Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #7
“Membunuh?” Reno mengangguk-angguk.
“Asal kamu tahu ya, Rei. Demi apapun, termasuk hewan
ganas yang bahkan ingin membunuh kamu dengan cara memperkosa anus kamu, dia
tetap 100 kali lebih berbahaya daripada hewan itu.”
Rasa takutku menghilang seketika, berubah menjadi
perasaan dongkol. “Yang benar saja! Aku lebih baik diperkosa sama dia daripada
diperkosa sama hewan, marmut!”
“Ih jadi kamu teh ingin diperkosa sama dia?” Tanganku
menjitak kepalanya yang bodoh itu.
“Bukan itu maksudku! Kamu kan kasih pilihannya antara
diperkosa sama dia dan diperkosa sama hewan ganas. Ya kalau ada pilihan lain
aku mau yang lain saja.”
“Jadi kalau sama si Ayu kamu teh mau diperkosa?” lagi,
aku menjitak kepalanya namun kali ini lebih keras dari yang tadi. Reno
mengerang kesakitan. Dua orang di depan kami memperhatikan dengan alis
terangkat. Ah, pasti dia sedang berpikiran aneh-aneh. Pelajaran berharga hari
ini, kalau mengobrol dengan Reno harus tahu situasi dan kondisi. “Oh jadi kamu
teh mau diperkosa sama perempuan? Nggak mungkin terjadi atuh, Rei. Dia mah
pendiam, ayu, nggak banyak tingkah kayak pacar saya jadi nggak mungkin dia
merkosa ka—ARGH! Sakit kampret!” Untuk ketiga kalinya aku menjitak kepala dia.
Mataku kembali melihat preman yang kini duduk di atas
motor NSU Supermax. Teman ayahku pernah memakai motor itu ke rumah. Motor asal
Jerman ini diproduksi pada perkiraan tahun 1956. Aku selalu ingin punya motor
itu. Sepertinya kalau aku punya satu Reyhan akan iri kepadaku.
Preman itu sedang mengobrol dengan seseorang. Tubuhnya
tidak berorot tetapi dari sini aku bisa melihat di lehernya penuh tato
berbentuk bunga. Pasti dia anak buahnya. Ketika preman itu melihatku lagi, kali
ini dia tidak tersenyum, tetapi menatapku datar dengan pandangan yang sulit
kuartikan apa maksudnya.
Bulu kudukku meremang. Sebaiknya aku harus fokus main
bola saja.
Seperti kataku sebelumya, belum juga waktu berjalan 10
menit, nafasku sudah ngos-ngosan. Aku terbiasa main di lapangan kecil. Jadi
main di tempat gede seperti ini hal baru bagiku. Setiap Reno melintas di
depanku, hal yang selalu dilakukannya adalah mencemooh. Dasar cowok beloh! Awas
saja kalau dia tidak mengoper padaku.
Reno berlari kencang menerobos pertahanan lawan.
Kakinya siap-siap menendang, hingga akhirnya bola itu melesat ke awah gawang
dan—PRIIIIIIIIT! Terdengar suara peluit yang memekakan telinga. Kulihat pemain
sepak bola berseragam datang memasuki lapangan, mengusir kami dengan tidak
sopannya. Reno tak terima. Dia mendatangi salah satu pemain dengan nada tinggi.
“Kita teh lagi main, kalian kenapa main nyelonong
masuk ke lapangan?”
Ah, itu dia sifat yang membuat jantungku berdegup
dengan kencang. Sifat yang itu cocok sekali dengan muka dia. Keras, sangar, dan
berani. Enok dan Ayu menghampiri Reno sambil bertanya apa yang sedang terjadi.
“Kalian harusnya antre dong!” kata Enok setelah mendengar penjelasan dariku.
“Maaf nih, kami sudah minta izin sama pihak balai desa
untuk melaksanakan pertandingan di sini. Jadi kenapa kalian marah? Seharusnya
saya yang marah karena pasti kalian tidak izin terlebih dahulu.”
Mendengar penjelasan itu Reno nampak tak terima. “Heh
ngapain saya musti izin segala? Memangnya ini tanah milik desa? Asal kamu tahu
ya ini tanah teh punya orang di kampung sini. Pemiliknya sudah mengizinkan
tanah ini teh buat dipake, jadi—”
“Pokoknya saya sudah membuat jadwal. Jadi kalian yang
pergi sana,” potongnya dengan nada mencemooh. Pria di depan Reno badannya
cungkring, bahkan kurasa sekali sentil saja dia bakal terhempas angin dan
nyangkut di baliho-baliho kota Lembang.
“Sudah Ren kita lanjut besok saja,” kata teman Reno
bernama ... siapa? Aku lupa lagi.
“Ya saya teh nggak masalah kalau mereka mau main tapi
harus yang sopan atuh. Masa kita teh dikebah-kebah kayak ayam. Belum nada
suaranya, kesannya teh ngerendahin saya.”
Ayo, Ren! Hajar saja sampai mampus! Eh? Haha aku juga
ikut kesal sih melihat orang itu berbicara sambil tersenyum mentertawakan.
Mendengar Reno berbicara seperti itu, laki-laki cungkring yang matanya kayak
papan tripleks itu hendak bersuara, namun terhenti oleh seseorang yang kurasa
adalah seorang pelatih.
“Maaf, Jang. Kita lagi ada pertandingan sebentar lagi.
Kita sudah mendapat izin, jadi, mohon pengertiannya. Selain itu karena
keterbatasan waktu, kami tidak bisa menunda lebih lama lagi—”
Aku tahu menyela omongan yang lebih tua dari kita itu
tidak sopan, tetapi aku tak tahan melihat pandangan Reno yang tajam itu. “Ya
sudah, Pak. Maaf teman saya lagi datang bulan jadi, yuk pergi.” Aku menarik
tangan Reno menepi ke sisi lapangan.
“Saya teh meni emosi. Hayu ah Rei kira pulang!” Sifat
anak kecilnya kembali lagi ternyata.
“Ih ih ih kenapa malah pulang. Terus kita gimana?”
tanya Enok. Di sampingnya masih ada Ayu.
“Ya kalian juga pulang atuh!” sahut Reno.
“Nggak!” Mata Enok memandang Reno tajam. “Kita
berempat akan pergi ke kapling. Kalau kamu nggak mau kita putus.” Reno menghela
nafas panjang sembari menatap Enok bosan. Sepertinya dia sudah sering mendapat
kalimat itu darinya.
Jadilah kita pergi ke kavling berempat. Aku tidak tahu
tempat apa itu, tapi sepertinya tempat nongkrong anak-anak di kota ini.
Reno membiarkan Enok dan Ayu mengobrol soal kain batik
dan lebih memilih jalan di sampingku. “Maaf ya, Rei,” katanya.
“Maaf untuk?”
“Main bolanya jadi gagal. Saya tahu kamu teh ingin
banget main. Tapi ternyata ada mereka jadi ya, mungkin lain kali akan saya ajak
lagi.” Oh jadi ini penyebab muka Reno jadi murung. Demi sempak kuda yang
warnanya ijo, hatiku tersentuh. Senyumku mengembang menjawab permintaan
maafnya, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
"Menurut kamu aku pantas nggak pacaran sama
Ayu?"
Kami menyusuri jalan raya yang banyak lubangnya. Di
perempatan dekat dengan tukang ojek kami belok ke kanan, yang mana ada tanjakan
curam hampir mendekati 90°. Mungkin ya.
"Errrr nggak tahu atuh saya mah." Reno
memandangku. Mata bundarnya menatapku lekat, memunculkan tanya yang tak dia
pernah dia jawab.
"Tapi kata kamu tadi aku pantes sama si
Ayu."
"Memangnya kamu teh ada niatan buat jadian sama
dia?" tanyanya.
"Iya--"
"Kalau gitu nggak pantes!" sahutnya cepat,
nadanya tinggi, dan ada gerak-gerik yang tidak kumengerti dari tubuhnya. He?
Kenapa bisa? Bukankah dia bilang aku sama Ayu pantas ya? "Maksud saya teh
ka-kamu nggak pan-tes sa-sama Ayu so-soalnya ka-mu sudah pu-punya pacar di
Jakarta," lanjutnya terbata-bata. Mataku memicing, berusaha menyelidik
sesuatu yang tidak wajar. Reno hanya menyunggingkan senyum lebar. Aku
mengedikkan bahu apatis.
Akhirnya kami sampai di kavling. Tempat ini adalah
area terbuka, penuh dengan petak tanah, yang di setiap sisinya penuh dengan
tumbuhan. Pandanganku mengedar hingga akhirnya aku menemukan view kota
Bandung yang begitu indah. Dari sini, aku bisa memandang kota urban itu tanpa
sekat. Ini luar biasa. Pasti kalau malam tumpukan bangunan itu akan
mengeluarkan cahaya keluwung yang sangat indah.
Suara cemeti dewa tiba-tiba menggelegar. Kami berempat
terlonjak kaget. "Ih padahal kita teh baru saja sampe, malah mau turun
hujan. Kita balik lagi aja, Rei," kata Reno.
"Nggak papa atuh Ren! Kan hujannya juga belum
turun!" teriak Enok lantang. Reno ... dia tetap berjalan pulang. Hmmm.