Senin, 15 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness

Rumah Hantu #1



Perasaanku padanya bagai tempias hujan yang masuk ke celah jendela kamarku. Dingin. Menyejukan. Menentramkan.
Hari ini aktivitasku hanya jalan mondar-mandir mengelilingi kebun. Dan, oh aku juga naik pohon besar yang akan kujadikan rumah pohon. Semoga saja ayah mengizinkan. Kalau pun tidak, aku akan merengek kayak anak kecil.

Tangan ayah melambai-lambai dari dalam teras rumah menyuruhku untuk ke sana.
Ngomong-ngomong, Reno tidak bekerja hari ini atau sekadar menemaniku jalan-jalan seperti biasanya. Dia ... sakit. Yup. Hujan kemarin penyebabnya. Mungkin karena kemarin aku terlalu senang jadi hujan nggak tega membuatku demam.

Hujan kemarin tak kunjung berhenti padahal kami sudah menungggu selama 1 jam. Akhirnya karena perut kami berdua lapar, kami menerobos hujan sambil naik sepeda ke rumah. Banyak hal yang terjadi mulai dari kami kena semprot air mobil, ban sepeda masuk ke dalam lubang jalan, dan kejadian seru Reno berteriak-teriak lantang. Iya seru, karena aku baru pertama kali melakukannya.

"Huhuhu! Pegangan yang kuat, Rei! Pembalap ulung dari desa kamu sedang menerjang badai!" Reno tak henti-hentinya berteriak kayak orang gila, membuatku tertawa ngakak sengakak-ngakaknya.

Ketika tanganku tak memegang pinggangnya dia marah besar. Bukan marah, sih. Mulutnya bertransformasi jadi mulut ABG cerewet yang lagi kasmaran. Akhirnya mau tak mau aku memegang pinggangnya yang ramping itu. Meskipun hujan menjilati tubuh kami, ternyata pinggang Reno terasa hangat di tangan. Jadi, selain karena faktor keselamatan, aku semakin menguatkan peganganku karena di sana ada kehangatan yang membuat diriku nyaman.

"Ayo Ren yang kenceng!" Nah aku juga ikut berteriak-teriak kesetanan. Sedari kecil aku selalu dilarang main hujan-hujanan sama Ibu. Jadi, kurasa ini adalah kesempatan emas. Maka dari itu aku berusaha menikmatinya dan ternyata memang seru.

Hujan adalah satu-satunya hukum alam yang membuat segala suasana menjadi romantis. Menurutku, ya. Tapi dari mana otakku memungut kalimat menjijikan itu? Romantis? Kalau sama Aura sih aku makin senang. Tapi kan dia Reno. Cowok menyebalkan yang sering kupukul karena tingkah ajaibnya. Ironi sekali meskipun aku berkata aku akan senang kalau orang yang bersamaku kemarin adalah Aura, faktanya jauh di dasar hatiku dia berkata : kemarin menyenangkan sekali.

Apakah aku pernah menyebutkan aku pernah mengalami ironi dalam ironi? I mean, sekarang aku mengalaminya lagi. Aku memang senang hujan-hujanan sama Reno, tetapi setelah kupikirkan baik-baik, ternyata tindakan kami sangat kekanak-kanakan sekali. Aku menyesal pernah melakukannya. Malahan kalau dipikir-pikir aku jadi merasa malu telah berteriak-teriak di jalanan raya bersama cowok sableng yang sepertinya beneran gila.

Akhir-akhir ini aku merasa sering memikirkan hal menjijikan. Tapi di waktu tertentu aku malah menikmatinya. Apakah aku mempunyai kepribadian ganda?

Tak hanya diriku, kurasa Reno juga memikirkan kalimat menjijikan yang sukses membuatku hatiku membeku. "Saya teh bahagia banget, Rei. Terimakasih sudah pindah ke Bandung. Main sama kamu teh meni seru. Jadi, jangan ada niatan buat pindah lagi ya!"

