Minggu, 14 Januari 2018

Preman Pasar : The Outside of Madness
Hujan di Bulan Januari #1


Aku dan ayah pergi ke pasar untuk membeli pupuk dan bibit. Rencananya—karena di depan rumah ayah ada dua lahan untuk bertanam—ayah memutuskan untuk menanam cabe gondol yang jangka panennya tidak terlalu lama, juga tidak hanya sekali panen. Aku tidak mengerti urusan begini jadi aku hanya ngikut saja.
Pasar di sini ramai sekali. Tak hanya siang, juga di malam hari. Jika siang dikhususkan untuk penjual rempah-rempah berskala kecil, misalnya untuk keperluan warung, sedangkan malam hari dikhususkan untuk penjual berskala besar misalnya membeli sayuran atau rempah-renpah lebih dari sekarung. Meskipun ada juga yang membeli dengan skala kecil. Biasanya dibeli oleh penjual warung yang tidak mempunyai waktu untuk belanja di siang hari. Atau setidaknya itulah yang kupikirkan, aku tidak begitu mengerti.
Saat kami pergi cuaca sudah mendung. Kumpulan awan berwarna abu-abu tua menggelanyut di atas langit-langit bak kapas yang tertebaran.
"Yah, kok mereka melihat terus ke arah Grey?" tanyaku.
"Karena muka kamu ganteng," jawabnya.
"Aku tanya serius, Yah."
"Ayah juga jawab serius. Mungkin kulit dan cara berpakaian kamu beda sama orang-orang di sini. Padahal kamu harusnya tiru ayah. Di sini kan ayah pake pakaian ala orang-orang di sini," jelasnya. Baiklah aku mengerti. Tapi masa iya sih aku harus menyesuaikan cara berpakaian juga?
Kami memasuki pasar area dalam. Penjual pakaian, mainan, sayuran, rempah-rempah, toko emas, semuanya ada di sini. Orang-orang berlalu-lalang, setiap kami bertatap muka pasti mereka menyunggingkan senyum. Aku terkesima. Sebenarnya tak hanya di sini, di kampung juga sama. Setiap aku melihat ke arah mereka, pasti mereka lebih dulu senyum ke arahku. Kebiasaan yang sungguh langka.
Tanpa kuduga aku berpisah dengan ayah. Gila! Padahal tadi aku dan dia cuma berpisah dengan jarak tak lebih dari 5 meter. Tetapi karena jalan yang dilalui sempit semua, yang berarti tak memungkinkan untuk menyusul, aku pun terpisah dengan ayah. Gimana ini?
Aku memutuskan untuk belok ke kanan. Pasti ayah ke sana. Tetapi bagaimana jika bukan? Mana cabang di sini banyak banget lagi! Oh Tuhan! Aku tersesat! Ini kali pertama orang sepertiku masuk ke dalam pasar, jadi aku nggak tahu, atau lebih tepatnya belum terbiasa. Semoga saja secepatnya aku bertemu dengan ayah.
Feeling-ku mengatakan untuk belok ke kanan, jadi kakiku melangkah ke sana. Bagian pasar di kota Bandung Barat sepertinya dibagi menjadi beberapa distrik. Khusus pakaian, rempah-rempah, sayuran, kain, mainan, perabotan dapur dan sebagainya. Dan, sekarang aku ada di distrik ... daging dan beras? Oh shit! Harusnya aku berada di belakang ayah. Jadinya kan gini.
Tidak ada.
Aku melanjutkan pencarian ke berbagai arah. Aku sudah belok dua kali ke kanan, lima kali ke kiri, lurus, lalu ke kanan lagi. Ayah masih tidak berhasil kutemukan. Kira-kira sudah tiga puluh menit aku berjalan. Di pinggir penjual beras aku istirahat sebentar. Sial sial sial! Aku tidak tahu ada di mana, lalu untuk kembali pun aku tidak tahu harus ke mana.
Di saat aku mengatur nafas, sudut mataku melihat seorang pria berbadan tegap, penuh otot di mana-mana, lebih besar dari badan ayah bahkan Reno, sedang menatapku. Muka dia tidak setampan Reno, tetapi karena garis wajahnya begitu menakutkan, seakan tatapan tajam itu bisa menembus apapun di dunia ini, aku pun bergidik ngeri. Berurusan dengan orang sepertinya adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan, bahkan kalau bisa aku tidak ingin berurusan dengannya.
Aku tak kuat. Tatapan dia begitu mengintimidasi. Kujatuhkan pandanganku ke tanah, berusaha mengalihkan pikiran aneh yang menggeranyangi pikiranku.
Mungkin sekarang dia sudah pergi. Kepalaku kembali bergerak ke atas. "Shit!" spontan aku mengumpat ketika laki-laki itu masih memperhatikanku.
Kali ini aku menjatuhkan pandanganku lebih lama lagi. Mungkin sekitar lima menit. Lalu setelah aku yakin dia sudah pergi, aku kembali menatap ke depan. Jantungku tiba-tiba berdegup dengan kencang ketika dia masih menatapku sambil ... tersenyum. Senyum itu terasa lain. Senyum seorang psikopat? Bulu kumisku meremang seketika. Aku takut!

Leave a Reply

Sok lah komen komen komen.

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Catatan Usang si Bocah Tengil - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -