Senin, 15 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Rumah Hantu #2
Perasaanku padanya adalah nyata. Atau paling tidak,
kurasa ada, meski hanya sebesar pasir atau molekul air.
"Aku
pergi dulu ya, bang."
Bang
Zaki mengangguk. Langkahnya mundur satu langkah, membiarkanku meninggalkannya
yang mungkin saja sedang menatap punggungku. Lagi, lagi dan lagi bang Zaki
menahan punggungku. Dia kenapa, sih?
"Punya
uang nggak?" tanyanya. Mendadak aku semakin tidak menyukainya. "Aku
minjem," lanjutnya, "buat beli rokok." Baiklah ternyata dia
tidak sedang memalak. Tapi aku tetap tidak menyukainya.
"Ada,
bang." Bang Zaki tersenyum lebar, menampilkan gigi rapinya yang sedikit
mulai menguning. Pasti penyebabnya gara-gara rokok.
"Aku
pinjem ya, pasti aku ganti."
"Berapa?"
"20
ribu saja." Gila, itu adalah jumlah uang yang aku bawa saat ini. Aku
menyodorkan uang 20 ribu padanya, dengan sigap dia mengambil uang di tanganku
kemudian setelahnya menepuk-nepuk punggungku kuat. "Ton, urang udah dapet
uangnya! Ayo kita kabur!"
Eh?
Kabur? Mendengar suara bang Zaki, seseorang yang dipanggil dengan panggilan
'Ton' datang tertatih-tatih. "Sudah dapet, kang? Hayuk atuh pergi sebelum
mereka teh datang bawa senjata."
Aku
melongo kayak orang bego, hingga akhirnya aku tersadar uang itu bukan untuk
membeli rokok tetapi untuk kabur! Menyadari reaksiku, bang Zaki menjulurkan
lidah. Melihatnya gigiku bergemelatuk kesal, pasti bang Zaki telah mencuri dan
amukan masa sedang mencarinya saat ini.
Sesampainya
di rumah Reno, aku dijamu sama kedua orang tuanya seperti saudara dari negeri
seberang yang datang untuk bertamu. Keramahan beliau membuatku tersanjung
padahal kan aku ke sini cuma untuk menjenguk Reno dan memberikan makanan ini.
"Aduh
ayah kamu masih ingat ternyata kalau Ibu suka sambal petai buatan ayah kamu.
Tolong sampaikan ucapan terima kasih Ibu ya, nak." Aku mengangguk.
"Kalau kamu mau ke kamar Reno, tinggal lurus saja, kamarnya sebelah kiri
di samping dapur."
Setelah
mendapat izin aku berjalan mencari kamar Reno hingga akhirnya aku menemukan
pintu tua yang sudah mengelupas lapisan tripleksnya. "Ren?"
panggilku. Tidak ada jawaban darinya. Kuketuk pintu satu kali, masih tidak ada
jawaban. Kubuka pintu kamar Reno, sip, tidak terkunci. Ketika aku masuk ke
dalam mata dan mulutku dibuat melongo. Demi kancutnya yang ada di lantai dan
menggunung di bawah kasur, kamar Reno berantakan sekali! Lebih parah dari kapal
pecah dan apapun hal paling berantakan di alam bimasakti ini.
Dan--ya
Tuhan--aku melihat tikus di kolong tempat tidurnya sedang menggigit-gigit
kancutnya yang sudah bolong-bolong itu. Dasar manusia jorok! Aku tahu tabiat
cowok memang seperti ini, tapi kurasa tidak ada cowok yang mampu tetap hidup di
tempat mengerikan seperti ini. Sampah, piring, mangkuk, gelas, semua benda itu
ikut berserakan di meja dan lantai.
Tetapi
... karena kamarku juga sedikit berantakan kayak kapal pecah, jadi aku berusaha
memaklumi.
"Ren?"
panggilku lagi. Dia menggeliat. Setelah matanya terbuka, dia langsung bangkit
sambil kukulutilus kayak orang bego.
