semua menunduk memegang tanah. Setelah dirasa berhenti, kami berdiri dengan tubuh bergetar. Tidak ada yang bersuara. Pikiranku rasanya blank. Hingga akhirnya aku tersadar, aku harus segera ke rumah.
"Ayah," kataku parau. Gempa tadi cukup besar. Mungkin ada dikisaran 7 SR.
"Kita kembali," kata Bima.
"Kamu sama Bima duluan saja, Grey. Biar aku jaga Aura dan Sasa," kata Angga. Kami berdua menangguk.
Aku kembali setengah berlari menuju rumah. Jantungku masih berdetak dengan cepat, takut terjadi apa-apa sama ayah. Kemudian Reno, bukankah dia sedang sakit? Ya Tuhan, gimana kalau Reno sedang sendirian di rumah? Bukankah ibunya sedang mengantar makanan?
"Grey, gempa susulan!" ucap Bima. Dia benar, aku bisa merasakan gempa hebat, kali ini lebih besar dari yang tadi! Mukaku pias seketika. Aku terus berlari. Rasa capek yang kurasa sepertinya menguap entah ke mana.
"Sial, kita tadi berjalan sejauh mana sih!" umpatku. Sedari tadi yang kulihat hanya perkebunan dan perkebunan.
10 menit aku berlari akhirnya sampai juga di rumah. Ketika melihatku ayah langsung memelukku. Syukurlah ayah tidak kenapa-napa. Sekarang pikiranku tertuju pada Reno. Hatiku masih belum tenang.
"Ayah baik-baik saja. Gimana teman-teman kamu?" tanya ayah.
"Mereka baik, yah."
"Sepertinya sudah aman. Tuh mereka sudah datang. Kita bicara di dalam saja," kata ayah.
Kami semua masuk kemudian duduk di ruang tamu. Aku bangkit mengambil air minum untuk mereka.
"Cepat ambilkan radio ayah di kamar, pasti pemberitahuan gempanya akan langsung disiarkan." Lagi, aku berdiri kemudian melangkah pergi dengan langkah gontai. Sekembalinya diriku, ayah mengambil radio di tanganku kemudian pergi menuni stop kontak yang ada di dekat kursi.
"Sudah dong jangan panik," kata Aura. "Sudah aman." Bukan, Ra. Bukan itu. Aku masih khawatir sama keadaan Reno! Dia sakit dan mungkin dia tidak menyadari gempa bumi ini.
Sepertinya aku harus pergi ke sana. "Gempa pertama 6.5 SR dan gempa kedua 7.2 SR," kata ayah. Mataku membulat. 7.2? SR?
Aku beranjak sambil membisikan sesuatu ke ayah. "Yah, Reno lagi sakit. Aku takut dia kenapa-kenapa, jadi aku pergi ke sana dulu ya sebentar. Setelah mengetahui dia baik-baik saja aku akan segera kembali." Ayah mengangguk.
Sebelum pergi aku mengambil jaket di kamar. Kukeluarkan kalungku, lho? Kuncinya ke mana? Sial! Pasti jatuh di rumah kayu atau di jalan! Bodo! Aku pergi ke rumah Reno masih dengan perasaan yang berkecamuk.
Dia pasti baik-baik saja. Pasti.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -