Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #5


Setelah aku mengalami kejadian mengerikan seperti tadi, aku memilih tidur di sofa, berselemutkan dingin yang menusuk kulit. Jam 12 malam hujan kembali menghujam. Tetesnya terdengar berisik di telingaku. Nahasnya, bayanganku masih ada di kamar, dan ketika kututup mataku, aku kembali merasakan sengatan listrik di bibirku ketika mencium Reno.
Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus menyalurkan nafsu tidak sehat ini. Tiga detik kemudian tanganku menelusuk masuk ke dalam celana dalamku, memijitnya pelan-pelan, lamat-lamat berubah jadi kocokan hingga akhirnya aku merasakan kenikmatan yang sedari tadi kutahan.
Nafasku terengah-engah. Gemuruh di dadaku kembali terpacu, membuatnya kembang-kempis hingga akhirnya tanpa sadar aku menangis. Eh? Apa yang kutangisi? Aku sudah gila. Ini tidak wajar. Apa yang telah kulalukan padanya, sangat tidak wajar.
Selama hidupku memang aku tidak pernah mengagumi sosok seorang pria, kecuali ayah. Tidak ada pria yang bisa membuatku tertarik karena memang pria yang ada di mata dan hatiku hanya ayah. Dia begitu sempurna. Hatinya, fisiknya. Apakah keberadaan Reno mampu menggeser keberadaan ayah? Sekelumit pertanyaan itu hilir-mudik dari segala arus. Tak ada yang bisa kujawab.
Ataukah aku berusaha menolak hal membuatku begini adalah ayah? Secara fisik dan hati aku dan ayah memang sering bersentuhan. Perhatiannya yang berlebihan, kasih sayang yang dicurahkan, lalu keintiman yang sering kami lakukan, kurasa semua itu mempengaruhi kejadian aneh ini.
Masa iya sih aku tidak normal? Tapi aku masih suka pada Aura. Jadi perasaan apa ini sebenarnya? Satu-satunya cara supaya hatiku tenang adalah melaksanakan ibadah. Aku memang bukan pria yang taat beribadah, jadi ... maafkan aku Tuhan, jika tanganku yang hina ini kembali menadah memohon pertolongan.
Suasana melankolis ini pun semakin terasa lambat dan melodrama. Untunglah setelah melaksanakan salat, hatiku terasa nyaman dan damai.
***
BUK!
Aku terperanjat. Mataku sedikit berkunang-kunang ketika melihat. Setelah kesadaranku pulih sepenuhnya, aku melihat Reno dengan muka marahnya. Sangat marah, membuatku sedikit ketakukan dan ingin lari saat ini juga dari hadapannya.

“Kamu teh apa-apaan, Rei!” Rei? Jadi sekarang dia memanggilku Rei? Manis juga. Oh jangan lagi. Hentikan pikiran gila ini sebelum semuanya terlambat. “Kenapa kamu malah tidur di sini, hah!?”

BUK!

Reno kembali memukul kepalaku dengan bantal. “Aduh sakit, bahlul!” kataku.

Sabodo teuing! Kenapa malah tidur di sini sementara saya tidur di kamar kamu? Kamu teh risih tidur sama saya? Harusnya bilang dari kemarin jadi saya yang tidur di sini.” Muncul lagi deh sifat anak kecilnya. Tak tahukah dia bahwa ketika dia marah sisi kejantanannya punah?

“Iya aku risih,” kataku. Sontak muka Reno berubah jadi muka bayi kucing. Lagi, aku tak kuasa untuk melihatnya. Mata coklat itu terlalu manis jika berkaca-kaca. “Aku bercanda, Ren. Aku tidur di sini karena ...,” kataku menggantung. Karena apa? Haruskah kujawab karena aku kebelet ingin menusuk pantatnya dengan rudalku?

“Karena?”

“Karena kamu kelihatan capek bekerja. Aku takut membangunkan kamu soalnya kalau aku tidur, kaki dan tanganku nggak bisa diam. Bisa-bisa kamu terjaga semalaman. Jadi, mengerti kan?” Mata Reno memicing. Dia menghela nafas panjang sembari duduk melewati meja coklat hingga duduk di sampingku. Dia sandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Dadanya naik turun teratur. Kurasa dia masih mengantuk.

Beberapa menit kemudian ayah datang. Ayah menyuruh kami untuk siap-siap menanam cabe gondol, dikenal dengan sebutan cabe gendot, yang katanya dapat tumbuh di ketinggian 500-1000 dari permukaan laut.

Reno masih memakai celana pendek selutut dan masih telanjang dada. Hal itu sejujurnya membuatku tidak konsen, apalagi ketika dia garuk-garuk pantat di sembarang tempat. Sebelum mulai ayah dan Reno menjelaskan sedikit prosesnya mulai dari pemilihan benih, penyemaian, pengolahan lahan, perawatan cabe hingga pengendalian hama dan penyakit. Aku menyimak semua penjelasan itu dengan saksama. Baru ketika ocehan panjang lebar Reno yang terdengar lucu itu selelai, kami mulai bekerja.

