Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Rumah Hantu #3
Jika perasaanku padanya sebesar pasir bahkan molekul air,
akankah kian membesar? Menjadi sebesar gunung misalnya.
Sehabis
pulang dari rumah Reno aku langsung pulang ke rumah. Aku khawatir pada ayah.
Dia tidak bisa berjalan dengan baik karena sebabku, jadi aku harus menjaganya.
Di
sepanjang perjalanan perhatianku tak luput dari samudra langit yang nampak
indah dipandang. Kurasa langit sedang bermusuhan dengan awan karena di atas
sana tidak ada sedikit pun awan baik di jalur gunung, perbukitan dan rumah
penduduk. Kali ini aku lebih memilih jalan lapang desa, entah kenapa. Dan
lagi-lagi aku salah memilih jalan. Tepat ketika aku ada di balai desa, aku
melihat puluhan motor datang memakai jaket berwarna hitam.
Geng
motor? Pasti temannya bang Zaki! Kebanyakan dari mereka menepi ke samping balai
desa, sebagian yang lain menghampiriku. Dia menilik tubuhku dari atas sampai
bawah lalu berkata, "Liat si Zaki?" Nah kan benar, pasti temannya.
Karena
aku tidak ingin terlibat dan mendapatkan masalah, kukatakan padanya aku tidak
melihat seseorang bernama Zaki. "Aku baru pindah dari Jakarta beberapa
hari yang lalu. Aku belum berbaur dengan orang-orang di sini," kataku.
"Sial!"
umpatnya. "Dia pasti kabur manggil teman-temannya!"
Oke,
ada bagian yang tidak aku mengerti. Bukankah mereka adalah teman-temannya?
"Memangnya kenapa?" tanyaku. Sial! Aku telah bertanya.
"Si
Zaki mukul teman saya sampai babak belur." Aku melongo sekaligus bergidik
ngeri. Reno benar, jangan pernah dekati bang Zaki. Dia itu cowok barbar,
sengak, bengis dan nggak punya perasaan. "Hanya masalah masa lalu,"
lanjutnya.
"Hei,
Sat. Ayo kita pergi sebelum dia pergi jauh. Kita cari ke kampung sebelah,
sebagiannya lagi cari ke kota Bandung."
Melihat
mereka semua tubuhku merinding ketakukan. Demi apapun di dunia ini, aku tidak
ingin terlibat masalah dengan geng atau dunia crime. Bagaimana
jadinya kalau aku sampai terlibat terus ayah tahu kondisiku? Dia pasti khawatir
berkepanjangan.
"Hei,
Grey," kata seseorang. Ayu? Ternyata benar. Orang yang memanggilku adalah
Ayu, dia sedang bersama Enok sedang menenteng kebaya dan samping di tangannya.
"Hei
juga," balasku sembari tersenyum. "Mau ke mana?"
"Oh
kami habis dari tukang jahit. Besok kami main rampak sekar di acara bulanan
kampung, jadi ini bajunya. Sekarang kami mau pulang ke rumah."
Rampak sekar? Aku tidak tahu. Tapi sepertinya menarik untuk ditonton.
"Kalau begitu baiklah. Aku pulang dulu ya," sahutku.
"Errr
pulang bareng saja," sahut Ayu cepat. Ketika aku melihatnya muka dia
memerah. "Toh rumah kita searah," imbuhnya. Emang sih searah, tapi
kan harus memutar.
Kami
bertiga pun pulang bareng. Sedari tadi, pandangan Ayu jatuh ke bawah. Mungkin
dia kepanasan kali, ya. Tapi masa iya sih? Cuaca mendung, angin cukup kencang,
jadi tidak mungkin dia merasa kepanasan. Anehnya muka dia bersemu merah. Oh,
aku tahu. Pasti dia sedang datang bulan.
"Kamu
punya pacar, Grey?" tanya Enok. "Saya bukan bermaksud nggak sopan ya,
tapi sekedar pengen tahu saja. Kalau punya siapa? Tinggal di mana? Cantik?
Pasti cantik lah orang kamunya ganteng. Sekarang dia ada di mana?" Aku
memutar bola mata sebal. Dia bilang sekadar ingin tahu? Ini mah bukan 'sekadar' tapi ingin tahu
tingkat akut!
"Ya
saya pu--what the hell! Kenapa mereka ada di sini!?"
"Mereka
siapa?" Enok mengikuti arah pandangku dan mendapati teman-temanku dari
Jakarta sedang berkumpul dengan ayah di depan teras. "Bawa mobil? Oh,
pasti mereka teman-teman kamu dari Jakarta ya! Kenalin atuh sama saya, hayu, Yu, kita ke
sana." Enok dan Ayu berjalan mendahuluiku, langkahnya sedikit berlari, dan
ketika sampai di sana mereka semua memandang kami bertiga.
"Ya
ampun Grey kamu ke mana saja! Tu-tunggu mereka siapa?" ucap Aura sambil
memegang lenganku. Aku menepisnya. Entah kenapa aku merasa malu saja. "OH
JADI DIA PACAR BARU KAMU!?" jeritnya histeris. "Sudah aku duga pasti
kamu selingkuh. Mana mereka cantik lagi! Mulai sekarang aku akan tinggal di
sini sama kamu!"
Mereka
semua--kecuali Enok dan Ayu--tertawa lepas. Mulai deh, aku benci kalau cewek
sudah bersikap protektif kayak gini. Aku menarik Aura sedikit menepi ke sisi
kebun supaya mereka tidak mendengar obrolanku.
"Mereka
itu teman aku di kampung ini, Aura. Jangan suka berlebihan, aku nggak
suka."
Aura
memandangku marah. "Untuk saat ini masih teman, tapi besok? Lusa? Minggu
depan? Bulan depan? Dia lebih cantik dari aku, Grey! Tabiat cowok kan kalau
liat yang lebih cantik sedikit suka berpaling. Apalagi ini bukan sedikit lagi
tapi banyak!"
"Terus
kamu mau gimana? Pindah ke sini? Tinggal di sini? Ibu sama ayah kamu gimana?
Kuliah kamu?"
"Maksudku
bukan gitu. Aku cuma pengen kamu jangan terlalu dekat sama mereka. Gitu."
"Oke
aku paham. Baiklah, aku nggak akan terlalu dekat sama mereka," kataku
yakin meskipun aku nggak tahu kedekatan seperti apa yang Aura maksudkan. Aura
mengacungkan jempolnya.
Kami
kembali dengan senyum lebar yang sedikit dipaksakan. Enok dan Ayu memandangku
lekat. Kali ini tatapan Ayu tidak seperti tadi, melainkan seperti ada kilatan
datar yang tidak aku mengerti apa maksudnya. Biarlah. Mungkin dia tipikal orang
yang kayak gitu.
"Suruh
masuk ke dalam, Grey," kata ayah.
"Nggak
usah, Om. Kita mau jalan-jalan dulu sebentar mumpung cuacanya lagi bagus."
Bima dan Angga memegang kamera digital. Hm, fotografer abal-abal.
Aku
memandang mereka satu per satu hingga akhirnya aku sadar sahabat baikku Reyhan
tidak ada. "Ke mana Reyhan?"
"Dia
nggak ikut, katanya lagi sakit. Padahal sudah kami paksa tapi tetap saja dia
nggak mau. Karena alasannya sakit ya kita mau gimana lagi."
"Baiklah
Om masuk dulu ya. Kalau mau masuk saja jangan sungkan," kata Ayah.
Aku
masih memikirkan ketidakhadiran Reyhan. Mungkin sebaiknya aku harus mengirimnya
surat.
Di
antara kami semua, orang yang paling semangat berkenalan dengan dua mojang desa
ini adalah Bima. Dia terus-terusan basa-basi yang sangat basi sekali. Matanya
tak pernah berpaling dari wajah Enok. Baru setelah kukatakan padanya Enok sudah
punya pacar, muka Bima nampak kecewa. Bukannya menyerah, perhatiannya kini
malah teralih pada Ayu.
"Salam
kenal ya. Aku Bima, kamu Ayu kan? Uh, namanya ayu sekali sesuai sama
mukanya."
Selama
30 menit kami mengobrol. Setelah itu, kami memutuskan untuk jalan-jalan mencari
tempat menarik di kampung ini. Ayu dan Enok pulang ke rumah mereka karena harus
latihan buat rampak sekar. Jadilah kami pergi hanya berenam saja, ada aku,
Aura, Bima, Angga, Dewi, dan Sasa.
"Memangnya
kamu sudah tahu tempat-tempat yang ada di sini?" tanya Bima.
"Tahu,
kok!" Oke, sebenarnya tidak. Aku hanya ingin mengajak mereka ke kavling.
Kalau tidak salah di perempatan belok ke kanan, ada tanjakan, kemudian lurus
terus.
"Baiklah."
"Kamu
betah nggak sih tinggal di sini?" tanya Aura.
"Betah
kok. Apalagi di sini ada cowok oon bernama Reno. Sayangnya aku nggak bisa
mengenalkan dia pada kalian soalnya dia lagi sakit. Dia lebih oon dari si
Reyhan, lho. Tingkahnya ajaib, di luar nalar, seru pokoknya. Terus
terus--"
"Oke stop! Nada bicaramu menjawab
pertanyaanku."
"Kita
ke sini karena pacarmu itu ngotot pengen ke sini, Grey. Padahal besok ada UAS.
Makanya kita nggak mampir dulu soalnya waktu kita mepet," jelas Bima.
Aku
memandang Aura tajam sebelum akhirnya mencubit lengannya. "Ya aku kan takut
kamu merasa sepi di sini, Grey. Lagian, aku ke sini mau ngajak kamu
nikah." Tubuhku menegang. Aku menatap Aura horor, berharap ucapan dia tadi
hanya bualan semata. "Aku serius, Grey! Oma aku sudah nggak kuat pengen
nimang cucu. Jadi kamu mau kan nikah sama aku?"
Kurasa
tidak hanya aku yang terkejut, tetapi Bima, Angga, Dewi dan Sasa.
"Gila!"
seru Dewi. "Kamu berani juga ya, Ra. Tapi aku salut sama kamu."
"Jadi
apa jawaban kamu, Grey?" tanya Sasa.
"Eh?"
Apa
jawabanku? Menikah adalah hal terakhir yang kupikirkan saat ini. Karena aku
belum bisa memutuskan, meskipun aku sudah mendapatkan jawabannya, aku berkata,
"Maaf, Ra. Aku belum siap. Tanggung jawabnya terlalu besar. Lagi pula aku
belum mempunyai pekerjaan tetap, jadi nanti kupikirkan lagi deh."
Aura
menghembuskan nafas panjang. "Baiklah, aku tunggu selama 1 - 4 bulan.
Nanti aku ke sini lagi."
Selama
perjalanan aku diam membisu sementara mereka mengobrol ke sana ke mari
membicarakan ayam towel di kampus. Ayam towel adalah sebutan untuk mucikari
atau tunasusila. Hingga akhirnya ucapan Aura memecah lamunanku.
"Kapan
sampainya sih? Kita hampir dua puluh menit jalan." Aura membungkuk sambil
mengatur nafasnya. "Kalau masih jauh pulang lagi saja, aku nggak kuat."
Aku
memandang sekitar. Di mana ini? Sepanjang mata memandang aku hanya melihat
jalur jalan dan perkebunan. Ah, pasti kelebihan jalannya. Tubuhku berbalik,
bermaksud berjalan kembali beberapa ratus meter namun terhenti ketika Dewi
berkata, "Grey ini rumah kayu kok usang gini? Banyak sarang laba-laba,
dinding kayunya sudah mengelupas, lampunya nggak nyala, gerbangnya karatan, dan
...," aku menunggu lanjutan kalimat Dewi yang menggantung.
"sepertinya bagus sekali untuk di foto di sini! Ayo kita ke sana, pasti
rumah kayu ini adalah rumah yang ditinggal pergi."
Mereka
semua sontak naik ke atas pagar, membuatku menggeram keras karena mereka telah
memasuki wilayah orang asing. Bisa saja kan tempat ini masih ditinggali? Tapi
nggak mungkin juga. Gerbangnya di gembok dan benar kata Dewi, rumah ini
terlihat usang di makam usia.
"Ayo
Ren, tempat ini enak lho! Pemandangannya bagus!"
Di
saat aku naik pagar, sebelum meloncat aku melihat sesuatu berwarna hitam lewat
dengan kecepatan cahaya. What the hell! Jangan-jangan
ini rumah hantu?