"Kamu
kenapa ada di sini!? Alah siah kolor saya ada di mana-mana! Kenapa kamu nggak
bilang dulu kalau mau ke sini jadi saya beres-beres dulu! Sok Rei cari tempat
kosong buat kamu duduk!" Reno bangkit sembari uring-uringan gak jelas.
"Sudah
kamu tidur sa--"
"Ih
mana bisa!"
"Kamu
kan lagi sakit kampret!"
Reno
melihatku kemudian berkata, "Eh iya ya saya teh lagi sakit. Pantesan masih
pusing gini." Reno kembali ke tempat tidurnya dengan mata masih terus
memandangku. "Jadi ngapain kamu ke sini?"
"Nganter
makanan," jawabku.
"Pasti
disuruh ayah kamu."
Tatapan
Reno beralih ke langit-langit. Ah, kini aku bisa melihat dengan jelas rahangnya
yang tegas, lehernya yang jenjang dan juga matanya yang ... sedikit sayu?
Kenapa bisa? Aku tidak suka tatapan itu. Sangat tidak suka. Namun, diriku terus
membiarkannya hingga akhirnya aku tak tahan untuk berucap, "Kamu
kenapa?"
Reno
tak serta-merta menjawab. Ada jeda sebentar sebelum suaranya keluar.
"Kepala saya teh meni pusing. Benar-benar pusing. Jangan ke mana-mana
sebelum saya tidur lagi ya, Rei."
"Maaf
telah membangunkanmu," kataku. Reno menggeleng.
"Justru
kamu teh datang di saat yang tepat. Saya lupa minum osk*don saya tadi, jadi
tolong ambilkan obatnya di di laci." Aku menyerahkan obat warung ini
kepada Reno dan membantunya untuk bersandar. Selesai minum, Reno kembali
berbaring sembari memejamkan matanya lagi.
Kugerakan
tanganku untuk memegang pelipisnya. Panas. Kurasa aku harus mengompresnya.
Sejurus kemudian aku bangkit. Baru saja kakiku bergerak satu langkah, tangan
Reno sudah memegang lenganku. "Saya sudah bilang kamu teh jangan ke
mana-mana. Temenin saya, Rei. Saya mohon."
Aku
melepaskan tangannya yang dingin itu. "Aku akan kembali."
Di
dapur aku melihat Ibu sedang mengupas wortel. "Gimana keadaan Reno,
Grey?" tanyanya.
"Panas
sekali, Bu. Sepertinya harus dikompres biar panasnya sedikit turun." Ibu
Reno sigap mengambil wadah yang telah diisi air hangat kemudian menyerahkannya
padaku.
"Kainnya
ada di kamar Reno, ambil saja di lemarinya. Maaf untuk saat tolong jagain Reno
ya, Ibu ada janji untuk membuat masakan buat anaknya tetangga Ibu."
"Baik,
Bu. Aku ke kamar Reno lagi ya."
Sekembalinya
diriku, kulihat mata Reno masih terpejam. Dadanya naik-turun konstan.
Melihatnya seperti ini rasanya membuatku khawatir. Biasanya kan tingkah dia
sedikit tengil, jadi ... aku nggak tahu seharusnya dia gimana. Namun yang pasti
aku ingin Reno sehat supaya dia bisa bekerja lagi di kebunku dan juga
mengajakku menjelajahi apa saja yang ada di sini.
Kuperas
kain di tanganku keras lalu melipatnya menjadi bentuk persegi panjang. Setelah
kutempelkan kain di keningnya, akhirnya Reno bisa tertidur juga. Syukurlah. Air
muka dia terlihat damai sekali. Begitu tampan, begitu ... ngooorrk. Aku terkesiap. Terdengar suara
aneh dari mulut Reno. Ngorrrk. Ya
Tuhan, jadi Reno suka ngorok kalau tidur!?
Hmmm.
Ternyata mau tidur atau terjaga dia tetap berisik juga. Baiklah, dialah Renoku,
teman baruku. Kuharap kami berdua bisa berteman baik.