Aku tidak menjawab pertanyaan sulit itu karena esensinya aku masih betah tinggal di sana, kangen Aura, Reyhan dan teman-temanku yang lain. Lihat? Bagaimana tidak singkronnya suasana hatiku kemarin dan sekarang. Sial! Pasti gara-gara Reno. Pasalnya sejak bertemu dia aku merasa aku telah keluar dari zona lingkup yang bisa kugapai. Aku merasa pikiranku cepat berubah-ubah. Aku yakin aku tidak mengalami disorder, tetapi sebenarnya kenapa aku ini?

Ayo pikirkan baik-baik, Grey.

Nihil. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah ketika Reno bahagia aku pun merasa bahagia. Dan ketika seseorang merasa bahagia, apapun yang diterimanya, di sekelilingnya akan sama-sama ikut bahagia.
"Grey cepat!" teriak Ayah.

"Iya iya Grey turun sekarang!"

Sesampainya di sana, ternyata ayah menyuruhku untuk mengantarkan makanan ke rumah Reno. Kata Ayah penyebab Reno sakit adalah aku jadi aku harus mengantarkan makanan ini. Aku tidak tahu apa saja isinya. Kata ayah nama tempat wajah ini adalah rantang, ada 6 wajah yang dipasang menumpuk ke atas, kemudian disangga supaya bisa dijinjing untuk membawanya.

Hari ini cuaca cerah. Meskipun begitu aku tahu bisa saja awan mendung tiba-tiba datang tertiup angin barat. Jadi, kurasa mdlihat cuaca saja belum tentu hari ini akan terjadi hujan atau tidak.

"Kamu masih ingat jalannya kan?" Aku mengangguk. Sebelum pergi aku memakai jaket belakang berwarna krem dan putih sementara celananya hanya levis berwarna hitam saja. Aku tidak memakai baju. Aku hanya merasa perjalanan ke rumah Reno akan menghasilkan cukup banyak keringat. Setelah lajuku cukup jauh aku menyesal. Dingin ternyata masih memggeranyangi tubuhku tanpa ampun.

Kalau dipikir-pikir rumah Reno ada di samping lapang desa. Hanya saja kemarin-kemarin aku dan Ayah lewat jalan memutar. Di tengah jalan laju jalanku terhenti ketika melihat preman pasar mengerikan itu. Preman yang kata Reno telah membunuh pria dewasa sepertiku. Haruskah aku balik lagi? Kurasa tidak karena preman itu kini telah melihatku dan menghampiriku.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Ke rumah Reno, bang. Nganter makanan." Dia mendengus sambil membuang muka. "Abang mau ke mana?" tanyaku berusaha sesantai mungkin.

"Panggil saja aku Zaki."

"I-iya bang Zaki mau ke mana?
"Panggil aku Zaki!"

"Eh iya bang--maksud aku Zaki." Mulut dia sedikit tersenggih.

"Terserah kamu saja." Dia mengeratkan jaket kulitnya sambil menyesap rokok dalam-dalam. Lagi, dia melakukan hal gila yakni menghembuskan asap rokok dimulutnya ke mukaku. Aku tidak berani marah, jadi aku hanya diam saja sambil manggut-manggut.

"Aku akan pergi ke Jawa Tengah," sahutnya membalas pertanyaanku tadi.
Mendadak hatiku meletup-letup senang. "Berapa lama?" Ya Tuhan, kurasa aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku. Terbukti alis bang Zaki naik ke atas seketika.

"Lama sekali." 2 tahun? 3 tahun? "Sekitar 3-4 bulan." Rasa senangku anjlok seketika. Dia kira waktu 3 bulan bisa dikatakan 'lama sekali?' Yang benar saja!

"Kalau begitu hati-hati ya bang."

Kakiku bergerak ke pinggir satu langkah lalu berjalan melewati bang Zaki. Tiba-tiba tangannya yang besar itu menahanku. Aku bisa merasakan hembus nafasnya di tengkukku. Lembut, dingin dan membuat bulu-bulu halusku berdiri ketakutan. "Jangan sampai kemasukan ya," lirihnya nyaris mendesah. Kemasukan apa? 

Kemasukan angin? Ketika kepalaku berbalik dan alisku mengernyit dia melanjutkan, "Kemasukan setan." Dia pun tertawa terbahak-bahak. Serem.

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -