Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #4
"Kamu Grey kan?" tanya seorang perempuan. Aku
menengok ke samping. Ternyata orang yang memanggilku adalah pacarnya Reno yang
namanya kalau gak salah Enok. "Mau pulang juga kan? Hayu atuh bareng sama saya."
Pas sekali. Akhirnya aku pulang ke rumah bareng Enok
yang mulutnya itu tak bisa diam meskipun sudah kutunjukan keenggananku
mengobrol dengannya. Di mana-mana cewek itu memang berisik. Ah, aku jadi kangen
Aura. Kangen celoteh soal dadanya yang mulai menggunung.
"Itu teh saha meni kasep pisan. Kenalin atuh ka
kuring. Meni gaduh
rerencangan teh di kekewek ku sorangan." Baiklah, aku sama sekali
tidak mengerti ucapan teman Enok.
"Naon pisan lah. Teu pantes jeung maneh si Grey
mah. Keur mah maneh teh hideng, buladig, tara mandi, jiga bool kebo jeung bool
marmot lah jauh nage."
"Koplok siah! Kieu kieu ge babaturan maneh."
"Haha geus we jeung si Dadang, kakara pantes.
Barinage daripada dibikeun ka maneh, mending si Grey mah keur kuring. Rek di
bawa ka si abah. Sugan we bakal dijodohkeun."
"Ai si Reno kumaha?"
"Rek dipicen."
Sial. Aku tahu namaku sering disebut, sayangnya aku
tidak mengerti apa maksud percakapan mereka. Bodo ah.
Hujan tertumpah ruah bertepatan ketika aku turun dari
delman. "Berapa, mang?" tanyaku.
"1.000 rupiah kasep."
Murah juga ternyata. Setelah membayar, aku berlari
menuju kandang ayam untuk memindahkan semen ke dalam. "Fuck!" umpatku ketika kurasa tubuhku
mulai menggigil. Hujan rupanya membuat bajuku basah kuyup. Well, hujannya deras sekali, seakan
tertumpah tuah di celah langit-langit yang terbuka.
Aku berlari ke rumah. Tepat di teras dekat dengan pintu
aku bergeming. Pemandangan alam ketika terjadi hujan sungguh indah sekali. Aku
melihat tetes itu menyerbu tanah dengan ganasnya. Menghantam gunung, pepohonan,
perkebunan, perbukitan dan deretan rumah yang berdempetan. Aku bisa melihat
semuanya dari sini. Andai aku punya kamera, ingin rasanya aku mengabadikan moment indah ini.
Kakiku terasa pegal karena sedari tadi aku berdiri
sambil bersedekap. Aku duduk di kursi tua berwarna coklat di sampingku dengan
mata masih memandang ke depan. Aku tidak mempunyai tetangga. Penyebabnya tentu
saja karena rumahku terpisah dengan rumah-rumah di kampung ini. Sisi kiri
rumahku ada kandang ayam, sisi kanan rumahku kebun, dan sisi depan rumahku
kebun juga. Meskipun begitu, jarak untuk ke perumahan di depan sana tidak
terlalu jauh.
Lama kelamaan hujan semakin deras menghantam. Kini aku
melihat mobil kol buntung masuk kemudian menepi pinggir rumah. Reno dan ayah
keluar, lalu menghampiriku dengan nafas terengah-engah.
"Aduh aduh aduh baju jadi basah kan," kata
Reno. "Eh kamu juga basah gening," katanya ketika melihatku.
"Iya gede banget." Seorang pria cukup berumur
membuka kaca mobil. "I-iya, hooh, hmm Ren ambil pupuk sama bibitnya di
belakang mobil. Si Mangnya nggak bisa nunggu, ada urusan katanya."
Terpaksa kami harus menurunkan barang sambil
hujan-hujanan. Tubuhku makin menggigil, sangat menggigil. Berbeda dengan Reno
yang terlihat adem ayem dengan tubuh basahnya.
"Duh ayah mandi dulu ya, dingin banget." Ayah
ngacir masuk ke dalam.
Setelah ayah, kini giliranku mandi. Tetapi ketika
kakiku berjalan dua langkah aku kembali lagi. "Kenapa kamu teh balik
lagi?"
"Dingin. Aku nggak kuat. Kamu saja yang mandi
sana."
"Dasar cemen. Ya sudah atuh minggir sana."
Aku pergi ke kamar untuk ganti baju. Dingin masih saja
menusuk kulitku. Ya Tuhan bagaimana ini. Kan nggak lucu kalau aku mati
kedinginan di tempat seperti ini. Bisa-bisa Reyhan bakal mentertawaiku seumur
hidup.
Tidak ada cara lain, aku harus menghangatkan tubuhku.
Kubuka selimbut tebal di atas kasur kemudian kulilitkan ke seluruh tubuhku.
Masih tetap dingin. "Grey pinjem baju."
"Ambil saja di lemari." Reno mengangguk.
Dia berjalan menuju lemari langsam. Tanpa kuduga, dia
melepas handuk di pinggangnya tanpa rasa malu. Mataku pun kembali melihat pantat
kenyal itu. Pantat yang besarnya melebihi pantat aura. Dan sial! Bulu di pantat
itu membuat tengkukku merinding. Malah aku penasaran bagaimana jika tanganku
menyentuh pantat Reno. Apakah akan terasa kenyal atau ... gila! Hush hush hush.
Jauhkan pikiran seperti itu Grey. Kamu harusnya jijik.
"Kata ayah kamu jangan diam di kamar, nanti tambah
dingin," kata Reno membuyarkan monolog dalam hatiku
Aku mengikuti Reno ke ruangan gelap yang letaknya ada
di samping dapur. Sejujurnya aku belum pernah ke sini. Ruangan ini penuh dengan
kayu dan ... asap? Ah, ayah sedang berjibaku di depan tungku api sambil
meniup-niup api itu menggunakan kayu panjang yang tengahnya sudah dilubangi.
"Ini teh namanya song-song," jelas Reno.
"Asik si om lagi bakar sampeu euy."
"Sampeu?"
"Itu lho sejenis ubi-ubian yang biasa dibuat
keripik." Ah ya, aku tahu. Maksud bakar di sini asalah menyimpan ubi-ubian
itu
Duduk di depan api sedikit membuat tubuhku hangat.
Tidak sepenuhnya memang, tapi syukurlah, dengan begini aku tidak akan terlihat
payah di mata mereka.
"Kayaknya sudah reda, deh. Kapan kamu
pulang?" tanyaku. Ayah melotot. Lho memangnya salah ya?
"Iya gitu? Ah masih hujan huga. Nanti saja. Lagian
saya masih ada urusan sama ayah kamu di sini."
"Urusan apa?"
"Kamu teh nggak tahu? Mulai sekarang saya bakal
kerja di sini, membantu kamu, mengawasi kamu supaya kamu jadi petani yang
hebat." Aku memandang ayah tak suka. "Lagian saya teh bener-bener butuh uang. Kerja di pasar mah kecil, cuma 15.000 perhari." Oke,
aku jadi merasa kasihan padanya
"Kerja apa?"
"Pengangkut beras."
Kami mengobrol sambil makan sampeu bakar. Rasanya enak,
pas dimakan saat hujan turun. Apapagi ayah menyiapkan teh hangat dan gula
merah. Setelah 1 jam mengobrol, aku memutuskan pergi ke kamar untuk pergi tidur
walaupun aku ragu bisa melakukannya. Yap. Dingin ini menyiksa diriku. Hujan
memang sudah reda. Tetapi kabut pekat yang di luar sana sepertinya masuk ke
celah jendela kamarku hingga nembuat suhu semakin dingin.
Aku mendengar suara ketukan pintu. "Siapa?"
"Ini saya, Reno. Kata ayah kamu saya boleh nginep
di sini."
"Itu kan kata ayah, bukan kataku."
"Ih meni kitu. Saya masuk ya?"
"Ya."
"Nuhun. Saya sudah ngantuk, boleh tidur di situ
kan?" tunjuk Reno di samping tubuhku.
"Nggak. Di kursi tengah rumah kan bisa." Muka
Reno berubah jadi kayak anak kecil.
"Atuh ya? Di sana mah dingin, Grey."
"Nggak!"
"Ih dasar pelit!"
"Bodo!" Oke, wajah Reno beneran sedih
rupanya. Aku jadi tidak tega. "Ya sudah cepet naik. Lampunya tolong
matikan." Wajah Reno berubah sumringah. Tapi babibu dia mematikan lampu,
melepaskan bajunya, kemudian tidur di sampingku sambil membenamkan selimbutnya
dari ujung kepala sampai kaki.
"Kamu masih kedinginan? Tubuh kamu
menggigil," ucapnya. Aku tidak menjawab. Perasaan aneh ini entah kenapa
kembali menyergap. Kubalikan tubuhku untuk membelakanginya. Sebaiknya aku harus
segera tidur. "Untung kan saya teh tidur di sini, tempat tidur kamu jadi
hangat."
Suara malam menyelimuti tekingaku. Ah, malam. Kenapa
hari ini terasa lain? Sekarang aku merasa jantungku berdegup dengan cepat.
Apakah karena dingin yang menusuk kulit? Tidak, kurasa bukan. Apakah gara-gara
Reno tidur di sampingku? Sejujurnya ini kali pertama aku tidur seranjang dengan
orang lain, jadi aku merasa ... gugup?
Beberapa detik kemudian aku merasa tangan Reno mengkar
di tubuhku. "Kamu apa-apaan!"
"Ssttt. Kamu teh kedinginan. Tuh tubuh kamu
bergetar hebat." Sial! Gemuruh di dadaku semakin tak terkendali.
"Aku baik-baik saja. Sudah sudah. Aku malah makin
nggak bisa tidur."
"Ih meni rewel. Kata saya ssstt. Biar hangat. Kamu
teh nggak tahu apa pelukan teh bisa bikin hangat?"
"Tapi kan aku laki-laki!"
"Ya terus kenapa?"
"Nanti kalau ayah lihat gimana?"
"Sudah saya kunci. Lagian ya meni riweh. Ini
pelukan sebagai temen, Grey. Jadi jangan sungkan."
Nafasku memburu. Sial! Selain nafasku, kurasa juga
penis di selangkanganku berdenyut-denyut menandakan ereksi yang sangat hebat.
Pelukan Reno semakin erat. Aku bisa merasakan penisnya yang kecil itu di
pantatku, juga hembusan nafasnya yang konstan itu di tengkukku.
"Saya teh meni suka sama arona tubuh kamu,"
desisnya pelan, setengah terjaga. "Manis ... wangi ...," lanjutnya.
Lama aku bertahan dengan posisi ini. "Ren, Ren,
kamu sudah tidur?" Aku mendengar suara dengkuran halus di mulutnya. Shit! Pegal rasanya bertahan dengan posisi
ini. Kubalikan tubuhku untuk menghadapnya. Dan, sepertinya aku telah membuat
kesalahan. Aku semakin tidak bisa mengontrol nafasku yang semakin memburu,
apalagi ketika melihat bibirnya.
Kubenamkan mukaku ke dada Reno. Lagi, aku melakukan
kesalahan. Aroma tubuh Reno sangat pekat dan khas. Sedikit asam memang, tapi
entah kenapa aku menyukainya. Kuhirup dalam-dalam, hingga akhirnya aku
menemukan aroma yang membuatku tak tahan untuk tidak menggerakan tanganku di
penisku. Aku limbung. Kubenamkan mukaku ke ketiaknya semakin dalam. Aku tak
bisa berpikir jernih. Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Aku mendengar
suara desahan Reno memanggil-manggil nama Enok, pacarnya.
"Sayang kamu mau ke mana? Aa sudah nggak kuat
ingin ngemut gunung kamu," katanya ambigu.
Nafasku makin menggebu-gebu. Kutatap bibir sedikit
kemerahannya, lalu kuberanikan diri untuk menciumnya. Sial! Sengatan itu
sungguh luar biasa kurasa. Aku menggelinjang. Jantungku semakin cepat berdetak.
Aku memang pernah ciuman dengan Aura, tetapi sensasinya tidak sedasyat ini.
Oke, ini sangat tidak normal. Aku baru ketemu Reno tidak mencapai 1 minggu,
tapi ... kenapa?
Jika hanya dengan menciumnya aku bisa merasakan getaran
yang sangat hebat, kini aku merasa getaran yang luar biasa dasyat ketika mulut
Reno terbuka, lalu lidahku manelusuk masuk, menyapu semua isi di dalamnya.
"Ah, Nok. Teruskan. Ah ah," desahnya.
Aku semakin buas melumat sembari mengocok penisku
kuat-kuat. Lidahnya terasa manis. Bagai candu, aku tak kuasa untuk menghentikan
aksi gila ini. "Ah ah ah," desah kami berdua pelan. Kini lidah Reno
semakin dalam masuk. Membuat tubuku lagi dan lagi bergetar hebat hingga ...
TOK TOK TOK.
Aku terperanjat. A-apa yang sedang terjadi? "Ah
Enok, kamu teh mau ke mana."
Ya ampun!
"Grey, tahu di mana rokok papa? Kamu sudah tidur
belum?"
"Di kursi yah," hawabku parau. INI HOROR!