Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #6


Aku berlari menuju rumah. Kulihat Reno sedang berbicara dengan ayah di dapur. Ketika melihatku, Reno membuang mukanya. Sungguh lucu. Ah, melihat tingkahnya yang aneh itu kurasa membuat pandangan diriku kepadanya berubah 180°. Aku memang bukan tipe orang yang bersahabat, tetapi ketika melihat tingkahnya entah kenapa aku ingin berteman.
Haruskah? Tentu saja harus. Cepat atau lambat aku harus punya teman di tempat baruku, tempat yang akan kutinggali mungkin seumur hidupku.
Kami sarapan bersama. Aku menyarankan makan di bawah pohon besar yang kulihat saat pertama datang ke sini. Pohon tua yang aus di lekang masa. Sepertinya kalau pohon ini kubuat rumah pohon akan bagus dan nyaman ditempati. Maksudku, pemandangan alam di sini begitu menakjubkan. Akan sangat disayangkan kalau pohon besar ini dibiarkan begitu saja.
Sehelai daun hinggap di kepala Reno. Tanganku impuls bergerak untuk mengambilnya. Sialnya ketika matanya melihat tanganku bergerak, tubuhnya awas sembari menghindar. "Kamu teh mau nampar saya lagi?" aku mendengus. Kuurungkan niat muliaku untuk mengambil daun itu dan beralih bergerak mengambil sambal buatan ayah yang enaknya membelah ketujuh negara.
"Masakannya enak banget, Om," kata Reno.
"Lebih enak masakan Grey, lho." Kali ini hidung Reno yang mendengus ketika namaku disebut. Melihat sikap kami berdua sontak ayah tertawa terbahak-bahak. "Ya Tuhan kalian ini kayak anak kecil saja. Maksudnya kalian teh lagi marah-marahan, gitu? Yang sering dilakukan oleh perempuan? Hahahahahahaha. Nggak pantes atuh sesama cowok marahan. Sudah ah ayo lanjutin makannya."
Kami berdua sama-sama mendengus, membuat tatapan membunuh ayah keluar dari singgasananya. Selepas makan kami mulai bekerja lagi. Ternyata bekerja di kebun cukup menguras tenaga juga. Dilihat dari ketelatenan Reno, kurasa dia sering kerja sebagai petani. Buktinya tubuh dia terbentuk dengan sempurna. Tapi masa iya sih hanya dengan berkebun tubuhnya bisa sebagus itu? Oh aku hampir melupakan fakta bahwa dia asalnya bekerja sebagai pengangkut beras.
"Kamu teh mau ikut?" tanyanya, masih dengan wajah cemberut. Akhirnya dia membuka suara juga. Sejujurnya aku tak tahan dengan aksi diamnya. Setiap kali aku bercerita selalu dia tanggapi dengan gumaman atau anggukan. Tetapi setelah dua jam kami bekerja lagi, rupanya dia menyerah juga untuk mendiamkanku. Memang seharusnya begitu. Kalau dia masih diam, akan kucium dia sampai dia buka suara. Kalau masih belum bicara juga, akan kucium dia sampai mati! Sial, aku memikirkan hal abnormal itu lagi.
"Ke mana?" tanyaku.
"Main bola."
"Malu ah. Kamu saja sana yang pergi."
"Bilang saja kamu teh nggak bisa main bola," ejeknya.
Aku tak terima. Kata siapa aku tidak bisa main bola? Mungkin aku memang jarang bermain. Tapi untuk jadi kiper kayaknya bisa deh. "Sok tahu! Ayo aku ikut. Akan aku kalahkan kamu 10-0! Nah yang kalah harus nurutin permintaan yang menang, gimana?" tantangku. Aku tidak tahu Reno jago main bola atau tidak, tetapi nanti aku akan memilih tim yang cowoknya pada gahar semua. Senyum Reno tersungging yang aku yakini bermaksud mencemeeh.
"Saya nggak takut," katanya. "Ya sudah nanti sore saya jemput."
Jam 12 siang Reno pergi. Sekarang aku bingung harus ngapain. Daripada lama menunggu, akhirnya aku menghampiri ayah dan mengajaknya mengobrol membicarakan pertanian. Memang membosankan, tapi apa boleh buat. Pengetahuan itu akan sangat membantu untuk ke depannya.
Ayah menjawab setiap pertanyaanku sambil mengoprek radio lawas yang tiba-tiba tadi pagi tidak berfungsi lagi. Radio itu adalah teman ayah ketika dia hendak tidur. Aku tidak terlalu suka dengan radio. Menurutku terdengar berisik dan sangat mengganggu. Aku suka keheningan saat sedang istirahat. Berbeda dengan ayah, katanya kalau tidak ada radio di sampingnya, dia tidak bisa tidur. Setiap orang memang mempunyai cara tersendiri untuk menghabiskan waktunya ya.
"Jadi kamu ikut main main sama Reno?" tanya ayah.
"Ya. Aku nggak punya sepatuya sih. Tapi kata Reno, anak-anak kampung biasanya main bola tidak pakai sepatu. Jadi syukurlah."
Ayah tertawa seakan tidak percaya aku bisa main bola. "Kalau begitu akan ayah siapkan betadine sama kapas."
"Nggak usah kali. Grey akan baik-baik saja."
"Ya ya ya. Tapi tetap akan ayah siapkan."
Menjelang waktu ashar Reno menjembutku dengan sepeda onthelnya. Ya ampun. Barang antik ini tidak pernah kulihat di Jakarta. Di bagian depan ada lampu untuk penerangan jalan sementara di bagian belakang ada tempat pemboncengan. Jadi aku akan pergi ke lapangan naik itu? Tidak! Sangat memalukan sekali. Kalau aku naiknya sama Aura sih tidak masalah. Kesannya kan romantis. Lah kalau sama Reno? Hatiku jadi gugup, kan.


"Ayo naik!" titahnya.
"Nggak! Aku takut jatuh," ucapku beralasan.
"Nggak akan, Rei. Aku pembalap ulung di kampungku." Dia menyandarkan sepeda antinya di dinding rumah kemudian menghampiriku sembari berkacak pinggang. "Motorku dipakai ayah entah ke mana. Jadi mau naik atau jalan?"
"Jalan!" kelitku.
"Ih kamu teh meni susah diatur ya. Ya sudah atuh sepeda ini saya simpan di rumah kamu dulu. Yuk kita pergi sekarang."
Nah kalau begini kan aku tidak malu padahal sebenarnya aku ingin naik tuh sepeda sih. Pasti akan asik. Tetapi bukannya aku bisa main sepeda sepulang dari main bola ya? Hihihihi, memikirkannya membuat bibirku menyungging lebar.
Aku memukul Reno ketika baru saja jalan dua menit, kami sudah ada di lapangan desa. "Ngapain pakai sepeda, kampret! Jaraknya juga dekat begini," ucapku.
"Sakit, Rei! Kamu kalau mukul jangan kelewatan dong. Mau saya cium, hah?"
Eh? Mau nggak ya? Aku menggeleng kuat-kuat. "Enak saja!"
Ternyata teman-teman Reno sudah sudah kumpul di lapangan dan sedang melakukan pemanasan. Kami berdua ikut bersama mereka. Setelah selesai, Reno menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Tubuhku tidak terlalu kikuk karena mereka semua tipe orang supel, ramah dan murah senyum. Selain Reno, ada juga pria yang mempunyai otot besar. Kulitnya hitam, rambutku keriting, dan dia adalah pengecualian orang yang ramah yang kusebutkan tadi.
"Semangat sayang! Kamu pasti bisa!" teriak Enok. Rupanya dia menonton pertandingan ini. Mataku melihat sosok ayu di sebelahnya. Seorang mojang berkulit sawo matang, berlesung pipi dan mempunyai lekukan tubuh yang sangat indah. Rambutnya tergerai ke bawah. Ketika mata kami bertemu, spontan aku tersenyum. Dia tersenyum balik. Harus kuakui ... dia lebih cantik dari Aura.
"Cie cie, kamu teh suka sama si Ayu?" tanya Reno. Oh, jadi wanita cantik itu namanya Ayu. "Kalau mau sama saya dicomblangin. Dia itu masih sendiri, lho. Saya sering lihat orang-orang di kampung ini bahkan kampung sebelah pun kirim surat dan melamar di rumahya, tapi tak ada satu pun yang dia terima. Tapi kalau sama Rei saya yakin diterima jadi--"
"Tidak," potongku. "Aku sudah punya pacar di Jakarta."
"Ih ya sudah."
Setelah tim terbagi menjadi dua, kami langsung bermain. Lapangan ini besar sekali. Ada dinding besar sebagai pembatan antara jalan raya dan lapangan. Baru saja aku bermain 5 menit, nafasku sudah ngos-ngosan. Oh ya, aku satu tim dengan Reno karena pembagian tim dilakukan dengan cara hompimpa alaium gambreng. Ma Icih pakai baju rombeng. What the hell! Siapa mak Icih? Kenapa dia pakai baju rombeng? Sudahlah. Karena di kampus aku sering main futsat sebagai pemain penyerang, maka kukatakan pada Reno aku ingin ada di depan. Dia mengangguk.
Pelemparan koin dilakukan oleh Reno dan Dani. Selagi aku menunggu, sudut mataku melihat seorang pria sangar dengan tubuh besar sedang melihatku. Ya Tuhan! Pria itu adalah preman yang memberiku es kelapa saat aku tersesat di pasar. Dia memakai kaus obrong berwarna hitam, kalung berwarna silver entah bergambar apa dan celana pendek selutut yang membuatnya nampak menakutkan. Mata tajamnya terus melihatku sambil tersenyum. Mau tidak mau aku tersenyum balik. Tangannya melambai ke atas lalu detik berikutnya berubah menjadi acungan jempol memberiku semangat. Gila gila gila! Mendadak aku merasa terancam.
"Kamu sedang lihat apa?" tanya Reno. "Ih kamu teh jangan lihat dia! Pokoknya kamu jangan berurusan sama dia. Dia teh preman yang pernah saya sebutkan, yang suka mencuri, membuat masalah dan paling ditakuti di kampung ini." Tuh benarkan.
Kurasa don't judge book by it's cover tidak berlaku buat orang itu. Aku menelan ludah. Sial sekali, aku sudah berurusan dengannya. Dia telah memberiku es kelapa, itu berarti aku sudah berurusan, kan? "Aku nggak akan berurusan sama dia," ucapku pelan, nyaris bergetar.
"Memang jangan karena dia ... pernah membunuh laki-laki seumuran kamu dua tahun yang lalu."
DEG!

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -