Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #8
"Reno tunggu!" Tak henti-hentinya Enok berteriak.
Sekeras batu karang di lautan samudra, pendirian Reno pun absolut. Dia pergi tanpa melihat ke belakang, menuju rumahku, kemudian membiarkan dirinya dibelai angin di atas teras itu. Aku mendekatinya sembari bertanya 'ada apa?' Dia hanya menghela nafas panjang.
Ayah datang bergabung bersama kami. Dia bertanya apakah aku bisa mencetak gol atau tidak. Langsung kujelaskan saja apa yang kami alami di lapang desa. Ayah manggut-manggut. Akhirnya kami memgobrol di atas teras sambil makan ranginang, makanan khas Sunda yang sering dijadikan makanan penyambut tamu atau slametan.
Kulihat awan di atas sana. Berwarna abu-abu tua, seakan di dalam awan itu penuh dengan tetes air yang siap menghujam. Desa ini desa hujan kah?
Dingin. Lagi-lagi aku merasakan dingin yang tak tertahankan. Kabut mulai menepi ke daratan, membuat suasana kembali hening dan sedikit mencekam.
2 jam pun berlalu. Sekarang pukul 7 malam dan Reno masih ada di sini, bersamaku yang sedang memandang gemerlap langit.
"Saya mau nagih makanan saya," kata Reno.
Ah iya aku hampir lupa. "Iya iya. Kamu mau makan apa? Biar aku yang traktir."
Reno tersenyum lebar, retinanya memandang ke atas kemudian kembali menatapku sambil berkata, "Saya teh mau lotek buatan mang Ujang. Enak pisan siah, Rei."
"Lotek?"
"Itu lho, kalau di Jakarta dikenal dengan istilah gado-gado," jelasnya. Reno bangkit sambil membawa piring ke dapur kemudian mengajakku pergi. "Yuk. Kita naik sepeda saja biar cepet."
Naik sepeda? Ah, tentu saja aku mau. Tapi kok rasanya malu. "Nggak, Ren. Jalan saja."
Reno memutar bola mata sebal. "Ih kamu teh meni malu-malu segala. Nggak masalah atuh. Malu sama siapa, hah? Lagian ini teh sudah malam, orang-orang teh udah pada di rumah, jadi hayuk! Atau mau digendong sama saya?"
Sejujurnya sekarang aku lebih tertarik digendong sama Reno, tetapi pikiran sehatku berkata 'tidak.' Jadi, untuk memuaskan rasa penasaranku aku memutuskan naik sepeda saja. Kapan lagi coba aku dibonceng sama sepeda onthel? Lagi pula kurasa aku harus membiasakan kehidupam di tempat ini. Mungkin saja boncengan berduaan sama cowok di Jakarta dianggap tidak wajar sementara di sini sah-sah saja.
Sebelum pergi aku pergi menemui ayah memintan izin dan menyuruhnya untuk tidak menyiapkan makan malam. Mendengar kami akan pergi ayah ngotot ingin ikut, tetapi kutolak dengan keras, supaya ayah tidak melihat aksi memalukan naik sepeda kami berdua. Akhirnya dengan usaha sedikit ekstra, ayah pun menyerah.
"Siap?" tanya Reno. Tangannya memegang stang sepeda, detik berikutnya dia menaiki sepeda itu sambil tersenyum lebar.
TOT TOT!
Ya Tuhan. Ternyata ada klaksonnya. Kukira hiasan di pinggir stang itu adalah bel yang bunyinya kring kring kring. "Ya aku siap." Aku naik di belakang Reno, duduk di tempat pemboncengan yang sudah ada busanya. Mungkin sepeda ini sudah dia rombak sedemikian rupa.
"Pegangan," titahnya. Aku memegang pinggang Reno sedikit keras, takut jatuh. Tapi setelah Reno berhasil melaju tanpa guncangan yang berarti, aku melepaskan peganganku. "Ya ampun! Kamu teh meni berat! Oh saya teh tahu, pasti berat sama titit kamu. Titit kamu kan ukurannya segede--AW! SAKIT, REI! KENAPA SIH KAMU TEH HOBINYA MUKUL SAYA!"
"Itu cubitan bukan pukulan!" teriakku balik. Tanpa kuduga sepeda oleng ke kiri, membuatku berpikir kami berdua akan jatuh seperti di sinetron-sinetron Cinta di Atas Sepeda.
Ternyata ... dugaanku salah. Kaki Reno berhasil menahan berat badan tubuh kami. Well, ini kan bukan sinetron jadi mana mungkin kami ja--what the hell! Kami berdua jatuh beneran ketika kaki kanan Reno menginjak lubang cukup dalam. Sial! Tak henti-hentinya aku mengumpat kecerobohan dia.
"Kalau berhenti tuh liat-liat kampret!" Awalnya aku ingin menjitak kepalanya, tetapi karena Reno sepertinya sudah tahu aku akan melakukan itu, cepat-cepat dia menghindar.
"Salah kamu malah mukul saya tadi!"
Aku bersedekap. Kulihat dia dari atas sampai bawah. Tidak ada luka. "Yuk ah cabut. Banyak orang yang lewat di sini mah."
"Ya sudah kamunya naik lagi."
Kepalaku menggeleng. "Malu ah banyak orang."
"Ya elah. Makan tuh malu! Cepet ah. Eh eh eh eh kamu mau ke mana!? Rei?"
Aku tetap berjalan. Fix. Urat malunya sudah putus!
"Ren? Kamu mau ke mana!" Sekarang aku yang berteriak ketika melihat Reno melaju dengan cepat meninggalkanku sendirian di sini. Dasar cowok kampret! Aku setengah berlari mengejarnya, namun percuma. Dia melaju dengan kecepatan cahaya!
Sip. Akan kukerjai balik dia.
Aku bersembunyi di balik pohon. Pasti dia akan mencariku balik, kan? Dia kan orangnya khawatiran.
1 menit ...
Reno belum balik juga.
2 menit ...
Aku masih menunggu sambil bersedekap.
3 menit ...
Dasar sialan! Dia pasti sudah sampai di warung mang Ujang dan meninggalkanku sendirian di sini.
4 menit ...
Aku masih menunggu dengan dada bergemuruh.
5 menit ...
Aku akan menyusulnya balik! Nahasnya tepat ketika aku mulai berjalan, Reno datang dengan nafas terengah-engah. "Kamu teh meni lelet pisan!" Aku menggeram marah. Tanganku sudah mengepal kuat, bersiap-siap memukul dia. "Cepat naik atau saya tinggal lagi. Eh eh tunggu." Nafas Reno masih terengah-engah. "Karena saya sudah capek, jadi kamu yang nyupir."
BUGH!
Akhirnya pukulanku melayang juga. Dia mengerang kesakitan. Ah, aku sudah kelewatan kayaknya.
BUGH!
Reno memukul balik. Mataku membelalak tak percaya. Reno nyengir, menampilkan gigi seputih susunya. Aku menyerah. Kalau begini terus sampai kapanpun kami tidak akan pernah sampai ke tempat tujuan.
Sekarang posisiku ada di depan jadi supir. Sialnya, baru saja jalan 1 menit aku sudah nggak kuat mengayuh. Seburuk itukah staminaku? Tidak, jalanan ini sedikit menanjak jadi energiku gampang terkuras. "Kamu teh meni lemah. Sini ah sama saya lagi nyupirnya." Gila. Meskipun nafas Reno ngos-ngosan dia tetap mengayuh, melaju menuji warung mang Ujang.
Lagi, nahasnya, setelah sampai di sana warung mang Ujang sedang ... tutup! "Tutup, Ren. Terus gimana?" tanyaku.
"Aih saya teh meni kesel pisan. Main bola nggak jadi, warung tutup, mana saya teh udah capek-capek ke sini! Dan JURIG BASEH SIAH! Hush hush jangan hujan! Awas kalau hujan nanti sama saya di kasih kentut--"
JDAR!
Hujan turun, kami pun terpaksa menepi di ruko yang sudah tutup. Oke, seharusnya kami tidak pergi ke mana-mana setelah tadi sore melihat awan mendung sekali.
"Hujan?" tanyaku retoris.
"Rei, saya teh pengen mukul seseorang." Reno menyandarkan sepedanya di dinding ruko kemudian menyilangkan kedua tangannya kuat-kuat.
Hujan ... di bulan Januari? Kurasa, hujan ini adalah hujan paling dingin dalam hidupku. Aku menatap hujan di depanku lekat. Tetes itu masih terlingat di tengah gelapnya malam. Memecah, menyebar, hingga akhirnya menjadi genangan air untuk kemudian menjadi luapan air.
Hal ini membuatku bertanya, kenapa hujan di bulan Januari adalah hujan paling dingin dalam hidupku? Satu-satunya yang kupikirkan adalah tubuhku merasa ingin dipeluk. Sialnya orang itu bukanlah Aura pacarku, Enok bahkan Ayu, melainkan sosok yang baru kutemui beberapa hari ini yang kini telah mengisi hari-hariku.
Dia ... adalah cowok kampret yang sering membuatku kesal namun di sisi lain membuatku tersenyum.