Reno mendekatiku kemudian berkata, “PH tanah untuk tanaman ini standar, kisaran 6 sampai 7. Jadi jika kalau PH terlalu asam atau terlalu basa harus dinetralkan.” Ah, aku ingat. Dulu sewaktu SLA (Sekolah Lanjutan Atas) aku pernah belajar soal ini di bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Aku tidak menyangka ternyata materi itu akan dibutuhkan juga dikehidupan nyataku.

Selama 2 jam kami pun berjibaku membudidaya cabai terpedas di dunia ini. Hari ini tidak ada kabut. Langit tak berawan. Hal ini membuat sinar matahari menghunus tepat ke tubuh kami. Kalau dipikir-pikir, meskipun suhu masih terasa dingin, kalau tubuhku digerakan terasa gerah juga. Maka dari itu kuputuskan untuk membuka bajuku, sama seperti Reno. Ah, nyamannya. Aku merasaan angin membelai tubuhku lembut. Terasa dingin dan sejuk. Pantas saja Reno betah dengan aksi buka bajunya itu. Kukira dia cuma pamer tubuh bagusnya, tetapi ternyata tidak.

Dari kejauhan aku melihat Reno mendekatiku. Tangannya penuh dengan tanah basah, sementara tubuhnya penuh dengan peluh yang membanjir. Demi angin yang sejuk ini, sejujurnya aku penasaran ingin membaui keringatnya yang berkilauan itu. Kalau bisa ingin menjilatinya. Untungnya pikiranku masih waras. Aku masih bisa berpikir dia laki-laki dan aku laki-laki. Mantra itu nyatanya cukup mujarab. Malah semakin aku memikirkannya, kini aku merasa jijik.

Kini Reno ada dihadapanku. Matanya menarap setiap inci tubuhku, menyapu semua lekuk tubuhku, membuatku merasa risih dan dinodai. “Coba berbalik. Ada yang mau saya pastikan,” katanya. Ketika aku melakukannya, tiba-tiba plak! Reno menampar punggungku kuat. Aku berteriak keras sekali. Bunyinya bahkan menjadi gaung dan gema hingga terdengar di ujung gunung Tangkuban Parahu. “Ternyata benar, tubuh kamu teh meni bersih pisan. Saya meni kepengen punya tubuh putih kayak kamu. Tuh lihat bekas telapak tangan saya terlihat jelas di—”

Aku memaksanya berbalik. Jika suara tamparan Reno berbunyi ‘plak’ maka akan kupastikan tamparanku kali ini bunyinya PLAAAAAAAAAK! “AHHHHHHHHHHHHHHH!” teriak Reno membahana. Ayah lari pontang-panting dari dalam rumah sambil bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak hanya ayah, kulihat beberapa orang yang lewat ikut berlari dengan pertanyaan yang sama.

“Maaf, yah, kang,” kataku. “Aku lagi main pukul-pukulan sama Reno jadi jangan khawatir, kami baik-baik saja kok.”

“Astaga kalian teh ada-ada saja. Sudah ah ayah balik lagi ke dapur, nanggung lagi masak.”

Kulihat mata Reno berair. “Kamu teh geningan tega sama saya. Sakit tahu.” Dia mengelus punggung yang berhasil kutampar dengan kekuatan bulan. “Pokoknya saya teh dendam sama kamu. Gimana kalau saya teh mati? Kamu mau tanggung jawab, hah?”

“Gitu saja nangis,” ledekku sambil menjulurkan lidah.

“Siapa yang nangis! Ini teh air mata kesakitan.” Memang benar sih, tamparan Reno tadi juga terasa sakit dan sedikit membuat air mataku berkaca-kaca. “Kamu harus minta maaf.”

“Kok bisa? Kamulah yang harus minta maaf. Kamu kan yang nampar punggungku duluan.”

“Tapi kan saya mukulnya nggak terlalu keras!” belanya.

“Tetep sakit, bahlul!”

“Ya sudah.” Reno berbalik lalu berjalan mengambil cangkul yang tergeletak di tanah. Dia marah rupanya. Ya Tuhan, aku tak bisa menahan tawaku. “Kenapa ada yang lucu hah?” tingkah dia itu lebih parah dari anak kecil kurasa. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuh yang dia punya.

Harusnya dengan tubuh seperti itu, dia menjadi preman atau bos yang kerjaannya memerintah dengan umpatan kasar. Kalau dugaanku benar—maksudku mengenai sifat anak kecilnya itu—seharusnya hatinya akan luluh apabila aku suap dengan sesuatu. Mari kita lihat. “Ya sudah aku minta maaf.” Reno tidak menjawab. “Nanti aku traktir makan deh. Bebas kamu mau makan apa.”

Aktivitas mencangkul Reno berhenti. “Bener?”

“Iya. Gimana?”

“Sama es kelapa tapi?”

“Iya iya. Jadi?”

“Iya sama saya dimaafin.”

Benar kan? Sontak tawaku menyembur seketika tanpa bisa aku tahan. “HAHAHAHAHAHAHA! ADUH ADUH MAAF HAHAHAHA!” Reno memandangku datar. Dia lempar cangkul di tangannya kemudian melengos pergi tanpa mau melihatku. “Ren kamu mau ke mana hahaha. Iya iya aku minta maaf. Jangan marah gitu dong aku kan bercanda. Ren!? Hei tunggu! Aku nggak bohong kok soal traktir itu. Ren!?” sial! Dia marah beneran.


Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -