Minggu, 14 Januari 2018
Preman Pasar : The Outside of Madness
Kota Berkabut #6
Ternyata jarak sungai yang kami tuju cukup jauh. Di
sepanjang jalan aku banyak melihat kuda dan keretek. Jarang sekali ada motor
atau mobil. Lingkungan baru, pikirku.
Di tengah perjalanan Enok bertemu dengan temannya.
Karena hal itulah dia tidak bisa ikut ke sungai. Ada hal penting yang harus
diurus dan aku tidak peduli sama sekali jadi tidak kutanya lebih jauh.
Sekarang jalan memasuki area hutan. Jalan yang kupijak
dibawahnya ada aliran sungai, jernih sekali. Kukira kami sudah sampai tetapi
ternyata aku harus jalan terus ke depan. Sesampainya di sana, aku tidak
serta-merta turun ke bawah, takutnya permukaan sungai itu dalam.
Baru ketika Reno membuka baju dan celananya, aku mulai
berani turun ke bawah. Sejujurnya aku kaget ketika dia dengan tidak tahu
malunya hanya mengenakan kolor berwarna merah yang sedikit ada bolongnya
dibagian pantat. Tuh, kan! Gara-gara kolor bolong itu aku bisa melihat bulu lebat
kaki dan pantatnya.
"Celananya buka saja, Ren!" teriaknya.
"Gila! Ogah, aku malu."
"Ish kok malu? Malu sama siapa? Kita kan sama-sama
cowok!" serunya lagi. Baiklah, satu lagi hal yang harus aku biasakan,
laki-laki di kampung ini tidak punya urat malu. Jangan-jangan kalau mandi juga
bersama-sama lagi.
Pakaian yang berhasil aku tanggalkan cuma baju. Sisanya
masih melekat di tubuhku. Melihatku masih ragu, Reno naik lagi ke permukaan,
matanya memicing menyuruhku untuk menanggalkan celana, hingga akhirnya aku
menyerah. Lagian kalau Reno terus-terusan berdiri di depanku mataku rasanya
ingin terus melihat gundukan bak gunung di balik kolor merahnya itu.
Perlahan aku memelorotkan celana levis yang kupakai.
Demi apapun di dunia ini, sebenarnya aku merasa malu. Ini kali pertama dalam
hidupku tampil di depan umum hanya memakai kolor saja. Aku malu bukan hanya
kepada Reno, tetapi kepada wanita tua yang sedang menggendong sesuatu di
punggungnya, juga kepada remaja yang terlihat sedang menangkap belut di
belakang sana.
Celana levis ini pun terlepas. Ketika aku berdiri tegak
seraya menatap Reno, ada binar kekaguman di matanya yang coklat itu.
"Gila! Kamu teh punya titit yang gede gening! Tidak, tetapi sangat
gede!" ucapnya dengan mata berbinar. Mendengarnya berucap seperti tadi,
aku kembali mengampil celanaku. "Eh eh eh kok dipakai lagi? Sudah ah
hayu."
Angin menerpa tubuhku kencang membuatku menggigil
kedinginan. Luka akibat terjatuh tadi sudah mengering lalu basah kembali ketika
kakiku masuk ke dalam aliran sungai. Dingin. Tetapi aku merasa kesejukan
mengalir lalu menyebar.
SLAAAT!
Reno menyipratkan air ke mukaku. Sial! Tepat ke dalam
mataku, kampret. Kubalas dua kali lebih kejam darinya, dia balas lebih kejam
empat kali dariku.
Melihatnya membabi buta menyipratkan air, aku berjalan
ke arah Reno kemudian memelintir kepalanya. Dia berontak. "Rasain!"
ucapku sambil tertawa. Reno berhasil membalikan keadaan. Dia langsung memegang
kepalaku kemudian dia arahkan ke ketiaknya. Sial! Tenaganya lebih besar dariku
jadi aku tidak bisa lepas dengan mudah. Untunglah Reno menginjak batu sehingga
aku bisa lolos dari pitingannya.
"Aduh!" Reno mengaduh ketika posisiku ada di
belakang dia.
Takut Reno lolos dari genggamanku, kedua tanganku
mengunci lehernya. Diam diam. "Nyerah?" kataku.
"I-iya lepasin saya, Grey." Aku masih
mempertahankan posisi ini dengan senyum mengembang.
"Makanya jangan cari gara-gara sama aku,"
balasku. Senyumku dari tadi mengembang lebar.
"I-iya ampun. Sekarang lepasin saya."
"Nggak!"
"Harus!"
"Kenapa?"
"Itu titit gede kamu ada di pantat saya. Pantasan
dari tadi ada yang kenyal-kenyak gitu, ternyata itu titit kamu."
Mendengarnya sontak senyumku menghilang seketika.
Darahku naik ke atas, membuat mukaku memerah seperti tomat. Aku mendorong tubuh
Reno hingga dia terjatuh tersungkur ke sungai.
"KAMU TEH APA-APAAN SAKIT TAHU!" teriaknya.
"Kamu mau ke mana!? Kok malah kamu yang marah!" serunya nyaris
menjerit.
***
Sekarang aku ada di rumah. Ayah sedang pergi ke pasar,
sementara aku duduk termanggu menatap kebun di teras pekarangan depan rumahku.
Sial!
Aku masih memikirkan kejadian tadi di sungai. Entah
kenapa aku marah padahal seharusnya Reno yang marah karena tubuhnya aku dorong
hingga terjerembab ke sungai. Hal itu membuat sikutnya berdasar. Tetapi karena
dia melihat mukaku memerah, akhirnya dia yang meminta maaf dan keadaan kembali
ke semula. Namun bukan itu permasalahannya! Kalau dipikir-pikir, Reno mempunyai
pantat yang kenyal.
'Ya sudah saya minta maaf. Mendingan ayo kita
pulang.'
Lalu dia menanggalkan kancutnya, menampilkan pisang
sebesar jari jempol yang terlihat kecil bersembunyi di balik semak belukar
berdaun hitam itu. Dia sini juga aku bisa melihat bulu lebat di pantatnya.
'Kamu juga copot saja kolornya. Nanti celanamu
basah.'
Matahari kini bersinar di ufuk barat. Sore telah tiba.
Lagi-lagi, hari ini aku dibuat terkejut ketika kabut tiba-tiba turun.
Pandanganku hanya bisa melihat kebun, sisanya putih pekat. Kota berkabut?
Semoga saja bukan kota berhantu.
"Ini saya bawakan goreng pisang. Kata ayah saya
kamu lagi sendiri di rumah." Reno tiba-tiba datang, lagi, lagi dan lagi
mengangetkanku. "Oh ya, ayah kamu bakal pulang malam, jadi saya dirusuh
jaga kamu."
Aku tidak menjawab kalimat Reno. Mulutku ... sibuk
memakan pisang goreng darinya dengan sekelumit pertanyaan yang membuatku
bingung. Reno, aku harus menjauhinya.